PENDIDIKAN

Covid-19 Memicu Great Reset Dunia Pendidikan

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Dalam sejarah umat manusia, belum ada peristiwa yang bisa memicu perubahan dalam berbagai spektrum kehidupan secara radika, kecuali pandemi Covid-19. Penularan virus mematikan itu, telah memaksa kita melakukan banyak penyesuaian dan adaptasi. Meninggalkan sesuatu yang lama. Bahkan mengadopsi hal-hal baru. Bagaimana misalnya, kita yang terbiasa bekerja harus datang ke kantor, setor muka, dan mengisi absensi, kini beralih dengan bekerja dari rumah (WFH). Demikian juga di sektor layanan medis, konsultasi dengan dokter secara jarak jauh (telemedis) telah menjadi tren baru. Perubahan pola dan kebiasaan, juga terjadi di sektor pendidikan. Sekolah jarak jauh, pembelajaran daring, teleedukasi, virtual learning, webinar. Itulah berbagai jenis kegiatan pendidikan yang baru kita kenal dalam satu tahun terakhir. Namun diadopsi secara masif. Semua perubahan perilaku, pola dan kebiasaan yang dipicu oleh pandemi Covid-19 itu terakumulasi dalam satu gelombang great reset. Istilah great reset ini, diintroduksi oleh World Economic Forum yang bermarkas di Swiss. Perubahan tatanan secara besar-besaran dan terjadi sangat mendasar. Covid-19, telah memicu great reset di sektor pendidikan. Great reset, semestinya memacu kita bergerak cepat. Beradaptasi secara gesit. Sehingga tidak ketinggalan dan terlindas oleh gemuruh pandemi Covid-19. Dalam hal ini, negara semestinya telah membuat rancangan bangun arah bangsa di era great reset. Namun apa yang terjadi di Indonesia setelah setahun Covid-19. Saat guru dan murid di Indonesia masih harus tatap muka secara virtual, di daerah asal Virus Covid 19 di Wuhan Cina sana, sekolah telah dimulai sejak Agustus 2020. Di provinsi lain Negeri China, sekolah tatap muka bahkan telah dimulai jauh sebelum Agustus. Begitu juga dengan Jepang, Norwegia, Australia, dan beberapa negara lainnya. Setahun berlalu, kita masih jalan di tempat. Disebut begitu, karena belum ada titik terang sekolah tatap muka bakal dimulai kapan. Target atau agenda dari Departemen pendidikan pun belum terdengar lagi. Sebelumnya, sekolah diagendakan buka Januari 2021 lalu. Namun rencana itu dianulir. Pembatalan itu harus dilakukan karena Covid-19 tak kunjung dapat terkendali. Belakangan, kasus positif malah semakin mencemaskan. Kementerian Kesehatan mensinyalir tahun ini jumlah kasus Covid-19 bakal mencapai 1,7 juta. Sementara mantan Wakil Presiden RI HM Jusuf Kalla memprediksi lebih tinggi lagi. Menurutnya, angka kasus covid-19 dapat menembus dua juta kasus pada April 2021. Ironisnya, bila kita mengamati ribut-ribut pembicaraan di ruang publik. Isu yang sering diperdebatkan justru soal-soal di luar urusan Covid-19. Kalau bukan politik, ya, sentimen sosial-keagamaan. Tengok misalnya, isu kudeta Partai Demokrat atau kicauan rasis seorang netizen yang menghangat baru-baru ini. Isu tentang Covid-19 sendiri mulai jarang menjadi headline news. Begitu pula dengan perbincangan tentang dunia pendidikan di tengah pandemi. Isu pendidikan sempat menjadi perbincangan hangat publik. Namun, tema yang diperdebatkan justru soal aturan pemakaian jilbab di sekolah. Sungguh, energi bangsa ini banyak terkuras pada hal-hal yang seharusnya tidak perlu. Dalam konteks membangun kewaspadaan terhadap virus, soal-soal itu justru berpotensi menjauhkan alam bawah sadar kita kepada gurita pandemi Covid-19. Seringnya fokus perhatian terhadap pandemi ditelikung oleh isu-isu lain yang menguat, barangkali tak banyak di antara kita yang menyadari bahwa negeri ini telah menorehkan tiga rekor buruk Covid-19 dalam dua bulan terakhir. Sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang menembus satu juta kasus. Sebagai negara nomor satu di Asia dengan tingkat kematian akibat Covid-19 terbanyak. Sebagai negara nomor satu di Asia dan nomor tiga di dunia dengan jumlah dokter yang wafat terbanyak. Tapi sudahlah, sembari memperketat protokol kesehatan diri dan keluarga, kita percayakan saja penanggulangan Covid-19 kepada Pemerintah dan Satgas Penanganan Covid-19 serta aparat terkait lainnya. Kita doakan mereka yang diamanahi mengembang tugas mulia itu dapat segera merumuskan formulasi penanganan Covid-19 yang tepat dan efektif. Kendala dan Dampak Kecendrungan perkembangan Covid-19 membawa kita pada kesimpulan, bahwa sekolah virtual masih akan berlangsung lama. Kondisi ini sangat disayangkan. Karena proses belajar-mengajar daring nyatanya tidak efektif, atau setidaknya belum menemukan titik ideal. Itulah akibat keterlamabatan pemerintah memberikan respons secara ilmiah terhadap pandemi ini. Disebut demikian, karena pertama, survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan, sebanyak 43 persen pelajar mengeluhkan kuota, sebanyak 29 persen tidak memiliki alat seperti telepon pintar atau komputer, dan yang tidak terkendala oleh keduanya hanya 16 persen. Survei itu dirilis Agustus 2020. Artinya, enam bulan pertama pelaksanaan sekolah virtual, sebagian besar pelajar masih terkendala teknis. Pertanyaannya, jika kendalanya saja demikian, bagaimana kita akan mendiskusikan efektivitas belajar-mengajar virtual? Kedua, survei KPAI yang dirilis 3 Januari 2021 menemukan, sebanyak 57 persen siswa mengaku kesulitan menerima materi pelajaran melalui virtual. Sebanyak 87 persen siswa menginginkan pembelajaran tatap muka secara langsung. Kesulitan proses belajar mengajar semakin dirasakan ketika pelajaran praktikum tidak mungkin dilakukan virtual. Sejumlah kendala di atas menunjukkan problem mendasar dalam dunia pendidikan kita di masa pandemi. Belum lagi berbicara dampak turunan lainnya. Dampak derivatif dimaksud adalah, pertama, belajar mengajar virtual secara tak langsung mengarahkan keakraban anak remaja dengan gadget. Mereka dirumahkan, jauh dari pergaulan sosial sesungguhnya. Alhasil media sosial berpotensi besar menjadi alternatif komunikasi sekaligus ruang sosial baru yang menyenangkan. Facebook, Twitter, Instagram, bukan hal baru bagi pelajar saat ini. Di beranda media sosial, anak-anak bisa menemukan informasi sarat kebajikan. Tetapi dengan mudah pula tersodori bacaan penuh hasutan. Fakta seringkali beradu pengaruh dengan hoax, ditambah sampah kata-kata dan kata-kata sampah yang tak henti lalu-lalang di linimasa media sosial. Kedua, potensi lost generation atau generasi yang hilang. Istilah lost generation muncul kali pertama untuk menggambarkan situasi yang terjadi setelah pasca Perang Dunia I di tahun 1920 silam. Dalam konteks dunia tanpa perang, generasi bangsa dapat "hilang" bila pendidikan tercerabut dari diri generasi bangsa, termasuk bila pembelajaran berkualitas kita biarkan terus menerus terjadi tanpa merumuskan konsep lanjutan yang lebih efektif. Lost generation harus mendapat perhatian secara serius. Terlebih karena lost generation tidak semata faktor kegagalan pencapaian pembelajaran yang berkualitas, tetapi juga bersinggungan dengan pengaruh faktor ekonomi. Kita tahu, situasi ekonomi bangsa sedang sulit. Pandemi telah menyebabkan banyak orang tua siswa yang kehilangan sumber pendapatan Desember 2020, Badan PBB untuk anak-anak (UNICEF) telah memberikan indikasi kuat adanya potensi itu. UNICEF menemukan, sebanyak 938 anak Indonesia putus sekolah karena kendala biaya sebagai imbas kemerosotan kemampuan ekonomi akibat pandemi. Sebanyak 75 persen di antaranya tidak bisa lagi melanjutkan pendidikan secara permanen karena orang tua putus pekerjaan. Problem pandemi bagi dunia pendidikan memang cukup kompleks. Pasalnya, akar persoalan tidak murni sebatas relasi dunia pendidikan dengan situasi wabah. Keadaan ekonomi nasional, kehidupan sosial bangsa, dan bahkan keberpihakan politik atau kebijakan negara menjadi faktor penentu pula. Hal lain, sistem pendidikan nasional kita tidak dibangun untuk mengantisipasi situasi wabah, khususnya pandemi yang berkepanjangan seperti saat ini. Akibatnya, konsep penyesuaian metode belajar-mengajar pada keadaan darurat dirumuskan bersamaan dengan situasi darurat itu sendiri. Langkah ini tentu membuka peluang kekurangan di sana-sini. Peran Pemuda Dalam situasi yang demikian kompleks itu, bagaimana peran pemuda dan remaja? Diskusi kita hari ini adalah contoh terbaik kreativitas pemuda dan remaja yang tergabung dalam Himpunan Pelajar Muslim Indonesia (HILMI). Kegiatan HILMI menjadi bukti bahwa anak muda dapat berpartisipasi aktif mendukung upaya penanggulangan pandemi dan krisis akibat pandemi secara intelek melalui diskusi. Ini bagus karena diskusi adalah tradisi intelektual yang harus terus berkecamuk. Peran pemuda sejatinya memang harus dominan dalam lalu-lalang gagasan. Dalam konteks pandemi, partisipasi kaum muda juga dibutuhkan dalam menyebarkan informasi akurat mengenai Covid-19, mengatasi mitos dan stigma yang berkembang, mengawasi hoax, dan seterusnya. Perubahan jaman telah mengantar kita kepada revolusi industry 4.0. Penguasaan kaum muda pada penggunaan teknologi informasi seperti internet, dapat dijadikan pintu masuk menemukan cara-cara baru dan inovatif untuk berkomunikasi dengan pemerintah, media massa, lembaga legislatif, dan lain-lain. Gunakan saluran itu menyampaikan saran dan kritik secara elegan. Juga, maksimalkan media sosial. Kita tahu, media sosial dijejali dengan akun-akun antagonis. Sejukkan dan warnailah dengan ghirah yang menggelora. Saling mengingatkan dalam situasi pandemi adalah langkah nyata pemuda membantu negara. Saya menaruh harapan besar kepada HILMI. Para pelajar yang tergabung dalam organisasi ini semoga dapat mengambil kunci harakah yang berbeda dari pemuda lain. Dua kata kunci dalam akronim HILMI harus dijiwai dengan serius, "pelajar" dan "muslim". Resapi dan camkan maknanya di sepanjang jalan perjuangan menuju cita-cita. Bahwa hari ini situasi pandemi mengharuskan pelajar menempuh pendidikan secara virtual, itu adalah tantangan yang harus dijawab. Lawan rasa malas, berdiskusilah guna membantu guru menemukan ide terbaik mendongrak efektivitas proses pembelajaran daring. Pada akhirnya, pupuk bagi mekarnya pelajar adalah pendidik. Bagaimanapun, keberhasilan proses belajar-mengajar virtual akan sangat bergantung pada kreativitas dan kemampuan guru dalam berinovasi dan berimprovisasi. Tentu termasuk membangun komunikasi dengan orang tua siswa, misalnya melalui Whatsapp grup atau aplikasi lainnya. Di tengah situasi yang serba virtual ini, menjadi penting bagi para pegiat pendidikan memikirkan langah-langkah alternatif yang dipandang dapat mengatrol efektivitas belajar-mengajar daring. Sifatnya bisa berupa terobosan pribadi guru atau kebijakan internal sekolah. Jika pun ada yang ingin diusulkan dan diperjuangkan di tingkat nasional, saya selaku Anggota Komite III DPD RI siap mendukung. Penulis adalah Anggota Komite III DPD RI.

