PENDIDIKAN

Seharusnya Muryanto Amin Diselidiki Dulu Otoplagiasinya, Bukan Dilantik

by Asyari Usman Medan, FNN - Kehancuran dunia akademik, khususnya Universitas Sumatera Utara (USU) akan segera dimulai. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kelihatannya akan memaksakan pelantikan otoplagiator, Dr Muryanto Amin, menjadi rektor USU. Dia terpilih pada 3 Desember 2020. Namun, setelah pemilihan, warga masyarakat melaporkan dugaan ‘self-plagiarism’ (otoplagiasi) yang dilakukan oleh Muryanto. Dalam arti, Muryanto mendaur-ulang karya tulisnya sendiri untuk diterbitkan di beberapa jurnal. Tim investigasi yang dibentuk oleh Rektor menemukan tuduhan otoplagiasi itu. Empat (4) dari lima (5) karya tulis Muryanto mengandung konten yang masuk kategori otoplagiasi dengan tingkat similiaritas (kemiripan) antara 80% sampai 90%. Menyusul temuan tim penyelidik, Rektor USU Prof Runtung Sitepu, mengeluarkan surat keputusan yang mengukuhkan temuan otoplagiasi itu. Rektor juga menjatuhkan sanksi terhadap Muryanto. Rektor terpilih ini tidak boleh naik pangkat selama setahun dan harus mengembalikan uang insentif yang diberikan untuk tulisan yang diterbitkan oleh jurnal Man in India edisi September 2017. Merespons keputusan Rektor, Kemendikbud pada 21 Januari 2021 mengatakan pihaknya membentuk tim khusus untuk mendalami otoplagiasi itu dan keputusan Rektor. Tetapi, kenyataannya, tim yang dibentuk itu tidak pernah turun. Para pemerhati berpendapat, tim khusus Kemendikbud itu hanyalah basa-basi saja. Supaya kelihatan Menteri memberikan perhatian. Yang terjadi, kata para pengamat itu, para petinggi Kemendikbud ditekan oleh pihak yang menghendaki Muryanto Amin segera dilantik. Seperti diketahui umum, Muryanto adalah salah seorang yang sangat dekat dengan Bobby Nasution –walikota Medan terpilih. Para guru besar senior USU mempertanyakan mengapa tim khusus yang dibentuk Kemenikbud tidak menunaikan tugasnya. Kemudian, mengapa Plt Sekjen Kemendikbud, Ainun Na’im, langsung mengeluarkan surat perintah kepada Majelis Wali Amanat (MWA) USU agar melaksanakan pelantikan Muryanto. Banyak yang menduga ada tekanan kekuasaan dari orang kuat yang dekat dengan Muryanto. Kalau bukan tekanan kekuasaan, tidak mungkin Kemendikbud mendesakkan pelantikan seorang otoplagiator menjadi rektor. Hari Rabu, 27 Januari 2021, Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Sumetara Utara (USU) akan menggelar sidang penting. Salah satu acara sidang virtual ini adalah membahas pelaksanaan pelantikan Muryanto di Jakarta pada 28 Januari 2021 di gedung Kemendikbud. Seharusnya, kalau MWA tidak yakin dengan sanksi Rektor, mereka bisa membentuk tim penyelidik untuk mempelajari keputusan Rektor dan juga investigasi tim Komite Etik. Tidak langsung melantik orang yang sedang dikenai sanksi. Kalau pendalaman tim MWA menemukan sanksi Rektor keliru, silakan rehabilitasi nama baik Muryanto Amin. Mendikbud tidak bisa melangkahi Rektor. Sebab, Peraturan Pemerintah No. 16/2014 tentang Statuta USU menegaskan bahwa MWA adalah organ tertinggi Universitas. Tetapi, beginilah negara ini dijalankan. Semua bisa dianulir oleh pemegang kekuasaan.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Plt Sekjen Kemendikbud Mau Tempuh “Jalan Belakang” Lantik Plagiator Menjadi Rektor USU

