PENDIDIKAN

SKB Tiga Menteri Soal Jilbab Bertentangan Dengan Pancasila & UUD 45

by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Tiga menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Menteri Agama, baru-baru ini mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) larangan sekolah negeri mewajibkan pemakain jilbab. Padahal urusan jilbab menjadi urusan pribadi siswa dan orangtuanya. Sekolah (baca : negara) tidak boleh ikut campur. Masa sih? Kebijakan SKB tiga menteri ini ditengarai dipenuhi dengan rasa “kebencian dan Islamphobia” yang sangat tinggi. Mengingatkan kita kembali pada era tahuan 1980-an. Ketika itu pemerintah Orde Baru membuat kebijakan tentang larangan berjilbab di sekolah negeri dan instansi pemerintah. Setelah 30 tahun, kejadian itu terulang kembali. Setback. Negara enam tahun terakhir ini sering mengintervensi kehidupan ummat beragama, khususnya ummat Islam. Padahal, Indonesia negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan negara menjamin kebebasan ummat beragama untuk melaksanakan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya (Pasal 29 UUD 1945). Jilbab termasuk dalam ajaran agama dan keyakinan tersebut. Belum lagi tujuan pendidikan nasional itu sangat mulia. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 menyebutkan “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Mulia sekarang rangkaian kali di UUD 1945 ahsil amandemen tersebut. Sementara menurut Pasal 31 ayat 5, masih dalam UUD 1945 menyebutkan, “pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Semakin mulia lagi kalau membacanya dengan baik pelan-pelan. Sedangkan menurut UU No 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini pesan dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Semakin tinggi kemuliaan itu. Dengan demikian, terbitnya SKB tiga menteri Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, dan Nomor 219 Tahun 2021 dapat dikategorikan sebagai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 Pasal 29 dan Pasal 31 serta UU No 20 tahun 2003. Oleh karenanya, SKB tiga menteri ini harus dicabut dan batal demi hukum dan keadilan sosial. Negara tidak boleh kalah oleh oknum tertentu, sehingga negara menjadi paradoks bila sudah berurusan dengan ummat Islam. Setidaknya dapat kita baca dalam enam tahun terakhir ini. Semakin brutal dan menjadi-jadi. Paradoks karena Islam dilarang masuk dalam urusan negara. Tetaapi negara sering mengobok-obok urusan ummat Islam. Jilbab dan kurikulum madrasah sebagai contoh nyata. Ummat Islam dilarang mengamalkan atribut keagamaan di sekolah. Sementara dana haji, zakat dan infaq, terakhir wakaf ummat Islam “diambil” oleh negara. Kalau uangnya umamat Islam, ternyata boleh diambil dan dipakai oleh negara. Namun ajarannya Ummat islam dilarang untuk dialaksanakan di sekolah-sekolah negeri dan instansi pemerintah. Ini aneh tapi nyata. Selain itu, ummat Islam yang konsisten dalam melaksanakan ajaran Islam diberikan predikat intoleran, radikalime dan ekstrimisme. Berjilbab dianggap sebagai intoleran. Padahal, setiap agama punya ciri khas masing-masing sesuai ajaran agamanya. Sedangkan kelompok Islam senang berada di garis bengkok dan menyimpang, sengaja dipelihara dan difasilitasi oleh negara. Bhinneka tunggal ika, berbeda-beda tetap satu. Artinya, negara menjamin perbedaan masing-masing agama dalam bingkai negara kesatuan yang bernama Republik Indonesia. Bukan berarti penyeragaman tradisi keagamaan dalam satu tradisi ke-Indonesia-an. Negara sering bertindak tidak adil terhadap ummat Islam. Wajar muncul anggapan kalau rezim sekarang seolah-olah mengadopsi politik belah bambu ala imperialis Belanda dulu. Islam yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam diangkat dan disanjung-sanjung. Sementara, Islam yang melaksanakan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam diinjak, diintimidasi dan dikriminalisasi. Negara oleh oknum yang berkuasa sekarang, seperti tidak punya iktikad baik terhadap ummat Islam. Seringkali “memerangi Islam garis lurus”. Wajar kalau Ummat Islam menduga ada konspirasi yang melibatkan partai merah, partai hijau dan PKI dalam wadah bernama “Nasakom Gaya Baru” yang sangat mewarnai perpolitikan hari ini. Penulis adalah Pegiat Dakwah dan Sosial.

USU Pasca-Pelantikan Rektor Muryanto Amin (Bagian-2)