Bubarkan Dan Hukum Itu GAR ITB

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN- Mahfud MD bukan seorang pengamat yang hanya dipandang untuk opininya. Tetapi Mahfud adalah Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam). Pejabat kompeten untuk melakukan "judgement" situasi politik dan keamanan negara. Termasuk menilai profil figur Prof. Dr. Din Syamsuddin MA, apakah radikal atau tidak? Pernyataan Mahfud tentang Prof. Din Syamsudin berbahaya atau tidak bagi bangsa dan negara. Tentu saja pernyataan yang tidak asal-asalan keluar. Juga pernyatan yang tidak asal bunyi dan bacot semata. Namun pernyataan yang didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman pribadi Mahfud, maupun sejabagai pejabat negara yang berkompeten di bidangnya. Pernyataan penting dari Pak Mahfud adalah bahwa Din Syamsuddin bukan atau tidak radikal. Ini mematahkan upaya Gerakan Anti Radikal (GAR) alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) yang melaporkan Din Syamsuddin sebagai figur yang radikal kepada Komite Aparatur Sipil Negara (KASN). Laporan yang membuat keluarga besar Mummadiyah marah dan bereaksi. Muhammadiyah adalah Organisasi Kemasyaratan Kegamaan tertua di negeri ini. Lebih tua dari Nahdlatul Ulama (NU) beberapa tahun. Muhammadiyah lahir 18 November 1912 di Yogyakarta. Sedangkan NU lahir 13 Januari 1026. Wajar saja warga Muhammadiyah bekerasi keras. Karena Prof. Din Syamsudin pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Di tengah penentangan banyak pihak atas langkah GAR ITB ini, pernyataan Mahfud MD cukup menjadi jawaban. Laporan itu harus segera dimasukkan ke dalam keranjang sampah. Saatnya GAR ITB menuai badai. Karena organisasi ini mengatasnamakan alumni ITB, maka GAR telah mencemarkan institusi ITB. Karenanya pasca penegasan Menkopolhukam terhadap pribadi Prof Din Syamsuddin, konsekuensi terhadap GAR dan laporannya adalah : Pertama, sanksi moral harus diberikan, yaitu GAR ITB mesti mencabut laporan KASN dan meminta maaf kepada Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA. Berjanji untuk kepada publik dan ketelebagaan ITB untuk tidak lagi mengulangi kerjap-kerja yang tendensius dan berbau fitnah seperti ini Karena bukannya berdampak positif untuk isntitusi ITB, tetapi malah mendowngrade ITB. Kedua, sanksi sosial harus diberikan kepada organisasi GAR ITB , yakni desakan atau himbauan ITB agar GAR dibubarkan karena terbukti berulang kali mencemarkan nama baik institusi ITB. Pembubaran adalah konsekuensi logis dan pelajaran yang sangat berharga. Tujuannya, agar ke depan GAR tidak lagi digunakan sebagai alat untuk kepentingan politik sesaat. Ketiga, sanksi politik yaitu GAR ITB diusut tentang pendanaan dan perlindungan "kakak pembina" karena memperlihatkan diri sebagai buzzer kekuasaan. GAR bukan bagian dari institusi ITB, tetapi menjadi alat mainan "luar" untuk mengacak-acak ITB. GAR bukan kumpulan akademisi tetapi gerombolan politik yang berkedok sebagai alumni ITB. Keempat, sanksi hukum. GAR ITB yang telah mencemarkan nama baik Prof. Din Syamsuddin, sehingga layak untuk diadukan ke aparat penegak hukum atas delik pelanggaran hukum yang telah diperbuat. Pelanggaran tersebut diatur dalam KUHP dan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (ITE). Disamping gugatan perdata yang juga dapat diajukan ke Pengadilan Negeri. Kelima, sanksi agama. Reaksi MUI, Muhammadiyah, dan NU dalam pembelaan kepada Din Syamsuddin mengindikasi ada misi keagamaan tertentu untuk memfitnah dan mendiskreditkan seorang tokoh Islam. Din Syamsuddin adalah tokoh Islam tingkat Nasional dan Internasional. Penyelidikan lanjutan diperlukan untuk membuktikan ada tidaknya "serangan keagamaan". GAR ITB telah membuat gara-gara dan kegaduhan di lingkungan akademis. Jika dibiarkan tanpa sanksi, dikhawatirkan GAR ITB akan terus bergerak merajalela menunaikan misi mengacak-acak harmoni dengan prasangka, hoaks, dan hate speech yang lebih jauh akan merusak ideologi bangsa. Kini hanya tiga kata untuk GAR ITB sang perusak harmoni, yaitu bubarkan, kucilkan, dan hukum ! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

USU Pasca-Pelantikan Rektor Muryanto Amin (Bagian-4, Penutup)

