PENDIDIKAN

Kemkominfo Akan Ubah STMM Yogyakarta Jadi Institut Digital Nasional

Jakarta, FNN - Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemkominfo RI) akan mengembangkan Sekolah Tinggi Multi Media (STMM) Yogyakarta jadi Institut Digital Nasional pada 2022, kata Menkominfo Johnny Gerard Plate saat rapat kerja bersama DPR RI di Jakarta, Senin (07/06/21) Pengembangan itu bertujuan agar Institut Digital Nasional dapat memenuhi kebutuhan sumber daya terampil bidang teknologi digital di Indonesia, kata Johnny di hadapan anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). “Inisiatif Kementerian Kominfo pada 2022 yaitu pengembangan Sekolah Tinggi Multi Media Yogyakarta jadi Institut Digital Nasional. (Pengembangan, Red) itu bertujuan mengatasi kebutuhan talenta digital di level hilir,” terang Menkominfo saat rapat kerja bersama Komisi I DPR RI. Kemkominfo, kata Johnny, berencana memperluas cakupan kurikulum STMM Yogyakarta agar tidak hanya sebatas multimedia, tetapi juga teknologi digital, komunikasi dan media digital, ekonomi digital, serta tata kelola dan kebijakan-kebijakan digital. “Kami berharap STMM tidak hanya terkait dengan kurikulum multimedia, tetapi juga dapat jadi pusat riset unggulan,” ujar dia menambahkan. Terkait rencana itu, STMM Yogyakarta belum dapat langsung dihubungi untuk diminta tanggapannya. Dalam rapat kerja yang sama, Menkominfo menegaskan transformasi digital akan jadi fokus yang melandasi berbagai program kerja Kemkominfo pada 2022. Program-program kerja itu sebagian besar akan melanjutkan program yang telah berjalan pada 2020 sampai 2021, antara lain penyediaan infrastruktur telekomunikasi, penguatan infrastruktur digital pemerintah, penguatan tata kelola data termasuk pertukaran data lintas batas, dan penguatan komunikasi publik termasuk platform digital, ujar Johnny menambahkan. Terkait penyediaan infrastruktur, Kemkominfo pada 2022 berencana membangun lebih banyak stasiun pemancar atau base transmission station (BTS). Sejauh ini, ada 1.682 BTS yang aktif beroperasi, dan pemerintah masih akan menyelesaikan 4.200 BTS pada 2021. Untuk 2022, Kemkominfo akan lanjut mendirikan 3.704 BTS sehingga diharapkan akan ada 9.586 pada akhir 2024. Di samping BTS, Kemkominfo juga masih akan membangun infrastruktur kabel untuk optimalisasi pemanfaatan satelit Palapa Ring, serta titik-titik akses Internet baru pada 2022. Tidak hanya menyampaikan soal program kerja, Menkominfo juga memaparkan rencana anggaran 2022. Kemkominfo mendapat pagu alokasi APBN sebanyak Rp16,96 triliun, sementara pagu indikatif pada tahun 2023 sebesar Rp21,76 triliun. "Dengan demikian, pagu pada tahun 2022 ada kenaikan sebesar Rp4,8 triliun atau 28,30 persen apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya," ujar Menkominfo. (sws)

UKI Ingatkan Perlunya Civitas Akademika Bergotong Royong

Jakarta, FNN - Rektor Universitas Kristen Indonesia Dr Dhaniswara K Harjono mengingatkan civitas akademika UKI untuk saling bergotong-royong dalam menghadapi masalah bangsa. Dhaniswara K Harjono dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis, mengingatkan hal itu dalam rangka memperingati Hari lahir Pancasila. “Sebagai karakter dan kepribadian bangsa Indonesia, kita sudah buktikan bahwa dengan bergotong-royong, tidak ada yang tidak dapat kita selesaikan," kata dia. Dia juga meyakini upaya untuk keluar dari kesulitan akibat pandemi COVID-19 pun dapat berhasil dengan cara bergotong-royong. "Dengan semangat nilai UKI, yaitu, 'Berbagi dan Perduli', Pancasila sebagai dasar negara mengajarkan untuk peduli terhadap sesama, apapun latar belakangnya, dalam keberagaman, kita mampu berbagi dan melayani sesama,” kata Dr Dhaniswara K Harjono. Sebagai langkah nyata, civitas akademika Universitas Kristen Indonesia memberikan makanan gratis kepada masyarakat di area kampus UKI Cawang, Jakarta. Kegiatan itu digelar selama tiga bulan dengan memberikan 500 bungkus nasi, masker dan vitamin guna meringankan beban masyarakat di tengah situasi Pandemi COVID-19. Bantuan yang diberikan berupa 500 paket makan pagi, 500 masker dan 500 vitamin B dan C. “Dengan imbauan jaga jarak dan datang bergantian, aksi sosial ini akan dilaksanakan setiap hari," kata dia. Kemudian, lanjut Dhaniswara sasaran bantuan tersebut yaitu masyarakat yang secara ekonomi terdampak akibat pandemi COVID-19. "Misalnya, ojek online, pedagang kaki lima (PKL), warga sekitar, serta warga UKI seperti mahasiswa, satpam, hingga pramu kantor, juga menerima paket bantuan,” ucap Dhaniswara. Perguruan tinggi tersebut membentuk tim bernama Gugus Tugas UKI Peduli Dampak COVID-19, untuk meminimalkan dampak pandemi di civitas akademika dan masyarakat sekitar. "Bersama alumni, mahasiswa dan civitas akademika UKI, kami peduli dengan situasi pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia saat ini,” kata Rektor UKI itu. Tim Gugus Tugas UKI Peduli Dampak COVID-19 membentuk dapur umum koinonia untuk menyediakan makanan sehat berupa 150 nasi bungkus untuk dibagikan secara gratis kepada mahasiswa UKI, terutama mahasiswa yang terdampak COVID-19 dan mahasiswa yang tinggal di kos sekitar UKI. Dapur umum bertempat di kantin UKI Cawang. Selain itu Tim Gugus Tugas UKI Peduli Dampak COVID-19 memberikan bantuan antara lain sembako untuk mahasiswa UKI, untuk petugas kebersihan dan petugas keamanan di UKI. Lebih lanjut, masker untuk mahasiswa, masyarakat sekitar Kelurahan Cawang, dan pulsa untuk mahasiswa UKI yang memerlukannya. Para dosen dan staf UKI menggalang dana untuk membantu pengadaan alat pelindung diri RS UKI dan untuk pembuatan hand sanitizer. Ketua Gugus Tugas UKI Peduli Dampak Covid 19, Hulman Panjaitan, menjelaskan gugus tugas membantu menyusun aturan dan persiapan kampus sehubungan dengan kondisi kenormalan baru di UKI. "Kegiatan perkuliahan dilakukan dengan metode online learning dan mahasiswa diimbau untuk tetap melaksanakan kegiatan sehari-hari dengan menerapkan pola hidup sehat dan bersih," ujarnya.

Kuat Dugaan Dirjenbud Hilmar Farid Ingin Memutihkan PKI?