by Asyari Usman Medan, FNN - Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal Kemendikbud, Ainun Na’im, mengeluarkan surat yang mengatasnamakan Menteri. Surat itu sangat penting. Yaitu, perintah pelantikan rektor terpilih USU, Dr Muryanto Amin, yang terbukti melakukan otoplagiasi (self-plagiarism). Surat bernomor 4607/MPK.A/RHS/KP/2021 tertanggal 22 Januari 2021 itu ditujukan kepada Majelis Wali Amanah (MWA) Universitas Sumatera Utara (USU). Isinya, memberitahukan sekaligus memerintahkan pelantikan pelantikan Muryanto pada 28 Januari 2021. Pelantikan akan dilaksanakan di Jakarta. Banyak keanehan terkait penerbitan surat perintah oleh Plt Sekjen Ainun Na’im. Keanehan-keanehan itu harus diungkap karena bisa berakibat fatal bagi dunia pendidikan tinggi, khususnya tentang kejujuran ilmiah dan kehormatan USU. Pertama, Ainun Na’im adalah Plt Sekjen yang telah melewati usia kerja. Di bulan Desember 2020, Ainum telah memasuki masa pensiun eleson satu struktural. Tidak seharusnya Ainum mengeluarkan surat yang sangat penting yang berisi perintah pelantikan rektor terpilih USU yang tersangkut kasus plagiasi. Kedua, Ainum Na’im membuat tembusan surat itu ke Mendikbud. Padahal, yang mengeluarkan surat itu adalah Mendikbud sendiri yang diatasnamakan Ainun. Penerbitan surat ini pantas dicurigai sebagai upaya “jalan belakang” untuk melantik Muryanto. Orang wajar menyimpulkan, jangan-jangan Mendikbud Nadiem Makarim tidak tahu surat yang dikeluarkan Ainun. Seharusnya, paling minim surat sepenting itu ditandatangani oleh Dirjen Dikti. Bisa jadi Ainun telah mengatur skenario pelantikan buru-buru. Dia bisa saja mengatakan kepada Dirjen Dikti bahwa ini perintah Mendikbud. Padahal, Mendikbud tidak tahu detail pelantikan rektor perguruan tinggi negeri (PTN) di bawah naungan Kemendikbud yang jumlahnya 122 di seluruh Indonesia. Artinya, sangat tidak mungkin Mendikbud Nadiem Makarim memperhatikan satu per satu yang dilantik atau siapa-siapa di antara 122 rektor/direktur PTN itu yang bermasalah. Patut diduga, Ainum memanfaatkan kesibukan kerja Mendikbud itu untuk menyusupkan pelantikan Muryanto. Dugaan lainnya, bisa jadi Dirjen Dikti Porf Nizam sengaja mengelak untuk meneken surat perintah pelantikan Muryanto itu. Nizam tentu paham betul sensitivitas pelantikan ini dan kontroversi besar yang bakal muncul. Ketiga, nomor surat tsb menyertakan kode “RHS” yang lazimya berarti rahasia. Jika benar “RHS” itu adalah rahasia, tentu layak dipertanyakan. Apa yang harus dirahasiakan? Bukankah pelantikan seorang rektor adalah konsumsi publik? Keempat, kasus otoplagiasi ini telah dijatuhi sanksi oleh Rektor USU Prof Runtung Sitepu sebagai tindakan yang melanggar etka keilmuan dan moral civitas akademika. Rektor telah memutuskan bahwa Muryanto terbukti secara sah dan meyakinkan, dengan sengaja dan berulang, melakukan perbuatan plagiarisme (plagiasi/plagiat) dalam bentuk ‘self-plagiarism’ atau otoplagiasi (plagiasi karya tulis sendiri). Keputusan Rektor ini diambil berdasarkan penyelidikan cermat yang dilakukan oleh tim Komite Etik USU. Rektor juga menjatuhkan hukuman penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun. Juga hukuman untuk mengembalikan insentif bagi penerbitan tulisan Muryanto yang berkonten plagiat di jurnal Man in India edisi September 2017. Artinya, surat yang diterbitkan Ainun Na’im tidak menghiraukan keputusan Rektor USU yang diambil berdasarkan hasil penyelidikan saksama oleh tim Komite Etik. Dari keempat kenehan ini saja –tentu ada lagi kanehan-keanehan lain— sangat pantas ditengarai bahwa Ainun seakan sedang memanfaatkan ‘menit-menit terakhir’ jabatannya sebagai Plt Sekjen Kemendikbud. MWA USU harus dan bisa mempertanyakan surat perintah yang ditandatangani Ainun. MWA sebaiknya menghubungi langsung Menidikbud dan Dirjen Dikti. MWA tidak bisa melangkahi keputusan Rektor USU terkait otoplagiasi Muryanto. Sebab, di masa lalu sudah pernah dijatuhi hukuman otoplagiasi terhadap dua dosen USU. Yaitu, otoplagiasi yang terbukti dilakukan oleh Dr Maulida ST MSc pada 2013 (SK Rektor No 30/UN5.1.R/SK/SDM/2103). Kemudian, otoplagiasi yang terbukti dilakukan oleh Drs Arifin Lubis MM Ak pada 2015 (SK Rektor No 149/UN5.1.R/SK/SDM/2015). Menurut berbagai sumber berita, Dr Muryanto Amin menolak tuduhan bahwa dia telah melakukan otoplagiasi. Dia mengatakan, otoplagiasi tidak diatur oleh produk UU atau peraturan yang terkait dengan pendidikan tinggi. Selain itu, Muryanto menjelaskan bahwa dua artikel yang diakuinya bermasalah, diterbitkan oleh jurnal The Social Sciences (Agustus 2017) dan International Journal of Scientific Research and Management (Januari 2018) karena kelalaian editor di kedua jurnal itu. Mayoritas anggota Dewan Guru Besar (DGB) USU dikabarkan tidak akan menerima pelantikan Muryanto menjadi rektor. Bagi mereka, plagiat adalah kesalahan fatal di dunia akademis. Kesalahan yang tak bisa dimaafkan. Plagiator menjadi pimpinan lembaga keilmuan yang berbasis kejujuran dan integritas moral, akan mencoreng USU. Merendahkan martabat. Dan akan menjadi beban psikologis yang sangat berat. USU bukan enitas politik yang bisa dikompromikan.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Mendikbud Main Paksa Lantik Plagiator Menjadi Rektor USU

by Asyari Usman Medan, FNN - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan perintah pelantikan seorang plagiator menjadi rektor USU Medan. Dr Muryanto Amin terpilih sebagai rektor pada pemilihan 3 Desember 2020 untuk masa jabatan 2021-2026. Perintah Mendikbud tertanggal 22 Januari 2021 yang ditandatangi Sekjen Ainun Na’im itu melecehkan keputusan Rektor USU Runtung Sitepu dan temuan Komite Etik (KE) USU yang menyatakan bahwa Muryanto terbukti melakukan ‘self plagiarism’ (otoplagiasi). Tim investigasi KE menemukan plagiasi oleh Muryanto di dalam empat (4) dari lima (5) karya tulis dekan Fisipol USU itu. Seorang anggota tim penyelidik mengatakan, di salah satu karya tulis itu didapati kemiripan 90% dengan karya tulisan Muryanto lainnya. Para guru besar USU sepakat bahwa Muryanto tidak layak suduk sebagai rektor. Mereka menegaskan, Muryanto tidak memiliki pijakan moral akademis lagi. Plagiat adalah perbuatan yang paling tercela dan sangat memalukan di dunia akademis. Menurut para guru besar, pelantikan Muryanto yang dipaksakan oleh Mendikbud merupakan kesewenangan yang akan merusak suasana keilmiahan di USU. Sejumlah pengamat mengatakan, pemaksaan pelantikan Muryanto merupakan bentuk keotoriteran Mendikbud yang sarat dengan nuansa politis. Seperti diketahui, Muryanto punya kedekatan dengan Bobby Nasution, walikota Medan terpilih. Kuat dugaan, surat perintah pelantikan itu bisa keluar berkat kedekatan itu. Sesuai surat Mendikbud, pelantikan Muryanto Amin akan dilaksanakan pada 28 Januari 2021 di Jakarta. Padahal, keputusan Rektor Prof Runtung Sitepu bersifat final dan mengikat. Hari ini Mendikbud menunjukkan kekuasaan sewenang-wenang. Diperkirakan, kalangan akademisi senior USU akan melancarkan perlawanan terhadap perintah Mendikbud. Mereka bisa menempuh upaya hukum dengan menggugat surat Menteri itu ke PTUN.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Guruku Mas Tom, Pendiri PII Priangan Timur

