PENDIDIKAN

Sekulerisasi di Kampus Yes, Islamisasi No?

by Nuim Hidayat Jakarta FNN- Minggu (27/09). Ade Armando dan kawan-kawannya kini gencar melakukan sekulerisasi Kampus besar-besaran. Didahului dengan penelitian lembaga Setara terhadap radikalisme Islam di 10 PTN ternana di Indonesia tahun 2018. Hasilnya menurut mereka ada radikalisme Islam di kampus-kampus. Maka mereka -kelompok abangan dan non Muslim- ini melancarkan aksinya setelah stigma negatif terhadap kelompok Islam sukses mereka lancarkan. Di ITB mereka membentuk Gerakan Anti Radikal ITB. Salah satu gerakannya adalah mendesak agar Prof Din Syamsuddin dicopot dari keanggotaan Wali Amanat ITB. Di UGM mereka berhasil melobi rektor agar melarang Ustadz Abdul Shomad ceramah di kampus UGM. Di UI kelompok Ade Armando dan Setara lebih ganas lagi. Mereka membungkus penjegalan Islamisasi di UI dengan penjegalan PKS. Mereka menyatakan bahwa PKS sejak reformasi menguasai lembaga kemahasiswaan, birokrasi penting kampus hingga penyaluran beasiswa. Akibat ini, maka Lembaga Dakwah Kampus mahasiswa UI dipindahkan sekretariatnya dari masjid UI ke Pusat Kegiatan Mahasiswa. Aneh memang. Kalau Rasulullah menyuruh agar mahasiswa dekat sama masjid, kelompok Ade malah membujuk UI agar mahasiswa jauh dari masjid. Mereka kini puas karena langkah mereka mendapat dukungan dari petinggi kampus. Bahkan mungkin mereka dapat aliran dana besar dari pemerintah, karena program radikalisme mereka sejalan dengan pemerintah. Upaya penghadangan Islamisasi di kampus (juga di masyarakat) dengan kedok radikalisme mengingatkan kita pada kondisi Orba tahun 80an. Atau kondisi Orla ketika Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin. Kini umat Islam mesti hati-hati. Berapa banyak ustadz yang hanya salah omong, videonya menjadi bukti untuk memasukkannya di hotel prodeo. Sementara kelompok mereka meski melanggar hukum dan sudah dilaporkan ke polisi, tidak diapa-apakan. Tapi jangan kuatir. Islam ibarat air. Meski dibendung dengan berbagai cara -batu atau beton sekalipun- ia akan sanggup cari jalan keluar. Arus Islam itu akan makin membesar dan menjebol beton itu. Islam adalah fitrah manusia. Sekulerisme yang terbukti gagal dalam sejarah di dunia Islam, adalah jalan menyimpang dari fitrah manusia. Mahasiswa atau dosen-dosen di kampus negeri tidak bisa dibatasi oleh sekat-sekat yang dibuat Ade cs. Dunia virtual menyambungkan mereka dengan saudara-saudaranya dari seluruh tanah air bahkan dunia. Teruslah bergerak wahai saudaraku. Meski lawan terus menghadangmu. Ujian ini saya yakin justru akan memperkuat jiwamu untuk terus berdakwah menyebarkan Islam (Islamisasi). Langkah-langkah yang dibuat Ade cs hanyalah kerikil yang tidak akan membahayakan kakimu. Ade bukanlah Muslim yang baik. Bahkan saya sendiri pernah menyaksikan dalam sebuah acara di Hotel Jakarta, Ade tidak melaksanakan Sholat Ashar dan Maghrib. Dalam Islam, orang yang tidak melaksanakan prinsip-prinsip Islam jangan dipercaya... Penulis adalah Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Depok.