by Prof. Dr. OK Saidin SH M.Hum Medan, FNN - Bila ditelusuri kata-perkata Permendiknas No. 17/2010 tentang pencehana plagiat di perguruan tinggi, tidak ditemukan istilah self-plagiarism. Pihak Kementerian dalam hal ini menempatkan bahwa peraturan tentang pencegahan plagiarisme di perguruan tinggi yang diatur oleh Permendiknas 17/2010 itu adalah dalam konteks etika penulisan, bukan dalam konteks etika publikasi. Peraturan tentang etika publikasi digariskan di dalam Peraturan Kepala (Perkep) LIPI No. 5 Tahun 2014 Tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah. Jadi, kalau boleh meminjam istilah Prof Tan Kamello, Permendiknas 17/2010 adalah norma (hukum) posistif untuk etika penulisan karya ilmiah. Sedangkan Perkep LIPI 5/2014 Tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah adalah norma (hukum) posistif untuk etika publikasi ilmiah. Inilah norma yang dijadikan landasan Komisi Etik (KE) bentukan Rektor USU dalam proses pengambilan keputusan dalam kasus dugaan plagiat yang dipersangkakan kepada Dr Muryanto Amin SSos MSi di samping tafsir tentang Pasal 2 ayat (1) Permendiknas 17/2010 tentang pencegahan plagiat di perguruan tinggi. Hasil Keputusan KE inilah yang kemudian digunakan Rektor USU sebagai dasar penjatuhan sanksi, ditambah unsur yang memberatkan. Sebab, yang bersangkutan di samping menjabat sebagai Dekan pada Fisipol USU, yang bersangkutan juga adalah Editor in Chief pada jurnal Politeia, di Fisip USU, Publisher Talenta USU, yang seharusnya sudah faham dan mengetahui tentang seluk beluk penerbitan naskah dalam jurnal atau publikasi ilmiah. Sanksi yang dijatuhkan oleh Rektor USU (periode 2016-2021) adalah sanksi pelanggaran etik, bukan sanksi pelanggaran hukum. Oleh karena itu, pandangan Prof Bismar (guru besar hukum USU) dan juga pandangan Prof Tan Kamello yang mengatakan hukum positif tentang hal itu tidak ada, sangat berbeda dengan pandangan Komisi Etik. Sekali lagi perbedaan pendapat itu adalah sebuah kewajaran dan itu adalah rahmat. Perdebatan dan kritik pun harus dibiarkan tumbuh sebagai sebuah dialektika. Tanpa kritik dan perdebatan, ilmu pengetahuan tidak akan tumbuh dan berkembang. Saya ingin mengakhiri perdebatan saya dengan Prof Tan Kamello. Bagi saya, adanya ketentuan etik publikasi ilmiah yang termuat dalam Perkep LIPI No. 5/2014 tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah, maka tidak ada lagi alasan bahwa hukum positif tidak ada mengatur tentang hal itu. (https://m.mediaIndonesiacom/nusantara/378221/prof-tan-kamello-hukum-positif-tidak-mengenal-selfplagiarism). Yang disebut terakhir ini adalah peraturan yang harus dijadikan rujukan baik oleh Editor in Chief, Editor (pengelola jurnal), maupun penulis dalam mempublikasikan karya ilmiahnya. Perkep LIPI ini, secara etik, mengikat setiap orang yang akan menerbitkan naskahnya. Sebagaimana diketahui, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) adalah lembaga yang mengelola International Serial Data System (ISDS). Jadi, LIPI adalah lembaga yang diberikan kewenangan oleh pemerintah untuk menerbitkan ISSN (International Standard Serial Number), yakni kode yang dipakai secara internasional untuk terbitan berkala. Oleh karena itu, sulit untuk mengatakan bahwa Dr Muryanto Amin SSos MSi tidak melanggar etika tentang publikasi ilmiah. Berdasarkan uraian di atas sulit juga untuk mengatakan Keputusan Rektor Nomor: 82/UN5.1R/SK/KPM/2021, tanggal 14 Januari 2021 tentang penjatuhan sanksi pelanggaran etik yang dilakukan oleh Dr Muryanto adalah keputusan yang keliru. Inti keputusan rektor itu adalah pelanggaran etika, kejujuran ilmiah. Perbuatan plagiat adalah perbuatan tidak jujur. Tapi, tidak semua perbuatan tidak jujur itu adalah plagiat. Di antaranya adalaf self-plagiarism, double publication, salami publication atau publikasi ganda. Inilah yang perlu kita cerna dengan hati yang lapang dan pikiran yang jernih. Lihatlah redaksi konsiderans Permendiknas 17/2010 tentang pencegahan plagiat di perguruan tinggi. Bagian "Menimbang" huruf a, b dan c sebagai berikut: (a)bahwa setiap perguruan tinggi mengemban misi untuk mencari, menemukan, mempertahankan, dan menjunjung tinggi kebenaran; (b)bahwa untuk memenuhi misi tersebut, mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan yang berkarya di bidang akademik di perguruan tinggi memiliki otonomi keilmuan dan kebebasan akademik; (c)bahwa dalam melaksanakan otonomi keilmuan dan kebebasan akademik, mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan wajib menjunjung tinggi kejujuran dan etika akademik, terutama larangan melakukan plagiat dalam menghasilkan karya ilmiah, sehingga kreativitas dalam bidang akademik dapat tumbuh dan berkembang. Ada sejumlah nilai sebagai landasan filosofis dalam konsiderans tersebut. Ada asas-asas hukum atau prinsip dasar yang tersembunyi di balik konsiderans tersebut yakni asas menjunjung tinggi kebenaran, otonomi keilmuan, kebebasan akademik, menjunjung tinggi kejujuran, dan etika akademik. Prinsip-prinsip itu merupakan landasan filosofis. Tujuannya adalah agar misi untuk mencari, menemukan, mempertahankan kebenaran akademik dapat tumbuh dan berkembang. Ketika peraturan tidak ada menyebut secara jelas namun peristiwanya ada terjadi, maka asas-asas hukum itu dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat hukum. Para ahli hukum dapat melakukan "penemuan hukum" atau rechtsvinding (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2002) Dalam kasus yang sudah diputus oleh Rektor USU, peristiwa itu ada dan sudah pernah terjadi. Tetapi, peraturan yang ada belum lengkap, belum spesifik menyebutkan tentang hal itu. Maka ketika kasus itu bergulir dan dipercayakan kepada Komisi Etik (KE) untuk memutuskannya, maka KE harus mencari dan menemukan hukumnya. Apalagi dalam Pasal 2 ayat (1) Permendiknas 17/2010 dikatakan bahwa perbuatan plagiat itu tidak dibatasi secara limitative. Artinya, ada perbuatan-perbuatan lain yang masuk dalam kategori plagiat. Agar upaya pencarian untuk menemukan hukum itu sempurna, KE juga menelusuri semua aturan terkait dengan publikasi ilmiah. KE kemudian menemukan Perkep LIPI 5/2014. Di sini, LIPI mengatur etika publikasi yang pada intinya para penulis, pengelola jurnal diharuskan untuk menjunjung tiga nilai etik dalam publikasi. Yaitu: 1)kenetralan, bebas dari pertentangan kepentingan dalam publikasi; 2)keadilan, yakni memberikan hak kepengarangan kepada yang yang berhak sebagai pengarang/penulis; dan 3)kejujuran, yakni bebas dari duplikasi, fabrikasi, falsifikasi, dan plagiarisme (DF2P) dalam publikasi. Ketentuan etik lebih lanjut yang dimuat di Bab V Kode Etika Pengarang Jurnal Ilmiah butir 5.2.1, pada pokoknya menyatakan bahwa pengarang harus membuat pernyataan bahwa karya tulis yang diserahkan untuk diterbitkan adalah asli, belum pernah dipublikasikan di mana pun dalam bahasa apa pun, dan tidak sedang dalam proses pengajuan ke penerbit.[] Penulis adalah Guru Besar Hukum USU, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (Periode Tahun 2017-2020 dan 2020-2023) dan Ketua Komisi Kelembagaan Akademik, Perencanaan dan Anggaran Senat Akademik Universitas Sumatera Utara (Periode Tahun 2020-2025)

USU Pasca-Pelantikan Rektor Muryanto Amin (Bagian 1)