by Hasan Syukur Jakarta FNN – Rabu (06/01). Berpakaian jas tutup warna biru tua. Berkemeja panjang warna putih, dengan kancing bagian atas terbuka. Bercelana blue jeans merk levis. Itulah guruku Utomo Dananjaya. "Panggil saya aku Tom atau Mas Tom", kata guru nyentrik berbadan tinggi krempeng itu kepada murid- muridnya di SMP Negeri I Garut, Jawa Barat. Guruku Mas Tom, lahir di Kuningan, Jawa Barat tahun 1936. Anak seorang Kepala Desa itu merupakan sosok yang sangat populer. Guruku itu seorang komunikator piwai. Juga seorang liberal yang berani keluar dari pakem-pakem yang tradisional. Sikapnya yang egaliter disaat guru-guru lain berprilaku feodal. Akibatnya itu tadi, Mas Tom tidak mau dipanggil "Pak Guru" oleh murid-muridnya. Panggilan terhadap dirinya tidak mau dirubah-rubah. Tetap saja dengan panggilan paling nyentrik “Mas Tom”. Toh, meskipun penampilannya "ngoboy" Mas Tom terkendali oleh religi. Mas Tom tinggal di asrama Muhammadiyah Garut. Kesehariannya, sangat taat mendirikan shalat lima waktu. Tetapi dengan penampilan yang "gaul" abis itu, membuat Utomo bagaikan magnet. Mas Tom berhasil menarik anak-anak muda Garut yang tadinya suka berkelahi menjadi anggota Pelajar Islam Indonesia(PII), sebuah organisasi pelajar yang dipimpinanya. Gaos Syamdani misalnya, masih sempat berkelahi beberapa menit menjelang dilantiknya menjadi Ketua Komisaris Daerah (Komda) PII Priangan Timur di Pendopo Kabupaten Garut. Geng-geng pemuda pelajar inilah yang dimanfaatkan Utomo. Mereka dengan cerdik didekati satu per satu. Sikapnya yang sangat "gaul" itu yang menyebabkan Utomo diterima di kalangan anak-anak muda Garut, dan Priangan Timur khususnya. Kebanyakan dari mereka adalah murid-muridnya. Salah seorang muridnya, Sukarna ND biasa memanggil gurunya ini dengan panggilan "Tom"saja . Sukarna siswa "bengal" paling yang disayanginya. Bertubuh gempal dan kekar, Sukarna dikenal petarung tulen. Pak Sueb, guru bahasa Indonesia, ditinju Sukarna. Utomolah yang menyelamatkan dari ancaman dikeluarkan dari sekolah. Apa komentarnya? "Mas Tom, guru yang tak pernah memvonis", kata Karna. Uniknya, Utomo yang tak kelihatan bersarung dan berkopiah itu diterima juga di kalangan pesantren. Contohnya, KH. Yusuf Taujiri. Pimpinan Pondok Pasantren Darussalam Wanaraja Garut, yang legendaris itu. Beliau tak mudah dipengaruhi kekuatan manapun. Ia dikenal kiai yang independen. Yusuf Taujiri pernah bertahan di menara masjid Darussalam, berdua dengan KH. Anwar Musadad (belakangan pendiri perguruan Tinggi Almusadadiyah Garut), hanya dengan modal senjata mesin otomatis tatkala sepasukan DI/TII mengepungnya. Pasalnya, KH. Yusuf Taujiri menolak untuk bergabung dengan DI/ TII Kartosuwiryo. Anehnya, kepada Utomo KH. Yusuf Taujiri "menyerah". Setelah KH. Yusuf Taujiri memberikan "greenlight", maka penduduk wilayah pengaruhnya se-Kabupaten Garut blek tumplek menjadi anggota PII. Bagitulah gaya Mas Tom yang sangat berjasa membesarkan PII di wilayah Garut dan Priangan Timur. Bahkan Jawa Barat. Ketika mengajar, kebiasaan Mas Tom terlebih dulu mendesain meja belajar menjadi leter "U". Tujuannya, agar semua murid bisa berpartisipasi dalam menyimak pelajarannya. Waktu itu aku terpilih jadi ketua KMU (Ketua Murid Umum) SMP Negeri I Garut. Semacam ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSI)S saat ini. Aku biasa diharuskan oleh Mas Tom berpidato dalam berbagai upacara sekolah. Suatu ketika, Mas Tom mendekati saya mengajak untuk belajar bersama di asramanya. Pesan beliau, "ajak teman-temanmu untuk belajar bersama pada hari Ahad nanti. Ajakannya gratis", tambahnya. Anehnya, Mas Tom tak membahas pelajaran sekolah. Kami diberinya naskah dari koran atau majalah. Disuruhnya membaca artikel itu lalu mendiskusikannya sampai habis waktu belajar bersama. Diam-diam ternyata Mas Tom tengah mentraining kami untuk menjadi anggota dan aktipis PII. Maka sejak itulah kami resmi menjadi aktivis PII. Utomo rupanya tak melupakan muridnya. Sebab ketika Jimly Assidiqie, Dikdik J.Rachbini, Sudirman Said menerbitkan buku untuk memperingati 70 tahun usia Mas Tom, saya diminta menulis sebuah artikel dalam bukunya berjudul, "Mas Tom The Living Bridge". Buku setebal 450 halaman. Artikel yang saya sumbangkan itu bejudul, "Jejak Utomo Dananjaya di Garut". Mas Tom kini sudah tiada. Mas Tom wafat sekitar tiga tahun silam. Semoga iman Islam dan amal shalehnya diterima Allah Subhanahuwata'ala. Aamiin.

Pemberhentian Wakil Dekan FPIK UNPAD: Inikah Pelanggaran HAM yang Berkedok Hukum?