by Asyari Usman Jakarta, FNN - Saat ini sedang viral soal nama KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU) yang dihilangkan dari Kamus Sejarah Indonesia (KSI) Jilid 1 terbitan Kemendikbud. Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Dr Hilmar Farid (HF) mengatakan bahwa itu terjadi karena kealpaan. Buka kesengajaan. Kalau dia alpa, maka itu berarti Hilman sangat khusyuk dengan nama-nama pentolan PKI yang dia cantumkan di KSI Jilid 1 yang kini ditarik dari peredaran. Skenario sengaja membuang nama KH Hasyim Asy’ari sangat masuk akal. Mengapa? Karena para ulama adalah musuh utama PKI. Sangat mungkin Hilmar tidak ingin generasi muda mengetahui perlawanan warga NU terhadap berbagai pemberontakan PKI di Indonesia. Ada video lama (2011) yang berjudul “Kaum Kiri dalam Historiography Orde Baru”. Bisa ditonton di Youtube. Di video ini, Hilman blak-blakan membela PKI. Video ini membuat saya tak percaya penghapusan nama Kiyai Hasyim Asy’ari itu tak disengaja. Setelah mencermati video berdurasi 5 menitan itu, tidaklah berlebihan kalau disimpulkan bahwa Hilmar ingin memutihkan PKI. Dan kalau Anda amati selama 15 tahun ini, sangat terang-terangan sekali upaya pemutihan atau rehabilitasi PKI yang diupayakan oleh banyak pihak. Masih di video 2011 itu, Hilmar mengatakan para penguasa Orde Baru merekayasa peristiwa sadis yang dilakukan oleh PKI pada 30 September 1965. Menurut Hilmar, landasan Orde Baru untuk berkuasa ialah dengan menginjak PKI. Meskipun sudah 10 tahun berlalu, video ini bagus untuk disimak agar Anda tahu persis tentang pikiran Hilmar Farid. Menurut hemat saya, dia punya agenda jangka panjang untuk membersihkan nama PKI dari perbuatan keji dan kejam yang mereka lakukan terhadap para jenderal AD dan para ulama serta umat Islam pada umumnya. Sekali lagi, saya yakin penghapusan nama KH Hasyim Asy’ari dari KSI Jillid 1 bukan kealpaan sebagaimana dikatakan oleh Hilmar. Tidak mungkin. Yang terjadi adalah penghapusan ketahuan, Hilmar pun membuat-buat alasan. Jadi, memang luar biasa dahsyat misi PKI untuk bangkit kembali. Didukung oleh banyak pihak. Ada parpol besar yang menampung dan menyokong mereka. Ada HF, sejawaran, yang juga mendukung. Sejak 2015, pria yang bernama lengkap Hilmar Farid Setiadi ini menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud. Posisi ini sangat strategis. Sebab, Dirjenbud berwenang mengelola, mengolah, dan menerbitkan buku sejarah. KSI Jilid 1 termasuk dibidani oleh HF. Di bagian awal tadi, saya katakan bahwa Hilmar tak salah kalau disebut ingin memutihkan PKI. Nah, mengapa dia pantas disebut ingin memutihkan PKI? Salah satu indikasinya adalah tesis doktor (PhD) yang dia tulis di National University of Singapore (NUS), Mei 2014. Judul tesis itu “Rewriting the Nation: Pramoedya and the Politics of Decolonization”. Tanpa membaca tuntas isi tesis ini, judulnya jelas membela gerakan kiri Indonesia. “Rewriting the Nation” lebih kurang bermakna menuliskan kembali sejarah bangsa (Indonesia). Kemudian, “Pramoedya” adalah nama tokoh gerakan kiri yang dinisbatkan sebagai pendukung PKI. Dalam tesis ini, Hilmar menukilkan kekaguman dan pujiannya pada kemampuan Pramoedya Ananta Toer dalam menuliskan sejarah versi Indonesia, bukan versi Belanda. Bagi HF, tidak ada penulis Indonesia yang bisa melakukan itu sebaik Pramoedya. Di dalam tesis ini, Hilmar memuji kehebatan perlawanan intelektual orang-orang yang disebutnya dari pergerakan kiri terhadap penjajah Belanda. Dia sebut penulis pergerakan seperti Marco Kartodikromo (1890-1935), Semaoen (1899-1971), dan Muso (1897-1948). Hilmar tidak menyebutkan mereka anggota atau aktivis komunis (PKI). Dia hanya menyebut mereka itu bagian dari “penulis pergerakan radikal”. Tetapi, Hilmar Farid ada menyebutkan tentang Partai Komunis (tanpa kata “Indonesia” di belakangnya) yang membentuk komisi bahan bacaan. Yang menerbitkan tulisan-tulisan propaganda untuk melawan Balai Poestaka (BP). Waktu itu, BP memang menjadi mesin propaganda penjajah. Jadi, Hilmar bukan orang sembarangan. Dia adalah seorang ideolog kiri. Tepatnya ideolog kebudayaan. Kehadirannya di Kemendikbud bukan hadiah atas dukungannya untuk Jokowi. Meskipun sebelumnya dia sempat menjadi komisaris di PT Krakatau Steel. Dia bisa dipastikan sebagai bagian dari ‘design’ untuk mentransformasikan rakyat Indonesia menjadi penyembah kebudayaan. Dalam transkrip wawancara dengan BBC yang dimuat di situs “hilmar farid”, Hilmar menjelaskan impiannya tentang orang Indonesia yang hari-hari mengutamakan kebudayaan. Tidak ada satu kata pun yang menyinggung soal pembinaan relijiusitas (dakwah). Tak salah kalau ada yang menyimpulkan bahwa Hilmar tidak suka hal-hal yang berbasis keagamaan –terutama Islam. Semasa menjadi aktivis, HF mengakui kegiatannya untuk melestarikan kebudayaan selalu terbentur dana penyelenggaraan kegiatan. Dia menginginkan ada berbagai festival kebudayaan (kesenian) yang bisa berlangsung (berusia) panjang. Hilmar memuji “Indonesian Dance Festival” yang bisa berlangsung panjang. Juga ada “Art Summit” dan “Jiffest”. Di awal masa jabatannya sebagai Dirjenbud, Hilmar berpendapat acara-acara kebudayaan itu seharusnya bisa didukung oleh dana CSR dari BUMN atau swasta. Dibuatkan regulasinya atau dilakukan pendekatan kepada pimpinan perusahaan. Hilmar Farid adalah orang pertama dari luar jalur PNS yang menjabat sebagai Dirjenbud. Pria kelahiran Bonn, Jerman, ini adalah aktivis kiri yang banyak membentuk wadah perjuangan. Pada 1994, dia mendirikan Jaringan Kerja Budaya. Dia juga membentuk Media Kerja Budaya yang menerbitkan bacaan reguler anak-anak. Belum sempat melihat sendiri bahan bacaan anak-anak itu. Tapi, sudah bisa diduga kontennya seperti apa. Hilmar tidak segan-segan mengutarakan kekagumannya pada Jokowi. Dia mengaku mulai kenal Jokowi sejak menjadi walikota Solo. Dia senang ketika Jokowi yang didukungnya habis-habisan itu menang pilkada DKI 2012 dan kemudian pilpres 2014. Pada Maret 2012, Hilmar bersama sejumlah rekannya mendirikan Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB). HF juga mendirikan Institut Sejarah Sosial Indonesia pada 2002. Kemudian, sejak 2012 Hilmar duduk sebagai ketua Perkumpulan Praxis. Hilmar memiliki kapasitas untuk menjadikan kebudayaan sebagai panutan dan amalan rakyat. Ini sejalan dengan keinginan ketum PDIP Megawati Soekarnoputri yang menghendaki agar rakyat Indonesia mengutamakan kebudayaan –bukan agama. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Kontroversi Nadiem Makarim Hapus Pendidikan Pancasila