by Prof. Dr. OK Saidin SH. M.Hum Medan, FNN - Pada 28 Januari 2021, Dr Muryanto Amin SSos MSi resmi dilantik oleh Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Sumatera Utara (USU) menjadi Rektor periode 2021-2026, melalui sidang secara Virtual. Pelantikan berlangsung di aula Kemendikbud di Jakarta secara daring dan luring, diiringi dengan pembacaan Surat Keputusan MWA, pengambilan sumpah jabatan dan pengalungan tanda jabatan yang dilakukan oleh Nizam (Dirjen Pendidikan Tinggi) mewakili Mentdikbud. Beberapa minggu sebelum pelantikan, menyeruak isu pelanggaran etik yang dilakukan oleh rektor Periode 2021-2026. Banyak pandangan dan pendapat yang bergulir. Saya sendiri “puasa bicara” baik di media cetak maupun di media on line. Alasannya, karena saya sendiri adalalah salah seorang anggota yang duduk di Komite Etik (KE) USU, yang memeriksa kasus ini. Saya tak mau bicara. Khawatir saya menjadi tidak obyektif. Dan kalau saya memberikan pendapat, pandangan saya bisa bias dan mempengaruhi anggota KE yang lain dalam mengambil keputusan. Hari ini, setelah pelantikan usai, apalagi setelah terbit Keputusan Mendikbud No. 6169/MPK.A/KP/2021 tentang Pencabutan Keputusan Rektor USU No. 82/UN5.1.2/SK/KPM/2021, saya terpanggil juga untuk bersuara. Alasannya, karena saya merasa terusik dengan Surat Keputusan Menteri itu. Saya adalah orang yang ikut bertanggung jawab dunia dan akhirat atas keputusan KE yang menjadi dasar Rektor menerbitkan keputusannya. Saya mengambil porsi untuk bicara dalam kapasitas saya sebagai guru besar Ilmu Hukum USU yang mendalami kajian Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) di samping posisi saya sebagai Ketua Komisi Kelembagaan Akademik, Perencanaan dan Anggaran Senat Akademik USU (Periode Tahun 2020-2025) dan sebagai Anggota KE yang memeriksa kasus dugaan plagiarisme Dr Muryanto Amin, SSos. Banyak sudah pandangan yang bergulir seputar isu plagiarisme yang dialamatkan kepada Dr Muryanto Amin, SSos MSi. Sebagian menyatakan tidak ada pelanggaran hukum dalam kasus itu, seperti yang dikemukakan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Prof Nizam. Walaupun beliau mengakui adanya plagiasi atas karya sendiri dan melakukan penerbitan ulang (www,tribunenews-com, 28/1/2021). Alasan yang dikemukakan oleh Dirjen Prof Nizam adalah karena term (istilah) tentang self-plagiarism (plagiasi diri sendiri atau swaplagiasi) tak dikenal dalam Permendiknas No. 17/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Yang ada adalah term plagiat, yakni mengambil karya orang lain yang diakui sebagai karyanya dengan tidak menyebutkan sumber secara memadai. Dirjen Dikti sendiri menyampaikan pandangannya setelah meminta Tim Independen dari UGM, UNDIP dan UNNES yang dibentuknya. Tetapi, hasil penelusuran Tim Independen itu tak pernah disampaikan kepada MWA hingga saat pelantikan. Pandangan yang sama dikemukanan oleh Prof Dr Bismar Nasution, SH MH. (www.rmolsumut-id) dan juga Prof Dr Tan Kamello, SH MS (m.mediaindonesia-com). Dua guru besar USU ini mengatakan tak ada hukum positif yang dilanggar. Pandangan lain masih dari kalangan guru besar USU, yakni Prof Dr Alvi Syahrin, SH MS yang mengatakan bahwa SK penjatuhan sanksi oleh Rektor USU tak cukup beralasan. Sebab, terdapat kesalahan prosedural dan administratif. Beliau juga mengatakan pembentukan Tim Penelusuran Melanggar Statuta USU (Tribun Medan-com, 21-01-2021). Ragam pendapat itu tentu harus kita hormati, semua punya argumentasinya sendiri-sendiri. Bahwa pelanggaran hukum berbeda dengan pelanggaran etik, semua kita sepakat. Begitu juga adab, moral, akhlak, kepatutan, kebiasaan adalah sumber etik; semua ahli hukum sepakat. Akan tetapi kalau mau dijadikan sebagai peraturan yang mengikat, etik itu harus dituangkan dalam bentuk norma ertik. Di sinilah perdebatannya. Karena ada ahli yang berpedapat etika dan moral tak perlu harus tertulis. Misalnya, larangan buang angin di meja makan tak perlu dituliskan, walaupun kalau ada orang buang angin saat sedang makan tak ada sanksi hukumnya. Pelanggaran Etik. Hukum dan Etik adalah dua hal ang berbeda. Kalau pelanggaran hukum terhadap pelaku plagiat akan diancam melalui UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sebagai tindak pidana, sedangkan pelanggaran etik akan dijatuhi sanksi etik. Perbedaan dalam menafsirkan norma itu juga yang membuat pihak Kementerian hanya memandang perbuatan plagiat melalui tafsir Pasal 1 Permendiknas No. 17/2010 tentang pencegahan plagiat di Perguruan Tinggi. Walaupun Pasal 2 mengatakan bahwa lingkup dan pelaku palgiat itu tidak dibatasi secara limitatif. Lengkapnya, redaksi Pasal 2 ayat (1) itu diawali dari kata-kata, "Plagiat meliputi tetapi tidak terbatas pada: a,b,c,d dan e". Artinya ada pelaku dan lingkup yang masuk dalam kategori perbuatan plagiat yang lain, yang dimaksud oleh Permendiknas No. 17/2010 itu. Peluang untuk adanya bentuk plagiasi yang lain selain yang dimaksud dalam Pasal 1 angka (1) dibuka oleh Pasal 2 ayat (1). Pernyataan terakhir ini pun menimbulkan perdebatan lagi. Karena Pasal 2 ayat (1) itu harus pula dibaca dalam konteks pasal 1 angka (1). Kalaupun ada perbuatan plagiat di luar apa yang dinyatakan oleh Pasal 2 ayat (1) harus juga dimaksudkan mengambil karya orang lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya. Di sinilah ranah perdebatannya. Terasalah bahwa memaknai norma hukum sesui dengan maksud pembuatnya tidaklah mudah. Itulah sebabnya membaca norma hukum itu harus disertai dengan penjelasannya dan bahkan memory van toelichting-nya. Kalau dalam hukum Islam harus dilihat ‘asbabun nuzul’-nya. Kasus self-plagiarism , double publication, salami publication atau publikasi ganda tidaklah terang benderang diatur dalam dalam Permendiknas 17/2010 dan bukan pula masuk dalam kualifikasi pelanggaran hukum. Akan tetapi, walaupun perbuatan self-plagiarism, double publication, salami publication atau publikasi ganda tida ada diatur dalam Permendiknas ini, norma tentang itu dapat ditemukan dalam praktek sehari-hari sebagai kebiasaan dan diterima sebagai etika dalam publikasi ilmiah. Bahkan telah dinormakan dalam Peraturan Kepala LIPI No. 5 Tahun 2014 tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah, tanggal 18 September 2014, yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No. 1385. Oleh karena itu semua kita yang berkecimpung di dunia akademik, khususnya dosen dan mahasiswa, harus memahami bahwa Permendiknas 17/2010 itu menyangkut tentang norma dan etika penulisan. Sedangkan Perkep LIPI No. 5/2014 itu menyangkut norma dan etika publikasi. Ini adalah dua hal yang berbeda. Inilah yang hendaknya harus dipahami secara bersama. Keduanya mengatur tentang etika ilmiah akademik. Yang satunya tentang etika penulisan, yang satu lagi tentang etika publikasi. Dalam kasus Dr Muryanto Amin SSos MSi, sekalipun tak dapat disebut pelanggaran etika penulisan yang diatur Permendiknas 17/2010, tetapi perbuatan itu termasuk pelanggaran etika publikasi yang ditaur Perkep LIPI 5/2014. Seharusnya tidak ada perdebatan di sini. Tetapi mengapa persoalannya menjadi menyeruak? Itu karena tidak semua kita bisa melihat dan mendudukkan persoalan ini secara jernih. Banyak di antara kita justeru berupaya untuk mencari "pembenaran" padahal yang dituntut dalam dunia akademik adalah "kebenaran". Ada aturan yang membatasi pengarang atau penulis dalam menulis, dan ada pula batasan yang diberikan kepada pengarang dalam hal mempublikasikan karya ciptanya. Etika untuk tidak melakukan perbuatan self-plagiarism, double publication, salami publication kemudian di terima oleh seluruh pengelola jurnal sebagai etika publikasi. Yang tidak hanya diikuti oleh pengelola jurnal di USU sendiri, tetapi juga seluruh perguruan tiunggi di Indonesia. Bahkan pihak kementerianpun menolak setiap usulan kenaikan pangkat para dosen yang dalam pengusulannya menggunakan artikel publikasi ganda atau double publication atau salami publication yang termasuk pada kategori self-plagiarism. Penolakan oleh Kementerrian itu bukan karena melanggar etika penulisan ilmiah, tetapi melanggar etika publikasi ilmiah. [Bersambung] Penulis adalah Guru Besar Hukum USU, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektuyal Indonesia (Periode Tahun 2017-2020 dan 2020-2023) dan Ketua Komisi Kelembagaan Akademik, Perencanaan dan Anggaran Senat Akademik Universitas Sumatera Utara (Periode Tahun 2020-2025).