By Pierre Suteki Semarang, FNN - Senin (04/01). DetikNews, Senin, 04 Jan 2021 08:46 WIB mewartakan bahwa Universitas Padjadjaran (Unpad) mengganti Wakil Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Asep Agus Handaka Suryana (AAHS). Dia diganti setelah diketahui rekam jejaknya yang pernah menjadi bagian sekaligus pengurus organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Unpad memutuskan mengganti wakil dekan FPIK, sehubungan dengan didapatkan informasi setelah pelantikan tanggal 2 Januari yang lalu terkait rekam jejak yang bersangkutan. Yang bersangkutan ternyata sempat menjadi pengurus organisasi yang saat ini dilarang oleh pemerintah RI. Demikian keterangan dari Kepala Kantor Komunikasi Publik Unpad Dandi Supriadi dalam aplikasi perpesanan, Senin (4/1/2021) dengan DetikNews. Dandi menegaskan bahwa Unpad berkomitmen untuk turut serta menjaga keutuhan NKRI berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Ia menjelaskan penggantian Wakil Dekan FPIK Unpad tersebut dilaksanakan secepat mungkin yaitu pada hari ini. Pertanyaan besarnya, apa salah AAHS, apa salah dia pernah ikut sebagai anggota HTI? Kapan ikutnya? Bukankah HTI sudah dinyatakan bubar oleh pemerintah dengan dicabutnya badan hukum HTI? Mengapa mantan anggota HTI dilarang menjabat bila ia tidak lagi menjadi anggota HTI? Mengapa mantan-mantan anggota PKI boleh mencalonkan diri sebagai pejabat baik di DPR maupun di pemerintahan? Apakah itu berarti tidak melanggar HAM, yakni HAK UNTUK DIPILIH dan MENJABAT PADA JABATAN NEGARA TERTENTU? Anda mungkin masih ingat bagaimana MK mengabulkan permohonan agar Hak Dipilih dan Dipilih para mantan anggota, keluarga anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) Diberikan Kembali berdasarkan Putusan MK Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota telah mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keyakinan politiknya dan bertentangan Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi, dalam putusan akhirnya yang disampaikan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Selasa (24/2/2003) petang, menyatakan bahwa pasal tersebut tak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga bekas tahanan politik dari partai terlarang seperti Partai Komunis Indonesia juga berhak dipilih dalam Pemilu. Pasal 60 huruf g UU Pemilu itu menyebutkan bahwa mereka tak diberikan hak politiknya adalah "Bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya." Telah terjadi PELONGGARAN untuk konsolidasi faham komunisme sedangkan patut diduga kegiatan mereka makin berani dan terang-terangan. Apakah negara lain yg demokratis dan menjunjung tinggi HAM juga melakukan pembatasan hak politik? Ya! Jerman (de-Nazi-sasi), Amerika Serikat (terkait Al Qaeda). Saya sependapat dengan dissenting opinion Hakim MK Achmad Roestandi tentang pembatasan hak dipilih eks anngota PKI dan yang terlibat itu konstitusional. Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pembatasan seperti itu bisa dilakukan oleh pembuat undang-undang terhadap semua hak asasi manusia, yang tercantum dalam keseluruhan Bab XV HAK ASASI MANUSIA, kecuali terhadap hak-hak yang tercantum dalam pasal 28 I, yaitu : a. hak hidup. b. hak untuk tidak disiksa. c. hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani. d. hak beragama. e. hak untuk tidak diperbudak. f. hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum. g. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Pembatasan yang diatur dalam Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak termasuk dalam salah satu hak yang disebut dalam Pasal 28 I ayat (1). Oleh karena itu pembatasan dalam Pasal 60 huruf g tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari keterangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah terungkap bahwa ketika Pasal 60 huruf g dibahas telah secara mendalam dipertimbangkan alasan-alasan pembatasan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 I ayat (1) dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Hakim Achmad Roestandi, pembatasan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 huruf g bukanlah pembatasan yang bersifat permanen, melainkan pembatasan yang bersifat situasional, dikaitkan dengan intensitas peluang penyebaran kembali faham (ideologi) Komunisme/ Marxisme-Leninisme dan konsolidasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagaimana diketahui penyebaran ideologi komunisme dan konsolidasi PKI tidak dikehendaki oleh rakyat Indonesia, dengan tetap diberlakukannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 oleh MPR hingga saat ini. Menurut keterangan ahli, Dr. Thamrin Amal Tomagola, TAP MPR itu secara formal adalah sah, karena dibuat oleh lembaga negara yang berwenang. Bahwasannya pembatasan ini bersifat situasional, dapat ditelusuri dengan semakin longgarnya perlakuan terhadap bekas anggota PKI dan lain-lain dari undang-undang Pemilu yang terdahulu ke undang-undang Pemilu berikutnya. Dalam undang-undang Pemilu sebelumnya bekas anggota PKI dan lain-lain, bukan saja dibatasi hak pilih pasif (hak untuk dipilih), tetapi juga hak pilih aktif (hak untuk memilih). Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibatasi hanya hak pilih pasif saja. Tidak Tepat: Menyamakan Khilafah Ajaran Islam dengan Komunisme. Khilafahisme hendak disejajarkan dengan ideologi terlarang komunisme. Hal ini dapat dipandang pelecehan dan penistaan ajaran Islam. Khilafah bukan isme tapi sistem pemerintahan yang berbasis pada ideologi Islam. Mengkriminalkan ajaran Islam adalah tindakan gegabah dan menistakan agama. Jika Indonesia menyatakan belum menerima sistem kekhalifahan sebagai sistem untuk mengatur penyelenggaraan negara, tentu tidak serta merta menempatkan ajaran Islam ini sebagai isme yang dilarang dan bertentangan dengan Pancasila. Ini bukan apple to apple. Khilafah adalah bagian dari ajaran agama Islam di bidang politik (siyasah). Dalam hal ini ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang kemudian dilanjutkan oleh para Khalifah setelah beliau. Oleh karena itu ajaran agama maka Ia tak layak disejajarkan dengan paham lain buatan manusia yang bukan ajaran agama. Maka khilafah tak pantas ditambahi isme sebagaimana paham buatan manusia seperti Kapitalisme, komunisme, radikalisme, dll. Jika kesesatan berfikir tentang khilafah dibiarkan, maka bisa saja nanti ajaran Islam yang lain akan juga disejajarkan dengan ajaran atau isme buatan mausia. Bisa saja mereka akan melecehkan kesucian ajaran haji dengan haji-isme, jihad-isme, zakat-isme, jilbab-isme, dll. Padahal itu jaran islam yang pasti baik buat manusia karena datang dari Allah SWT, sang Pencipta alam semesta. Narasi khilafahisme disejajarkan dengan komunisme jelas sangat menodai ajaran agama Islam. Dampak buruknya penyamaan ini adalah menyamakan pendakwah khilafah (HTI) DISAMAKAN DENGAN pengusung komunisme (PKI). Jika sengaja menyejajarkan ajaran agama dengan paham lain buatan manusia, maka itu merendahkan bahkan melecehkan ajaran agama. Menyamakan Khilafah dengan paham komunisme, radikalisme dan paham lain yang negatif adalah termasuk merendahkan ajaran agama Islam. Bahkan dapat dikategorikan menodai ajaran agama islam. Jadi dapat dinilai sebagai penistaan agama. Syahdan! Namun, demikianlah yang terjadi di Indenesia. Karena kepentingan tertentu yang berdalih demi Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggak Ika membuat para pengambil kebijakan publik terkesan "ngawur" dan "ugal-ugalan" karena tidak didasarkan pada pertimbangan hukum yang absah dan dapat dipertanggungjawabkan bahkan kebijakan itu diambil berdasarkan kemauan politik. PKI itu jelas dilarang, sesuai dengan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 jo UU No. 27 Tahun 1999. Itu pun telah dilakukan moderasi terhadap organisasi yang radikal tersebut melalui Putusan MK Nomor 011-017/PUU-I/2003. Sekali lagi saya myatakan bahwa Putusan MK 2003 itu menyatakan bahwa Pasal 60 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut tak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga bekas tahanan politik dari partai terlarang seperti Partai Komunis Indonesia juga berhak dipilih dalam Pemilu. Pasal 60 huruf g UU Pemilu itu menyebutkan bahwa mereka tak diberikan hak politiknya adalah "Bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya." Kita tahu persis bagaimana peran DPR, dan DPRD dalam pembentukan hingga pelaksanaan suatu UU. Mantan PKI saja boleh dipilih, mengapa mantan anggota HTI yang telah dibubarkan pula oleh Pemerintah dipersekusi, dicabut haknya, diberhentikan atasannya, dilengserkan dari jabatan politik pemerintahan. Adilkah? Apalagi kejadiannya ini dunia kampus yang tugasnya untuk merohanikan ilmu dengan fokus pada pencarian kebenaran dan keadilan ( searching the truth, noting but truth. Meskipun AAHS terkesan menerima begitu saja atas pemberhentiannya sebagai Wakil Dekan FPIK, menurut saya hal ini akan menjadi preseden buruk pembungkaman hak berserikat, berkumpul bagi PNS atau ASN sekaligus melanggar hak dipilih para mantan organisasi yang dinyatakan bubar oleh Pemerintah karena dicabut badan hukumnya sedang Putusan MK Nomor 011-017/PUU-I/2003 masih tetap berlaku sampai kapan pun. Sekali lagi saya tegaskan, jika terhadap para bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya diberikan hak dipilih (dalam konteks yang lebih luas), tetapi mengapa mantan anggota HTI dilarang menduduki jabatan tertentu di pemerintahan? Hal ini yang saya katakan diskriminatif, represif dan otoriter dalam penegakan hukum. Adilkan menegakkan hukum sembari melakukan pelanggaran hukum dan HAM? Atas dasar ini apakah kiranya tidak berlebihan jika dikatakan telah terjadi PELANGGARAN HAM YANG BERKEDOK HUKUM? Tabik...! Penulis adalah Guru Besar FH Undip