by Prof. Dr. OK Saidin SH. M.Hum Medan, FNN - Di bagian ke-3, telah dijelaskan bahwa term (istilah) ‘self-plagiarism’ itu ada. Disimpulkan pula bahwa USU akan menghadapi masalah besar ke depan di bawah pimpinan Dr Muryanto Amin. Di bagian ke-4 sekaligus penutup ini, saya coba untuk menelusuri akar masalahnya. Apa yang salah dalam pengelolaan sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Mengapa ilmu penegetahuan tak tumbuh dan tidak berkembang. Sebenarnya Menteri Nadim Anwar Makarim telah menemukan jawabannya, yakni kampus harus diberi ruang gerak ke arah yang lebih merdeka. Tercetuslah ide Kampus Merdeka-Merdeka Belajar. Akan tetapi benarkah kampus saat ini merdeka, jika dihubungkan dengan sistuasi yang sedang dihadapi USU hari ini? Ada nilai-nilai insaniah sebagai nilai universal yang tergerus dalam penanganan kasus konkrit yang dihadapi oleh USU hari ini. Yakni nilai kejujuran dan nilai keterbukaan. Selama nilai-nilai ini diabaikan, maka selama itu pula ilmu pengetahuan tak dapat tumbuh dan berkembang. Plagiat adalah perbuatan mengambil karya orang lain, dan itu adalah perbuatan tidak jujur. Tapi tidak semua perbuatan tidak jujur itu adalah plagiat. Perbuatan Self-plagiarism, double publication, atau salami publication, atau publikasi ganda adalah perbuatan tidak jujur. Perbuatan itu adalah salah satu bentuk dari pelanggaran etika akademik. Siapa pun dan kemana pun ditanyakan tentang hal itu, mereka yang jujur akan memberikan kesimpulkan dan pandangan yang sama. Nilai itu universal. Buktinya universal, hari ini terbetik ide dari Kementerian untuk menyempurnakan Permendiknas 17/2010 tentang pencegahan encegahan plagiat di perguruan tinggi (Dewi Nurita, Eko Ari Wibowo, Tempo-co, Jumat, 29 Januari 2021). Artinya pihak Kementerian menyadari ada kesalahan dan ada kekurangan dalam peraturan ini. Di luar dugaan, Kementerian Agama jauh lebih maju karena lebih rinci mengatur tentang perbuatan plagiat yang memasukkan istilah self-plagiarism (plagiat karya sendiri). Akar masalah yang lain adalah, masuknya unsur politis dalam tiap kali pelaksanaan pemilihan rektor. Hal ini tidak dapat dihindari selama Kementerian dalam pemilihan rektor porsinya 35 %. Akibatnya tiap lima tahun sekali kampus menjadi "terbelah". Habis energi dan waktu rektor untuk menyatukan kembali situasi yang sudah terbelah itu. Kadang-kadang sampai satu atau dua tahun dan bahkan sampai berakhir periode kepemimpinannya. Suasana batin para pihak yang bertikai dipenuhi oleh rasa kebencian yang tak berujung. Padahal, mereka sama-sama dosen dan kolega. Ini tentu menjadi bahan masukan dan renungan bagi pemerintah di tengah kumandang Kampus Merdeka-Merdeka Belajar. Hendaknya yang dimerdekakan dahulu adalah para sivitas akademikanya. Kalau suara Kementerian dalam pemilihan rektor tetap 35 %, itu artinya tiap 5 tahun sekali para calon rektor mencari calon anggota MWA wakil masyarakat yang dekat dengan kekuasaan yang nanti diharapkan akan menempatkan suara 35 % itu di pihaknya. Faktor masuknya unsur politik dan berbagai intervensi tak dapat terhindarkan lagi. Oleh karena itu, kaum intelektual kampus perlu memikirkan agar pemilihan rektor itu kembali ditentukan oleh MWA dengan sistem one man one vote. Pihak Kementerian tetap memiliki satu suara sama dengan suara Gubernur. Demikian juga, mereka yang duduk di eksekutif seperti rektor dan dekan tidak boleh rangkap jabatan di MWA. Jika telah duduk di MWA yang bersangkutan harus melepaskan jabatannya di eksekutif. Logikanya, tidaklah cocok orang yang harus diawasi duduk sebagai pengawas. Faktor-faktor ini sangat kental dalam menciptakan suasana tak nyaman di kampus. Carut-marut di USU hari ini bisa jadi dipicu oleh faktor-faktor itu. Pelantikan Muryanto Amin sebagai rektor USU seharusnya bisa mengakhiri perdebatan panjang seandianya saja MWA dan Kemendikbud memenuhi rekomendasi hasil rapat MWA 15 Januari 2021. Kementerian diminta membuat klarifikasi soal Surat Keputusan Rektor USU tentang penjatuhan sanksi pelanggaran etika yang dilakukan oleh Muryanto. Tapi itu tidak dilakukan. Pihak Kementerian hanya mengeluarkan surat No 4607/MPK.A/RHS/KP/21, tentang pelantikan rektor periode 2021- 2026. Padahal, ada agenda lain pada rapat tanggal 15 Januari 2021, yaitu mendengarkan penjelasan Rektor USU 2016-2021 tentang kasus plagiat yang dilakukan Muryant. Pada agenda itu, berdasarkan penjelasan Sekretaris MWA, Prof Guslihan Dasacipta, sudah disepakati bahwa akan ada klarifikasi dari tim independen untuk menjernihkan kasus itu. Agar Rektor yan dilantik memiliki kredibilitas dan justifikasi dan telah memenuhi persyaratan formal dan materil untuk memangku jabatan rektor. Akan tetapi sangat disayangkan pihak Kementerian tidak pernah menyampaikan hasil kerja iim independen bentukan Kemendikbud. Tak pernah ada penjelasan, tentang masukan dan keluhan masyarakat. Tak pernah juga ada penjelasan lebih lanjut mengenai rangkaian due process of law yaitu proses hukum yang adil yang dilakukan oleh Tim Independen. Tiba-tiba pihak Kementerian meminta dilaksanakan pelantikan segera. Inilah yang beberapa hari berikutnya memicu banyak perdebatan. Belakangan, beberapa jam setelah pelantikan baru muncul pernyataan Prof Nizam (Dirjen Dikti) yang menegaskan bahwa Muryanto Amin tidak lakukan plagiasi. Berselang tiga hari pasca pelantikan beredar informasi bahwa menteri sudah mencabut keputusan Rektor USU terkait plagiat Muryanto. Surat itu bertanggal 27 Januari 2021 yang ditandatangani oleh Nadiem Anwar Makarim. Akan tetapi, Dirjen Dikti Kemendikbud dalam klarifikasi 28 Januari 2021 tak menjelaskan bahwa sudah terbit surat Menteri yang membatalkan keputusan Rektor USU mengenai penjatuhan sanksi terhadap Muryanto. Bahkan undangan pelantikan rektor periode 2021-2026 itu sudah beredar, sebelum tanggal pencabutan atau pembatalan surat keputusan rektor USU tersebut. Artinya pelantikan itu tidak didasarkan sama sekali pada surat Menteri yang telah membatalkan atau mencabut surat rektor USU tersebut. Kementerian Dikbud "kecolongan" dan gagal menyiasati serta mendudukkan kasus ini dalam kerangka hukum dan kerangka kerja administrasi yang bersih di lingkungan kementeriannya. Rekan-rekan di USU menyampaikan diksi yang tak sedap didengar. Kemendikbud sepertinya menaburkan abu di mata publik, dengan pesan seolah-olah pelantikan rektor periode 2021-2026 telah memiliki legitimasi hukum yang kuat. Tentu anggapan ini tak boleh dibiarkan liar. Harus ada juga klarifikasi dari pihak Kementerian, jika kita ingin menegakkan marwah dan wibawa Kementerian. Tak ada salahnya MWA menggelar rapat sekali lagi pasca pelantikan rektor. Tapi itu harus dilakukan dengan kepala dingin dan hati yang jernih. Semua sivitas akademika USU harus mengakui dengan hati yang lapang bahwa USU sudah memiliki pucuk pimpinan yang secara hukum mempunyai kewenangan yang sah untuk bertindak dan berbuat sesuai tugas dan fungsinya sebagai Rektor. Tak ada yang boleh dan yang bisa menyalahkan Muryanto, sebab beliau sudah memenuhi semua rangkaian proses untuk duduk sampai ke puncak jabatan itu. Beliau sudah mengikuti rangkaian proses mulai dari pencalonan sampai pada pemilihan. Setelah terplih menyeruak kasus self-plagiarism yang dipersangkakan padanya. Muryanto pun mengikuti semua proses terkait penyelesaian peristiwa itu. Mulai dari memberikan pembelaan di depan Sidang Komisi I DGB sampai pada memberikan keterangan dalam rangkai pemeriksaan pada Komisi Etik. Rektor pun telah menerbitkan Keputusan, karena itu rektor pun tak bisa dipersalahkan. Rektor telah menegakkan aturan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan USU. Sebab jika Rektor tidak melakukan itu, Rektor juga dapat dijatuhi sanksi hukum. Dewan Guru Besar dan Komisi Etik juga tidak dapat dipersalahkan, mereka telah menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai aturan yang berlaku di lingkungan USU. Kalaupun ada pihak yang harus kita minta pertanggung jawabannya hari ini, maka pertanggungjawaban itu ada pada: Pertama, Majelis Wali Amanat (MWA) USU. Seberapa jauh badan ini menjalankan amanah rakyat dalam menyikapi dan menangani kasus ini? Apakah MWA dalam menjalankan tugas dan fungsinya sudah sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku di lingkungan USU sebagai PTN Badan Hukum? Kedua, Mendikbud. Pertanyaannya sama. Seberapa jauh lembaga ini menjalankan tugas dan fungsi dalam menyikapi dan menangani kasus ini? Apakah pihak Kemendikbud dalam menjalankan tugas dan fungsinya sudah sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku di lingkungan USU sebagai PTN Badan Hukum? Jawaban atas pertanyaan itu ada pada kedua institusi ini dan itu akan menentukan jalannya USU ke depan. Upaya yang dapat dilakukan adalah melalui upaya hukum. Hasilnya bisa digunakan untuk menyembuhkan siapa yang terluka dalam waktu singkat. Atau justeru keduanya memperpanjang luka, bahkan bisa menambah luka baru. Tak ada yang bisa memperkirakan USU ke depan akan jadi seperti apa. Oleh karena itu mungkin ada jalan tengah, jalan rekonsiliasi. Kita kubur semua persoalan, kita buka lembaran baru. Caranya kita benahi kembali apa yang keliru dan tersilap. Hukum tertinggi adalah hati nurani dan kebenaran Ilahiyah. Jika Tuhan dapat memaafkan hambanya, dan Presiden-pun bisa memberikan ampunan terhadap rakyatnya yang diatuhi hukuman, mengapa kita tidak. Satu-satunya upaya yang dapat dilakukan adalah semua pihak terkait, MWA, Guru Besar, Senat Akademik dan Tokoh-Tokoh Pemersatu dan Tokoh Senior di USU duduk bersama secara informal. Cari jalan penyelesaian yang arif dengan penuh kebijaksanaan. Yang pekak kita minta menghembus lesung, yang tuli kita minta menembakkan meriam. Jadikan semuanya berguna dan hargai semua potensi akademik yang kita miliki. Persoalan hukum yang menanti di depan, jika diselesaikan melalui pengadilan bukanlah solusi yang baik. Hukum mungkin bisa memberi rasa kepastian, tapi tak bisa memulihkan keadaan yang telah tercabik-cabik. Tapi dengan duduk bersama akan bisa dihapuskan dan dihilangkan hal-hal yang mendera perasaan selama "pertarungan" ini dengan satu kata yakni "ma'af". Bukankah hukum tertinggi adalah hati nurani? Dengan hati nurani kita hargai Keputusan Rektor tentang penjatuhan sanksi, agar tidak terulang kejadian yang sama. Toch Keputusan Rektor hanya menjatuhkan sanksi etik, yang bisa dihapus dengan kata ma'af. Dengan begitu Rektor dan Komisi Etik tidak kehilangan "muka". Mungkin pertanyaannya, mengapa tidak Rektor saja yang mencabut Keputusannya? Rektor yang menerbitkan keputusan itu telah berakhir masa tugasnya. Sangat tak etis pula kalau Rektor yang sekarang mencabutnya, apalagi hal itu menyangkut dirinya sendiri. Bagimana dengan keputusan Menteri yang telah mencabut SK Rektor? Berdasarkan hasil "rembukan" Menteri bisa meninjau kembali Keputusannya tentang pembatalan SK Rektor USU terkait penjatuhan sanksi. Dasar pertimbangan SK Menteri tentang Pembatalan Keputusan Rektor USU sangat banyak kekurangannya, tidak menyebutkan PP No.16/2014 tentang Statuta USU dalam konsideransnya. Dan tidak ditujukan kepada siapa keputusan itu dialamatkan. Keputusan terbit 27 Januari 2021 sedangkan undangan pelantikan rektor telah beredar 26 Januari 2021. Artinya lebih dulu Keputusan untuk pelaksanaan pelantikan daripada keputusan pencabutan Keputusan Rektor USU. Ini tentu akan menjadi perdebatan baru jika ini di bawa ke ranah hukum. Melalui "urun rembuk" ada banyak yang bisa terselamatkan. Paling tidak ini bisa menyelamatkan MWA dan Kementerian dari gugatan yang mungkin akan muncul bertubi-tubi. Memang ada diantara kita yang mengatakan, "biarkan saja", tapi itu berpotensi untuk semakin merusak kredibilitas USU di masa datang. Jika ini terus dibiarkan tak ada yang mengambil inisiatif untuk meredakannya, maka "keterbelahan" ini akan berkepanjangan dan mungkin akan diwariskan selama bertahun-tahun. Yang menang menjadi arang, yang kalah menjadi abu. Telungkup makan pasir, terlentang makan debu.[] Penulis adalah Guru Besar Hukum USU, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (periode 2017-2020 dan 2020-2023) dan Ketua Komisi Kelembagaan Akademik, Perencanaan dan Anggaran Senat Akademik USU (periode 2020-2025).