Bersiap-siaplah, Muryanto Amin Akan Bawa USU Ke Puncak Prestasi

by Asyari Usman Medan, FNN - Universitas Sumetara Utara (USU) kelihatannya akan melakukan “quantum leap” (lompatan besar) dalam cara mahasiswa di semua strata menyelesaikan program perkuliahan. Yang tampaknya paling menonjol adalah kemudahan dalam pembuatan thesis, skripsi dan karya-karya ilmiah lainnya. Singkatnya, akan ada terobosan besar yang diciptakan oleh rektor yang baru dilantik, Dr Muryanto Amin. Beliau akan membawa USU menuju “kebebasan akademis” yang tidak pernah ada di mana pun juga. Betul-betul bebas. Dalam makna hakiki. Itulah kebebasan yang akan diperkenalkan oleh Muryanto Amin. Kebebasan hakiki itu adalah kebebasan tanpa batas etika akademis. Adab akademis tidak lagi menjadi rambu keilmuan. Begitu juga norma kejujuran akademis, tidak perlu lagi dijadikan acuan dalam penelitian dan penyusunan karya ilmiah. Ini standar baru yang bertujuan untuk meringankan mahasiwa dan dosen. Mengapa kebebasan hakiki itu akan diimplementasikan Muryanto? Karena beliau telah merasakan betapa beratnya proses purifikasi gagasan ilmiah dalam bentuk yang ada saat ini. Sampai-sampai beliau dinyatakan oleh Rektor USU periode 2016-2021 telah melakukan ‘self plagiarism’ (otoplagiasi) secara sengaja dan berulang. Padahal, Muryanto hanya melakukan tindakan efisiensi akademis untuk mempercepat penyusunan dan penerbitan karya ilmiah. Dia telah mencontohkan cara yang praktis untuk mendapatkan angka kredit. Cara Muryanto itu mendapatkan apresiasi dari negara. Dia akhirnya bisa melepaskan diri dari predikat otoplagiasi. Mendikbud Nadiem Anwar Makarim mencabut SK Rektor No. 82/UN5.1.R/SK/KPM/2021 yang dianggap mendiskreditkan Muryanto. Sekarang, dia dinyatakan bersih. Tak lagi memikul dosa akademis. Semua dosa itu ditanggung oleh Mendikbud sebagai “juru selamat”. Muryanto pastilah tidak ingin pengalaman yang traumatis ini dirasakan orang lain. Karena itu, perlu ada simplifikasi dalam pembuatan karya tulis ilmiah. USU harus menjadi Univesitas Simpel Urusan. Para mahasiswa akan diberi kebebasan hakiki. Agar bisa membangun loyalitas akademis.Tidak terus-menerus dihantui oleh proses rafinasi ilmiah yang “torturing” (menyiksa) itu. Loyalitas yang akan dirangsang oleh Muryanto adalah ketaatan mahasiswa dan dosen pada karya-karya akademis yang sudah pernah terbit. Dalam arti, karya-karya tulis yang sudah ada dalam lingkup sesuatu subjek akademis, akan dipertahankan dan dilestarikan. Ini bisa dilakukan antara lain dengan cara menerbitkan ulang karya-karya ilmiah itu untuk berbagai tujuan. Bisa untuk kenaikan pangkat, jabatan struktural, dll. Para mahasiswa dan dosen tentunya diminta bijak dalam menerapkan prinsip taat karya ilmiah itu agar tidak menimbulkan “curiosity” (keingintahuan) publik. Dalam tataran praktis, itu artinya berhati-hatilah memilih tempat untuk menerbitkan ulang karya-karya ilmiah yang sudah dipublikasikan di tempat lain. Yang penting, harus selalu cermat dan penuh siasat sebagaimana dicontohkan oleh Muryanto yang kemudian mendapatkan pengakuan dari Mendikbud. Para mahasiswa dan dosen diminta agar memastikan bahwa penerbit memiliki reputasi sebagai pengelola jurnal yang memudahkan, bukan menyulitkan. Kalau iklim akademis konvesional masih belum kondusif untuk penerbitan ulang (multiple publications) karya ilmiah, maka para mahasiswa dan dosen bisa melakukan semacam “propitious adjustment” (penyesuaian yang bijaksana). Ini termasuk perubahan minor yang dilakukan agar loyalitas akademis tidak terlalu mencolok. Diperkirakan, Muryanto akan menjadikan USU sebagai satu-satunya universitas di dunia yang akan mendorong loyalitas akademis itu. Ini akan sangat menguntungkan mahasiswa dan dosen yang tak punya waktu untuk meneliti dan menulis. Dalam bahasa Rocky Gerung, Muryanto akan memprakarsai pertumbuhan ilmu gaya baru, yaitu tumbuh ke bawah. Pertumbuhan yang mengikuti grafik minus. Bukan tumbuh kembang, tetapi tumbuh kuncup. Apakah ini akan menjadi masalah? Belum tentu. Berikanlah ruang dan waktu kepada Muryanto untuk bereksperimen di USU. Bukankah Mendikbud dengan tegas mendukung cara-cara Muryanto “mengembangkan” ilmunya? Tenanglah Anda semua. Percayakan seluruhnya pada Muryanto. Dia akan membawa USU ke puncak prestasi. USU akan menjadi Unik-Simpel-Ujug-ujug. Unik, satu-satunya di dunia. Simpel: cukup copy paste saja. Ujug-ujug: Anda bisa menjadi apa saja, kapan saja.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Rektor Baru USU Harus Rehabilitasi Dua Dosen Yang Pernah Divonis Otoplagiasi