Harapan Awal Tahun 2021, Membangun Kecerdasan Politik Rakyat

by Farouk Abdullah Alwyni Jakarta FNN – (01/01). Mengawali awal tahun 2021 ini kita disajikan oleh pertunjukan politik unik Indonesia, ketika Sandiaga Uno diangkat menjadi Menteri di Kabinet Jokowi. Dengan masuknya Sandiaga ke kabinet pemerintahan Jokowi, maka lengkaplah sudah satu pasang Calon Presiden dan Wakil Presiden (Prabowo-Sandi) dari kubu lawan pasangan dengan Jokowi-Ma’ruf. Prabowo –Sandi masuk menjadi anak buah pasangan Jokowi’Ma’ruf yang memenangi pemilihan Presiden 2019. Padahal awalnya Prabowo-Sandi tidak menerima kemenangan sang calon Jokowi-Ma’ruf Amin. Sehingga Boleh dibilang proses politik yang terjadi tersebut adalah pendidikan politik yang paling unik dalam konteks internasional negara demokrasi modern. Sejarah baru dari proses demokrasi Indonesia telah dimulai, sejak pemilihan presiden yang langsung dipilih rakyat tahun 2004. Dalam satu sisi yang terjadi itu mungkin disebut ingin meminimalkan gesekan politik yang terjadi sewaktu proses pilpres berlangsung, dimana dua kubu pendukung calon pasangan presiden saling memberikan hujatan satu sama lain dengan istilah “cebong” dan “kampret”. Tetapi persoalannya, proses politik yang tejadi tersebut pada dasarnya menegasikan konsep demokrasi yang dikenal secara luas. biasanya pihak yang kalah berada di luar dan menjadi oposisi, dan mengkritisi pemerintahan yang berkuasa, agar proses “check and balance” bisa terjadi. Karena dengan ketiadaan “check and balance”, maka yang dirugikan adalah demokrasi, dan masyarakat secara keseluruhan. Proses kontrol dalam pemerintahan di negara demokrasi mutlak harus dilakukan. Karena tanpa kontrol, tidak mustahil kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan. Kita mendengar istilah lama terkait hal ini yang disebut dengan “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Dalam kerangka tata kelola pemerintahan yang baik, belakangan lembaga-lembaga pembangunan internasional menggunakan istilah “good governance”. Bahkan dalam level perusahaanpun dikenal secara internasional istilah “good corporate governance”. Dalam sejarah Islam setelah Rasulullah, Khalifah Pertama yang terpilih secara Syura, Abu Bakar Assiddiq Radiallaahu Anhu, yang menyatakan dalam khutbah pertama pengangkatannya sebagai Khalifah, “…, If I do well, help me; and if I do wrong, set me right. … Obey me so long as I obey God and His Messenger. But if I disobey God and His Messenger, you owe me no obedience. …” Esensi dari khutbah pertama Abubakar Assiddiq Radiallaahu Anhu ini adalah bahwa para pengikutnya mempunyai kewajiban untuk mengikutinya hanya jika beliau melakukan hal-hal yang benar. Tetapi mereka tidak harus mengikutinya jika beliau melakukan kesalahan, bahkan perlu melakukan koreksi kepadanya. Bahkan mengoreksinya dengan peddang sekalipun. Sebenarnya hal ini juga refleksi dari hadits Rasulullah Shallaahu Alaihi Wasallam yang menyatakan bahwa “seorang Muslim harus selalu membantu saudaranya. Baik saudaranya itu berbuat kebaikan dan kebenaran maupun kesalahan”. Para sahabat bertanya bagaimana mungkin mereka harus membantu saudaranya jika mereka melakukan kesalahan, Rasulullah Shallaahu Alaihi Wasallam menjawab “bahwa cara membantu saudaranya itu dengan mengkoreksi kesalahan-kesalahan yang dibuat saudaranya”. Pada prinsipnya penerapan “good governance” dan “check and balance” dalam tata kelola negara. Hal yang senada juga dinyatakan oleh politisi dan negarawan Amerika Serikat, diantaranya Theodore Roosevelt (Presiden Amerika Serikat ke 26) menyatakan “to announce that there must be no criticism of the President, or that we are to stand by the President, right or wrong, is not only unpatriotic and servile, but is morally treasonable to the American Public”. Terjemahan dari pernyataan Presiden Theodore Roosevelt itu kurang lebih adalah “menyatakan bahwa disana harus tidak ada kritik terhadap Presiden, atau kita harus selalu mendukung Presiden benar atau salah adalah bukan hanya tidak patriotis dan berjiwa budak. Tetapi secara moral telah berkhianat kepada masyarakat Amerika.” Selain itu, Benjamin Franklin, salah satu founding father Amerika Serikat juga menyatakan “it is the first responsibility of every citizen to question authority”. Tang terjemahannya “adalah tanggungjawab utama dari setiap warga negara untuk mempertanyakan otoritas”. Yang tidak kalah penting, ketika kita menghadapi penurunan kualitas demokrasi dewasa ini adalah pernyataan George Washington, Presiden Amerika Serikat pertama, yang menyatakan “If freedom of speech is taken away, then dumb and silent we may be led, like sheep to the slaughter”. Terjemahan bebas dari pernyataan Presiden George Washinton itu, “jika kebebasan berbicara dicabut, dan kita diarahkan untuk bisu dan diam, itu seperti domba-domba yang akan disembelih”. Tentunya dalam kesempatan yang lain kita bisa bahas batas antara kebebasan berbicara dan penghinaan. Tetapi esensi kebebasan berbicara disini adalah kritik terhadap pemerintahan. Jadi, bahwa dukungan dan kepatuhan kepada pemerintahan ataupun Presidennya ada kurannya. Terlepas apakah agama memegang peranan penting atau tidak di negara itu. Dukungan hanya berlaku jika sang pemimpin berpegang kepada nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kebenaran, kebaikan, dan pemihakan kepada rakyat kebanyakan. Nilai ini berlaku mulai dari masa Kekhalifahan Rasyidin dahulu sampai dengan negara modern yang berdasarkan demokrasi dewasa ini. Dalam konteks negara demokrasi Indonesia dewasa ini, perlu dibangun sebuah kesadaran di kalangan masyarakat agar selalu mengedepankan konsep “conditional support” kepada para pemimpin yang dipilihnya. Sebaliknya, jika rakyat memberikan “unconditional support” kepada para pemimpinnya, maka itu sangat berbahaya. Karena bisa menjurus kepada negara otoriter dan keditaktoran. Kediktaroran menjadi semboyan Raja Prancis dahulu yang menyatakan l’etat c’est moi. Negara adalah saya. Apapun yang saya lakukan, benar atau salah, rakyat harus memberikan dukungan. Tidak heran jika akhirnya sebuah