by Asyari Usman Medan, FNN - Hari-hari ini sedang ribut soal Mendikbud Nadiem Makarim yang menghapus Pancasila dari daftar mata kuliah wajib. Bermunculan protes. Tak pelak lagi, Nadiem menjadi sasaran kecurigaan. Dia diduga tidak punya pemahaman tentang Pancasila, dlsb. Kontroversi ini muncul setelah PP Nomor 57/2021 yang meniadakan Pancasila sebagai mata pelajaran dan mata kuliah wajib. Setelah dikritik keras di sana-sini, akhirnya Menteri Nadiem merevisi PP ini. Pancasila dan bahasa Indonesia tetap wajib diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi. Satu pertanyaan: apakah tuan-puan sekalian menyangka para pejabat, elit kekuasaan, elit politik, elit bisnis, dll, masih ada yang teringat dengan Pancasila? Yang masih mengamalkan Pancasila? Tentu Anda semua tahu jawabannya. Karena tahu jawabannya, pastilah Anda bisa paham mengapa Nadiem tidak peduli dengan Pancasila. Dia merevisi PP 57 itu tidak berarti hati dan pikirannya berisi nilai-nilai Pancasila. Bisa saja karena kontroversi penghapusan Pancasila itu ditentang keras oleh para ulama dan para tokoh bangsa serta pakar pendidikan yang mengkhawatirkan arah pembinaan spiritual bangsa. Tapi, apakah penghapusan itu salah Nadiem? Bukan. Itu kesalahan Presiden Jokowi yang berharap Nadiem bisa melakukan transformasi pendidikan supaya orang Indonesia bisa menjadi seperti Nadiem. Dia sukses dengan Gojek-nya. Jokowi kagum sekali dengan Nadiem yang bisa menjadi pengusaha hebat hanya bermodalkan aplikasi. Jadi, Jokowi ingin sekali anak-anak Indonesia ini menjadi inovatif seperti Nadiem. Tapi, Jokowi lupa bahwa inovasi Gojek dan sejenisnya hanya sebatas pengorganisasian penjualan jasa angkutan. Buka tidak penting. Penting juga. Cukup bagus organisasi Gojek itu. Namun, yang menjadi masalah krusial bagi Indonesia ini adalah inovasi produk yang berbasis riset. Semua produk. Baik itu produk pertanian, kelautan, elektronik, persenjataan, alat transportasi, dlsb. Ini kalau kita bicara soal inovasi yang diperlukan untuk mengangkat harkat ekonomi-bisnis rakyat. Bukan semata sukses bisnis aplikasi ala Nadiem itu saja. Kembali lagi kita ke soal Pancasila di mata Nadiem. Kelihatannya, dia tidak memikirkan aspek spiritual dalam menggapai sukses bisnis. Yang penting orang harus berpikir dan bertindak kapitalis. Menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya. Tidak ada istilah pemerataan. Tidak kenal keadilan ekonomi. Karena itu, nilai-nilai Pancasila hanya akan menggannggu gerak maju bisnis. Dari kalkulasi inilah Nadiem melihat mata pelajaran atau mata kuliah Pancasila tidak perlu diajarkan. Sebab, nilai-nilai Pancasila mengajarkan orang berbagi, peduli sesama, dan mengingatkan orang tentang kehidupan kekal yang hanya bisa dipahami melalui konsep Ketuhanan Yang Masa Esa. Sila pertama Pancasila ini bertentangan dengan prinsip cari duit sebanyak-banyaknya yang dipraktikkan Nadiem selama ini. Sekarang kita lihat apakah Nadiem masih layak duduk sebagai menteri pendidikan. Kalau Jokowi masih menganggap penting Ketuhanan Yang Maha Esa dengan segala nilai dan syariat yang membatasi ketamakan dan kerakusan, tentu saja Nadiem tidak cocok lagi mengemban tugas pendidikan. Sebaliknya, kalau Jokowi berpandangan sama dengan Nadiem, berarti pendidikan Pancasila tidak perlu ada. Dan itulah sesungguhnya yang ingin mereka lakukan ketika menerbitkan PP 57/2021. Revisi adalah sekadar reaksi ketika publik menjadi resah.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

BRIN dan Kemenriatek Dipisah, Politis?

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Tak bisa dipungkiri. Keputusan Presiden Joko Widodo memisahkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dari Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) mencerminkan dominannya pertimbangan politik dalam strategi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Editorial Koran Tempo, Kamis (8/4/2021), menulis Kisruh BRIN ini bermula dari keinginan PDIP untuk ikut mendesain lembaga yang dirancang menjadi payung semua kegiatan riset dan inovasi di Indonesia itu. Di Dewan Perwakilan Rakyat, Fraksi PDIP memang aktif mengawal pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, peraturan yang menjadi dasar pendirian BRIN. Namun, desain BRIN ala Fraksi PDIP itu rupanya tak cocok dengan rencana yang disiapkan Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro. Akibat silang pendapat itu, Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2019 yang menjadi dasar bukum struktur Kemenristek tidak kunjung diperbaharui ketika masa berlakunya berakhir pada 30 Maret 2020. Koran Tempo menilai, penetapan BRIN sebagai lembaga otonom tak bakal serta-merta menjadi solusi atas mandeknya riset dan inovasi di negeri ini. Apalagi jika Kementerian Riset dan Teknologi justru dilebur dalam ementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Keputusan Jokowi itu malah bisa menjadi blunder besar bagi dunia penelitian kita. Rencana pemisahan BRIN dari Kemenristek ini jelas lebih didorong syahwat politik PDIP ketimbang motif memajukan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Ditambah lagi rencana penghapusan Kemenristek dengan meleburkan fungsinya pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini, keduanya merupakan langkah mundur dalam desain dan strategi kebijakan riset nasional kita. Dalam Surat Presiden Nomor R-14/Pres/03/2021 yang dikirim ke DPR terkait pembubaran Kemenristek dan pembentukan Kementerian Investasi, disebutkan bahwa jika pembentukan kementerian baru itu adalah untuk meningkatkan investasi di Indonesia. Menurut Dipo Alam, jika untuk menaikkan investasi butuh dibentuk kementerian baru di Kabinet, mengapa untuk memajukan riset justru dilakukan dengan cara sebaliknya, yaitu menghapus Kemenristek yang sudah ada di Kabinet?! Peneliti Pusat Analisa Perkembangan Iptek LIPI (1990-1993) itu mengungkapkan, secara kelembagaan BRIN dengan BKPM kurang lebih setara, yaitu termasuk Lembaga Non-Struktural (LNS) dan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK). UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, yang menjadi dasar hukum pendirian BRIN, juga hanya memerintahkan pendirian BRIN saja, dan bukannya memerintahkan pembubaran Kemenristek. Jika pemerintah benar-benar ingin memajukan riset, sudah seharusnya BRIN tetap dibiarkan menginduk ke Kemenristek seperti yang sudah berjalan sejauh ini. Mendesain BRIN sebagai otonom di luar kementerian bisa membuat kabinet yang ada malah kehilangan efektivitasnya. Seperti disebut Koran Tempo, PDIP yang aktif mengawal pengesahan UU Nomor 11 Tahun 2019, menginginkan agar ketua umumnya didapuk menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN. Upaya untuk mendorong ke arah itu telah dilakukannya dengan menunggangi RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang tahun lalu sempat menjadi kontroversi. Memang sangat ganjil, naskah RUU yang seharusnya fokus pada bagaimana melembagakan nilai-nilai Pancasila, jika kita periksa dengan seksama, ternyata banyak sekali memuat soal BRIN. Dipo Alam melihat, ada 5 pasal dalam RUU HIP yang secara tegas menyebut BRIN, yaitu Pasal 35, 38, 45, 48 dan pasal 49. Misalnya, bunyi Pasal 35 Ayat (2): “Untuk menjamin terlaksananya HIP dalam sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk kementerian/badan riset dan inovasi nasional untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.” Pasal itu cukup menjadi pertanyaan, mengingat perintah untuk mendirikan BRIN sebenarnya sudah tercantum dalam UU Nomor 11 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah diundangkan oleh Pemerintah sendiri sejak 13 Agustus 2019. Namun, hal yang sekilas menjadi pertanyaan itu masuk akal kalau kita menghubungkannya dengan Pasal 48 ayat (6) RUU HIP, yang berbunyi, “Ketua dewan pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a menjabat ex officio ketua dewan pengarah di badan yang menyelenggarakan riset dan inovasi nasional.” Sebagai “ketua dewan pengarah” dalam RUU HIP: ketua dewan pengarah dari badan yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan ideologi. Sekilas, model kelembagaan ristek seperti ini sangat mirip dengan yang dipraktikkan Partai Komunis China (PKC) di China. Mengapa sebuah undang-undang yang seharusnya hanya mengatur sebuah badan tentang pembinaan Pancasila, bisa mengatur badan lain yang mengurusi riset dan inovasi naqsional, sebuah bidang yang bersifat sangat praktis?! Tepatkah menempatkan lembaga yang berurusan dengan soal riset di bawah kontrol sebuah lembaga indoktrinasi, yang notabene dipimpin oleh seorang ketua umum partai politik? Berbagai pertanyaan di atas, kian memuncak jika membaca Pasal 45 ayat (1) dan (2) RUU HIP, yang memberikan wewenang sangat besar kepada ketua dewan pengarah dalam mengontrol dan mengatur badan riset dan inovasi nasional. Padahal, jika kita membaca Perpres Nomor 74 Tahun 2019 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional, yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Oktober 2019, sama sekali tidak disebutkan adanya posisi dewan pengarah. Semua kewenangan atas BRIN yang dimiliki oleh ketua dewan pengarah tadi, sebenarnya bertabrakan dengan tugas dan kewenangan pimpinan BRIN yang telah diatur dalam Perpres. Pimpinan BRIN sendiri terdiri dari Kepala, Sekretaris Utama, dan para Deputi. Badan Riset Prof. Widi A. Pratikto, guru besar ITS yang pernah menjadi Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) semasa Prof. Rokhmin Dahuri sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan bercerita tentang peran Badan Riset dan Ketangguhan Kementerian. Prof. Rokhmin memberikan misi diantarannya: 1. Pengelolaan KP3K 2. Menbangun Jejaring untuk Pengelolaan 3. Melakukan Jejaring Nasional dan Internasional. Dalam Leadership sebagai Menteri, Prof. Rokhmin memberikan bingkai arahan dan support kepada mereka ini sebagai Pelaksana melakukan hal operasional. Secara Nasional rasanya bisa pula Presiden kepada Para Menko dan Menteri-menterinya. Dalam Giat Kelautan maka Symphoni menjadi menarik dan Ekonomi bergerak bila seluruh Komponen dan Anak Bangsa terlibat. Diagram berikut Skema Program Mitra Bahari (PMB). Dalam Kewilayahan Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka Tupoksi Implementasi Operasional KKP terkait Laut dan Pesisir bisa di-support melalui PMB tersebut di atas. Badan Riset di Kementrian adalah Perlu dan Startegis. Banyak hal terkait Future Engagement dan Development maka Badan Riset sangat diperlukan Kementrian. Untuk KKP misalnya, akan menjadi paradigma baru berbagai Kegiatan Kerjasama di luar ZEE yang akan dikelola. Tantangan dan Perumusan terkait Food Security dan Energy, maka Badan Riset amat sangat diperlukan. Dalam Agenda Nasional maka Kemendikbud dan Kemenristek penjaga Future Development dan Competitive Ness Bangsa dan Negara selama dijaga oleh Menteri yang Profesional dan Berpengalaman. Efesiensi dan efektivitas dalam operasionalisasi perlu dicermati. Terutama dengan berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), maka peran Kementrian perlu dilihat dengan seksama. Inovasi dari Kemenristek dan Kemendikbud sangatlah erat. Dampak dari dua Kementrian ini dengan Stabilitas Perekonomian Negara amatlah besar. Pendidikan mengandung Investasi di mana Leadership sorang menteri diperlukan, demikian pula Kemenristek. Motivasi adalah perilaku Contoh. Dua Menteri tersebut di atas bukan sekedar Kepala Kantor namun Inspirator, Motivator, dan paham atas kualitas dari proses Pendidikan dan Penelitian. Bebantuan dan Peningkatan Peran Propinsi perlu dilakukan seirama dengan berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014. Kemendagri segyonya banyak berkonsentrasi dalam hal ini terutama terkait tantangan baru VUCA (Volatilitas, Unceryainty, Complexity, dan Uncertainty). Seyogyanya Ristek dan Dikbud itu harus diperkuat dan terdepan. Beberapa mata kuliah dari Dikdasmen dan Perguruan Tinggi harus disiapkan. Perubahan dua mata kuliah perlu dilakukan untuk mengantisipasi VUCA tersebut dalam berbagai peri kehidupan. Tugas kita melakukan konsolidasi dan penyiapan operasionalsasi dan membantu Daerah Provinsi dan Kabupaten Kota dalam Pendidikan, Riset, dan Teknologi menghadapi VUCA. Sehingga patut melihat bahwa Kreativitas – Innovasi terkait dengan Pendidikan, Riset, dan Teknologi dan bukan berarti digabung namun diberdayakan. Dan, penyiapan operasi ke Propinsi mesti di-support. VUCA sudah di sekitar kita. Prof. Widi mengingatkan, jangan coba dan mencoba sebelum berhitung atas konsekwensi dan resiko. Inilah perenungan nasib bangsa ke depan, untuk kembali ke lembaga-lembaga yang memiliki kadar mengawal sunatullah, kita untuk merubah ada akal melalui Pendidikan, Penelitian, dan Teknologi yang dilakukan dan dikerjakan. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Lembaga Ristek Dalam Bayang-Bayang Indoktrinasi