by Asyari Usman Medan, FNN - Pelantikan Muryanto Amin sebagai rektor USU belum lama ini menyertakan konsekuensi. Sekarang, dia harus mencabut dua keputusan rektor yang mengukuhkan perbuatan otoplagiasi (self plagiarism) atas dua dosen USU di masa lalu. Tidak hanya mencabut keputusan itu, Rektor Muryanto Amin harus merehabilitasi nama baik kedua dosen tsb. Dia juga wajib memberikan kompensasi material dan non-material akibat predikat otoplagiasi. Yang pertama adalah Dr Maulida ST MSc, pengajar Fakultas Teknik. Pada 2013, dia dinyatakan berbuat plagiasi berdasarkan SK Rektor USU No. 30/UN5.1.R/SK/SDM/2013 tanggal 15 Januari 2013. Hukuman untuk Maulida cukup berat. Selain tidak boleh mendapatkan promosi, dia juga tidak bolehkan diusulkan menjadi guru besar (profesor) di USU maupun di luar, tanpa batas waktu. Yang kedua adalah Drs Arifin Lubis MM Ak, pengajar Fakultas Ekonomi Bisnis. Pada 2015, dia dinyatakan bersalah melakukan otoplagiasi berdasarkan SK Rektor USU No. 149/UN5.1.R/SK/SDM/2015 tanggal 2 Februari 2015. Dia dihukum penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun. Mengapa rektor baru USU harus mencabut kedua SK Rektor di atas ini? Tidak lain karena Kemendikbud telah mengabaikan SK Rektor USU (2016-2021) No. 82/UN5.1.R/SK/KPM/2021 tanggal 14 Januari 2021 yang menyatakan bahwa Muryanto Amin (rektor 2021-2026) telah dengan sah dan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan otoplagiasi. Kedua dosen USU yang disebutkan di atas (Dr Maulida ST MSc dan Drs Arifin Lubis MM Ak) dijatuhi hukuman atas desakan dari Kemendikbud waktu itu. Hari ini, Kemendikbud malah menganulir keputusan Rektor USU (2016-2021) yang menyatakan Muryanto Amin terbukti melakukan otoplagiasi. Kepada kedua staf pengajar ini harus diberikan kompensasi. Mereka menderita kerugian material dan non-material yang disebabkan keputusan yang tidak seharusnya ditimpakan kepada mereka jika berpedoman pada kasus Muryanto. Kemendikbud harus bertanggung jawab atas kedua keputusan masa lalu itu yang hari ini dibuktikan keliru total. Kenapa ada tanggung jawab Kemendikbud? Karena, kata para dosen USU, kedua surat keputusan otoplagiasi 2013 dan 2015 itu diterbitkan atas desakan Kementerian. Jika nama baik kedua dosen itu tidak dipulihkan dan tidak ada kompensasi, berarti Rektor Muryanto Amin melakukan “moral crime” (kejahatan moral) yang sangat tak pantas dilakukan oleh seorang pimpinan lembaga keilmuan yang berbasis kejujuran dan keadilan. Kedua dosen yang dihukum otoplagiasi di masa lalu itu bisa melancarkan gugatan kalau Rektor USU dan Kemendikbud tidak segera memulihkan nama baik mereka. Sebagai langkah awal, kedua dosen tsb bisa melayangkan somasi yang berisi tuntutan permintaan maaf secara terbuka di sejumlah media cetak dan media elektronik.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Guru Bukan Ban Serep di Bidang Pendidikan

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Langkah pemerintah meniadakan rekrutmen formasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk guru, dan diganti dengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), perlu ditinjau kembali. Selain memperpanjang status yang terkatung-katung kepada para tenaga pendidik, keputusan tersebut juga mencederai rasa keadilan. Bagaimana tidak, nyaris satu juta tenaga honorer telah berdiri dalam antrean penantian panjang untuk meraih kesejahteraan. Bahkan ada yang tiga puluh tahun menekuni profesi, mendidik generasi penerus negeri ini. Mengabdi dengan ikhlas. Namun statusnya tidak berubah. Masih tetap sebagai tenaga honorer yang minim perhatian negara. Bukan status itu yang digugat. Tetapi apresiasi dan keberpihakan negara. Bayangkan, para guru honorer ada yang gajian pertiga bulan. Jumlahnya pun sangat kurang memadai. Bahkan cenderung tidak manusiawi. Bagaimana mungkin, sosok-sosok yang terdepan dalam membangun bangsa ini, digaji Rp. 100.000 per bulan? Dengan desakan kebutuhan dan harga-harga yang semakin melambung, nominal tersebut sangat jauh dari kata layak. Data dan fakta tersebut dapat dengan mudah kita temukan di lapangan. Bahkan menjadi satu aspirasi yang disampaikan oleh forum guru yang tergabung dalam Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Non Kategori Usia 35 ke Atas (GTKHNK 35+) yang baru-baru ini beraudiensi dengan saya selaku Senator dan Anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang membidani sektor pendidikan. Padahal aspirasi soal penetapan status dan kesejahteraan ini sudah puluhan tahun disampaikan. Pergantian menteri dan pergantian pejabat di lingkup Kemendikbud, hingga pemerintah pusat, belum ada satupun yang bertindak konkret. Sebaliknya, harapan demi harapan terus ditumpuk. Gimik kebijakan seolah menunjukkan keberpihakan. Faktanya, masih jauh panggang dari api. Adapun soal kualitas yang selalu dipertanyakan oleh pemerintah, apakah memang sudah ada upaya untuk meningkatkan kualitas para tenaga pendidik honorer kita? Apa langkah konkret negara dalam hal ini? Sementara persoalan mendasar seperti pemenuhan standar gaji yang layak saja, tidak dipenuhi. Tak ayal, keputusan yang ditetapkan pemerintah untuk tidak menerima PNS bagi guru pada tahun 2021 ini, bagai mimpi buruk di siang hari. Harapan menikmati kesejahteraan semakin jauh dari kenyataan. Padahal pada kesempatan yang sama, pemerintah juga mengakui membutuhkan satu juta guru baru. Namun ada kesan seolah menghindari para guru honorer ini untuk diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Misalnya terlihat dari peralihan menjadi rekrutmen PPPK atau abdi negara berstatus kontrak. Lagi-lagi, ini hanya menjadi semacam fatamorgana dari aspirasi yang sudah jelas-jelas disampaikan oleh para guru dan berbagai elemen pendidikan soal dorongan untuk mengangkat para tenaga honorer sebagai ASN. Argumentasi yang sayup-sayup kita dengar, juga dirasakan oleh para tenaga honorer adalah mereka dipandang tidak relevan. Para guru yang umumnya senior dan sudah lama mengabdi ini, semacam dianggap tidak qualified untuk menjadi tenaga pendidik di era kekinian. Era teknologi informasi dimana kebutuhan tenaga pendidik dituntut untuk adaptif dengan perkembangan zaman. Pandangan itu, seolah mengubur akumulasi jasa dan kontribusi yang sudah lama jadi sumbangsih mereka. Padahal, para guru honorer ini bisa dilatih untuk kemudian melalui proses assesment agar kualifikasinya tetap relevan. Memberikan pelatihan bagi insan pendidik yang sudah punya dasar yang matang ditambah pengalaman panjang berkecimpung di kelas-kelas, tentu jauh lebih efektif. Berbeda misalnya dengan rekrutmen tenaga pendidik yang betul-betul baru. Proses ini yang tampaknya coba dilompati oleh pemerintah dengan legitimasi berbagai keputusan dan kebijakan yang ditempuh. Termasuk meniadakan rekrutmen ASN guru yang digantikan dengan PPPK, dengan dalih ini bagian dari proses mensejahterakan guru. Pertanyaanya, jika bisa dilakukan secara langsung, kenapa harus dibuat proses berbelit-belit yang terkesan diada-adakan? Lagi pula, tuntutan mengangkat tenaga honorer sebagai ASN merupakan aspirasi yang sudah disuarakan puluhan tahun. Pada saat yang sama, sekali lagi, pemerintah memang membutuhkan satu juta tenaga pendidik baru. Lantas mengapa para guru honorer ini tidak langsung ditetapkan saja sebagai ASN sebagaimana tuntutan rekan-rekan guru tersebut? Perlu dicatat, bahwa Guru bukan ban serep. Para tenaga pendidik bukan komponen cadangan di bidang pendidikan. Tetapi merupakan organ elementer dalam sistem pendidikan kita. Guru adalah bagian dari proses pendidikan yang berjalan berkesinambungan. Memperlakukan para guru seperti tenaga kerja sebagai faktor produksi dengan status kontrak, mencederai rasa kemanusiaan. Demikian juga membatasi usia guru untuk diberi peluang sebagai ASN, sama perihnya. Menegasi apresiasi yang mestinya diterima oleh para guru. Lalu bagaimana mungkin bangsa ini bisa maju, jika muncul pikiran-pikiran dan kebijakan diskirminatif seperti itu kepada guru? Saya selaku anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, mendorong DPD secara kelembagaan agar mendesak pemerintah untuk segera ada pengangkatan para tenaga honorer sebagai ASN. Diikuti proses assesment untuk meningkatkan kompetensi para tenaga pendidik kita. Selain itu, proses apresiasi kepada para honorer ini, juga tidak boleh diklasifikasi dan diskriminatif. Termasuk menolak adanya pembatasan usia. Penulis adalah Senator Komite III Bidang Pendidikan DPD RI.