USU Pasca-Pelantikan Rektor Muryanto Amin (Bagian-3)

By Prof Dr OK Saidin SH MHum Medan, FNN - Di bagian ke-2 tulisan ini telah dikatakan bahwa sulit untuk mengatakan Dr Muryanto Amin tidak melanggar etika publikasi. Dan sulit pula untuk mengatakan keputusan rektor USU (periode 2016-2021) No. 82/UN5.1R/SK/KPM/2021 yang menyatakan bahwa Muryanto terbukti melakukan ‘self plagiarism’, adalah keputusan keliru. Selain menemukan Perkep LIPI 5/2014 dan Bab V Kode Etika Pengarang Jurnal Ilmiah butir 5.2.1, Komisi Etik (KE) USU juga mencari peraturan-peraturan lain yang senada dengan itu. KE memulai upaya untuk mencari hukum tersebut. Bagaimana pengaturan tentang itu pada perguruan tinggi lain dalam menyikapi peristiwa yang sama. Jika faktanya ada, perbuatannya ada dan bahkan aturannya ada, hanya saja tidak tegas, maka para ahli dan praktisi hukum boleh memberi tafsir obyektif dan konkrit yang dibenarkan dalam ilmu hukum yakni Tafsir Analogi. Berikut beberapa contoh. Pertama, Universitas Indonesia (UI). Berdasarkan keputusan Rektor UI No. 208/SK/R/UI/2009 tentang penyelesaian masalah plagiat yang dilakukan oleh sivitas akademika UI, di Pasal 1 angka 1 dikatakan bahwa plagiarisme adalah tindakan seorang yang mencuri ide atau pikiran yang telah dituangkan dalam bentuk tertulis dan/atau tulisan orang lain yang digunakan dalam tulisannya seolah-olah ide atau tulisan orang lain tersebut adalah ide, pikiran dan/atau tulisan sendiri sehingga merugikan orang lain baik material maupun non material, dapat berupa pencurian sebuah kata, frasa, kalimat, paragraf atau bahkan pencurian bab dari tulisan atau buku seseorang, tanpa menyebut sumbernya. Termasuk dalam pengertian plagiarisme adalah plagiarisme diri (self plagiarism). Plagiarisme diri adalah tindakan seorang yang menggunakan karyanya berulang-ulang, baik ide atau pikiran yang telah dituangkan dalam bentuk tertulis dan/atau tulisannya sendiri baik sebagian maupun keseluruhannya tanpa menyebutkan sumber pertama kalinya yang telah dipublikasikan, sehingga seolah-olah merupakan ide, pikiran dan/atau tulisan yang baru dan menguntungkan diri sendiri. Kedua, peristiwa di lingkungan sivitas akademika perguruan tinggi agama Islam. Pihak Kementerian Agama menerbitkan aturan yang dimuat dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 7142/2017 tentang pencegahan plagiarisme di perguruan tinggi Islam. Dijelaskan di butir D (ketentuan plagiarisme) angka 2 (tipe-tipe plagiarisme), huruf (d) bahwa self plagiarism adalah salah satu tipe plagiarisme. Yang termasuk dalam tipe plagiarisme itu adalah: (a)-Plagiat kata demi kata. Penulis menggunakan kata‐kata penulis lain (persis) tanpa menyebutkan sumbernya; (b)-Plagiat atas sumber. Penulis menggunakan gagasan orang lain tanpa memberikan pengakuan yang cukup (tanpa menyebutkan sumbernya secara jelas); (c)-Plagian kepengarangan. Penulis mengakui sebagai pengarang karya tulis karya orang lain; (d)-Self Plagiarism yang termasuk dalam tipe ini adalah seperti penulis mempublikasikan satu artikel pada lebih dari satu redaksi publikasi dan mendaur ulang karya tulis/karya ilmiah. Yang penting dalam menghindari self plagiarism adalah bahwa ketika mengambil karya sendiri, maka ciptaan karya baru yang dihasilkan harus memiliki perubahan yang berarti. Artinya karya lama merupakan bagian kecil dari karya baru yang dihasilkan. Sehingga pembaca akan memperoleh hal baru, yang benar‐benar penulis tuangkan pada karya tulis yang menggunakan karya lama. . Komisi Etik juga tidak berhenti sampai di situ. Di samping penafsiran analogi, sumber hukum yang lain yang dirujuk adalah doktrin atau pendapat ahli. Semua ahli mengatakan bahwa perbuatan self-plagiarism adalah suatu perbuatan yang masuk dalam kategori pelanggaran norma dan etika akademik. Dr Henry Soelistio Budi, Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Pelita Harapan yang juga pakar hukum bidang plagiat mengatakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Dr Muryanto Amin adalah termasuk dalam kualifikasi perbuatan self-plagiarism, yaitu mempublikasikan satu artikel pada lebih dari satu redaksi publikasi dan mendaur ulang karya tulis/karya ilmiah. Komisi Etik juga tidak berhenti sampai di situ. Komisi Etik juga menelusuri kasus-kasus yang pernah terjadi di lingkungan USU sebagai jurisprudensi dalam kasus yang sama. Komisi Etik menemukan: (a)-Keputusan Rektor USU No.30/UN5.1.R/SK/SDM/2013 Tentang Penjatuhan Sanksi Bagi Dosen yang Melakukan Plagiat (plagiat antar jurnalnya sendiri) a.n. Dr Maulida ST MSc; (b)-Keputusan Rektor USU No.149/UN5.1.R/SK/SDM/2015 Tentang Penjatuhan Sanksi Bagi Dosen yang Melakukan Plagiasi (autoplagiasi) a.n. Drs Arifin Lubis. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perbuatan self-plagiarism, double publication, atau salami publication, atau publikasi ganda itu bukan peristiwa yang baru. Bukan juga perbuatan yang dibenarkan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Self-plagiarism, double publication, atau salami publication, atau publikasi ganda, seumpama keukeuh yang sudah kadaluwarsa yang diberi label bertanggal baru. Itu kejahatan luar biasa yang tidak terampuni. Senada dengan perumpamaan itu, meminjam istilah Dr Henry Soelistyo Budi, self- plagiarism adalah kejahatan tak berdarah dalam dunia akademik. Bahkan ilmuwan terkemuka di Indonesia Fachry Ahli dalam account Facebook-nya, tanggal 20 Januari 2021, dengan mengutip pandangan Pro R William "Bill" Liddle mengatakan bahwa "aksi plagiat tak terampuni di dunia akademis tempatnya di "intib" (kerak) neraka. Lebih lanjut Fachry menggambarkan betapa kehidupan akademis harus jujur secara paripurna. Bahkan self-plagiarism (mengajukan tulisan lama sebagai tulisan baru atau penelitian baru) disebutnya sebagai sebuah kejahatan fatal. Rocky Gerung menyebutnya sebagai perbuatan incest, perkawinan sedarah. Perbuatan ini membuat perguruan tinggi mandek, tidak berkembang karena karya yang ditampilkan itu-itu saja, tak ada ide baru, tak ada gagasan baru, tak ada inovasi. Perbuatan itu lebih pada upaya untuk pencitraan, untuk kum kenaikan pangkat. Tapi sekali lagi, setelah Mendikbud menerbitkan Keputusan No 6169/MPK.A/KP/2021 Tentang Pencabutan Keputusan Rektor USU No 82/UN5.1.2/SK/KPM/20, kita anggaplah ini sebuah ketidak tahuan dan ketidak fahaman para staf di Kementerian dalam membaca peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulius. Etika kerap kali wujudnya dalam bentuk tidak tertulis. Setelah terbit keputusan Mendikbud ini, banyak kekhawatiran di kalangan akademisi USU. Misalnya, bagaimana Kementerian merehabilitasi nama baik dua dosen yang telah pernah dijatuhi hukuman dalam kasus yang sama? Apakah ini tidak menjadi bumerang bagi pihak kementerian sendiri jika ada dosen yang mengusulkan kenaikan pangkatnya menggunakan tulisan dengan kasus yang sama, yang selama ini tertolak di kementerian? Kemudian, bagaimana jika mahasiswa mengikuti cara-cara itu dalam menulis dan mempublikasikan karya ilmiahnya? Jadi pantas saja langkah Kementerian ini mengundang banyak tanda tanya. Ada apa di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hari ini, sehingga pihak Kementerian "menutup mata" terhadap kasus ini. Apakah ada "kekuatan lain" di luar sana yang mengintervensi kekuasaan di Kemendikbud yang sedang mengumandangkan jargon, "Kampus Merdeka-Merdeka Belajar"? Atau tindakan ini dilakukan oleh segelintir oknum di Kementerian yang salah memberi informasi kepada Menteri? Kita tentu tak boleh menduga-duga. Apapun juga keputusan telah diambil. Dr Muryanto Amin telah resmi dilantik menjadi Rektor periode 2021-2026. Persoalannya, apakah dengan begitu masalah USU sudah selesai? Tampaknya peristiwa ini akan menyimpan banyak persoalan dalam perjalanan USU ke depan dan ini tak boleh dipandang sebagai persoalan remeh. Ini akan menjadi masalah serius, apalagi setelah "Tempo" menempatkan isu ini sebagai "Laporan Utama" media yang memiliki integritas di republik ini, yang bermakna bahwa kasus ini bukan kasus yang bisa dipandang "sebelah mata".[] === Penulis adalah Guru Besar Hukum USU, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (Periode Tahun 2017-2020 dan 2020-2023). Ketua Komisi Kelembagaan Akademik, Perencanaan dan Anggaran Senat Akademik Universitas Sumatera Utara (Periode Tahun 2020-2025)