by Dipo Alam Jakarta, FNN - Setelah bereksperimen mengeluarkan Dirjen Pendidikan Tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ke Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) pada periode pertamanya dulu, sebuah eksperimen yang terbukti gagal dan kemudian dianulir sendiri setelah lima tahun; di periode keduanya ini Presiden Joko Widodo kembali bereksperimen dengan “membubarkan” Kemenristek dan meleburnya ke Kemendikbud. Memang butuh waktu untuk menilai apakah keputusan ini akan berhasil atau kembali membentur kegagalan. Namun, kita bisa langsung menilai jika dari kacamata kebijakan publik dan manajemen riset, keputusan untuk “membubarkan” Kemenristek adalah sebuah keputusan yang buruk. Ada tiga alasannya. Pertama, mengubah nomenklatur kementerian di tengah jalannya pemerintahan dengan jelas menunjukkan jika pemerintah tidak memiliki horison perencanaan jangka panjang. Kecuali perubahan pejabat kementerian, susunan lembaga kementerian seharusnya sudah selesai begitu Presiden mengumumkan susunan kabinet. Tidak heran jika publik, terutama yang berkecimpung di dunia riset dan akademik, sulit mempercayai kalau perubahan ini benar-benar dimaksudkan untuk memperbaiki kelembagaan riset dan inovasi teknologi di tanah air. Walaupun, ketika itu diharapkan universitas kita menuju kiat research university. Kedua, riset jenjangnya berbeda dan bahkan jauh lebih tinggi daripada universitas serta lembaga pendidikan lainnya. Itu sebabnya, sejak Kementerian Riset pertama kali dibentuk pada masa Kabinet Kerja III (1962), dan bertahan hingga Kabinet Dwikora II (1966), kementerian ini tidak pernah berada satu kompartemen dengan bidang pendidikan dan pengajaran. Begitu juga ketika pemerintahan Orde Baru memasukkan kembali Kementerian Riset ke dalam nomenklatur kabinet sejak Kabinet Pembangunan II (1973-1978), posisinya tidak pernah disatukan dengan kompartemen pendidikan. Sehingga, menyatukan dapur riset dengan dapur pendidikan dan pengajaran bukanlah sebuah langkah langkah baru yang menjanjikan berhasil-guna. Ketiga, “pembubaran” Kemenristek terjadi bersamaan dengan munculnya nomenklatur baru bernama Kementerian Investasi di dalam kabinet. Menurut saya, ini sangat tragis. Di satu sisi Pemerintah beralasan pembubaran Kemenristek adalah karena sekarang telah ada BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Tetapi di sisi lain, mereka malah memunculkan kementerian baru dalam bidang investasi, padahal kita sudah memiliki BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Dalam Surat Presiden (Surpres) No. R-14/Pres/03/2021 yang dikirim kepada DPR terkait pembubaran Kemenristek dan pembentukan Kementerian Investasi, disebutkan jika pembentukan kementerian baru itu adalah untuk meningkatkan investasi di Indonesia. Kita pun jadi bertanya-tanya. Jika untuk menaikkan investasi butuh dibentuk kementerian baru di kabinet, kenapa untuk memajukan riset justru dilakukan dengan cara sebaliknya, yaitu menghapus Kemenristek yang sudah ada di kabinet?! Sebagai catatan, secara kelembagaan BRIN dengan BKPM kurang lebih setara, yaitu termasuk Lembaga Non-Struktural (LNS) dan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK). UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, yang menjadi dasar pendirian BRIN, juga hanya memerintahkan pendirian BRIN saja, dan bukannya memerintahkan pembubaran Kemenristek. Jika pemerintah benar-benar ingin memajukan riset, seharusnya BRIN tetap dibiarkan menginduk kepada Kemenristek seperti yang sudah berjalan sejauh ini. Mendesain BRIN sebagai organisasi otonom di luar kementerian dapat membuat kabinet yang ada malah kehilangan efektivitasnya. Bayang-bayang Indoktrinasi Ideologi Saya khawatir, keputusan Presiden untuk lebih memenangkan BRIN daripada Kemenristek ini lebih banyak didikte oleh kepentingan politik praktis daripada kepentingan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hari Kamis, 8 April 2021 kemarin, dalam tajuknya, Koran Tempo menulis jika PDI-P, yang aktif mengawal pengesahan UU No. 11/2019, menginginkan agar ketua umumnya didapuk menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN. Upaya untuk mendorong ke arah itu bahkan telah dilakukan dengan menunggangi RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang tahun lalu sempat menjadi kontroversi. Sangat ganjil, naskah RUU yang seharusnya fokus pada bagaimana melembagakan nilai-nilai Pancasila itu, jika kita periksa dengan seksama, ternyata banyak sekali memuat soal BRIN. Ada lima pasal dalam RUU HIP yang secara tegas menyebut BRIN, yaitu Pasal 35, 38, 45, 48 dan 49. Dalam Pasal 35 Ayat (2), misalnya, disebutkan, “Untuk menjamin terlaksananya Haluan Ideologi Pancasila dalam sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk kementerian/badan riset dan inovasi nasional untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.” Pasal tersebut cukup menjadi pertanyaan, mengingat perintah untuk mendirikan BRIN sebenarnya sudah tercantum dalam UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah diundangkan oleh Pemerintah sendiri sejak 13 Agustus 2019. Apa perlunya mengulangi hal itu, apalagi sampai mengandaikan jika perintah pendirian BRIN tersebut ada kaitannya dengan keinginan semacam “penataran” ideologi Pancasila? Namun, hal yang sekilas menjadi pertanyaan itu masuk akal kalau kita menghubungkannya dengan Pasal 48 ayat (6) RUU HIP, yang berbunyi, “Ketua dewan pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a menjabat ex officio ketua dewan pengarah di badan yang menyelenggarakan riset dan inovasi nasional.” Yang dimaksud sebagai “ketua dewan pengarah” dalam RUU HIP adalah ketua dewan pengarah dari badan yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan ideologi. Sekilas, model kelembagaan ristek seperti ini mirip dengan yang dipraktikkan Partai Komunis Cina (PKC) di Republik Rakyat Tiongkok. Sampai di sini muncul pertanyaan akhir: kenapa sebuah undang-undang yang seharusnya hanya mengatur sebuah badan tentang pembinaan Pancasila, bisa memiliki hasrat yang demikian besar untuk mengatur badan lain yang mengurusi soal riset dan inovasi nasional, sebuah bidang yang bersifat sangat praktikal?! Tepatkah menempatkan lembaga yang berurusan dengan soal riset di bawah kontrol sebuah lembaga indoktrinasi, yang notabene dipimpin oleh seorang ketua umum partai politik? Berbagai pertanyaan di atas, kian memuncak jika kita membaca Pasal 45 ayat (1) dan (2) RUU HIP, yang memberikan wewenang sangat besar kepada ketua dewan pengarah dalam mengontrol dan mengatur badan riset dan inovasi nasional. Padahal, jika kita membaca Perpres No. 74/2019 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional, yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Oktober 2019, sama sekali tidak disebutkan adanya posisi dewan pengarah. Selain itu, semua kewenangan atas BRIN yang dimiliki oleh ketua dewan pengarah menurut RUU HIP tadi, sebenarnya bertabrakan dengan tugas dan kewenangan pimpinan BRIN yang telah diatur dalam Perpres. Pimpinan BRIN sendiri terdiri dari Kepala, Sekretaris Utama, dan para Deputi. Saya kira, berbagai pertanyaan di atas perlu segera dijawab oleh Pemerintah, termasuk DPR yang telah menyetujui “pembubaran” Kemenristek. Jangan sampai kita mempertaruhkan masa depan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan di tanah air untuk kepentingan yang tidak jelas. Kebijakan ristek yang tidak jelas orientasinya tersebut tentunya sangat memprihatinkan. Apalagi, dalam lima belas tahun terakhir kompetensi sains kita, terutama di level pelajar, bisa dikatakan berada pada level yang buruk. Kalau kita merujuk pada peringkat PISA (Programme for International Student Assessment), misalnya, peringkat kita sangat rendah. Untuk nilai kompetensi Membaca, misalnya, Indonesia berada di peringkat 72 dari 77 negara. Sementara, untuk nilai Matematika, kita berada di peringkat 72 dari 78 negara. Dan nilai Sains berada di peringkat 70 dari 78 negara. Peringkat kita konsisten buruk sejak penilaian tersebut pertama kali dirilis pada tahun 2000 silam. Bagaimana kompetensi sains kita akan meningkat, jika kebijakan riset dan pendidikan kita dibiarkan tambal sulam tak punya arah semacam itu? Penulis adalah Peneliti PAPIPTEK (Pusat Analisa Perkembangan Iptek) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1990-1993)