Begini Temuan Tim Investigasi USU Soal Otoplagiasi Dr Muryanto Amin

by Asyari Usman Medan, FNN - Kemendikbud akhirnya memaksakan pelantikan Dr Muryanto Amin menjadi rektor USU. Pelantikan dilakukan oleh ketua Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Sumetera Utara (USU) pada 28 Januari 2021 di kantor Kemendikbud, Jakarta. Plt Sekjen Kemendikbud Ainun Na’im (bukan sekjen penuh, karena sudah lewat usia penisun) mengatakan Muryanto bersih dari tuduhan plagiasi. Ainun beralasan otoplagiasi (self-plagiarism) tidak diatur di dalam UU. Yang diatur hanya plagiasi karya orang lain. Rektor USU pendahulu Muryanto mengeluarkan keputusan tertanggal 14 Januari 2021, nomor 82/UN5.1R/SK/KPM/2021, yang menetapkan bahwa Muryanto terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan otoplagiasi (self-plagiarism). Berikut ini cerita lengkap otoplagiasi yang dilakukan Muryanto berdasarkan temuan Komite Etik USU (SK No. 55/UN5.1.KE/SK/KPM/2021). Rektor menyatakan dalam keputusannya bahwa Muryanto melakukan perbuatan self-plagiarism (otoplagiasi) dengan sengaja dan berulang. Muryanto dinyatakan pula terbukti melanggar etika keilmuan. Tim penelusuran yang dibentuk oleh Rektor Prof Dr Runtung Sitepu diketuai oleh pakar kepustakaan USU, Dr Jonner Hasugian. Tim menemukan empat (4) dari 5 (lima) karya tulis Muryanto Amin mengandung unsur similaritas (kemiripan) yang sangat tinggi. Ada yang sampai 90% konten plagiatnya. Otoplagiasi ini dilakukan antara 2014 sampai 2018. Dr Muryanto menulis disertasi pada Juni 2013 di Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) dengan judul “Kekuasaan dan Politik Lokal (Studi tentang Peran Pemuda Pancasila dalam Mendukung Syamsul Arifin dan Gatot Pudjonugroho sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara Periode 2008-2013). Tim investigasi Komite Etik USU menemukan bahwa tesis ini menjadi sumber utama karya tulis Muryanto yang berjudul “Relasi Jaringan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Gubernur Sumetara Utara” yang diterbitkan oleh Jurnal Komunitas pada Maret 2014. Setelah dilakukan pengujian dengan aplikasi Turnitin untuk mengetahui tingkat kemiripan antara tesis dan karya tulis terbitan jurnal itu, didapat angka 79%. Kemudian, hasil uji ini diuji lagi dengan aplikasi Plagiarism Checker X. Hasilnya, kemiripan mencapai 90%. Berdasarkan penghitungan manual, ditemukan 108 kalimat utuh yang tertera di kedua karya tulis Muryanto itu. Sekitar 3.5 tahun kemudian, Agustus 2017, Muryanto menulis artikel yang diterbitkan di jurnal The Social Sciences (12/8) dengan judul berbahasa Inggris “A New Patronage Networks of Pemuda Pancasila in Governor Election of North Sumatra Year 2013”. Tim penyelidik menemukan artikel ini merupakan terjemahan dari tulisan yang berjudul “Relasi Jaringan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara” yang terbit di Jurnal Komunitas pada Maret 2014. Yang berubah hanyalah nama tokoh calon gubernur. Hasil telaah tim mendapati Muryanto tidak menjelaskan bahwa artikel “A New Patronage of Pemuda Pancasila in Governor Election of North Sumatera Year 2013” berasal dari “Relasi Jaringan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara”. Di sini, tim Komite Etik menyimpulkan telah terjadi publikasi jamak dan plagiasi gagasan yang dinilai sebagai pelanggaran etika keilmuan dan integritas moral. Otoplagiasi Dr Muryanto Amin berlanjut. Artikel “A New Patronage Networks of Pemuda Pancasila in Governor Election of North Sumatera” yang diterbitkan pada September 2017 di jurnal Man in India (97/18), sangat mirip dengan tulisan “A New Patronage Networks of Pemuda Pancasila in Governor Election of North Sumatera Year 2013” yang terbit di The Social Sciences (12/8) edisi Agustus 2017. Menurut tim investigasi, tingkat similaritas (kemiripan) kedua artikel ini sangat tinggi. Dapat disebut sebagai ‘self plagiarism’ (otoplagiasi). Artikel yang diterbitkan di jurnal Man in India (97/18) edisi September 2017 tidak menyebutkan artikel terdahulu sebagai sumber. Ini berarti pelanggaran etika keilmuan dan integritas moral. Aspek lain adalah hak cipta (copy right). Dalam hal ini, jurnal The Social Sciences memiliki hak cipta dimaksud. Dua artikel yang sangat mirip diterbitkan di dua jurnal yang berbeda. Hasil uji dengan aplikasi Plagiarism Checker X menunjukkan tingkat kemiripan kedua tulisan ini mencapai 88%. Penghitungan manual mendapati 146 kalimat utuh yang tertera di kedua artikel tersebut. Berdasarkan kriteria Anjungan Integritas Akademik Indonesia (Anjani), tingkat penyimpangan ini termasuk kategori berat. Otoplagiasi itu masih berlanjut. Artikel Muryanto yang berjudul “New Patronage Networks of Pemuda Pancasila in Governor Election of North Sumatera In 2013” yang terbit di International Journal of Scientific Research and Management (IJSRM, 06/01), edisi Januari 2018, dengan penulis bersama (co-authors) Sismudjito dan Ameilia Zuliyanti Siregar, sama dengan publikasi yang bersangkuatan dengan judul “A New Patronage Networks of Pemuda Pancasila in Governor Election of North Sumatera Year 2013” yang dimuat jurnal The Social Sciences (12/8) edisi Agustus 2017. Perbedaannya hanya pada daftar bibliografi (pustaka). Setelah diperiksa dengan aplikasi Plagiarism Checker X, ditemukan tingkat kemiripan kedua artikel ini sebesar 91%. Penghitungan manual menunjukkan 187 kalimat utuh yang tercantum di dalam kedua artikel tersebut. Sesuai kriteria Anjani, penyimpangan plagiasi ini masuk kategori berat. Menurut tim investigasi, tanpa menggunakan aplikasi Turnitin pun, artikel yang terbit di The Social Sciences 2017 dapat dilihat memiliki tingkat kemiripan yang tinggi dengan artikel yang dimuat IJSRM 2018. Jadi, artikel dengan judul yang mirip itu terbit di tiga jurnal, yaitu The Social Sciences (Agustus 2017), Man in India (September 2017), dan International Jurnal of Scientific Research and Management (IJSRM, Januari 2018). Pelanggaran serius etika keilmuan. Juga pelanggaran hak cipta (copy right) dua kali. Karena tak ditemukan izin dari penerbit pertama dan penerbit kedua untuk penerbitan ketiga. Menurut tim investigasi, ada temuan lain yang kelihatannya bermotif pengelabuan. Yaitu, artikel pertama dan kedua mencantumkan nama Muryanto sebagai penulis tunggal. Tetapi, artikel yang ketiga menyertakan dua nama co-author (penulis bersama) seperti disebutkan di atas. Diduga, pencantuman kedua nama co-author itu bertujuan agar artikel terlihat berbeda. Inilah temuan tim investigasi yang dibentuk Rektor USU untuk kasus otoplagiasi Muryanto Amin. Semua temuan ini sekarang dinegasikan oleh Kemendikbud c.q. Plt Sekjen Ainun Na’im. Muryanto Amin sendiri menyampaikan pembelaan yang lumayan panjang. Intinya, dia mengatakan penerbitan dua artikel yang mirip di dua jurnal (The Social Sciences dan IJSRM) terjadi karena kelalaian editor di kedua jurnal tsb. Dia telah mencoba untuk menarik kedua tulisan itu, tetapi tak berhasil. Muryanto menambahkan kedua artikel yang diterbitkan The Social Sciences dan IJSRM tidak pernah digunakannya untuk keperluan apa pun. Muryanto membantah melakukan otoplagiasi. Argumentasi yang ia pegang adalah istilah ‘otoplagiasi’ (self-plagiarism) yang tidak dikenal di dunia akademis.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Apa Dasar Kemendikbud Nyatakan Muryanto Amin Bersih dari Plagiat?