Pandangan KAMI Logis Dan Realistis

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN – Kamis (20/08). Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), yang diinisiasi oleh beberapa puluh orang, telah dideklarasikan. Deklarasi dilangsungkan di Tugu Proklamasi tanggal 18 Agustus, kemarin. Tak diduga deklarasi itu dihadiri oleh ribuan orang, dan sejauh berita yang tersaji, yang hadir berasal dari berbagai kalangan. Prosesinya memang berkelas. Namun yang terpenting adalah ketepatan mereka mengidentifikasi masalah-masalah inti yang melilit begitu kuat jiwa dan tubuh bangsa hari ini. Masalah-masalah itu mudah diverifikasi secara obyektif. Tidak mengada-ada. Semua bisa dicek rinciannya secara akademik. Sulit Mengingkari Naik dan bekerjanya pikiran ugal-ugalan yang memberi angin kencang untuk kebangkitan komunis teridentifikasi oleh KAMI. Dalam pandangan mereka, pikiran ini ditrasformasi ke dalam RUU HIP. Di saat yang sama krisis ekonomi yang untuk sebagian ekonom telah nyata. Krisis yang mengakibatkan derita rakyat terus dan semakin membesar. Oligarki, korporasi, dan konglomerasi, terlihat teridentifikasi sebagai penyebab terbesar semua masalah ini. Oligarki itu sudah merupakan semua penyakit politik dan hukum yang bahanya tak tertandingi. Apakah penyakit itu memiliki bobot membahayakan kelangsungan bangsa ini? Sejarah mengunci siapapun untuk tak perlu terlalu berkeringat mencari fakta yang dapat menyangkal bahaya penyakit-penyakit itu. Penyakit-penyakit itu, jelas membahayakan bangsa. Tidak ada ketidakadilan hukum, ekonomi dan politik yang menyenangkan. Tidak ada oligarki yang ditopang oleh keadilan. Tidak ada oligarki yang tidak menghasilkan korupsi. Malah oligarki itu sendiri telah merupakan korupsi dalam bentuknya yang asli. Oligarki tidak cukup dijelaskan dengan menunjuk kelemahan institusional sebagai penyebabnya. Tidak. Akar terdalam oligarki ada pada sistem politik. Tidak lebih. Itu telah ditunjukan sejak Romawi kuno. Mereka membentuk penguasa, dan penguasa yang dibentuk itu berfungsi sebagai katalisator kepentingan mereka dalam banyak aspek. Itu disajikan Machiavelli sebagai bahaya orang kaya dalam sebuah republik. Orang-orang kaya ini memandang orang miskin, pas-pasan. Tak lebih dari sekadar soal angka statistik. Tak pernah soal itu dikerangkakan dalam panduan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pandangan oligarki, problem ini hanya dijelaskan sebagai soal teknis semata. Pembaca FNN yang budiman, keagungan nilai-nilai kemanusiaan itulah dasar utama pembentukan republik, dimanapun di dunia ini. Sayang, oligarki tak menghenal nilai-nilai agung itu. Begitu oligarki melembaga dalam sistem, saat itulah semua nilai hebat itu melayang. Sejak oligarki melembaga, sejak itu pemerintah, dimanapun tak lagi bisa bertindak berdasarkan nurani atau jiwa konstitusi. Malah jiwa konstitusi diselewengkan. Oligarki cukup cerdas dalam menyediakan ide-ide. Konsep-konsep tata negara non teks konstitusi seperti inherent power, presidential privilege, presidential prerogative, memang terlihat hebat. Tetapi bila dikenal rinciannya secara praktis, maka konsep-konsep itu menjadi mantel hukum dan politik untuk kepentingan tersembunyi mereka. Sebagian dari konsep-konsep itu mengalir dari kaki tangan oligarki. Ini jelas berbahaya. Sama bahayanya dengan pemaduan sosialisme dan demokrasi. Cukup sering perpaduan dua konsep ini ditunjuk sebagai fundasi lahirnya konsep pemerintahan progresif. Tahukah konsep pemerintahan progresif, dalam praktiknya di negara lain merupakan merupakan jalan tol atas tindakan-tindakan administrasi negara yang melampaui perintah konstitusi? Tahukah anda bahwa konsep ini melahirkan konsep negara kesejahteraan? Tahukah tipikal negara kesejahteraan adalah pemerintah aktif terlibat dalam setiap senti kehidupan masyarakat? Tahukah konsep negara kesejahteraan dengan tipikal itu pada awalnya, malah teridentifikasi sebagai negara fasis? Setidaknya Herbert Hoveer, capres petahana yang menolak proposal oligarki, telah mengidentifikasinya. Akibatnya ia kalah dalam pemilu presiden Amerika tahun 1932. Penangguhan hak budget DPR melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020, dalam esensinya merupakan pengambi-alihan hak DPR oleh Presiden. Apakah cara ini hendak dibenarkan dengan konsep pemerintahan progresif khas Woodrow Wilson? Secara konstitusional, tidak bisa. Pemerintahan Bermasalah Jangan tanya apa yang diberikan negara kepada anda. Tetapi tanyakanlah apa yang mungkin anda berikan kepada negara. Ini kalimat hebat yang membahana di dunia setelah diucapkan John Kennedy, Presiden Amerika Serikat muda usia, cerdas dan tampan itu pada tahun 1962. Oke itu. Tetapi bukan tanpa masalah. Bila kata-kata hebat ini diterima apa adanya. Dipakai dalam kehidupan nasional Indonesia, maka akibatnya jelas. Negara ini bisa jadi fasis. Pemerintah tak boleh dikoreksi. Kebenaran dan kepantasan semuanya bersandar pada sikap pemerintah. Pemerintah memonopoli kebenaran. Itu bahayanya. Bahaya itu bekerja pada, misalnya penguasaan puluhan ribu hektar tanah oleh satu dua korporasi tak bisa disoal. Urusan dagang bawang merah, putih, dan lainnya yang acap diidentifikasi orang memiliki aroma kartel, juga penegakan hukum yang berantakan harus diterima apa adanya. Tidak ada pemerintahan didunia ini yang dibangun atas dasar pikiran pemerintah selalu bertindak sesuai nurani republik. Para pendiri negara ini juga punya asumsi itu. Itulah alasan dibalik pendirian lembaga-lembaga pengawas seperti court dan non court. Pengadilan dan DPR. Kenyatan itu membawa Thomas Jefferson mengandalkan pers sebagai pilar pengawasan non instuitusional terhadap pemerintahan. Itu menjadi penjelasan otoritatif. Pers muncul menjadi pilar pengawasan di alam demokrasi. Ini kepingan kecil munculnya pers sebagai pilar keempat demokrasi. Memutar kembali kiblat bernegara ke Pancasila dan UUD 1945 terlihat menjadi hasrat terbesar KAMI. Itu logis dan realistis. DPR, DPD dan MPR dibayangkan menjadi motor gerak putar itu. Ini terasa imperative. Mungkinkah? Sangat mungkin. Caranya terlalu mudah. Bikin saja UU menurut panduan Pancasila dan UUD secara hakiki. Mungkinkah DPR dan DPD membelakangi dunia global? DPR hanya perlu tahu dunia global tidak pernah keluar dari arus utama politik ekonomi tunggang-menunggang, machiavelis. DPR hanya perlu tahu konsep kerjasama, kemitraan, partnership bilateral maupun multilateral. Tidak pernah keluar arus oligarki global. Tidak. Itu kecerdasan mereka. Mengangkangi pasar sumberdaya alam dan ekonomi negara yang berpartner, adalah tujuan terbesar dibalik semua konsep itu. Di atas semua itu, sistem pemerintahan presidensial menyodorkan presiden sebagai figur utama memegang dan memikul tangung jawab penyelenggaraan pemerintahan. Suka atau tidak, itulah sistem presidensial ini. Terlepas dari siapapun presidennya. Tanggung jawab tunggal itu melekat pada personal presiden. Bukan pada wakil presiden. Ini menjadi sebab kajian tata negara untuk sistem presidensial menempatkan presiden, siapapun orangnya, pada episentrum setiap masalah pemerintahan. Itu pula sebabnya pemerintahan presidensial selalu diidentikan secara simbolis dengan nama presiden. Apakah keluhuran budi dan nurani republik yang terdapat dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, menuntun dan memandu Pak Presiden dalam merespon KAMI? Hanya Presiden dan Allah Subhanahu Wata’ala yang tahu. Menarik ditengah kemunculan KAMI, Ibu Sri Mulyani, menteri keuangan, dengan kalimatnya yang sangat halus menyajikan beberapa masalah dalam pemerintahan ini. Rendahnya serapan anggaran pemulihan corona dan ekonomi nasional, disebabkan antara lain sebagian menteri belum terlatih menyelenggarakan birokrasi. Kenyataan itu jatuh tepat di atas kenyataan lain yang krusial. Kenyataan lain itu adalah adanya kebijakan yang berubah-ubah (Lihat CNNIndonesia, 19/8/2020). Bagi Ibu Menteri, ini tantangan. Apapun itu, sulit untuk tidak menilai kenyataan itu menggambarkan dengan tepat level kapasitas dan kompetensi pemerintahan ini. Jelas ini masalah. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Nadiem Minta Maaf, Lebih Baik Lagi Kalau Mundur

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (04/08). Merasa tertekan akibat Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang menarik diri dari Program Organisasi Penggerak (POP) bernilai Rp. 600 Milyar, maka Menteri Pendidikan Nadiem Makarim merilis permohonan maaf kepada tiga organisasi besar yang bergerak di bidang pendidikan tersebut. Nadiem juga bertandang ke PP Muhammadiyah Jakarta. Di Pusat Da’wah Muhammadiyah, Menteri Pendidikan Nadiem diterima oleh Sekum PP Muhammadiyah DR. Abdul Mu'thi dan pengurus Muhammadiyah lainnya. Kebijakan POP Nadiem yang asal-asalan itu untuk patut dikritisi dengan tajam. Sebab program itu berujung pada hengkangnya Muhammadiyah, NU, dan PGRI. Bagaimana tidak, ketiga organisasi besar di bidang pendidikan tersebut ternyata mau disejajarkan Nadiem dengan organisasi abal-abal sekelas yang hanya mengurusi "bimbel". Ironisnya lagi, ada dana Rp. 20 miliar yang dialokasikan kepada Yayasan pendidikan milik dua konglomerat HM. Sampoerna dan Sukamto Tanoto. Kini Nadiem Menteri "anak kemarin" sore yang seperti tidak faham pelaku pendikan "terdahulu" itu telah meminta maaf. Dari sisi etika tentu kita semua menghargai dan mengapresiasi permintaan maaf nadiem tersebut. Akan tetapi ini bukan saja ajang maaf-memaafkaan seperti lebaran atau baru saja Iedul Adha. Bukan juga soal apakah Muhammadiyah, NU atau PGRI memaafkan atau tidak. Ini persoalan bangsa dan negara. Ini persoalan ketidakmampuan Nadiem, anak kemarin sore tersenut dalam mengemban amanat pengelolaan pendidikan nasional. Inovasi yang nyatanya berbasis kebijakan acak-acakan, ngawur dan kacau-balau. Mundurnya tiga organisasi besar melengkapi kritik sejak awal kepada Menteri yang "bukan bidangnya" tersebut. Kritik itu harus dibaca sebagai ketidakpercayaan publik. Nah berdasarkan Tap MPR No VI tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, maka penyelenggara negara yang sudah kehilangan kepercayaan publik hendaknya harus mengundurkan diri. Demi menjunjung etika pendidikan ke depan. Nadiem baiknya cepat mengundurkan diri untuk integritas dan masa depan dunia pendidikan. Masa depan Nadiem juga yang masih panjang. Anak muda yang berprestasi yang tercemar oleh pergulatan politik oligarkhis dan kapitalistik. Mundur adalah sikap yang terhormat dan bermartabat. Mundur juga sekaligus sebagai sikap pembersihan dan rintisan dari penghargaan terhadap peraturan perilundang-undangan. Apalagi di tengah habitat rezim yang rendah rasa peduli dan bermuka tebal, sangat diperlukan sikap menghargai kesalahan. Kecuali yang dikejar adalah abisi untuk mengelola anggarakan pendidikan 20% dari total APBN setiap tahun Contoilah dan ikutilah dua teman seusia anda yang diangkat Presiden Jokowi menjadi Staf Khusus Presiden. Adamas Belva Syah devara dan Andi Taufan telah lebih dulu mengundurkan diri sebagai sikap yang kesatria dan gentelment. Mereka berdua adalah anak muda yang tau diri. Tau terhadap kesalahan yang mereka perbuat. Nadiem dapat kembali menata usahanya yang juga terdampak akibat pandemi covid 19. Membangun dan menata kembali kreasi baru yang mengahadirkan solutif. Perusahaan start up yang perlu penanganan serius dan menjadi model usaha anak muda Indonesia. Disinilah bidang yang subur untuk keahlian Nadiem. Jabatan Menteri Pendidikan, disamping belum waktunya, juga nampaknya menjadi lebih pantas untuk orang lain. Orang yang benar-benar mengerti, memahami dan menjiwai dunia pendidikan. Orang yang sudah berpengalaman dalam mengelola lembaga pendidikan. Salah satu bumber bahan bakunya dari Muhammadiyah, NU dan PGRI. Saatnya untuk menetapkan pilihan antara terjebak di kubangan lumpur kepentingan permainan politik, atau keluar menata integritas dan kapasitas diri. Sumbangsih bagi negara bukan ngeyel, ngawur dan ngaco dalam ketidakmampuan, tetapi sebaiknya mundur dari jabatan itu. Rakyat menunggu sikapNadiem Makarim, anak muda yang siap untuk menjunjung tinggi etika. Sikap yang kesatria dan gentelent. Bukan sikap pendukung faham "ngeyelisme". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Nadiem Anak Muda Yang Gagal Paham Pendidikan