Komite III DPD RI Mendukung Guru Honorer Menjadi PNS Tanpa Tes

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Konon, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Konon, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tetapi teramat sulit melihat relasi yang menjembatani dua ungkapan itu pada persoalan guru honorer. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Problem guru honorer justru terasa lekat dengan pribahasa yang sangat ini. Mereka punya kewajiban besar dengan hak yang super minimalis. Mereka diharapkan profesional, namun tidak diberikan kepastian kerja. Dan mereka telah mengabdi puluhan tahun, namun tak kunjung menerima apresiasi layak dari negara. Sebagian guru honorer, bahkan telah menghabiskan separuh hidupnya mencetak generasi penerus bangsa. Mereka, yang seluruhnya telah berumur di atas 35 tahun ini, membentuk wadah Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Non Kategori 35 tahun ke atas (GTKHNK 35+). Melalui wadah itu, para pahlawan tanpa tanda jasa ini memperjuangkan dirinya. Meraka bukan sedang melawan penjajah Asing, tetapi mereka melawan arogansi pengelola negerinya sendiri. Saya sebut arogan karena negara seperti menutup mata pada jasa panjang pengabdian mereka sebagai guru honorer non kategori 35 tahun ke atas. Untuk guru, pemerintah sepertinya sangat kekurangan anggaran. Tetapi tidak untuk yang lain. Lekat diingatan, pemerintah pernah begitu bersemangat "menggaji" pengangguran melalui kartu pra kerja. Program yang sempat menyebarkan bau anyir kerugian negara itu. Ini sebuah kebijakan yang anomali. Dalam kacamata pemerintah, perekrutan guru melalui skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dipoles sedemikian rupa, seolah menjadi jalan keluar terbaik. Padahal, bagi guru honorer, konsep ini secara sederhana tak lebih dari perpindahan satu area ketidakpastian kerja menuju wilayah ketidakpastian kerja yang lain. Substansinya, sama-sama tenaga kontrak. Kebijakan PPPK tidak menunjukkan keberpihakan negara kepada guru honorer, khususnya GTKHNK 35+. Rekrutmen PPPK didesain mempertemukan persaingan antara GTKHNK 35+ dengan guru baru Non PNS lulusan sekolah guru. Padahal, sebagian dari mereka adalah mantan murid GTKHNK 35+. Maklum, tidak sedikit GTKHNK 35+ telah berusia 40 hingga 50 tahun dan telah mengabdi selama 20 tahun. Cara itu sungguh terlihat tidak adil dan zalim. Pertama, karena kegiatan pelatihan peningkatan kualitas guru cenderung tidak memprioritaskan, bahkan bisa disebut mengabaikan GTKHNK 35+. Kedua, pengabdian puluhan tahun mengajar seolah tidak dipandang dan diapresiasi oleh pemerintah. Usia produktif GTKHNK 35+ selama ini telah dikuras habis oleh negara melalui pengabdian panjang. Mereka berhasil mencetak generasi bangsa, anak cucu kita. Ketiadaan perlindungan negara adalah cara tak langsung pemerintah mencampakkan guru honorer senior GTKHNK 35+. Sementara itu, guru honorer GTKHNK 35+ tak punya banyak pilihan. Mereka pada dasarnya cinta pada profesi yang mulia ini. Tidak ada yang ingin lepas darinya. Lagi pula, kalau pun ingin lompat pagar ke lain profesi, kita tahu ketersediaan lapangan kerja semakin sulit, terlebih dalam usia 35 tahun ke atas. Kemanakah empati pemerintah? Kebutuhan Guru Saat ini, kebutuhan guru di Indonesia sebesar 2,2 juta PNS. Namun, yang baru terisi baru 1,1 juta guru PNS. Inilah alasan pemerintah mengadakan perekrutan guru. Semakin mendesak karena tahun ini saja sebanyak 69.000 guru PNS akan memasuki masa pensiun. Perekrutan guru adalah langkah baik. Namun, terlebih dahulu membenahi problem akut guru honorer semestinya menjadi prioritas pula. Jangan mengambil solusi baru sebelum menyelesaikan problem yang telah mengakar lama. Toh keduanya bisa berjalan paralel. Sementara PPPK yang dianggap solusi, faktanya tidak menyelesaikan masalah. Jumlah guru honorer 742.000. Sebanyak 59 persen atau 437 ribu di antaranya berusia 35 tahun ke atas (GTKHNK 35+). Mereka inilah yang sedang berpacu dengan waktu, berjuang di antara dilema usia non produktif dengan kepastian kerja dan jaminan masa depan. Bila ke-437 ribu GTKHNK 35+ tersebut diharuskan mengikuti seleksi, bisa dipastikan beberapa diantaranya tidak akan lulus. Lalu, bagaimana nasib mereka selanjutnya? Apakah dibiarkan menunggu tes tahun berikutnya? Sampai kapan? Kita tentu saja sangat mengapresiasi solidaritas GTKHNK 35+ yang telah dibangun diantara mereka. Mereka tidak ingin saling meninggalkan, sehingga bertekad bersama-sama tidak mengikuti jalur PPPK yang diadakan pemerintah. Semestinya sikap itu telah cukup memberi sinyal kuat kepada pemerintah untuk menyadari bahwa ada problem besar yang tidak dapat dijangkau oleh PPPK. Tetapi pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetap memaksakan program ini sebagai solusi bagi keseluruhan tenaga pengajar honorer. Apa boleh buat. demi memperjuangkan haknya, pengurus dan anggota GTKHNK 35+ terpaksa mengonsolidasi perjuangnnya dari bawah, meminta dukungan kesana-kemari. Mereka menyambangi pemerintah daerah masing-masing, mengunjungi Kantor DPRD setempat, dan juga bergerilya di Pusat dengan mendatangi gedung DPD RI dan DPR RI. Kepada institusi-institusi itu, mereka memohon dukungan ketika kemendikbud yang seharusnya mengayomi dan memperjuangkan kepentingan GTKHNK 35+ justru memalingkan muka. Dukungan Komite III DPD GTKHNK 35+ beberapa saat lalu (Rabu sore 17 Maret) juga telah melakukan audiensi dengan kami, Pimpinan dan Anggota Komite III DPD RI. Banyak cerita haru terdengar. Dari mereka, kami menjadi lebih paham betapa sulitnya memperjuangkan hak di negeri ini. Dari Audiensi tersebut, Komite III DPD RI sepakat mendukung sepenuhnya pengangkatan GTKHNK 35+ menjadi PNS tanpa harus melalui tes. Mereka, bagaimana pun juga, telah berkontribusi membangun sektor pendidikan karena kecintaannya pada profesi ini. Kini saatnya negara membalas pengabdian itu dengan status PNS. Ini bukanlah permintaan yang berlebihan. Dalam konteks itu, kami meminta salah satu dari dua hal berikut: pertama, agar Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Peraturan Presiden (Peppres) tentang pengangkatan guru honorer menjadi PNS, khususnya guru honorer usia 35 tahun ke atas. Dengan Peppres ini, percepatan penyelesaian problem guru honorer Secara menyeluruh dapat disegerakan. Tuntutan penerbitan Peppres juga telah disuarakan oleh GTKHNK 35+ saat menggelar rapat koordinasi nasional di ICC Kemayoran, beberapa saat lalu. Kedua, agar pengangkatan guru honorer usia 35 tahun ke atas dapat dimasukkan dalam RUU perubahan Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang saat ini tengah digodok di DPR. Insya Allah, dalam kapasitas dan kewenangannya yang serba terbatas, Komite III DPD RI ikut bergerak untuk tujuan ini. Negara harus memahami, usia guru honorer GTKHNK 35+ tidak lagi produktif menjajal profesi baru. Pemerintah harus memahami itu, tidak justru abai mengelola SDM-nya, terlebih SDM yang tugas pokoknya melahirkan SDM baru. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, semua guru harus masuk dalam kategori dihargai itu, tanpa kecuali. Penulis adalah Senator DPD RI.

SKB Tiga Menteri, Kontroversi di Tengah Kontroversi