sistim yang seperti ini pada akhirnya berakhir dengan berdarah-darah di bawah pisau guillotine. Konsep yang hampir sama adalah “right or wrong is my country”. Konsep yang bisa menimbulkan penyalah gunaan kekuasaan luar biasa dari para oknum yang berkuasa. Memang diakui, demokrasi bukan sebuah sistim yang ideal. Anggapan itu oleh para pemikir dan politisi Barat itu sendiri. Tetapi untuk saat ini, demokrasi adalah sebuah sistim yang bisa menghargai Hak Asasi Manusia (HAM) dan mengantarkan kesejahteraan dan kemajuan di negara-negara Eropa Barat, Amerika Utara, Asia Timur, Skandinavia, maupun Australia dan New Zeland dibandingkan dengan sistim-sistim lainnya. Spalagi seperti sistim monarki absolut model Saudi Arabia ataupun sistim satu partai model komunis China yang cenderung represif dalam memaksakan kehendaknya. Kita juga kita melihat model-model republik yang pada dasarnya adalah negara-negara otoriter. Model seperti yang ada di Mesir (diktator militer), Syria (diktator sipil), ataupun model “hybrid” Korea Utara, pemerintahan komunis yang seperti kerajaan. Dimana satu keluarga mempunyai kontrol luar biasa terhadap satu negara. Timbulnya Arab Spring di Timur Tengah sebenarnya adalah bentuk perlawanan kepada negara-negara dengan sistim otoriter yang korup. Kembali kepada realitas politik Indonesia akhir tahun 2020 kemarin. Satu pasang calon yang kalah dalam proses demokrasi, akhirnya “submit” dan mengikuti calon pemenang. Ini pelajaran politik penting bagi para pendukung fanatik kedua pasang calon tersebut. Bahwa politik pada dasarnya bisa begitu cair, terlebih lagi di Indonesia. Para pendukung kedua belah pihak harus menyadari bahwa mereka tidak bisa “gelap mata” terhadap pihak yang didukungnya, baik itu bagi pemenang maupun yang kalah. Kita dengar kekecewaan datang dari kubu kedua belah pihak. Dari pendukung Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi. Pendukung pemenang melihat sendiri bagaimana lawan yang sebelumnya diserang habis-habisan, ternyata pada akhirnya bisa mendapatkan posisi. Sementara sang pendukung fanatik itupun tidak mendapatkan apa-apa. Yang lebih parah lagi adalah para dan taragis lagi pendukung pihak yang kalah. Banyak yang telah menggunakan sumber dana mereka sendiri sewaktu kampanye dahulu. Alasannya Prabowo-Sandi tidak mempunyai kekuatan pendanaan sebesar pasangan Jokowi-Ma’ruf. Alasan yang sebenarnya masih bisa diperdebatkan. Bahkan banyak yang berdarah-darah, masuk tahanan sebagal. Sebagian lagi ada meninggal dunia ketika memperjuangkan pasangan yang didukungnya dalam demo di depan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Mei 2019 yang lalu. Coba bayangkan apa yang dirasakan keluarga para korban pendukung pasangan Prabowo-Sandi ketika melihat realitas politik yang seperti ini? Esensinya Prabowo-Sandi mengkhianati esensi perjuangan mereka. Mengapa hal tersebut menjadi pelajaran politik penting bagi rakyat? Sebenarnya ke depan rakyat pun harusnya tidak perlu terlalu fanatik kepada para calon yang didukungnya. Rakyat harus menyadari bahwa mereka mendukung calon karena disatukan oleh cita-cita dan idealisme perjuangan semata. Begitu juga para figur yang didukungnnya. Ketika dianggap sudah tidak berada di rel cita-cita perjuangan dan idealisme bersama, pada saat itulah mereka sudah harus siap meninggalkan figur yang didukungnya. Fanatisme buta kepada satu figur pada akhirnya hanya akan menimbulkan kekecewaan yang luar biasa. Kondisi ini tidak hanya berlaku untuk dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang lalu. Tetapi yang terpenting dalam kontestasi politik ke depannya, pada 2024 mendatang. Pembangunan kecerdasan politik rakyat penting dalam kerangka menghilangkan “slavish attitude” (watak budak) dari rakyat. Yang melihat figur yang mereka dukung adalah segala-galanya. Bahkan seperti figur setengah dewa. Pada akhirnya walaupun mungkin mereka memiliki kelebihan-kelebihan, tetapi tentunya, dan pastinya merekapun mempunyai kekurangan-kekurangan. Karena mereka bukan malaikat, ataupun Nabi yang ma’sum. Nabi yang ma’sum pun pernah ditegur oleh Allah Suhaanahu Wata’ala ketika terlihat menganggap remeh tamu orang tua miskin yang buta, yang dianggap lemah ketika pada waktu yang sama beliau sedang mencoba mengajak pembesar Quraish yang “powerful” untuk masuk Islam. Disini bahkan seorang Rasulpun mengalami sebuah proses “check and balance”. Dalam konteks politik Indonesia, khususnya pemilihan Presiden 2024 nanti, rakyat kebanyakan harus cerdas. Bahwa orang-orang yang akan ikut kontestasi pemilihan presiden tersebut adalah calon-calon pelayan publik yang perlu memberikan pelayanan yang terbaik untuk rakyat. Bukan para calon penguasa yang akan menjadi tuan-tuan mereka. Apalagi setelah duduk disinggasana, kekuasaan hanya bekerja mementingkan kelompok elite saja. Rakyat perlu menyadari bahwa dukungan mereka terbatas, jika para calon yang dipilihnya adalah benar-benar mempunyai pemihakan kepada rakyat banyak. Bisa berjuang untuk menegakkan sebuah sistim yang ber-Ketuhanan, berkemanusiaan, menjaga persatuan, menghargai musyawarah. Selain itu, akan berjuang untuk terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (esensi Pancasila). Sebuah cita-cita luhur yang tidak main-main. Sebuah upaya menegakan masyarakat egaliter yang didasarkan oleh nilai-nilai ke-Tuhanan, atau tentunya nilai-nilai Tauhid bagi umat Islam. Rakyat dalam perjuangan politik yang seperti ini, perlu membuang jauh-jauh mental neo-feodal. Mental yang terlalu mengagung-agungkan para junjungannya. Padahal dalam konteks demokrasi modern, figur-figur yang tampil tersebut harus menjadi figur-figur yang mewakili kepentingan rakyat banyak. Figur-figur yang harus merasa lemah, jika tidak bisa menjaga kemaslahatan rakyat kebanyakan, ataupun kepentingan kelompok rakyat yang tertindas. Figur-figur yang harus merasa kuat dan bisa keras jika berhadapan dengan elite-elite yang justru membawa kemudharatan untuk rakyat banyak. Apalagi elite-elite yang mempunyai sifat menindas. Penulis adalah Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED).