by Asyari Usman Medan, FNN - Tiba-tiba saja sore tadi, 27 Januari 2021, Kemendikbud mengeluarkan pernyataan bahwa Muryanto Amin, rektor terpilih, bersih dari vonis plagiat sesuai keputusan Rektor USU No. 82/UN.5.1.R/SK/KPM/2021 tertanggal 14 Januari 2021. Klaim Muryanto sudah bersih ini sangat tidak jelas asal-usulnya. Seperti dilaporkan oleh media daring kaldera-id, Plt Sekjen Kemendikbud Ainun Na’im mengklaim bahwa Kementerian sudah mereview (menijau kembali ) persoalan di USU. Dan hasilnya sudah diserahkan juga ke Masjelis Wali Amanat (MWA) USU. Berita kaldera-id ini terasa mentah. Tampak penulis berita tidak mendapatkan konten yang ditulisnya langsung dari Ainun Na’im. Contohnya adalah kutipan langsung di badan berita seperti berikut ini. [[“Hasilnya, Keputusan Rektor USU tanggal 14 Januari 2021 yang menghukum Muryanto Amin karena self plagiarism, cacat prosedur dan substansi,” kata sumber mengutip Ainun Na’im, Rabu (27/1/2021).]] Media online kaldera-id mendengar kutipan ini dari orang lain. Tidak dari Ainun Na’im langsung. Lebih lanjut, kaldera-id menulis: [[Sehingga surat keputusan Rektor USU Nomor: 82/UN.5.1.R/SK/KPM/2021 Tentang Penetapan Sanksi Pelanggaran Norma, Etika Akademik/Etika Keilmuan Dan Moral Sivitas Akademika Atas Nama Muryanto Amin, itu dapat dilakukan pencabutan.]] Ainin Na’im mengatakan, Rektor USU Prof Runtung Sitepu punya dua pilihan. Dia mencabut keputusannya atau Kemendikbud yang mencabut. Ainum mengancam, kalau Kementerian yang mencabut berarti ada pelanggaran. Runtung bisa diperiksa. Ada berita lain sebagai pembanding, yaitu MediaIndonesia-com (MI). Media daring ini cukup ‘agresif’ dan ‘highly motivated’ (bermotivasi tinggi). MI menulis: [[SEKRETARIS Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ainun Naim menyatakan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) terpilih Muryanto Amin tidak terbukti melakukan plagiat. Karenanya, Muryanto dapat segera dilantik. Ainun Naim yang juga Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) mengutarakan keputusan tersebut diambil setelah pihaknya membentuk tim independen di luar USU yang terdiri para profesor dan para ahli dari berbagai universitas.]] Nah, ini yang menarik. Kapan Ainun membentuk tim independen itu? Mana surat keputusan pembentukan tim ini? Siapa-siapa saja yang berasal dari berbagai universitas itu? Kapan mereka bekerja? Mana laporan penyelidikan (review) mereka? Deretan pertanyaan di atas harus dijawab dulu oleh Ainun Na’im. Sebab, untuk mencabut keputusan Rektur USU tentang otoplagiasi Muryanto Amin tidak diambil secara serampangan. Runtung membentuk tim investigasi dengan surat keputusan. Tim bekerja sesuai surat keputusan itu. Perosonel tim jelas. Temuan tim sangat ‘clear’ dan detail. Mata rantai kerja tim berjalan dengan mekanisme yang baku. Tim menyampaikan laporan ke Rektor. Rektor menyampaikannya ke Komite Etik dan selanjutnya ke Dewa Guru Besar. Semua sesuai prosedur. Bukan cacat prosedur seperti dikatakan oleh Ainun Na’im. Kalau pun Ainun Na’im memaksa Runtung mencabut keputusan itu, itu tidak bisa dilakukan begitu saja. Runtung harus membentuk tim kembali. Menelusuri pekerjaan yang telah dilakukan tim pertama secara lengkap dan tuntas. Pencabutan keputusan tidak bisa dengan lisan saja. Karena semua proses yang dilakukan oleh tim investigasi berdasarkan perintah tertulis Rektor. Ainun Na’im tidak mungkin tak paham soal ini. Yang mungkin adalah bahwa dia ingin memaksakan pelantikan Muryanto Amin pada 28 Januari 2021. Tapi itu tidak bisa dilakukan selagi keputusan Rektor yang mengukuhkan otoplagiasi Muryanto berlaku. Para anggota MWA menekankan bahwa pelantikan tidak boleh dilaksanakan sebelum masalah ini diselesaikan sesuai prosedur yang berlaku.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Ini USU Bung, Plagiator Dikasih Hadiah