SKB Tiga Menteri Soal Jilbab Bertentangan Dengan Pancasila & UUD 45

by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Tiga menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Menteri Agama, baru-baru ini mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) larangan sekolah negeri mewajibkan pemakain jilbab. Padahal urusan jilbab menjadi urusan pribadi siswa dan orangtuanya. Sekolah (baca : negara) tidak boleh ikut campur. Masa sih? Kebijakan SKB tiga menteri ini ditengarai dipenuhi dengan rasa “kebencian dan Islamphobia” yang sangat tinggi. Mengingatkan kita kembali pada era tahuan 1980-an. Ketika itu pemerintah Orde Baru membuat kebijakan tentang larangan berjilbab di sekolah negeri dan instansi pemerintah. Setelah 30 tahun, kejadian itu terulang kembali. Setback. Negara enam tahun terakhir ini sering mengintervensi kehidupan ummat beragama, khususnya ummat Islam. Padahal, Indonesia negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan negara menjamin kebebasan ummat beragama untuk melaksanakan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya (Pasal 29 UUD 1945). Jilbab termasuk dalam ajaran agama dan keyakinan tersebut. Belum lagi tujuan pendidikan nasional itu sangat mulia. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 menyebutkan “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Mulia sekarang rangkaian kali di UUD 1945 ahsil amandemen tersebut. Sementara menurut Pasal 31 ayat 5, masih dalam UUD 1945 menyebutkan, “pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Semakin mulia lagi kalau membacanya dengan baik pelan-pelan. Sedangkan menurut UU No 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini pesan dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Semakin tinggi kemuliaan itu. Dengan demikian, terbitnya SKB tiga menteri Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, dan Nomor 219 Tahun 2021 dapat dikategorikan sebagai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 Pasal 29 dan Pasal 31 serta UU No 20 tahun 2003. Oleh karenanya, SKB tiga menteri ini harus dicabut dan batal demi hukum dan keadilan sosial. Negara tidak boleh kalah oleh oknum tertentu, sehingga negara menjadi paradoks bila sudah berurusan dengan ummat Islam. Setidaknya dapat kita baca dalam enam tahun terakhir ini. Semakin brutal dan menjadi-jadi. Paradoks karena Islam dilarang masuk dalam urusan negara. Tetaapi negara sering mengobok-obok urusan ummat Islam. Jilbab dan kurikulum madrasah sebagai contoh nyata. Ummat Islam dilarang mengamalkan atribut keagamaan di sekolah. Sementara dana haji, zakat dan infaq, terakhir wakaf ummat Islam “diambil” oleh negara. Kalau uangnya umamat Islam, ternyata boleh diambil dan dipakai oleh negara. Namun ajarannya Ummat islam dilarang untuk dialaksanakan di sekolah-sekolah negeri dan instansi pemerintah. Ini aneh tapi nyata. Selain itu, ummat Islam yang konsisten dalam melaksanakan ajaran Islam diberikan predikat intoleran, radikalime dan ekstrimisme. Berjilbab dianggap sebagai intoleran. Padahal, setiap agama punya ciri khas masing-masing sesuai ajaran agamanya. Sedangkan kelompok Islam senang berada di garis bengkok dan menyimpang, sengaja dipelihara dan difasilitasi oleh negara. Bhinneka tunggal ika, berbeda-beda tetap satu. Artinya, negara menjamin perbedaan masing-masing agama dalam bingkai negara kesatuan yang bernama Republik Indonesia. Bukan berarti penyeragaman tradisi keagamaan dalam satu tradisi ke-Indonesia-an. Negara sering bertindak tidak adil terhadap ummat Islam. Wajar muncul anggapan kalau rezim sekarang seolah-olah mengadopsi politik belah bambu ala imperialis Belanda dulu. Islam yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam diangkat dan disanjung-sanjung. Sementara, Islam yang melaksanakan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam diinjak, diintimidasi dan dikriminalisasi. Negara oleh oknum yang berkuasa sekarang, seperti tidak punya iktikad baik terhadap ummat Islam. Seringkali “memerangi Islam garis lurus”. Wajar kalau Ummat Islam menduga ada konspirasi yang melibatkan partai merah, partai hijau dan PKI dalam wadah bernama “Nasakom Gaya Baru” yang sangat mewarnai perpolitikan hari ini. Penulis adalah Pegiat Dakwah dan Sosial.

USU Pasca-Pelantikan Rektor Muryanto Amin (Bagian-2)