Ubedilah Badrun Kembali Menjadi Ketua APPSANTI

by Dr. Andi Octamaya Tenri Awaru Makasar FNN – Senin (19/10). Ubedilah Badrun dari Univeritas Negeri Jakarta (UNJ) terpilih kembali untuk kedua kalinya secara aklamasi menjadi Ketua Asosiasi Program Studi Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Indonesia (APPSANTI). Ubedilah terpilih untuk periode 2020-2022 pada Munas ke II APPSANTI yang diselenggarakan secara virtual. Munas ke II APPSANTI ini diselenggarakan pada Minggu tanggal 18 Oktober 2020 kemarin. Berindak sebagai tuan rumah adalah Universitas Negeri Makassar (UNM). Ubedilah Badrun adalah akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) di bidang Sosial dan Politik. "Pak Ubedilah Badrun terpilih secara aklamasi, yang disetujui oleh 18 Perguruan Tinggi se-Indonesia anggota APPSANTI " ujar Ketua panitia Munas II APPSANTI Dr. Andi Octamaya Tenri Awaru yang juga sebagai akademisi Universitas Negeri Makasar (UNM) di bidang Pendidikan Sosiologi. Menurut Andi Octamaya Tenri, Munas ke II APPSANTI ini diselenggarakan dalam tiga rangkaian kegiatan. "Sebelum Musyawarah Nasional, terlebih dahulu diselenggarakan Kompetisi Nasional mahasiswa pendidikan sosiologi dan antropologi se-Indonesia (Kompensanti) pada tangga 17 Oktober. Selain itu, juga diselenggarakan Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional 18 Oktober yang di dalamnya ada pemilihan Ketua yang baru untuk periode 2020-2022. Semua rangkaian kegiatan acara Munas ke II APPSANTI dapat berjalan dengan lancar, dan sukses. "Terima kasih kepada semua pihak yang telah menyukseskan rangkain acara dan kegiatan Munas ke II APPSANTI ini. Terima kasih juga atas kepercayaan seluruh anggota APPSANTI. Saya bukanlah orang terbaik di asosiasi ini, “ujar Ubedilah Badrun. “Semoga pada periode kedua ini dapat melaksanakan amanah secara lebih baik lagi. Baik untuk turut berkontribusi terhadap pembangunan sosial di Indonesia. Lebih khusus lagi di bidang pendidikan sosiologi dan antropologi untuk perubahan Indonesia yang lebih baik" tutu Ubedilah Badrun saat ditanya jurnalis usai terpilih kembali untuj memimpin asosiasi berskala nasional ini. Penulis adalah Akademisi Universitas Negeri Makasar.

Sekulerisasi di Kampus Yes, Islamisasi No?

by Nuim Hidayat Jakarta FNN- Minggu (27/09). Ade Armando dan kawan-kawannya kini gencar melakukan sekulerisasi Kampus besar-besaran. Didahului dengan penelitian lembaga Setara terhadap radikalisme Islam di 10 PTN ternana di Indonesia tahun 2018. Hasilnya menurut mereka ada radikalisme Islam di kampus-kampus. Maka mereka -kelompok abangan dan non Muslim- ini melancarkan aksinya setelah stigma negatif terhadap kelompok Islam sukses mereka lancarkan. Di ITB mereka membentuk Gerakan Anti Radikal ITB. Salah satu gerakannya adalah mendesak agar Prof Din Syamsuddin dicopot dari keanggotaan Wali Amanat ITB. Di UGM mereka berhasil melobi rektor agar melarang Ustadz Abdul Shomad ceramah di kampus UGM. Di UI kelompok Ade Armando dan Setara lebih ganas lagi. Mereka membungkus penjegalan Islamisasi di UI dengan penjegalan PKS. Mereka menyatakan bahwa PKS sejak reformasi menguasai lembaga kemahasiswaan, birokrasi penting kampus hingga penyaluran beasiswa. Akibat ini, maka Lembaga Dakwah Kampus mahasiswa UI dipindahkan sekretariatnya dari masjid UI ke Pusat Kegiatan Mahasiswa. Aneh memang. Kalau Rasulullah menyuruh agar mahasiswa dekat sama masjid, kelompok Ade malah membujuk UI agar mahasiswa jauh dari masjid. Mereka kini puas karena langkah mereka mendapat dukungan dari petinggi kampus. Bahkan mungkin mereka dapat aliran dana besar dari pemerintah, karena program radikalisme mereka sejalan dengan pemerintah. Upaya penghadangan Islamisasi di kampus (juga di masyarakat) dengan kedok radikalisme mengingatkan kita pada kondisi Orba tahun 80an. Atau kondisi Orla ketika Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin. Kini umat Islam mesti hati-hati. Berapa banyak ustadz yang hanya salah omong, videonya menjadi bukti untuk memasukkannya di hotel prodeo. Sementara kelompok mereka meski melanggar hukum dan sudah dilaporkan ke polisi, tidak diapa-apakan. Tapi jangan kuatir. Islam ibarat air. Meski dibendung dengan berbagai cara -batu atau beton sekalipun- ia akan sanggup cari jalan keluar. Arus Islam itu akan makin membesar dan menjebol beton itu. Islam adalah fitrah manusia. Sekulerisme yang terbukti gagal dalam sejarah di dunia Islam, adalah jalan menyimpang dari fitrah manusia. Mahasiswa atau dosen-dosen di kampus negeri tidak bisa dibatasi oleh sekat-sekat yang dibuat Ade cs. Dunia virtual menyambungkan mereka dengan saudara-saudaranya dari seluruh tanah air bahkan dunia. Teruslah bergerak wahai saudaraku. Meski lawan terus menghadangmu. Ujian ini saya yakin justru akan memperkuat jiwamu untuk terus berdakwah menyebarkan Islam (Islamisasi). Langkah-langkah yang dibuat Ade cs hanyalah kerikil yang tidak akan membahayakan kakimu. Ade bukanlah Muslim yang baik. Bahkan saya sendiri pernah menyaksikan dalam sebuah acara di Hotel Jakarta, Ade tidak melaksanakan Sholat Ashar dan Maghrib. Dalam Islam, orang yang tidak melaksanakan prinsip-prinsip Islam jangan dipercaya... Penulis adalah Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Depok.