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Urusan seragam sekolah, Pemerintah bergerak cepat. Januari 2021 polemik aturan seragam Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Padang membuncah di ruang publik. Tanggal 3 Februari 2021 Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri dikeluarkan. Tidak tanggung-tanggung. Tiga pejabat sekelas menteri bereaksi sekaligus. Bersama, mereka meneken SKB Tiga Menteri. Komunikasi lintas kementerian terlihat begitu padu dan super responsif pada persoalan ini. Super cepat dan tanggap. Saya membayangkan, kalaulah spirit dan energi yang sama dikonsolidasi menyelesaikan problem akut dunia pendidikan, niscaya wajah pendidikan kita bakal merona lebih cerah. Penyelesaian masalah klasik guru honorer, misalnya. Atau, yang kontemporer, perumusan metode baru bagi proses belajar-mengajar virtual yang terlihat tidak efektif dan menjemukan. Tapi, ini tentang seragam sekolah. Rupanya Pemerintah memandang SKB Tiga Menteri adalah solusi atas polemik seragam sekolah berkekhususan agama Islam. Sayangnya, solusi yang super cepat tersebut tak sanggup menenangkan geliat kontroversi. SKB Tiga Menteri justru menjadi sumber kontroversi baru. Adalah diktum ketiga pemantik kontroversi baru itu. Disebutkan, Pemerintah melarang Pemda dan sekolah untuk mewajibkan atau melarang seragam dengan kekhasan agama tertentu. Pemda dan sekolah yang tadinya mengatur, dipaksa merevisi aturan yang selama puluhan tahun diberlakukan dengan baik. Sekolah dan Pemda dikondisikan pasif, tidak boleh campur tangan urusan seragam berkarakter agamis. Bukan begitu. Soalnya bukan sebatas seragam atau perubahan aturan. Soalnya merembet kepada luka hati umat Islam untuk kesekian kali. Kita tahu, Islam mewajibkan muslimah mengenakan hijab, sehingga orang tua dan pendidik umumnya menanamkan kebiasaan ini sejak dini. Jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah momentum efektif menanamkan pembiasaan itu. Tetapi, justru jenjang ini pula yang dikuliti. Melalui diktum kesatu, SKB Tiga Menteri malah memberikan hak kepada siswa untuk menentukan sendiri keinginannya, mengenakan seragam khas agama atau tidak. Peletakan tanggungjawab ini tentu rawan bagi usia anak dan remaja. Memang, ada saja kasus dimana sekolah diduga melarang atau memaksakan seragam berkarakter agama tertentu kepada siswa penganut agama lain. Di Bali misalnya, pada 2014 lalu mengemuka polemik larangan pemakaian jilbab di SMA Negeri 2 Denpasar. Komnas HAM RI ketika itu bahkan menilai pelarangan jilbab bukan hanya terjadi di Denpasar, tetapi hampir pada semua wilayah Bali. Pemerintahan SBY terlihat menangani persoalan itu dengan melokalisir kasus sebatas Pulau Dewata. Tidak merambah ke wilayah lain. Sejauh jejak digital yang bisa dipantau, yang aktif berbicara di publik dari pihak Pemerintah hanya Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Rezim berganti, dan cara penanganan pun berbeda. Kali ini Pemerintah dengan gagah menampilkan "kekuatan" tiga menteri. Lalu memberlakukan aturan secara nasional. Masih lekat di ingatan kita, Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan mengatakan, “tidak ada visi dan misi menteri, yang ada hanya visi dan misi presiden”. SKB Melawan Hukum Seragam sekolah mulai gencar diberlakukan pada masa pendudukan Jepang. Ketika telah membudaya, Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah Pemerintahan Presiden Soeharto lalu menetapkannya melalui surat keputusan pada 1982. Tujuannya, agar seragam sekolah menutupi kesenjangan sosial antar siswa. Jadi, seragam dibuat bukan tanpa tujuan. Punya nilai, punya maksud. Dalam Islam, yang memandang berpakaian sebagai bagian dari ibadah. Nilai ibadah ini tercapai hanya bila syarat-syarat berpakaian terpenuhi. Bagi Muslimah, jilbab diwajibkan demi marwah kaum hawa sendiri. Adalah kewajiban pendidik menanamkan nilai-nilai religius pada peserta didik sesuai keyakinan agamanya. Pasal 30 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan, "sistem pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." Pasal tersebut adalah refleksi amanat konstitusi tertinggi, UUD 1945. Pasal 31 ayat (3) UUD menegaskan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satuan sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Dari pertalian itu, secara hierarki, ada potensi SKB Tiga Menteri justru melawan hukum di atasnya. Pertama, SKB Tiga Menteri membatasi kewajiban pendidik dalam menerapkan praktik keagamaan secara utuh, yang sebenarnya dilakukan pihak sekolah demi memenuhi amanat UU. Mengenakan seragam jilbab adalah salah satu praktik keagamaan dasar yang wajib ditekankan pendidik kepada peserta didik perempuan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Kedua, larangan SKB Tiga Menteri kepada Pemda untuk mengatur seragam dengan kekhasan agama berpotensi melawan semangat UU Otonomi Daerah. Sebagian aturan Pemda lahir dengan menyesuaikan sikap terhadap budaya dan kearifan lokal. Kearifan lokal seharusnya menjadi isu yang dipertimbangkan SKB Tiga Menteri. Selain itu, Penyelesaian polemik aturan seragam berkekhususan agama di Sumbar sebaiknya dilokalisir. Generalisasi SKB Tiga Menteri menghadapkan kita pada polemik baru. Gaduh yang dimunculkan menjadi kian bising ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaana Nabiel Makarim menvonis kewajiban pemakaian jilbab di SMK Negeri 2 Padang sebagai bentuk intoleransi. Padahal, SMK Negeri 2 Padang punya dalil. Mereka membuat aturan berdasarkan peraturan Walikota Padang yang telah diberlakukan 16 tahun lampau. Ya, 16 tahun lampau. Dan entah berapa pejabat yang silih berganti menduduki kursi Menteri Dalam Negeri, namun tidak terlihat mengkritisi peraturan dimaksud, hingga kasus ini meledak. Dicabut atau Direvisi Dalam menata dunia pendidikan, visi dan misi Presiden Jokowi yang terefleksi melalui SKB Tiga Menteri terlihat lemah, kontroversial, keluar konteks, dan berpotensi mengundang gaduh yang berkepanjangan. Maka, selaku Anggota Komite III DPD RI yang membidangi pendidikan, saya mendesak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama kiranya segera mencabut atau merevisi SKB Tiga Menteri tersebut SKB Tiga Menteri tidak murni sebuah keputusan (beschiking). SKB Tiga Menteri juga memuat ketentuan yang mengatur (regeling). Bila Pemerintah berkeras meneruskan aturan SKB Tiga Menteri, maka langkah konstitusional judicial review ke Mahkamah Agung (MA) tentu memungkinkan. Dalam konteks itu, saya mendukung pihak-pihak yang merasa dirugikan dan punya legal standing kuat berjuang di MA. Saya sendiri juga mengelola institusi pendidikan Insan Cendekia Madani, di Tangerang Selatan, Banten. Namun, sekolah ini adalah sekolah Islam swasta yang berada di luar jangkauan SKB Tiga Menteri. Apapun alasannya, pemaksaan seragam berkekhususan agama pada siswa berbeda agama memang tidak dapat dibenarkan. Namun, itu tidak berarti semua aturan yang mewajibkan siswa penganut agama tertentu untuk berseragam sesuai dengan keyakinan agamanya harus diamputasi. Bila ingin membasmi hama tikus di lumbung padi, tentu tidak bijak dengan membakar lumbungnya. Penulis adalah Senator Komite III DPD RI.