by Prof. Dr. OK Saidin SH M.Hum Medan, FNN - Bila ditelusuri kata-perkata Permendiknas No. 17/2010 tentang pencehana plagiat di perguruan tinggi, tidak ditemukan istilah self-plagiarism. Pihak Kementerian dalam hal ini menempatkan bahwa peraturan tentang pencegahan plagiarisme di perguruan tinggi yang diatur oleh Permendiknas 17/2010 itu adalah dalam konteks etika penulisan, bukan dalam konteks etika publikasi. Peraturan tentang etika publikasi digariskan di dalam Peraturan Kepala (Perkep) LIPI No. 5 Tahun 2014 Tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah. Jadi, kalau boleh meminjam istilah Prof Tan Kamello, Permendiknas 17/2010 adalah norma (hukum) posistif untuk etika penulisan karya ilmiah. Sedangkan Perkep LIPI 5/2014 Tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah adalah norma (hukum) posistif untuk etika publikasi ilmiah. Inilah norma yang dijadikan landasan Komisi Etik (KE) bentukan Rektor USU dalam proses pengambilan keputusan dalam kasus dugaan plagiat yang dipersangkakan kepada Dr Muryanto Amin SSos MSi di samping tafsir tentang Pasal 2 ayat (1) Permendiknas 17/2010 tentang pencegahan plagiat di perguruan tinggi. Hasil Keputusan KE inilah yang kemudian digunakan Rektor USU sebagai dasar penjatuhan sanksi, ditambah unsur yang memberatkan. Sebab, yang bersangkutan di samping menjabat sebagai Dekan pada Fisipol USU, yang bersangkutan juga adalah Editor in Chief pada jurnal Politeia, di Fisip USU, Publisher Talenta USU, yang seharusnya sudah faham dan mengetahui tentang seluk beluk penerbitan naskah dalam jurnal atau publikasi ilmiah. Sanksi yang dijatuhkan oleh Rektor USU (periode 2016-2021) adalah sanksi pelanggaran etik, bukan sanksi pelanggaran hukum. Oleh karena itu, pandangan Prof Bismar (guru besar hukum USU) dan juga pandangan Prof Tan Kamello yang mengatakan hukum positif tentang hal itu tidak ada, sangat berbeda dengan pandangan Komisi Etik. Sekali lagi perbedaan pendapat itu adalah sebuah kewajaran dan itu adalah rahmat. Perdebatan dan kritik pun harus dibiarkan tumbuh sebagai sebuah dialektika. Tanpa kritik dan perdebatan, ilmu pengetahuan tidak akan tumbuh dan berkembang. Saya ingin mengakhiri perdebatan saya dengan Prof Tan Kamello. Bagi saya, adanya ketentuan etik publikasi ilmiah yang termuat dalam Perkep LIPI No. 5/2014 tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah, maka tidak ada lagi alasan bahwa hukum positif tidak ada mengatur tentang hal itu. (https://m.mediaIndonesiacom/nusantara/378221/prof-tan-kamello-hukum-positif-tidak-mengenal-selfplagiarism). Yang disebut terakhir ini adalah peraturan yang harus dijadikan rujukan baik oleh Editor in Chief, Editor (pengelola jurnal), maupun penulis dalam mempublikasikan karya ilmiahnya. Perkep LIPI ini, secara etik, mengikat setiap orang yang akan menerbitkan naskahnya. Sebagaimana diketahui, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) adalah lembaga yang mengelola International Serial Data System (ISDS). Jadi, LIPI adalah lembaga yang diberikan kewenangan oleh pemerintah untuk menerbitkan ISSN (International Standard Serial Number), yakni kode yang dipakai secara internasional untuk terbitan berkala. Oleh karena itu, sulit untuk mengatakan bahwa Dr Muryanto Amin SSos MSi tidak melanggar etika tentang publikasi ilmiah. Berdasarkan uraian di atas sulit juga untuk mengatakan Keputusan Rektor Nomor: 82/UN5.1R/SK/KPM/2021, tanggal 14 Januari 2021 tentang penjatuhan sanksi pelanggaran etik yang dilakukan oleh Dr Muryanto adalah keputusan yang keliru. Inti keputusan rektor itu adalah pelanggaran etika, kejujuran ilmiah. Perbuatan plagiat adalah perbuatan tidak jujur. Tapi, tidak semua perbuatan tidak jujur itu adalah plagiat. Di antaranya adalaf self-plagiarism, double publication, salami publication atau publikasi ganda. Inilah yang perlu kita cerna dengan hati yang lapang dan pikiran yang jernih. Lihatlah redaksi konsiderans Permendiknas 17/2010 tentang pencegahan plagiat di perguruan tinggi. Bagian "Menimbang" huruf a, b dan c sebagai berikut: (a)bahwa setiap perguruan tinggi mengemban misi untuk mencari, menemukan, mempertahankan, dan menjunjung tinggi kebenaran; (b)bahwa untuk memenuhi misi tersebut, mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan yang berkarya di bidang akademik di perguruan tinggi memiliki otonomi keilmuan dan kebebasan akademik; (c)bahwa dalam melaksanakan otonomi keilmuan dan kebebasan akademik, mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan wajib menjunjung tinggi kejujuran dan etika akademik, terutama larangan melakukan plagiat dalam menghasilkan karya ilmiah, sehingga kreativitas dalam bidang akademik dapat tumbuh dan berkembang. Ada sejumlah nilai sebagai landasan filosofis dalam konsiderans tersebut. Ada asas-asas hukum atau prinsip dasar yang tersembunyi di balik konsiderans tersebut yakni asas menjunjung tinggi kebenaran, otonomi keilmuan, kebebasan akademik, menjunjung tinggi kejujuran, dan etika akademik. Prinsip-prinsip itu merupakan landasan filosofis. Tujuannya adalah agar misi untuk mencari, menemukan, mempertahankan kebenaran akademik dapat tumbuh dan berkembang. Ketika peraturan tidak ada menyebut secara jelas namun peristiwanya ada terjadi, maka asas-asas hukum itu dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat hukum. Para ahli hukum dapat melakukan "penemuan hukum" atau rechtsvinding (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2002) Dalam kasus yang sudah diputus oleh Rektor USU, peristiwa itu ada dan sudah pernah terjadi. Tetapi, peraturan yang ada belum lengkap, belum spesifik menyebutkan tentang hal itu. Maka ketika kasus itu bergulir dan dipercayakan kepada Komisi Etik (KE) untuk memutuskannya, maka KE harus mencari dan menemukan hukumnya. Apalagi dalam Pasal 2 ayat (1) Permendiknas 17/2010 dikatakan bahwa perbuatan plagiat itu tidak dibatasi secara limitative. Artinya, ada perbuatan-perbuatan lain yang masuk dalam kategori plagiat. Agar upaya pencarian untuk menemukan hukum itu sempurna, KE juga menelusuri semua aturan terkait dengan publikasi ilmiah. KE kemudian menemukan Perkep LIPI 5/2014. Di sini, LIPI mengatur etika publikasi yang pada intinya para penulis, pengelola jurnal diharuskan untuk menjunjung tiga nilai etik dalam publikasi. Yaitu: 1)kenetralan, bebas dari pertentangan kepentingan dalam publikasi; 2)keadilan, yakni memberikan hak kepengarangan kepada yang yang berhak sebagai pengarang/penulis; dan 3)kejujuran, yakni bebas dari duplikasi, fabrikasi, falsifikasi, dan plagiarisme (DF2P) dalam publikasi. Ketentuan etik lebih lanjut yang dimuat di Bab V Kode Etika Pengarang Jurnal Ilmiah butir 5.2.1, pada pokoknya menyatakan bahwa pengarang harus membuat pernyataan bahwa karya tulis yang diserahkan untuk diterbitkan adalah asli, belum pernah dipublikasikan di mana pun dalam bahasa apa pun, dan tidak sedang dalam proses pengajuan ke penerbit.[] Penulis adalah Guru Besar Hukum USU, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (Periode Tahun 2017-2020 dan 2020-2023) dan Ketua Komisi Kelembagaan Akademik, Perencanaan dan Anggaran Senat Akademik Universitas Sumatera Utara (Periode Tahun 2020-2025)

USU Pasca-Pelantikan Rektor Muryanto Amin (Bagian 1)

by Prof. Dr. OK Saidin SH. M.Hum Medan, FNN - Pada 28 Januari 2021, Dr Muryanto Amin SSos MSi resmi dilantik oleh Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Sumatera Utara (USU) menjadi Rektor periode 2021-2026, melalui sidang secara Virtual. Pelantikan berlangsung di aula Kemendikbud di Jakarta secara daring dan luring, diiringi dengan pembacaan Surat Keputusan MWA, pengambilan sumpah jabatan dan pengalungan tanda jabatan yang dilakukan oleh Nizam (Dirjen Pendidikan Tinggi) mewakili Mentdikbud. Beberapa minggu sebelum pelantikan, menyeruak isu pelanggaran etik yang dilakukan oleh rektor Periode 2021-2026. Banyak pandangan dan pendapat yang bergulir. Saya sendiri “puasa bicara” baik di media cetak maupun di media on line. Alasannya, karena saya sendiri adalalah salah seorang anggota yang duduk di Komite Etik (KE) USU, yang memeriksa kasus ini. Saya tak mau bicara. Khawatir saya menjadi tidak obyektif. Dan kalau saya memberikan pendapat, pandangan saya bisa bias dan mempengaruhi anggota KE yang lain dalam mengambil keputusan. Hari ini, setelah pelantikan usai, apalagi setelah terbit Keputusan Mendikbud No. 6169/MPK.A/KP/2021 tentang Pencabutan Keputusan Rektor USU No. 82/UN5.1.2/SK/KPM/2021, saya terpanggil juga untuk bersuara. Alasannya, karena saya merasa terusik dengan Surat Keputusan Menteri itu. Saya adalah orang yang ikut bertanggung jawab dunia dan akhirat atas keputusan KE yang menjadi dasar Rektor menerbitkan keputusannya. Saya mengambil porsi untuk bicara dalam kapasitas saya sebagai guru besar Ilmu Hukum USU yang mendalami kajian Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) di samping posisi saya sebagai Ketua Komisi Kelembagaan Akademik, Perencanaan dan Anggaran Senat Akademik USU (Periode Tahun 2020-2025) dan sebagai Anggota KE yang memeriksa kasus dugaan plagiarisme Dr Muryanto Amin, SSos. Banyak sudah pandangan yang bergulir seputar isu plagiarisme yang dialamatkan kepada Dr Muryanto Amin, SSos MSi. Sebagian menyatakan tidak ada pelanggaran hukum dalam kasus itu, seperti yang dikemukakan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Prof Nizam. Walaupun beliau mengakui adanya plagiasi atas karya sendiri dan melakukan penerbitan ulang (www,tribunenews-com, 28/1/2021). Alasan yang dikemukakan oleh Dirjen Prof Nizam adalah karena term (istilah) tentang self-plagiarism (plagiasi diri sendiri atau swaplagiasi) tak dikenal dalam Permendiknas No. 17/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Yang ada adalah term plagiat, yakni mengambil karya orang lain yang diakui sebagai karyanya dengan tidak menyebutkan sumber secara memadai. Dirjen Dikti sendiri menyampaikan pandangannya setelah meminta Tim Independen dari UGM, UNDIP dan UNNES yang dibentuknya. Tetapi, hasil penelusuran Tim Independen itu tak pernah disampaikan kepada MWA hingga saat pelantikan. Pandangan yang sama dikemukanan oleh Prof Dr Bismar Nasution, SH MH. (www.rmolsumut-id) dan juga Prof Dr Tan Kamello, SH MS (m.mediaindonesia-com). Dua guru besar USU ini mengatakan tak ada hukum positif yang dilanggar. Pandangan lain masih dari kalangan guru besar USU, yakni Prof Dr Alvi Syahrin, SH MS yang mengatakan bahwa SK penjatuhan sanksi oleh Rektor USU tak cukup beralasan. Sebab, terdapat kesalahan prosedural dan administratif. Beliau juga mengatakan pembentukan Tim Penelusuran Melanggar Statuta USU (Tribun Medan-com, 21-01-2021). Ragam pendapat itu tentu harus kita hormati, semua punya argumentasinya sendiri-sendiri. Bahwa pelanggaran hukum berbeda dengan pelanggaran etik, semua kita sepakat. Begitu juga adab, moral, akhlak, kepatutan, kebiasaan adalah sumber etik; semua ahli hukum sepakat. Akan tetapi kalau mau dijadikan sebagai peraturan yang mengikat, etik itu harus dituangkan dalam bentuk norma ertik. Di sinilah perdebatannya. Karena ada ahli yang berpedapat etika dan moral tak perlu harus tertulis. Misalnya, larangan buang angin di meja makan tak perlu dituliskan, walaupun kalau ada orang buang angin saat sedang makan tak ada sanksi hukumnya. Pelanggaran Etik. Hukum dan Etik adalah dua hal ang berbeda. Kalau pelanggaran hukum terhadap pelaku plagiat akan diancam melalui UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sebagai tindak pidana, sedangkan pelanggaran etik akan dijatuhi sanksi etik. Perbedaan dalam menafsirkan norma itu juga yang membuat pihak Kementerian hanya memandang perbuatan plagiat melalui tafsir Pasal 1 Permendiknas No. 17/2010 tentang pencegahan plagiat di Perguruan Tinggi. Walaupun Pasal 2 mengatakan bahwa lingkup dan pelaku palgiat itu tidak dibatasi secara limitatif. Lengkapnya, redaksi Pasal 2 ayat (1) itu diawali dari kata-kata, "Plagiat meliputi tetapi tidak terbatas pada: a,b,c,d dan e". Artinya ada pelaku dan lingkup yang masuk dalam kategori perbuatan plagiat yang lain, yang dimaksud oleh Permendiknas No. 17/2010 itu. Peluang untuk adanya bentuk plagiasi yang lain selain yang dimaksud dalam Pasal 1 angka (1) dibuka oleh Pasal 2 ayat (1). Pernyataan terakhir ini pun menimbulkan perdebatan lagi. Karena Pasal 2 ayat (1) itu harus pula dibaca dalam konteks pasal 1 angka (1). Kalaupun ada perbuatan plagiat di luar apa yang dinyatakan oleh Pasal 2 ayat (1) harus juga dimaksudkan mengambil karya orang lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya. Di sinilah ranah perdebatannya. Terasalah bahwa memaknai norma hukum sesui dengan maksud pembuatnya tidaklah mudah. Itulah sebabnya membaca norma hukum itu harus disertai dengan penjelasannya dan bahkan memory van toelichting-nya. Kalau dalam hukum Islam harus dilihat ‘asbabun nuzul’-nya. Kasus self-plagiarism , double publication, salami publication atau publikasi ganda tidaklah terang benderang diatur dalam dalam Permendiknas 17/2010 dan bukan pula masuk dalam kualifikasi pelanggaran hukum. Akan tetapi, walaupun perbuatan self-plagiarism, double publication, salami publication atau publikasi ganda tida ada diatur dalam Permendiknas ini, norma tentang itu dapat ditemukan dalam praktek sehari-hari sebagai kebiasaan dan diterima sebagai etika dalam publikasi ilmiah. Bahkan telah dinormakan dalam Peraturan Kepala LIPI No. 5 Tahun 2014 tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah, tanggal 18 September 2014, yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No. 1385. Oleh karena itu semua kita yang berkecimpung di dunia akademik, khususnya dosen dan mahasiswa, harus memahami bahwa Permendiknas 17/2010 itu menyangkut tentang norma dan etika penulisan. Sedangkan Perkep LIPI No. 5/2014 itu menyangkut norma dan etika publikasi. Ini adalah dua hal yang berbeda. Inilah yang hendaknya harus dipahami secara bersama. Keduanya mengatur tentang etika ilmiah akademik. Yang satunya tentang etika penulisan, yang satu lagi tentang etika publikasi. Dalam kasus Dr Muryanto Amin SSos MSi, sekalipun tak dapat disebut pelanggaran etika penulisan yang diatur Permendiknas 17/2010, tetapi perbuatan itu termasuk pelanggaran etika publikasi yang ditaur Perkep LIPI 5/2014. Seharusnya tidak ada perdebatan di sini. Tetapi mengapa persoalannya menjadi menyeruak? Itu karena tidak semua kita bisa melihat dan mendudukkan persoalan ini secara jernih. Banyak di antara kita justeru berupaya untuk mencari "pembenaran" padahal yang dituntut dalam dunia akademik adalah "kebenaran". Ada aturan yang membatasi pengarang atau penulis dalam menulis, dan ada pula batasan yang diberikan kepada pengarang dalam hal mempublikasikan karya ciptanya. Etika untuk tidak melakukan perbuatan self-plagiarism, double publication, salami publication kemudian di terima oleh seluruh pengelola jurnal sebagai etika publikasi. Yang tidak hanya diikuti oleh pengelola jurnal di USU sendiri, tetapi juga seluruh perguruan tiunggi di Indonesia. Bahkan pihak kementerianpun menolak setiap usulan kenaikan pangkat para dosen yang dalam pengusulannya menggunakan artikel publikasi ganda atau double publication atau salami publication yang termasuk pada kategori self-plagiarism. Penolakan oleh Kementerrian itu bukan karena melanggar etika penulisan ilmiah, tetapi melanggar etika publikasi ilmiah. [Bersambung] Penulis adalah Guru Besar Hukum USU, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektuyal Indonesia (Periode Tahun 2017-2020 dan 2020-2023) dan Ketua Komisi Kelembagaan Akademik, Perencanaan dan Anggaran Senat Akademik Universitas Sumatera Utara (Periode Tahun 2020-2025).