by Asyari Usman Medan, FNN - Dr Anggito Abimanyu mengundurkan diri dari Universitas Gadjah Mada (UGM) hanya gara-gara beberapa paragraf yang dia plagiasi dari tulisan orang lain. Anggito mengaku silap dan meminta maaf. Tapi, Dewan Etik UGM tetap memproses tuduhan plagiat. Anggito paham konsekuensi plagiasi. Karena itu, pernyataan pengunduran dirinya dihiasi dengan kata-kata yang mengakui kehinaan plagiasi. Dan dia sadar plagiasi hanya pantas dijatuhi “hukuman mati akademik”. “Demi mempertahankan kredibilitas UGM dengan nilai-nilai kejujuran, integritas dan tanggung jawab akademik, saya mengundurkan diri,” kata Anggito pada 17 Februari 2014. Dan ini dia ucapkan hanya seminggu setelah artikel yang “berdosa kecil” itu dimuat di harian Kompas edisi 10 Februari 2014. Yang dijiplak Anggito hanya artikel untuk kolom opini. Tidak perlu lama-lama Anggito menunda eksekusi “hukuman mati akademik” itu. Tanggal 10 melakukan plagiasi, tanggal 17 menjalani hukuman berat itu. Anggito paham bahwa plagiasi yang dia lakukan mencoreng UGM. Dan membebani universitas dan semua civitas akademika. Dia tahu apa yang harus lakukan. Anggito spontan menyesali perbuatannya. Kemudian meminta maaf kepada publik, UGM dan korban plagiasi. Anggito merasa dirinya tak lagi memiliki kredibiltas di dunia akademik. Tetapi, karena tidak bertele-tele dalam bereaksi, Anggito masih tetap bisa berkiprah. Dia malah diangkat menjadi direktur jenderal di salah satu kementerian. Perlahan, dia memulihkan kepercayaan publik. Itu teladan di UGM. Di Universitas Sumatera Utara (USU), kelihatannya plagiasi dianggap bukan masalah. Dr Muryanto Amin, misalnya, melakukan plagiasi karya sendiri alias otoplagiasi yang berulang dan sengaja, malah dikasih hadiah. Dia dianggap sebagai pahlawan. Entah kenapa. Muryanto tetap akan dilantik menjadi rektor USU. Majelis Wali Amanat (MWA) USU kelihatannya lebih kecut menghadapi “tekanan atas” ketimbang desakan untuk menegakkan adab akademik dan integritas keilmuan. Ada yang mengatakan, Ketua MWA Dr Kumala Kartini Pandjaitan Sjahrir punya anak yang duduk sebagai komisaris Bursa Efek Indonesia (BEI). Boleh jadi Bu Kartini boleh khawatir teradap posisi Pandu Patria Sjahrir. Ibu Ketua MWA ini pada mulanya sangat keras. Dia mengatakan, dia akan mundur kalau Muryanto Amin dipaksakan menjadi rektor USU. Dahsyat, bukan? Cuma, Bu Kartini meungkin sudah lama melanglang buana di luar Medan. Beliau bisa jadi lupa bahwa pameo “Ini Medan, Bung” juga berlaku untuk lingkungan USU. “Ini USU Bung, Plagiator Dikasih Hadiah.” Harap diingat, pimpinan USU telah berusaha sekuat tenaga untuk menegakkan martabat akademik univeritas ini. Namun, Rektor USU Prof Runtung Sitepu tak mampu menghadapi kekuatan proplagiator.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Seharusnya Muryanto Amin Diselidiki Dulu Otoplagiasinya, Bukan Dilantik

by Asyari Usman Medan, FNN - Kehancuran dunia akademik, khususnya Universitas Sumatera Utara (USU) akan segera dimulai. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kelihatannya akan memaksakan pelantikan otoplagiator, Dr Muryanto Amin, menjadi rektor USU. Dia terpilih pada 3 Desember 2020. Namun, setelah pemilihan, warga masyarakat melaporkan dugaan ‘self-plagiarism’ (otoplagiasi) yang dilakukan oleh Muryanto. Dalam arti, Muryanto mendaur-ulang karya tulisnya sendiri untuk diterbitkan di beberapa jurnal. Tim investigasi yang dibentuk oleh Rektor menemukan tuduhan otoplagiasi itu. Empat (4) dari lima (5) karya tulis Muryanto mengandung konten yang masuk kategori otoplagiasi dengan tingkat similiaritas (kemiripan) antara 80% sampai 90%. Menyusul temuan tim penyelidik, Rektor USU Prof Runtung Sitepu, mengeluarkan surat keputusan yang mengukuhkan temuan otoplagiasi itu. Rektor juga menjatuhkan sanksi terhadap Muryanto. Rektor terpilih ini tidak boleh naik pangkat selama setahun dan harus mengembalikan uang insentif yang diberikan untuk tulisan yang diterbitkan oleh jurnal Man in India edisi September 2017. Merespons keputusan Rektor, Kemendikbud pada 21 Januari 2021 mengatakan pihaknya membentuk tim khusus untuk mendalami otoplagiasi itu dan keputusan Rektor. Tetapi, kenyataannya, tim yang dibentuk itu tidak pernah turun. Para pemerhati berpendapat, tim khusus Kemendikbud itu hanyalah basa-basi saja. Supaya kelihatan Menteri memberikan perhatian. Yang terjadi, kata para pengamat itu, para petinggi Kemendikbud ditekan oleh pihak yang menghendaki Muryanto Amin segera dilantik. Seperti diketahui umum, Muryanto adalah salah seorang yang sangat dekat dengan Bobby Nasution –walikota Medan terpilih. Para guru besar senior USU mempertanyakan mengapa tim khusus yang dibentuk Kemenikbud tidak menunaikan tugasnya. Kemudian, mengapa Plt Sekjen Kemendikbud, Ainun Na’im, langsung mengeluarkan surat perintah kepada Majelis Wali Amanat (MWA) USU agar melaksanakan pelantikan Muryanto. Banyak yang menduga ada tekanan kekuasaan dari orang kuat yang dekat dengan Muryanto. Kalau bukan tekanan kekuasaan, tidak mungkin Kemendikbud mendesakkan pelantikan seorang otoplagiator menjadi rektor. Hari Rabu, 27 Januari 2021, Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Sumetara Utara (USU) akan menggelar sidang penting. Salah satu acara sidang virtual ini adalah membahas pelaksanaan pelantikan Muryanto di Jakarta pada 28 Januari 2021 di gedung Kemendikbud. Seharusnya, kalau MWA tidak yakin dengan sanksi Rektor, mereka bisa membentuk tim penyelidik untuk mempelajari keputusan Rektor dan juga investigasi tim Komite Etik. Tidak langsung melantik orang yang sedang dikenai sanksi. Kalau pendalaman tim MWA menemukan sanksi Rektor keliru, silakan rehabilitasi nama baik Muryanto Amin. Mendikbud tidak bisa melangkahi Rektor. Sebab, Peraturan Pemerintah No. 16/2014 tentang Statuta USU menegaskan bahwa MWA adalah organ tertinggi Universitas. Tetapi, beginilah negara ini dijalankan. Semua bisa dianulir oleh pemegang kekuasaan.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.