Seingat Saya, ITB Memang Radikal!

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Alumni ITB membuat Prof Maman Djauhari yang pernah terlibat dalam mendidik calon alumni ITB amat sangat terpukul. "Kerja keras saya selama 1969-2009 di ITB ternyata menghasilkan banyak defect products," tulis urang Sunda ITB yang Radikal, Minggu (14/2/2021). Prof Maman yakin, semua orang ITB membaca/mendengar pemberitaan GAR-ITB. Amat disayangkan, nama “gerakan anti radikalisme” scientifically tidak sesuai dengan norma akademis. Lebih gawat lagi, hermeneutically, pada nama itu tampak kekacauan dalam mind-map si pemberi nama. Akibatnya, gerakan itu dengan mudah dapat menjadi gerakan kontra-produktif. Mengapa? Sebab, di saat ITB sedang bertarung dalam global intellectual racing, gerakan itu dapat menghambat upaya memenangkan perlombaan intelektual tersebut. Di ITB dulu ada toloh "Radikal" bernama Moedomo. Kemungkinan besar sebagian besar anggota IA-ITB tidak kenal beliau atau bahkan mungkin tidak tahu. Moedomo…nama yang simple. Tapi ia adalah Guru Besar ITB kelas dunia dalam bidang Mathematical Analysis yang pernah dimiliki Ibu Pertiwi. Bagaimana kemumpuniannya? Catat ini baik-baik. Kita akan dipahamkan oleh Google.Scholar bahwa karya Moedomo yang terbit di Pacific Journal of Mathematics tahun 1971 adalah karya yang sangat fundamental dalam bidangnya dan monumental bagi Indonesia. Dikatakan fundamental, karena karya itu menjadi salah satu referensi buku yang ditulis oleh Alexander Grothendieck dkk. Dan, dikatakan monumental bagi Ibu Pertiwi, karena karya itu menjadi legenda bagi orang yang tahu fungsi Perguruan Tinggi (PT). Grothendieck adalah matematisi kelas dunia yang hingga saat ini tetap berada pada peringkat ke-11! Perlu dicatat pula, dari peringkat 1 s/d 12 berturut-turut adalah: Newton, Archimedes, Gauss, Euler, Riemann, Poincaré, Lagrange, Euclid, Hilbert, Leibniz, GROTHENDIECK, dan Fermat. Dan, catat lagi, Grothendieck adalah sahabat karib Albert Einstein. Itulah sekilas profil Moedomo; figur kebanggaan ITB. Dan, memang begitulah rumusnya. Orang hebat selalu bersahabat karib dengan orang hebat lagi. Kalau sekarang ada alumni ITB yang merasa hebat, itu karena yang besangkutan pernah berada di lingkungan orang-orang hebat seperti Moedomo. Ini tak bisa disangkal. Moedomo memang sangat brilliant, memiliki kemampuan serendipity, dan …… very humble. Oleh karena itulah, semua Pimpinan ITB apalagi Dosen segan dan hormat kepadanya. Kuliahnya sangat menarik dan hidup. Ingin tahu apa yang beliau ajarkan? Values! Itulah yang beliau ajarkan. Melalui matematika Moedomo mengajarkan moral dan academic values. Diantara academic values yang beliau ajarkan kepada mahasiswanya (termasuk Prof Maman) adalah sikap dan semangat orang-oranf hebat di dunia yakni Radikalisme dalam meraih the highest achievement! Lalu, contoh moral values yang diajarkan Moedomo adalah tidak menempuh solusi radikal terhadap pelanggar norma akademis. Moedomo mengajarkan bagaimana menjadi Radikal dalam mendobrak kemapanan sebuah teori untuk kemudian membangun teori yang baru. Dan, bagaimana menghindari solusi radikal terhadap pelaku kesalahan akademis. Itulah ruh ITB; moral dan academic values ditularkan oleh the seniors melalui interaksi radikal di konferensi, di seminar, di kelas, di laboratorium dan di masyarakat. Dengan menularkan sikap dan semangat radikalisme itulah the seniors mencetak orang-orang hebat. GAR di lingkungan PT dapat menjadi gerakan kontra-produktif. Mengapa? Karena dapat mengganggu fungsi PT. Fungsi PT ada 2 (dua) yakni (i) menciptakan ilmu-ilmu baru, dan (ii) menghasilkan manusia-manusia baru. Hanya dengan sikap dan semangat radikalisme, Dosen akan mampu memproduksi ilmu baru. Lalu hasilnya dibagikan tidak hanya kepada mahasiswa dan sejawat Dosen tetapi juga kepada komunitas ilmuwan dunia. Dengan sikap dan semangat itu pula ITB menghasilkan alumni. Jika ada alumni yang tidak mampu berkontribusi kepada almamaternya dalam perjuangan memenangkan global intellectual racing, disarankan lebih baik turut berdo’a daripada membuat gerakan yang kontra-produktif. Kampus Radikal Terkini, aksi GAR ITB yang melaporkan Prof Din Syamsuddin ke KASN menjadi bumerang. Apalagi, Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan, laporan GAR ITB itu tidak akan diproses. Menag Yaqult Cholil Qoumas juga mengingatkan agar jangan gegabah mencap orang lain radikal. GAR ITB yang dimotori sekitar dua ribuan alumni yang berasal dari etnis dan agama tertentu ini juga dikhawatirkan bisa mengundang konflik bernuansa SARA. ITB memang dikenal sebagai "kampus radikal" sejak dulu. Kalau tidak radikal tak mungkin menghasilkan tokoh nasional dan dunia sekelas Soekarno. Selain telah melahirkan Bung Karno dan Moedomo, ITB juga telah mencetak alumni dengan prestasi dunia seperti Prof BJ Habibie, dan lain-lain yang tak bisa disebutkan satu per satu. Fachjrul Rahman alias Panjul, Jubir Presiden Joko Widodo, termasuk salah satu mahasiswa radikal saat kuliah di ITB. Ia bersama M. Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan pernah diadili di PN Bandung. Mereka diadili karena terlibat unjuk rasa menolak kedatangan Mendagri Rudini di kampus ITB. Saat dalam proses hukum, mereka sempat ditahan di LP Nusakambangan, Cilacap. Semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Panjul tetap menjadi aktifis yang radikal dalam mengkritisi kebijakan SBY yang dianggap merugikan rakyat. Kini Panjul menjadi radikal pembela Pemerintah. Sedangkan dua kawan lamanya, Syahganda dan Jumhur masih setIa menjadi radikal pembela rakyat yang semakin tertekan secara ekonomi dan politik. Keduanya kini ditahan terkait suara kritisnya selama ini. Saya pernah kenal ketiganya ketika masih kuliah di UNPAD dan menjadi wartawan Tabloid EKSPONEN Jogjakarta lanjut Majalah EDITOR Jakarta di Bandung. Mulai kenal ketika harus wawancara mereka. Hampir tiap hari saya melihat Panjul jalan kaki melintas di sebuah gang di Jalan Kidang Pananjung menuju Asrama Mahasiswa Kalimantan di Cisitu Lama. Saat itu saya tinggal di sepetak kamar di gang kecil itu. Saking radikalnya mahasiswa ITB semasa Rektor Prof. Wiranto Arismundar, pernah terjadi "penyanderaan" seorang intel Polwiltabes Bandung karena ketahuan saat "nyusup" dan pantau aksi unjuk rasa. Kala melihat ketidak-adilan yang dialami warga Kacapiring terkait kasus lahan warga yang "disengketakan", mahsiswa ITB unjuk rasa di Balai Kota hingga dibubarkan dan dikejar polisi hingga kampus Ganesha ITB. Seperti itulah "radikalisme" mahasiswa ITB yang saya kenal semasa masih kuliah di Bandung. Jadi, tidak ada ceritanya orang ITB itu "anti radikal" seperti GAR ITB yang mengatasnamakan ITB. Dan ITB itu radikal dalam prestasi keilmuan maupun sikap politik dan demokrasi sebagai kontrol sosial! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Misi Politik GAR Alumni ITB Yang Gagal