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (28/07). Ketika diangkat menjadi Mendikbud, banyak pihak yang menggelengkan kepala. Karena aneh, kok Jokowi begini cara memilih pembantunya. Keluar dari prinsip "the right man on the right job". Cara pandangnya terlalu pragmatik. Menteri yang mnengurus pendidikan, bidang pembangunan yang sangat vital dan strategis menyangkut masa depan sumberdaya bangsa diberikan kepada anak muda yang tidak memiliki reputasi di bidang pendidikan. Hanya mampu mengurus Ojek Online. Demikian juga saat mengangkat para Staf Khusus Presiden. Awalnya mungkin mau disebut hebat dengan memberi kepercayaan pada anak muda. Akan tetapi, lagi-lagi sandarannya sangat pragmatik. Prestasi dan kreasi diukur dengan ruang bisnis. Ruang guru pun dibisniskan. Akibatnya Belva Devara, sang Staf Khusus Presiden mundur. Uang negara berantakan alias "ambrol-ambrolan". Begitu juga dengan Staf Khusus Andi Taufan, CEO PT Amartha yang mundur juga akibat "main-main" fasilitas negara untuk perusahaannya sendiri. Nadiem diangkat dengan melecehkan begitu banyak Guru Besar yang dimiliki negeri ini. Melecehkan Ormas, serta para penggiat di bidang pendidikan. Dunia pendidikan dikelola dengan manajemen Ojek Online. Manejemen angkut barang dan orang dengan menggunakan sarana online. Manejemen yang bukan berorientasi kepada "character building" masa depan bangsa yang panjang. Pilihan mitra pun menjadi salah. Pendekatan bisnis lagi-lagi menjadi prioritas utama. Akibatnya, tata kelola dan manejemen pendirikan menjadi berantakan dan amburadul. Mundurnya Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), dan Persatuan Guru Repiblik Indonesia (PGRI) dari Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud adalah bukti batasan kualitas Nadiem. Dana sebesar Rp. 600 miliar tidak teralokasi dengan baik. Kacau balau dan berantakan. Disinyalir organisasi "abal-abal" yang dijadikan sebagai mitra POP. Nadiem memang tak mampu melihat dengan jernih dan strategis dalam menjalankan programnya. Ya akibat dari orientasi dan cara pandang Nadiem yang pendek itu. Seperti mengelola Ojek Online. Pilihan mencurigakan juga terindikasi dengan hibah POP dana sebesar Rp. 20 miliar kepada Yayasan milik pengusaha besar Sukamto Tanoto dan Putra Sampoerna. DPR akhirnya turut mempertanyakan. Bagi kedua Yayasan tersebut, nilai hibah itu tentu saja kecil. Akan tetapi publik pasti kecewa. Pertanyaannya, bagaimana yayasan sekelas Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation bisa diberi hibah oleh Nadiem? Hadiah dari uang rakyat lagi. Uang yang hanya pantas diberikan kepada lembaga atau yayasan yang benar-benar mengabdi bidang pendidikan. Bukan yayasan milik konglomet yang dipakai untuk tempat mencucu uang kotor milik perusahaan. Juga untuk menghindar dari kewajiban membayar pajak kepada negara. Sebagaimana prediksi, Nadiem akan menjadi model dari menteri di cabinet Jokowi yang gagal. Anak muda yang dikarbit di tempat yang salah. Desakan mundur bisa terdengar. Meskipun tentu Nadiem bukan satu satunya menteri di cabinet Jokowi yang gagal. Hampir semua menteri Jokowi gagal. Bukankah Presiden pernah marah-marah atas kinerja para menterinya yang gagal itu? Periode ini tim Presiden memang buruk. Isu resuffle mulai berhembus meski tak jelas realisasinya kapan? Tapi siapapun yang menggantikan menteri yang diresuffle, sepanjang manajemen pengelolaan negara tidak profesional, hanya berorienrasi bisnis, proyek yang dijadikan bancakan, serta hukum yang dimain-mainkan, maka jangan harap ada perbaikan. Apalagi perbaikan itu signifikan. Fasenya sekarang adalah "decreasing" (menurun) dan "decaying" (membusuk). Nah, kita teringat ucapan Marcus Tullius Cicero, seorang orator, negarawan, filsuf, ahli politik dan hukum di Romawi "Ikan busuk itu mulai dari kepalanya". Cicero berpidato berapi-api tentang korupsi yang merajalela. Para pejabat yang merampas uang rakyat dan moralitas yang terpinggirkan. Ketika ditanya apa yang bisa dilakukan untuk memberantas korupsi. Dengan lantang tanpa rasa takut Cicero berkata, "potong kepalanya ". Maksudnya buang summber utama kebusukan ikannya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