Bersiap-siaplah, Muryanto Amin Akan Bawa USU Ke Puncak Prestasi

by Asyari Usman Medan, FNN - Universitas Sumetara Utara (USU) kelihatannya akan melakukan “quantum leap” (lompatan besar) dalam cara mahasiswa di semua strata menyelesaikan program perkuliahan. Yang tampaknya paling menonjol adalah kemudahan dalam pembuatan thesis, skripsi dan karya-karya ilmiah lainnya. Singkatnya, akan ada terobosan besar yang diciptakan oleh rektor yang baru dilantik, Dr Muryanto Amin. Beliau akan membawa USU menuju “kebebasan akademis” yang tidak pernah ada di mana pun juga. Betul-betul bebas. Dalam makna hakiki. Itulah kebebasan yang akan diperkenalkan oleh Muryanto Amin. Kebebasan hakiki itu adalah kebebasan tanpa batas etika akademis. Adab akademis tidak lagi menjadi rambu keilmuan. Begitu juga norma kejujuran akademis, tidak perlu lagi dijadikan acuan dalam penelitian dan penyusunan karya ilmiah. Ini standar baru yang bertujuan untuk meringankan mahasiwa dan dosen. Mengapa kebebasan hakiki itu akan diimplementasikan Muryanto? Karena beliau telah merasakan betapa beratnya proses purifikasi gagasan ilmiah dalam bentuk yang ada saat ini. Sampai-sampai beliau dinyatakan oleh Rektor USU periode 2016-2021 telah melakukan ‘self plagiarism’ (otoplagiasi) secara sengaja dan berulang. Padahal, Muryanto hanya melakukan tindakan efisiensi akademis untuk mempercepat penyusunan dan penerbitan karya ilmiah. Dia telah mencontohkan cara yang praktis untuk mendapatkan angka kredit. Cara Muryanto itu mendapatkan apresiasi dari negara. Dia akhirnya bisa melepaskan diri dari predikat otoplagiasi. Mendikbud Nadiem Anwar Makarim mencabut SK Rektor No. 82/UN5.1.R/SK/KPM/2021 yang dianggap mendiskreditkan Muryanto. Sekarang, dia dinyatakan bersih. Tak lagi memikul dosa akademis. Semua dosa itu ditanggung oleh Mendikbud sebagai “juru selamat”. Muryanto pastilah tidak ingin pengalaman yang traumatis ini dirasakan orang lain. Karena itu, perlu ada simplifikasi dalam pembuatan karya tulis ilmiah. USU harus menjadi Univesitas Simpel Urusan. Para mahasiswa akan diberi kebebasan hakiki. Agar bisa membangun loyalitas akademis.Tidak terus-menerus dihantui oleh proses rafinasi ilmiah yang “torturing” (menyiksa) itu. Loyalitas yang akan dirangsang oleh Muryanto adalah ketaatan mahasiswa dan dosen pada karya-karya akademis yang sudah pernah terbit. Dalam arti, karya-karya tulis yang sudah ada dalam lingkup sesuatu subjek akademis, akan dipertahankan dan dilestarikan. Ini bisa dilakukan antara lain dengan cara menerbitkan ulang karya-karya ilmiah itu untuk berbagai tujuan. Bisa untuk kenaikan pangkat, jabatan struktural, dll. Para mahasiswa dan dosen tentunya diminta bijak dalam menerapkan prinsip taat karya ilmiah itu agar tidak menimbulkan “curiosity” (keingintahuan) publik. Dalam tataran praktis, itu artinya berhati-hatilah memilih tempat untuk menerbitkan ulang karya-karya ilmiah yang sudah dipublikasikan di tempat lain. Yang penting, harus selalu cermat dan penuh siasat sebagaimana dicontohkan oleh Muryanto yang kemudian mendapatkan pengakuan dari Mendikbud. Para mahasiswa dan dosen diminta agar memastikan bahwa penerbit memiliki reputasi sebagai pengelola jurnal yang memudahkan, bukan menyulitkan. Kalau iklim akademis konvesional masih belum kondusif untuk penerbitan ulang (multiple publications) karya ilmiah, maka para mahasiswa dan dosen bisa melakukan semacam “propitious adjustment” (penyesuaian yang bijaksana). Ini termasuk perubahan minor yang dilakukan agar loyalitas akademis tidak terlalu mencolok. Diperkirakan, Muryanto akan menjadikan USU sebagai satu-satunya universitas di dunia yang akan mendorong loyalitas akademis itu. Ini akan sangat menguntungkan mahasiswa dan dosen yang tak punya waktu untuk meneliti dan menulis. Dalam bahasa Rocky Gerung, Muryanto akan memprakarsai pertumbuhan ilmu gaya baru, yaitu tumbuh ke bawah. Pertumbuhan yang mengikuti grafik minus. Bukan tumbuh kembang, tetapi tumbuh kuncup. Apakah ini akan menjadi masalah? Belum tentu. Berikanlah ruang dan waktu kepada Muryanto untuk bereksperimen di USU. Bukankah Mendikbud dengan tegas mendukung cara-cara Muryanto “mengembangkan” ilmunya? Tenanglah Anda semua. Percayakan seluruhnya pada Muryanto. Dia akan membawa USU ke puncak prestasi. USU akan menjadi Unik-Simpel-Ujug-ujug. Unik, satu-satunya di dunia. Simpel: cukup copy paste saja. Ujug-ujug: Anda bisa menjadi apa saja, kapan saja.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Rektor Baru USU Harus Rehabilitasi Dua Dosen Yang Pernah Divonis Otoplagiasi