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Nafsu Gerakan Anti Radikal (GAR) Alumni Intitut Teknologi Bandung (ITB) untuk merusak nama baik Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA. nyaris gagal. Alih alih Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) memproses laporan GAR alumni ITB, malahan kini GAR yang mengalami gegar sosial. Giliran GAR menerima pukulan publik bertubi-tubi. Ketua KASN Agus Pramusinto menyatakan bahwa KASN tidak berkomentar apa-apa, dan menegaskan laporan GAR ITB tidak memiliki bukti atas pelaporannya. Karenanya KASN langsung saja melanjutkan laporan tersebut ke pihak Satgas Penanganan Radikalisme dan Kementrian Agama. Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Quomas menanggapi dengan dingin. Yaqut yang biasa ribut soal radikalisme, ektrimisme dan intoleransi ternyata menyarankan agar tidak gegabah dalam menilai radikal dalam kasus pelaporan Prof Din Syamsuddin. Sikap Menag Yqut ini sejalan dengan pandangan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sebelumnya PBNU dan PP Muhammadiyah sekapakat menolak anggapan Prof Din Syamsuddin dituduh radikal. Sebagai Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) keagamaan terbesar di Indonesia itu menyatakan tuduhan GAR bahwa Prof. Din Syamsuddin radikal, sangat tidak berdasar dan tidak mempunyai bukti konkrit. Selain PBNU dan PP Muhammadiyah, banyak tokoh nasional yang tampil mengecam GAR alumni ITB, dan membela Prof. Din Syamsuddin yang masih menjadi dosan tetap di UIN Syarif Hidayatullah itu. Para tokoh itu, mulai dari Prof. Azyumardi Azra, Hidayat Nur Wahid, Marsudi Syuhud hingga Mahfud MD. Publik menilai GAR alumni ITB kini sebagai model buzzer penguasa. Keluar dari citra akademisi, dan menjadi sebuah kelompok politik kepentingan sesaat. Berujung bukan saja mendesak pembubaran, tetapi juga langkah penindakan hukum. Perbuatan GAR alumni ITB dapat dikualifikasikan kriminal. Reaksi sesama alumni ITB muncul juga bermunculan. Kali ini kelompok organisasi Keluarga Alumni ITB Penegak Pancasila dan Anti Komunis (KAPPAK) membuat pernyataan menohok. Meski mengaku terlambat, akan tetapi tajam dalam mengkritisi. KAPPAK mendesak Rektorat dan Senat ITB agar menindak tegas GAR alumni ITB karena ikut campur dalam urusan internal ITB. Demikian juga dengan dosen yang terlibat agar ditertibkan karena dinilai telah merusak kredibilitas ITB. KAPPAK yang berangkat dari penegakan nilai Pancasila dan Anti Komunis mengingatkan agar seluruh alumni ITB harus menjunjung tinggi kebebasan berfikir, berkarya, dan berkiprah pada platform ilmiah dalam kawalan nilai-nilai Pancasila. KAPPAK juga meminta agar Ikatan Alumni (IA ITB) segera mengambil sikap terhadap kelompok "anti radikal" tersebut. Mungkin KAPPAK melihat ada nilai-nilai "anti Pancasila" dalam gerakan ini. GAR mencoba untuk berlindung dibalik isu-isu radikalisme. Namun patut diduga ada maksud-maksud lain, misalnya untuk menciptakan kekacauan dan perpecahan di lingkungan ITB. Reaksi luas atas sikap GAR alumni ITB yang tendensius dan berbau buzzer politik ini, menyebabkan banyak pertanyaan atas keberadaan GAR ITB tersebut. Banyak pihak mulai menguliti kelompok ini. Mulai dari aspek SARA, konteks etnis dan agama dibongkar. Apalagi keberadaan "orang pemerintahan" sebagai inisiator dan provokator, hingga privasi sang juru bicara pun mulai diselidiki dan dikomentari. Pencatutan terhadap nama-nama para pendukung GAR alumni ITB mulai dipersoalkan. Disamping gegar sosial GAR mengalami gegar moral. Akibatnya, rencana busuk GAR terbaca juga oleh publik. Hanya karena selama ini Prof. Din Syamsuddin selalu kritis dalam mengoreksi berbagai kebijakan pemerintahan Jokowi yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Memang pilihan terbaik untuk stabilitas dan kredibilitas ITB sebagai perguruan tinggi perjuangan yang terkenal banyak melahirkan tokoh-tokoh bangsa yang hebat, adalah segera untuk menindak GAR ITB. Bubarkan GAR adalah pilihan yang paling sederhana. Kebijakan lebih dari itupun adalah hal yang wajar. GAR telah merusak citra ITB, moral akademis serta menghancurkan nilai dan karakter mulia bangsa. Ketika bangsa ini mewaspadai ancaman perusakkan nilai-nilai Pancasila dan bahaya komunisme, model gerakan politik GAR alumni ITB seperti ini harus dengan cepat diantisipasi dan dieliminasi. Sikap yang berlambat-lambat dapat menimbulkan bencana untuk banga dan ITB. GAR ITB telah gagal melakukan kudeta moral dan intelektual. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.