ITB Sentimen Terhadap Orang Miskin

by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Rabu (22/07). Anak saya yang akan melamar ke jurusan Hayati Institut Teknologi Bandung (ITB), melalui jalur mandiri, mengatakan bahwa ITB mengumumkan secara mendadak bahwa orang tua calon pelamar mahasiswa ke ITB harus menunjukkan rekening senilai Rp. 100.000.000. Saya menyanggupi saja, demi membahagian anak. Namun, buat saya ini adalah kegagalan kedua ITB setelah kegagalan pertama berhasrat menyingkirkan Prof. Din Syamsudin dari ITB sebagai anggota Mejelis Wali Amanat (MWA) ITB, karena sentimen anti-Islam. Mengapa Gagal? Pembebanan bea masuk puluhan juta dan menunjukkan rekening Rp. 100.000.000 untuk masuk ke ITB, di masa krisis ekonomi saat ini, telah mendiskriminasi peluang anak-anak orang miskin yang cerdas untuk mendapatkan pendidikan unggul. Penjelasan ITB bahwa uang itu akan dipake untuk subsidi silang bagi mahasiswa yang tidak mampu, dengan block sejumlah 30% untuk orang-orang mampu, menyisakan peluang pertarungan masuk ITB hanya 70% bagi orang miskin. Sebaliknya 100% bagi orang-orang kaya. Di masa lalu, ITB adalah kampus rakyat. Karena peluang kebersamaan dimulai dengan sama status bagi semua mahasiswa. Di jurusan Geodesi, misalnya, tempat saya kuliah tahun 80an, tercatat beberapa senior saya, seperti adik Sultan Hamangkubono, anak menteri pak Harto, antara lain anaknya Mendagri Yogi S. Memet dan anak Menteri Kesehatan, dan lain-lain. Dan tentunya di jurusan lainnya, banyak anak anak pejabat, namun perbedaan diantara mahasiswa tidak terjadi. Orang-orang miskin tidak merasa kesulitan, karena negara Indonesia kala itu, meski negara berkembang, menyediakan berbagai program bea siswa bagi mereka. Dengan bantuan Negara, baik pinjaman maupun hibah, tidak ada hutang budi antara mahasiswa di ITB. Berbagai yayasan pun didirikan pemerintah untuk mengumpulkan uang bagi mahasiswa kurang mampu. Seperti yang dulu terkenal, yayasan Supersemar. Anak-anak ITB yang merantau dan perlu biaya hidup tambahan, umumnya karena kuliah ditempat orang-orang pintar. Dipercaya oleh masyarakat Bandung untuk menjadi guru yang mengajar anak-anak mereka. Sehingga kesulitan keuangan dapat diatasi. ITB Tanpa Diskriminasi ITB harus keluar dari industrialisasi pendidikan. Ini adalah momentum bagi 100 tahun ITB, yang baru saja diperingati beberapa hari lalu. Cara pandang pendidikan tinggi negeri saat ini, telah gagal menyaring generasi pintar dan autentik serta penuh inovasi. Sebab, 10 tahun belakangan ini, ITB dan kampus-kampus ternama telah menjadi tempat yang hanya untuk anak-anak orang kaya menimba ilmu. Sistem pendidikan Indonesia yang hancur, karena kompetisi murid-murid dilakukan dengan "drilling" via bimbingan-bimbingan belajar, membuat fungsi sekolah untuk mencetak orang pintar, cerdas dan inovatif hilang. Hanya beberapa sekolah, seperti SMA Negeri 8 di Jakarta atau SMA Negeri 3 di Bandung, yang identik antara sekolah, guru dan kepintaran anak murid. Selebihnya, kebanyakn, murid-murid pintar identik dengan bimbingan belajar yang menjamur di berbagai kota-kota besar. Bimbingan belajar semakin lama semakin mahal. Paket-paket bimbingan belajar bahkan ada yang berbiaya ratusan juta, dengan sistem menginap selama sebulan serta jaminan uang kembali. Alhasil, kemampuan murid masuk ke perguruan tinggi negeri berbanding lurus dengan biaya yang dikeluarkan orang tua murid pada perusahaan bimbingan belajar itu. Sistem rekrutmen mahasiswa di Leiden University, Belanda, misalnya, pada generasi saya, dilakukan dengan lotere. Istri saya yang mendaftar di jurusan psikologi misalnya, tidak membutuhkan seleksi. Sebeb, seleksi dianggap selesai dalam sistem sekolah menengah di sana. Kelebihan peminat menyebabkan dilakukan undian. Yang tersingkir tidak sakit hati, karena tidak merasa lebih bodoh. Dalam konteks kesulitan hidup akibat hancurnya ekonomi Indonesia masa pandemi Covid-19 ini, selayaknya ITB melakukan terobosan baru. ITB tidak perlu terjebak pada sumber pembiayaan dari kantong orang tua mahasiswa. Berbagai sumber pendanaan harus dipikirkan, baik meminta jatah ke Sri Mulyani berupa uang stimulus fiskal, maupun dari alumni-alumni, khususnya yang dulu miskin-miskin. (note: pada jaman 80an mahasiswa yang memakai sendal jepit cukup banyak di ITB, sangkin miskinnya). Dengan berubah orientasi, yakni pendidikan bukan industry, serta mencari bibit-bibit pintar dan inovatif, ITB harus membebaskan persaingan 100% kepada semua calon mahasiswa. Tidak lagi memblock 30% untuk orang-orang kaya atau yang punya rekening Rp. 100.000.000. Sehingga ITB tidak melakukan diskriminasi pada orang-orang miskin. Penutup Pendidikan adalah instrument negara untuk melakukan gerakan egalitarian, equality, dan anti diskriminasi terhadap anak-anak bangsa. Sehingga orang-oreang miskin mampu melakukan mobilisasi vertikal dalam mengejar cita-cita. Pemblockan 30% jumlah mahasiswa ITB pada orang-orang kaya dan memastikan mayoritas mahasiwa ITB dari murid-murid yang di pompa ilmunya oleh bimbingan-bimbingan belajar super mahal, akan menjadikan ITB sebagai industri. Jika itu dipertahankan, akan membuat ITB kehilangan inovasi, dan terus terjungkal dari misinya sebagai kampus rakyat. Diskriminasi terhadap orang-orang miskin juga akan membuat suasana kampus tidak sehat nantinya. Orang-orang miskin seolah-olah harus berhutang budi pada orang-orang kaya, yang membayar lebih mahal. Padahal urusan pembebanan biaya pada orang-orang kaya sebaiknya diselesaikan melalui sistem tax progresif dalam sistem negara. Bukan sistem pendidikan di kampus. Jika sifat ITB yang diskriminatif terhadap orang-orang miskin dapat diatasi, maka mahasiswa-mahasiswa bersendal jepit akan muncul lagi di ITB pada masa krisis ekonomi saat ini. Namun, mereka tetap anak-anak pintar dan penuh harapan ke depan. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.