by Asyari Usman Medan, FNN - Pelantikan Muryanto Amin sebagai rektor USU belum lama ini menyertakan konsekuensi. Sekarang, dia harus mencabut dua keputusan rektor yang mengukuhkan perbuatan otoplagiasi (self plagiarism) atas dua dosen USU di masa lalu. Tidak hanya mencabut keputusan itu, Rektor Muryanto Amin harus merehabilitasi nama baik kedua dosen tsb. Dia juga wajib memberikan kompensasi material dan non-material akibat predikat otoplagiasi. Yang pertama adalah Dr Maulida ST MSc, pengajar Fakultas Teknik. Pada 2013, dia dinyatakan berbuat plagiasi berdasarkan SK Rektor USU No. 30/UN5.1.R/SK/SDM/2013 tanggal 15 Januari 2013. Hukuman untuk Maulida cukup berat. Selain tidak boleh mendapatkan promosi, dia juga tidak bolehkan diusulkan menjadi guru besar (profesor) di USU maupun di luar, tanpa batas waktu. Yang kedua adalah Drs Arifin Lubis MM Ak, pengajar Fakultas Ekonomi Bisnis. Pada 2015, dia dinyatakan bersalah melakukan otoplagiasi berdasarkan SK Rektor USU No. 149/UN5.1.R/SK/SDM/2015 tanggal 2 Februari 2015. Dia dihukum penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun. Mengapa rektor baru USU harus mencabut kedua SK Rektor di atas ini? Tidak lain karena Kemendikbud telah mengabaikan SK Rektor USU (2016-2021) No. 82/UN5.1.R/SK/KPM/2021 tanggal 14 Januari 2021 yang menyatakan bahwa Muryanto Amin (rektor 2021-2026) telah dengan sah dan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan otoplagiasi. Kedua dosen USU yang disebutkan di atas (Dr Maulida ST MSc dan Drs Arifin Lubis MM Ak) dijatuhi hukuman atas desakan dari Kemendikbud waktu itu. Hari ini, Kemendikbud malah menganulir keputusan Rektor USU (2016-2021) yang menyatakan Muryanto Amin terbukti melakukan otoplagiasi. Kepada kedua staf pengajar ini harus diberikan kompensasi. Mereka menderita kerugian material dan non-material yang disebabkan keputusan yang tidak seharusnya ditimpakan kepada mereka jika berpedoman pada kasus Muryanto. Kemendikbud harus bertanggung jawab atas kedua keputusan masa lalu itu yang hari ini dibuktikan keliru total. Kenapa ada tanggung jawab Kemendikbud? Karena, kata para dosen USU, kedua surat keputusan otoplagiasi 2013 dan 2015 itu diterbitkan atas desakan Kementerian. Jika nama baik kedua dosen itu tidak dipulihkan dan tidak ada kompensasi, berarti Rektor Muryanto Amin melakukan “moral crime” (kejahatan moral) yang sangat tak pantas dilakukan oleh seorang pimpinan lembaga keilmuan yang berbasis kejujuran dan keadilan. Kedua dosen yang dihukum otoplagiasi di masa lalu itu bisa melancarkan gugatan kalau Rektor USU dan Kemendikbud tidak segera memulihkan nama baik mereka. Sebagai langkah awal, kedua dosen tsb bisa melayangkan somasi yang berisi tuntutan permintaan maaf secara terbuka di sejumlah media cetak dan media elektronik.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Guru Bukan Ban Serep di Bidang Pendidikan

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Langkah pemerintah meniadakan rekrutmen formasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk guru, dan diganti dengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), perlu ditinjau kembali. Selain memperpanjang status yang terkatung-katung kepada para tenaga pendidik, keputusan tersebut juga mencederai rasa keadilan. Bagaimana tidak, nyaris satu juta tenaga honorer telah berdiri dalam antrean penantian panjang untuk meraih kesejahteraan. Bahkan ada yang tiga puluh tahun menekuni profesi, mendidik generasi penerus negeri ini. Mengabdi dengan ikhlas. Namun statusnya tidak berubah. Masih tetap sebagai tenaga honorer yang minim perhatian negara. Bukan status itu yang digugat. Tetapi apresiasi dan keberpihakan negara. Bayangkan, para guru honorer ada yang gajian pertiga bulan. Jumlahnya pun sangat kurang memadai. Bahkan cenderung tidak manusiawi. Bagaimana mungkin, sosok-sosok yang terdepan dalam membangun bangsa ini, digaji Rp. 100.000 per bulan? Dengan desakan kebutuhan dan harga-harga yang semakin melambung, nominal tersebut sangat jauh dari kata layak. Data dan fakta tersebut dapat dengan mudah kita temukan di lapangan. Bahkan menjadi satu aspirasi yang disampaikan oleh forum guru yang tergabung dalam Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Non Kategori Usia 35 ke Atas (GTKHNK 35+) yang baru-baru ini beraudiensi dengan saya selaku Senator dan Anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang membidani sektor pendidikan. Padahal aspirasi soal penetapan status dan kesejahteraan ini sudah puluhan tahun disampaikan. Pergantian menteri dan pergantian pejabat di lingkup Kemendikbud, hingga pemerintah pusat, belum ada satupun yang bertindak konkret. Sebaliknya, harapan demi harapan terus ditumpuk. Gimik kebijakan seolah menunjukkan keberpihakan. Faktanya, masih jauh panggang dari api. Adapun soal kualitas yang selalu dipertanyakan oleh pemerintah, apakah memang sudah ada upaya untuk meningkatkan kualitas para tenaga pendidik honorer kita? Apa langkah konkret negara dalam hal ini? Sementara persoalan mendasar seperti pemenuhan standar gaji yang layak saja, tidak dipenuhi. Tak ayal, keputusan yang ditetapkan pemerintah untuk tidak menerima PNS bagi guru pada tahun 2021 ini, bagai mimpi buruk di siang hari. Harapan menikmati kesejahteraan semakin jauh dari kenyataan. Padahal pada kesempatan yang sama, pemerintah juga mengakui membutuhkan satu juta guru baru. Namun ada kesan seolah menghindari para guru honorer ini untuk diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Misalnya terlihat dari peralihan menjadi rekrutmen PPPK atau abdi negara berstatus kontrak. Lagi-lagi, ini hanya menjadi semacam fatamorgana dari aspirasi yang sudah jelas-jelas disampaikan oleh para guru dan berbagai elemen pendidikan soal dorongan untuk mengangkat para tenaga honorer sebagai ASN. Argumentasi yang sayup-sayup kita dengar, juga dirasakan oleh para tenaga honorer adalah mereka dipandang tidak relevan. Para guru yang umumnya senior dan sudah lama mengabdi ini, semacam dianggap tidak qualified untuk menjadi tenaga pendidik di era kekinian. Era teknologi informasi dimana kebutuhan tenaga pendidik dituntut untuk adaptif dengan perkembangan zaman. Pandangan itu, seolah mengubur akumulasi jasa dan kontribusi yang sudah lama jadi sumbangsih mereka. Padahal, para guru honorer ini bisa dilatih untuk kemudian melalui proses assesment agar kualifikasinya tetap relevan. Memberikan pelatihan bagi insan pendidik yang sudah punya dasar yang matang ditambah pengalaman panjang berkecimpung di kelas-kelas, tentu jauh lebih efektif. Berbeda misalnya dengan rekrutmen tenaga pendidik yang betul-betul baru. Proses ini yang tampaknya coba dilompati oleh pemerintah dengan legitimasi berbagai keputusan dan kebijakan yang ditempuh. Termasuk meniadakan rekrutmen ASN guru yang digantikan dengan PPPK, dengan dalih ini bagian dari proses mensejahterakan guru. Pertanyaanya, jika bisa dilakukan secara langsung, kenapa harus dibuat proses berbelit-belit yang terkesan diada-adakan? Lagi pula, tuntutan mengangkat tenaga honorer sebagai ASN merupakan aspirasi yang sudah disuarakan puluhan tahun. Pada saat yang sama, sekali lagi, pemerintah memang membutuhkan satu juta tenaga pendidik baru. Lantas mengapa para guru honorer ini tidak langsung ditetapkan saja sebagai ASN sebagaimana tuntutan rekan-rekan guru tersebut? Perlu dicatat, bahwa Guru bukan ban serep. Para tenaga pendidik bukan komponen cadangan di bidang pendidikan. Tetapi merupakan organ elementer dalam sistem pendidikan kita. Guru adalah bagian dari proses pendidikan yang berjalan berkesinambungan. Memperlakukan para guru seperti tenaga kerja sebagai faktor produksi dengan status kontrak, mencederai rasa kemanusiaan. Demikian juga membatasi usia guru untuk diberi peluang sebagai ASN, sama perihnya. Menegasi apresiasi yang mestinya diterima oleh para guru. Lalu bagaimana mungkin bangsa ini bisa maju, jika muncul pikiran-pikiran dan kebijakan diskirminatif seperti itu kepada guru? Saya selaku anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, mendorong DPD secara kelembagaan agar mendesak pemerintah untuk segera ada pengangkatan para tenaga honorer sebagai ASN. Diikuti proses assesment untuk meningkatkan kompetensi para tenaga pendidik kita. Selain itu, proses apresiasi kepada para honorer ini, juga tidak boleh diklasifikasi dan diskriminatif. Termasuk menolak adanya pembatasan usia. Penulis adalah Senator Komite III Bidang Pendidikan DPD RI.