RUU HIP, Monster Buatan PDIP Yang Akhirnya Mengejar Mereka

by Asyari Usman Jakarta FNN – Senin (29/06). Mungkin PDIP tidak menduga RUU HIP bisa sampai seperti sekarang ini. Ditolak keras dan dilawan di mana-mana. Partai ‘merah darah’ ini dituduh melakukan makar terhadap dasar negara, Pancasila. Tuduhan ini adalah logika dari keinginan mereka untuk mengubah Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Lalu menjadi Gotong Royong. PDIP, sebagimana diakui Sekjen Hasto Kristianto (28/6/2020), mengusulkan RUU yang menyerempet bahaya itu. Merekalah yang mengusulkan ekstraksi Pancasila menjadi Trisila-Ekasila. Singkatnya, PDIP hendak memeras Pancasila menjadi semboyan Gotong Royong. Ketuhanan Yang Maha Esa hendak diubah menjadi ‘ketuhanan yang berkebudayaan’ (KYB). Tak jelas apa maksud dan tujuan KYB itu. Tanpa pakai seminar-seminaran, pastilah langkah mengekstraksikan (memeras) Pancasila menjadi Ekasila akan memancing kegaduhan. Sebab, sila yang teramat penting di Pancasila –yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa— otomatis akan tercoret akibat pemerasan itu. Ini sangat sensitif bagi rakyat. Khususnya bagi umat beragama. Lebih khusus lagi bagi umat Islam. Sangat tak masuk akal kalau PDIP tak memahami sensitivitas itu. Sekarang, RUU HIP berubah menjadi ‘home made monster’. Monster yang dibuat sendiri oleh PDIP. Monster itu akhirnya mengejar mereka. Banteng pun terbirit-birit. Sendirian pula. Parpol-parpol lain yang semula mendukung, cepat-cepat menjauhkan diri. Monster ini bisa distop, kalau PDIP berkenan. Mudah sekali. Coret saja RUU HIP dari prolegnas (program legislasi nasional). Dicabut, jangan dilanjutkan. Terus, semua dokumen berupa ‘softcopy’ dihapus. Dokumen ‘hardcopy’ (cetakan) dimusnahkan. Masukkan ke tong sampah. Sebaiknya, jangan coba-coba membuat muslihat dengan mengganti nama atau judul RUU itu. Rakyat akan tahu kalau ada pihak yang main akal-akalan untuk tetap merealisasikan RUU HIP. Dengan make-up baru. Cabut sajalah. Selesai perkara. Kalau tidak dicabut, cuma ditangguhkan, itu sama saja dengan memencet tombol hidup-mati ke posisi off. Kapan-kapan bisa dihidupkan lagi. Tapi, ingat, begitu Anda nyalakan kembali, monster itu malah akan mengejar lebih galak lagi. Jadi, harus dibatalkan. Janganlah main api lagi. RUU HIP menghina Ketuhanan Yang Maha Esa (KYME). Ratusan juta orang yang bertuhan, beragama, berakidah, pasti akan tersulut. Mereka siap menjadi mayat jika itu diusik. Apalagi kalau diusik untuk kepentingan komunisme-PKI. Jadi, sudahlah. Tak usah berkeras untuk melanjutkan RUU ini. Kalau pun Anda katakan sudah diubah total, orang tak akan percaya. RUU HIP sudah tidak ‘credible’ lagi. Cabut dan batalkan saja. Itu jauh lebih baik. Dan, ingat juga! Jangan pernah lagi ada blok politik yang berusaha dengan segala cara untuk melenyapkan KYME. Atau menggiring ketuhanan ke dalam konsepsi sosio-kultural. Berat itu. Pasti berantakan. Sekarang, ada baiknya PDIP meminta maaf kepada seluruh rakyat atas rencana mereka untuk melenyapkan sila KYME itu. Mari kita coba membangun kembali ‘trust’ (kepercayaan) rakyat pada PDIP. Andaikata masih bisa. Tapi, tidak mudah merekonstruksi ‘trust’ itu. Kalau pun bisa, ‘cacat ideologi’ PDIP akan terbawa terus ke dalam tidur 260 juta umat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Trisila-Ekasila akan terpatri di benak publik. Satu hal lainnya. Tidak akan pernah hilang dari ingatan rakyat tentang upaya PDIP menghapus sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu. Mau tak mau, ini akan membuat rakyat senantiasa mewaspadai partai Banteng. Kewaspadaan permanen, sepanjang zaman. Penulis adalah Wartawan Senior

ITB Sangat Butuh Prof. Din Syamsudin

by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Sabtu (27/06). Sehubungan beredarnya pernyataan Yani Panigoro, Ketua Majelis Wali Amanah (MWA) ITB, bahwa Prof. Dr. Din Syamsudin akan mengundurkan diri sebagai anggota MWA ITB. Prof. Din Mengundurkan diri karena alasan adanya desakan dari alumni ITB. Saya curiga, ini sebagai alasan yang mengada-ada. Masalahnya, tuntutan agar Prof Din Syamsudin mundur dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan Alumni ITB Anti Radikalisme atau Gerakan Anti Radikalisme Alumni ITB. Padahal dalam kealumnian ITB hanya dikenal Ikatan Alumni ITB Pusat dan Ikatan Alumni ITB Daerah, serta Ikatan Alumni Jurusan. Semuanya dalam satu wadah resmi yang diketuai Dr. Ridwan Jamaluddin. Alasan yang ditujukan terhadap penolakan Din sebagai anggota MWA bahwa Prof. Din radikal sangat membingungkan. Pertama, Prof. Din dikaitkan radikal karena pernah menghadiri acara HTI (Hizbuttahrir Indonesia) pada tahun 2007. Padahal pada tahun 2017, sepuluh tahun kemudian, Presiden Jokowi mengangkat Prof. Din Syamsudin sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Pembangunan Perdamaian serta Peradaban Dunia. Pada saat ditanya wartawan alasan pengangkatan Din setingkat menteri itu, Jokowi menyebutkan dia sudah mengetahui jejak rekam dan pondasi yang kokoh Prof. Din dibidang tersebut. Bahkan, Jokowi merayu Professor Din untuk mau menerima amanah itu demi kepentingan negara. Kedua, Prof. Din disebutkan mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK) atas hasil pilpres tahun 2019 yang lalu. Alasan ini juga membingungkan. Sebab, Din Syamsudin kala itu meminta masyarakat agar menerima legalitas hasil pilpres yang diputuskan MK, namun tetap perlu menyimpan rasa curiga atas keputusan MK yang terasa ganjil tersebut. Dalam posisi ini, sebenarnya Prof. Din Syamsudin memberikan kanalisasi pada emosi puluhan juta rakyat yang merasa Pemilu Pilpres diwarnai dengan berbagai kecurangan. Sehingga, harusnya sikap Prof. Din Syamsudin ini dikatagorikan sikap negarawan. Bukan orang yang radikal. Ketiga, Prof. Din Syamsudin dikatakan banyak mengkritik pemerintahan Jokowi. Hal ini melanggar Statuta ITB dan MWA ITB yang mengatakan bahwa hubungan ITB dan pihak pemerintah harus baik-baik saja. Hal ini sedikit membingungkan. Karena ITB dan jajaran professornya dari dulu tercatat sangat lumrah bersikap kritis terhadap pemerintah. Pada masa Suharto, bahkan rumah Rektor ITB Professor Iskandar Alisyahbana dihujani peluru oleh tentara pendukung rezim Suharto. Karena rektor tersebut mendukung gerakan mahasiwa ITB 77/78 yang meminta Suharto lengser. Sampai akhir hayatnya Professor Iskandar Alisyahbana tidak menyesal mendukung gerakan mahasiswa saat itu. Kebebasan ilmiah telah membuat kampus ITB terkenal menghargai sikap kritis. Dengan demikian sikap Prof. Din Syamsudin yang saat ini sering kritis terhadap pemerintah Jokowi, harus dimaklumi sebagai bagian dari hidupnya demokrasi, yang sejak dulu diperjuangkan ITB. Perlu dicatat bahwa ITB harus berkembang pesat untuk memajukan industrialisasi dan kualitas pendidikan tinggi kita. Peranan industri yang terus merosot. Jika diukur dengan kontribusinya bagi PDB, sudah mencemaskan saat ini. Kontribusi sektor industri di masa SBY, 2008, masih sebesar 27,8% terhadap PDB. Namun, di masa Jokowi, kuartal 3/2019, kontribusi sektor industri hanya 19,8% saja. ITB QS Ranking pun masih pada nomor 331. Jauh di bawah University Malaya, pada urutan 59 dunia, pada tahun 2020. Untuk memajukan ITB dan jaringan internasional, sangat dibutuhkan datangnya dari berbagai pihak. Kehadiran Prof Din Syamsudin yang mempunyai relasi kuat ke Vatikan, PBB, PKC-RRC, tokoh-tokoh politik Amerika dan lainnya, tentu sangat perlu bagi ITB. Agar konektivitas terhadap dunia global bisa semakin cepat terjadi. Konektivitas adalah kata kunci kemajuan institusi, seperti ITB, di masa datang. Dengan demikian, daripada menghujat Professor Din Syamsudin secara brutal dengan menuduh radikal, lebih baik senat akademik ITB mempertahankan keberadaan Professor Din Syamsudin di MWA ITB. Salam Hormat, Penulis adalah Alumni Geodesi ITB, dan Alumni Paskasarjana Studi Pembangunan ITB.

Hadapi RUU HIP, Partai Keumatan Jangan Lemah

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (12/06). Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menjadi perhatian serius umat Islam. Ini disebabkan kekhawatiran tinggi atas kemungkknan RUU ini menjadi sarana untuk menyimpangkan makna ideologi Pancasila. Arah tafsir Nasakom yang bisa kembali terulang. Komunisme tentu saja berkeinginan kuat untuk mendapat pengakuan hukum. Mereka tidak pernah berhenti. Komunisme terus berjuang melalui cara yang halus dan bertahap. Dari jalanan hingga ruang Dewan. Bahkan berusaha dengan cara untuk bias masuk ke dalam Istana. Tiga partai keumatan PPP, PKB, dan PAN memiliki kedudukan yang strategis dalam sambungan hati dengan umat di akar rumput. Ketika kampanye pun bahasa-bahasa keumatan diletakkan menjadi jembatan untuk memperbesar daya dukung umat. Hasilnya, umatpun merasa nyaman dan bahagia mendukung walau tahu belum tentu menjadi pemenang. Ada nilai ibadah yang diyakini. Tentu dengan berdo'a pula agar Allah menolong perjuangan partai politik umat. Kini umat Islam sedang prihatin, bahkan merasa sedih dan menderita. Terasa agama sedang diombang-ambingkan oleh mereka yang tak suka pada pijakan agama. Mereka itu sekarang yang berada di Pemerintahan dan ruangan Parlemen. Stigma ketakutan pada agama dan syari'atnya terus dibangun dan dipropagandakan. Semangat juang dilemahkan dengan bahasa toleransi, tidak diskriminasi, moderasi, ataupun hak asasi. Semua diterima dengan sabar walau memahami bahwa umat sedang terzalimi. Kini terasa PKI bangkit kembali. Komunisme sedang diupayakan untuk dihidupkan. Fakta sejarah komunisme dan PKI mau diputarbalikkan, dan agama dinisbikan. PKI dan kader-kader komunis adalah musuh-musuh agama. Kegigihan dalam menyusup patut juga untuk diberikan diacungkan jempol. Menyelundupkan pasal-pasal aturan adalah kemahiran mereka. Menyelundupkan senjata juga biasa. Tujuan mereka adalah merongrong ideologi negara dengan bahasa membela. Artinya, tipu-tipu politik yang dianggap sebagai hukum perjuangan. Yang penting kekuasaan dapat direbut nantinya. RUU HIP jika ditelaah seksama, sarat dengan nuansa "kiri". Bahkan agak vulgar tampilannya. Anehnya, kok bisa lolos dengan mudah di senayan. Didukung oleh banyak fraksi. Sedih dan mengurut dada umat. Sebab ternyata diantara yang ikut meloloskannya itu partai partai keumatan. Ada PPP, PKB, dan ada pula PAN. Partai yang selalu mengusung kaliat ukhuwwah. Partai da'wah, dan partai yang konon berjihad fie sabilillah. Umat yang sudah merasa lemah, bertambah untuk dilemahkan oleh kekuatan politik yang gemar berslogan berjuang untuk ummah. Prakteknya lemah berhadapan dengan gagasan dan ide komunisme-PKI. RUU HIP adalah nyata-nyata racun sekularisme. Virus komunisme, dan upaya nyata untuk mendegradasi nilai-nilai keagamaan. Melemahkan ideologi Pancasila, hasil kesepakatan yang dipertahankan dengan simbahan darah. RUU HIP adalah tafsir tunggal untuk menghalau dan mengkerdilkan ideologi Pancasila dengan bahasa "haluan" ideologi. Padahal penuh dan sarat dengan bingkai kamuflase. RUU yang telah diketuk untuk masuk tahap berikut menuju penetapan menjadi Undang-Undang. Umat telah ramai-ramai mengadakan penolakan dan perlawanan. Sementara itu partai-partai yang menyatakan berbasis dan menyandarkan diri kepada keumatan dipertanyakan keberadaannya. Kemana dan dimana mereka? Masih adakah mereka? Bersembunyi dimana mereka? Belum terlambat untuk bangkit dan berjuang kembali dengan gagah. PPP, PKB, dan PAN harus melihat, sebagaimana umat merasakan bahwa RUU HIP adalah ancaman bagi umat Islam. Juga ancaman nyata terhadap ideologi dan dasar Negara Pancasila. Untuk itu jangan berdiam diri. Karenanya bela umat ini dengan menghentikan langkah RUU gila ini. Ideologi bukan tidak penting. Tetapi jika disalahtafsirkan, disalahnarasikan, atau disalahgunakan, maka ideologi adalah alat koersi. Bukan sarana dan alat untuk membangun integrasi bangsa. Ingat itu Aspirasi umat adalah menolak RUU HIP. Alasanya, isinya berbau Orde Lama dan Komunisme. Ketiga partai PPP, PKB, dan PAN diharapkan menjadi penyambung lidah umat. Berjuang keras dengan berani bagai singa yang berdaya guna. Jangan seperti bebek dan sapi yang mudah digiring kesana dan kesana. Rumah kita di sini, di hati-hati rakyat dan umat. Tampilah dengan langkah dan semangat yang membanggakan umat. Jangan menjual agama dengan harga murah. Resikonya Allah SWT akan marah nantinya. Kemuliaan dan kehinaan itu ada di tangan Allah. Demikian juga dengan pertolongan dan rezeki-Nya. Buat apa mulia di dunia, tetapi hina dan derita di akhirat. Selamat berjuang. RUU HIP adalah batu ujian buat anda. Saatnya untuk membuktikan, apakah anda singa atau hanya bebek dan sapi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.

Kompetensi dan Integritas, Tuntutan Untuk Dosen

By Dr. Elli Widia S.Pd. MM.Pd Badan dunia yang menangani pendidikan UNESCO menyerukan kepada bangsa-bangsa di dunia bahwa, jika ingin memperbaiki keadaan seluruh bangsa, maka haruslah dimulai dengan memajukan bidang pendidikan. Sebab pendidikan adalah kunci menuju perbaikan terhadap peradaban. Jakarta FNN - Kamis (21/05). Organisasi yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani pendidikan UNESCO juga merumuskan, bahwa pendidikan adalah “learning how to think” (belajar bagaimana berpikir) dan “learning how to do” (belajar bagaimana melakukan). Pendidikan juga berarti “learning how to be” (belajar bagaimana menjadi), “learning how to learn” (belajar bagaimana belajar), dan “learning how to live together” (belajar bagaimana hidup bersama). Dengan demikian, pendidikan sangat penting bagi kemajuan umat manusia. Tidak sekedar merupakan “transfer of knowledge” (transfer ilmu pengetahuan). Tujuan pendidikan sesungguhnya adalah menciptakan pribadi yang memiliki sikap dan kepribadian yang positif. Sikap dan kepribadian yang positif itu, antara lain bangga memiliki kompetensi, dan bangga berdisiplin. Juga tahan mental menghadapi kesulitan hidup, jujur dan dapat dipercaya (memiliki karakter dan integritas yang baik). Suka bekerjasama dalam tim, dan memiliki pola pikir yang rasional (pola pikir unggul). Selain itu, terbiasa bekerja keras, bertanggungjawab, dan mengutamakan kepedulian terhadap sesama. Mengutamakan diskusi daripada berdebat, taat pada aturan, menghormati hak-hak orang lain. Memiliki moral dan etika yang baik, dan mencintai pekerjaan dengan sepenuh hati. Dengan demikian, setiap aktivitas belajar-mengajar sejatinya tidak hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan kepada warga didik (warga belajar). Tetapi juga membimbing mereka melalui motivasi dan contoh keteladanan yang bermuara pada pembinaan sikap, maupun etika atau moral peserta didik. Tidak dapat dipungkiri bahwa proses pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Yang menjadi sasaran pendidikan belum dapat diwujudkan secara penuh dan komprehensif. Keadaan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Jumlah penduduk yang besar. Kondisi geografis yang luas, serta belum maksimalnya peranserta seluruh komponen masyarakat di bidang pendidikan, menjadi kenyataan yang dapat memperlambat proses pembangunan pendidikan di Indonesia. Namun patut disyukuri bahwa berbagai upaya signifikan telah dilakukan Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk mempercepat pembangunan pendidikan nasional. Penetapan anggaran pendidikan sebesar 20 prosen dari APBN maupun APBD (Sesuai pasal 31 ayat 3 UUD 1945) menjadi indikator utama dimulainya percepatan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Di sisi lain pembenahan kurikulum nasional dan penataan mutu tenaga pendidik yang simultan, diharapkan dapat membawa perubahan ke arah terciptanya manusia Indonesia yang berpendidikan. Juga bermoral, dan berdaya saing tinggi. Patut disyukuri pula, bahwa saat ini sudah banyak generasi muda di Indonesia yang berpendidikan tinggi. Mereka adalah bagian dari kalangan cerdik pandai (intelektual) yang nantinya diharapkan dapat turut menyelesaikan permasalahan bangsa. Kebangkitan Indonesia sejak masa perlawanan terhadap penjajahan Belanda juga dimotori kalangan terdidik. Meraka para mahasiswa kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), sekolah kedokteran pertama di Indonesia yang kini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Presiden pertama RI Soekarno dan Tokoh Pendidikan Ki Hajar Dewantara juga pernah mengingatkan, bahwa satu-satunya cara untuk dapat mengubah nasib suatu bangsa (terutama dalam hal ini bangsa Indonesia) hanyalah melalui pendidikan. Dalam upaya memajukan pendidikan itu, sikap terbaik adalah para mahasiswa dituntut untuk terus berusaha menjadi insan yang kreatif, inovatif, dan kompetitif. Meraka memiliki integritas dan moral yang baik, karena bagaimana pun mereka adalah agen perubahan menuju perbaikan dalam berbagai bidang kehidupan. Sementara itu hasrat untuk meraih pendidikan tertinggi (Ph.D) dan memiliki otoritas kepakaran (Profesorship) harus terus dipacu, yang melekat pada sistem penghargaan dan jenjang karier seorang akademisi. Dengan begitu, perguruan tinggi ke depan dapat melahirkan banyak Sumber Daya Manusia (SDM) unggul. Selanjutnya, integritas dan moral yang baik akan tercipta kalau para mahasiswa dan dosen idealnya dapat meneladani sifat-sifat kenabian. Misalnya, siddiq (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathonah (cerdas). Dengan begitu segenap sivitas akademika akan dapat mengimplementasikan nilai-nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan baik. Tri Dharma yang mencakup pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat. Saat ini ada fenomena menarik dan menggembirakan di berbagai daerah, yakni kecenderungan semakin tingginya semangat belajar generasi muda. Termasuk banyaknya karyawan yang bekerja sambil kuliah. Apapun motivasinya, ini bagus. Mereka menuntut ilmu di sela-sela tugas kantor yang menumpuk. Mereka dituntut mengatur waktu dengan sebaik-baiknya. Karena dunia mahasiswa tidak jauh dari tugas “menumpuk” yang diberikan dosen. Belum selesai tugas dosen yang satu, muncul lagi tugas dosen yang lain, dan semua tugas harus dikerjakan sesuai deadline. Selain soal manajemen waktu, tantangan lain bagi mereka yang bekerja sambil kuliah adalah masalah keuangan. Meraka harus berbagi dengan keluarga serta anak-anaknya yang umumnya juga sedang belajar. Sementara itu nasib dan hari depan suatu perguruan tinggi, baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS), dan baik yang berada di kota maupun di daerah sepenuhnya berada di tangan sivitas akademikanya sendiri. Untuk itu, kemampuan para pengelola perguruan tinggi dalam memanfaatkan peluang dan mengatasi berbagai kondisi lingkungannya akan sangat menentukan kemajuan perguruan tinggi yang bersangkutan. Kalangan sivitas akademika juga harus mengubah paradigma tentang perguruan tinggi. Selama ini hanya dianggap sebagai tempat mencari ilmu di ruangan perkuliahan. Harus berubah menjadi tempat berkarya dan pengejawantahan ilmu untuk memberikan manfaat atau nilai bagi lingkungannya. Perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta di manapun diharapkan dapat mendorong kemajuan masyarakat sebagai salah satu perwujudan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Selanjutnya, dalam upaya memajukan PTN maupun PTS perlu adanya otonomi yang lebih luas. Sementara itu tugas Rektorat adalah memberikan arahan, penguatan sistem dan budaya kerja. Juga memfasilitas fakultas dan program studi untuk berkembang dengan “stakeholders” (pemangku kepentingan) yang lebih luas. Sebagai contoh, Fakulats Ekonomi akan semakin lincah bergerak bila dapat memberi manfaat bagi industri dan asosiasinya melalui riset dan pengembangan yang difasilitasi Rektorat sebagai payung dan pengembang jejaring (networking). Salah satu wujud otonomi yang luas itu adalah kebebasan perguruan tinggi menyusun kurikulumnya sendiri dengan mempertimbangkan pasar di wilayah dimana perguruan tinggi tersebut berada. Tetapi perlu dicatat bahwa menurut Pasal 97 Ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan, kurikulum perguruan tinggi itu sendiri perlu dikembangkan dan dilaksanakan dengan berbasis kompetensi. Tidak dapat disangkal bahwa kunci kemajuan perguruan tinggi di mana pun akan lebih banyak ditentukan oleh manusianya sebagai sumberdaya utama, khususnya para dosen atau pengajarnya. Para dosen seyogyanya perlu terus belajar. Meskipun mereka telah mencapai gelar akademik tertinggi. Mereka harus merawat jejaring dengan lingkungan professional, yang dibekali akses informasi dan pengetahuan baru secara terus-menerus. Fasilitas belajar-mengajar yang dibutuhkan juga harus memadai. Termasuk ruangan untuk dosen, ruang laboratorium, dan sistem informasi (databasenya) dengan berbasis teknologi informasi. Lebih dari itu, jika direnungkan secara mendalam, jelas bahwa para dosen tidak cukup hanya perlu bekerja keras dan mempunyai kompetensi di bidangnya, tetapi yang lebih penting adalah harus memiliki integritas dan moral (akhlak) yang baik, sebab mereka adalah teladan bagi para mahasiswanya. Maka tepat apa yang pernah dikemukakan pemikir Islam terkemuka Imam Ghazali bahwa “Tidak akan sampai ke puncak kejayaan kecuali dengan kerja keras, dan tak akan sampai ke puncak keagungan kecuali dengan sopan santun (akhlak yang baik)”. Penulis adalah Guru SD Islam Nabilah dan Dosen Pascasarjana Universitas Batam.

Denny Serang Almira Yudhoyono, Siapa Kuasa dan Raksasanya?

By Rachlan Nasidik Jakarta FNN – Jum’at (08/05). Denny Siregar adalah pendukung fanatik Jokowi. Modal di kepalanya sebenarnya tidak banyak. Pengetahuan juga kurang. Logika lemah. Kritisisme apa lagi, sangat minus. Toh dia memiliki tempat terhormat di antara buzzer istana. Dianggap lebih pintar dari rata-rata mereka. Jadilah Denny Siregar ini buzzer Jokowi papan atas. Orang pintar hanya bisa membela dalam batas kepantasan. Orang bodoh bahkan tak tahu batas itu ada. Birds of a feather flocks together. Orang bodoh membela orang bodoh. Mungkin karena menjadi pintar, berarti tak mungkin menjadi fanatik. Tulisan-tulisan Denny bicara dua hal saja. Pertama, membenarkan Jokowi. Kedua, memperolok orang yang berpendirian berbeda. Tidak ada analisa yang serius atau apalagi jujur. Isinya cuma propaganda. Tapi dalam dunia buzzer, hal begitu biasa saja. Yang tidak biasa adalah Denny Siregar menjadikan anak kecil sebagai bahan untuk menyerang orang-tua si anak sendiri. Biasanya, Denny cuma murahan. Tapi kali ini, Denny keterlaluan. Dia menyerang Almira Yudhoyono, anak kelas 6 Sekalah Dasar, yang berumur 12 tahun. Dari namanya, dapat dipertalikan kalau Almira Yudhoyono adalah cucunya Presiden Indonesia ke-6 Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia putri semata wayang pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Anisa Pohan. Sampai di sini, anda mengerti kenapa Denny merendahkan anak kecil itu? Ya, Denny dikenal sebagai membenci keluarga Yudhoyono. Tapi sebagai buzzer Jokowi, apalagi tokohnya di papan atas, kebencian itu lumrah saja. Apalagi SBY adalah figur Presiden pembanding terdekat untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan Jokowi. Maka, SBY dan keluarganya tiap hari harus "dibunuh" agar Jokowi selalu cukup jelas kelihatan. Itu mereka lakukan sejak hari pertama di istana. Menjadi antitesa terhadap SBY, tadinya mungkin hanya strategi. Tapi lama-kelamaan berubah menjadi obsesi yang paling penting. Dan mereka terjebak di situ. Sebab, ternyata menjadi Presiden itu, butuh lebih dari memberi janji atau berfoto solo. Kembali ke serangan Denny. Yang tidak lumrah adalah, Almira diserang karena dia tumbuh menjadi anak yang berpikiran kritis, dan tidak takut menyatakan pendapatnya. Dia dididik di sekolahnya dalam praktek kebebasan akademis. Almira dicurigai karena dia pandai menulis dan berpendapat dalam bahasa Inggris. Almira juga disalahkan, karena ia tumbuh menjadi anak berprestasi. Denny Siregar menganggap, pada Almira semua itu adalah serangan politik kepada junjungannya Jokowi. Akibatnya, kebebasan akademis, pikiran kritis, kemampuan menulis dan bependapat dalam bahasa Inggris menjadi soal yang tabu. Entah, mungkin karena pada Jokowi satupun itu tak ada. Tapi kalau begitu, Denny seharusnya bukan cuma menyerang keluarga Yudhoyono. Toh, seorang anak tak mempunyai kebebasan apapun di dunia ini untuk minta dilahirkan sebagai anak siapa. Denny juga seharusnya menyerang sekolah Almira. Sebab Almira menulis opini itu, dalam bahasa Inggris yang bagus, untuk memenuhi tugas dari sekolahnya. Opini itu wajib dikemas ke dalam naskah pidato untuk dibacakan di hadapan Presiden. Almira memilih masalah lockdown sebagai tema tulisannya. Tentu, Almira tidak sungguh-sungguh akan berpidato di hadapan Presiden. Itu cuma seolah-olah. Hanya berlatih untuk berimajinasi. Hanya cara mendidik anak untuk berani berpendapat. Sekolah Almira mungkin terinspirasi oleh aktivitas Unicef. Denny Siregar pasti tak tahu bahwa badan PBB itu bersuara lantang di masa Pandemi Covid-19 ini. Mendesak agar setiap pemerintahan di dunia ini mendengar dan memperhitungkan suara anak-anak ke dalam kebijakan mitigasi pandemi. Di Inggris, Unicef mendorong anak-anak untuk menulis kepada pemerintahnya. Menulis tentang apa saja yang menjadi pendapat mereka. Juga harapan mereka dalam hidup yang sulit akibat pandemic ini. Denny Siregar tak tahu itu. Mungkin karena Unicef tak punya program yang sama untuk anak-anak di Indonesia. Mungkin Unicef tahu, mustahil melakukannya di Indonesia, tanpa membuat anak-anak dipandang menyerang pemerintah. Dan menjadi korban perundungan oleh buzzer pendukung fanatik Jokowi, seperti yang dilakukan Denny Siregar pada Almira Yudhoyono. Denny Siregar adalah lelaki dewasa dengan pikiran yang terbelakang dan sewenang-wenang. Bila ia juga seorang ayah, sungguh malang anak-anaknya. Tapi, siapa tahu, mungkin ia sendiri dibesarkan oleh orang tuanya yang berpikiran sama. Denny tidak percaya bahwa seorang anak, apalagi baru belasan tahun, mampu mengembangkan dan memiliki pikiran dan pendapat sendiri. Apalagi pikiran dan pendapat yang kritis. Denny terkaget-kaget, sehingga tak bisa menerima kenyataan kalau Almira Yudhoyono adalah anak kritits dan berani untuk mengemukakan berpendapat yang berbeda. Mungkin baginya, seorang anak, dari pada terlibat dalam pemikiran kritis, seharusnya cukup menghafal nama-nama, atau membaca komik-komik Sinchan. Tapi kalau begitu adanya, maka itu dalam sebuah ironi. Semoga saja Denny juga berani bilang kepada Jokowi bahwa, bacaan Presiden tak pantas kalau cuma komik anak-anak. Entah apakah dia tahu Greta Thurnberg. Aktivis Swedia yang bulan Januari tahun ini baru merayakan ulang tahunnya yang ke 17. Inilah remaja perempuan yang ditulis oleh majalah Time sebagai tokoh yang juga paling berpengaruh di dunia. Pada usia 15 tahun, Greta Thurnberg memimpin pemogokan siswa. Mereka menuntut para orang tua dan pemimpin dunia bersungguh-sungguh menyetop kerusakan iklim. Lalu dalam forum PBB, Greta Thurnberg sampaikan pendapatnya dengan kritis dan berani, kepada Presiden dan Perdana Menteri. Mungkin sadar telah memamerkan kesalahan, Denny lalu berusaha berkelit. Dia bilang tidak merundung Almira melainkan keluarganya dan Partai Demokrat. Tapi tak perlu seorang jenius guna melihat dengan jelas bahwa Denny mencurigai kecerdasan Almira. Dia menilai, pikiran dan kecerdasan Almira sebagai serangan politik pada kebijakan Jokowi. Bahkan menudingnya sebagai alat politik orang tuanya belaka. Denny Siregar menggunakan Almira sebagai alat untuk menyerang SBY dan orang tua Almira sendiri. Lucunya, dia membayangkan dirinya adalah David yang melawan Goliath. Dia melawan Partai Demokrat. Denny juga memilih menggiring publik pada persepsi palsu itu. Sebab dia tak mampu membayangkan dirinya merunduk, merendahkan diri, memohon maaf pada seorang anak bernama Almira. Sebab Denny tahu, di hadapan Almira, sesungguhnya dialah si kuat. Dialah raksasanya. Dialah kekuasaan yang kebal dan sewenang-wenang. Penulis adalah Politisi Parta Demokrat