Pandangan KAMI Logis Dan Realistis

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN – Kamis (20/08). Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), yang diinisiasi oleh beberapa puluh orang, telah dideklarasikan. Deklarasi dilangsungkan di Tugu Proklamasi tanggal 18 Agustus, kemarin. Tak diduga deklarasi itu dihadiri oleh ribuan orang, dan sejauh berita yang tersaji, yang hadir berasal dari berbagai kalangan. Prosesinya memang berkelas. Namun yang terpenting adalah ketepatan mereka mengidentifikasi masalah-masalah inti yang melilit begitu kuat jiwa dan tubuh bangsa hari ini. Masalah-masalah itu mudah diverifikasi secara obyektif. Tidak mengada-ada. Semua bisa dicek rinciannya secara akademik. Sulit Mengingkari Naik dan bekerjanya pikiran ugal-ugalan yang memberi angin kencang untuk kebangkitan komunis teridentifikasi oleh KAMI. Dalam pandangan mereka, pikiran ini ditrasformasi ke dalam RUU HIP. Di saat yang sama krisis ekonomi yang untuk sebagian ekonom telah nyata. Krisis yang mengakibatkan derita rakyat terus dan semakin membesar. Oligarki, korporasi, dan konglomerasi, terlihat teridentifikasi sebagai penyebab terbesar semua masalah ini. Oligarki itu sudah merupakan semua penyakit politik dan hukum yang bahanya tak tertandingi. Apakah penyakit itu memiliki bobot membahayakan kelangsungan bangsa ini? Sejarah mengunci siapapun untuk tak perlu terlalu berkeringat mencari fakta yang dapat menyangkal bahaya penyakit-penyakit itu. Penyakit-penyakit itu, jelas membahayakan bangsa. Tidak ada ketidakadilan hukum, ekonomi dan politik yang menyenangkan. Tidak ada oligarki yang ditopang oleh keadilan. Tidak ada oligarki yang tidak menghasilkan korupsi. Malah oligarki itu sendiri telah merupakan korupsi dalam bentuknya yang asli. Oligarki tidak cukup dijelaskan dengan menunjuk kelemahan institusional sebagai penyebabnya. Tidak. Akar terdalam oligarki ada pada sistem politik. Tidak lebih. Itu telah ditunjukan sejak Romawi kuno. Mereka membentuk penguasa, dan penguasa yang dibentuk itu berfungsi sebagai katalisator kepentingan mereka dalam banyak aspek. Itu disajikan Machiavelli sebagai bahaya orang kaya dalam sebuah republik. Orang-orang kaya ini memandang orang miskin, pas-pasan. Tak lebih dari sekadar soal angka statistik. Tak pernah soal itu dikerangkakan dalam panduan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pandangan oligarki, problem ini hanya dijelaskan sebagai soal teknis semata. Pembaca FNN yang budiman, keagungan nilai-nilai kemanusiaan itulah dasar utama pembentukan republik, dimanapun di dunia ini. Sayang, oligarki tak menghenal nilai-nilai agung itu. Begitu oligarki melembaga dalam sistem, saat itulah semua nilai hebat itu melayang. Sejak oligarki melembaga, sejak itu pemerintah, dimanapun tak lagi bisa bertindak berdasarkan nurani atau jiwa konstitusi. Malah jiwa konstitusi diselewengkan. Oligarki cukup cerdas dalam menyediakan ide-ide. Konsep-konsep tata negara non teks konstitusi seperti inherent power, presidential privilege, presidential prerogative, memang terlihat hebat. Tetapi bila dikenal rinciannya secara praktis, maka konsep-konsep itu menjadi mantel hukum dan politik untuk kepentingan tersembunyi mereka. Sebagian dari konsep-konsep itu mengalir dari kaki tangan oligarki. Ini jelas berbahaya. Sama bahayanya dengan pemaduan sosialisme dan demokrasi. Cukup sering perpaduan dua konsep ini ditunjuk sebagai fundasi lahirnya konsep pemerintahan progresif. Tahukah konsep pemerintahan progresif, dalam praktiknya di negara lain merupakan merupakan jalan tol atas tindakan-tindakan administrasi negara yang melampaui perintah konstitusi? Tahukah anda bahwa konsep ini melahirkan konsep negara kesejahteraan? Tahukah tipikal negara kesejahteraan adalah pemerintah aktif terlibat dalam setiap senti kehidupan masyarakat? Tahukah konsep negara kesejahteraan dengan tipikal itu pada awalnya, malah teridentifikasi sebagai negara fasis? Setidaknya Herbert Hoveer, capres petahana yang menolak proposal oligarki, telah mengidentifikasinya. Akibatnya ia kalah dalam pemilu presiden Amerika tahun 1932. Penangguhan hak budget DPR melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020, dalam esensinya merupakan pengambi-alihan hak DPR oleh Presiden. Apakah cara ini hendak dibenarkan dengan konsep pemerintahan progresif khas Woodrow Wilson? Secara konstitusional, tidak bisa. Pemerintahan Bermasalah Jangan tanya apa yang diberikan negara kepada anda. Tetapi tanyakanlah apa yang mungkin anda berikan kepada negara. Ini kalimat hebat yang membahana di dunia setelah diucapkan John Kennedy, Presiden Amerika Serikat muda usia, cerdas dan tampan itu pada tahun 1962. Oke itu. Tetapi bukan tanpa masalah. Bila kata-kata hebat ini diterima apa adanya. Dipakai dalam kehidupan nasional Indonesia, maka akibatnya jelas. Negara ini bisa jadi fasis. Pemerintah tak boleh dikoreksi. Kebenaran dan kepantasan semuanya bersandar pada sikap pemerintah. Pemerintah memonopoli kebenaran. Itu bahayanya. Bahaya itu bekerja pada, misalnya penguasaan puluhan ribu hektar tanah oleh satu dua korporasi tak bisa disoal. Urusan dagang bawang merah, putih, dan lainnya yang acap diidentifikasi orang memiliki aroma kartel, juga penegakan hukum yang berantakan harus diterima apa adanya. Tidak ada pemerintahan didunia ini yang dibangun atas dasar pikiran pemerintah selalu bertindak sesuai nurani republik. Para pendiri negara ini juga punya asumsi itu. Itulah alasan dibalik pendirian lembaga-lembaga pengawas seperti court dan non court. Pengadilan dan DPR. Kenyatan itu membawa Thomas Jefferson mengandalkan pers sebagai pilar pengawasan non instuitusional terhadap pemerintahan. Itu menjadi penjelasan otoritatif. Pers muncul menjadi pilar pengawasan di alam demokrasi. Ini kepingan kecil munculnya pers sebagai pilar keempat demokrasi. Memutar kembali kiblat bernegara ke Pancasila dan UUD 1945 terlihat menjadi hasrat terbesar KAMI. Itu logis dan realistis. DPR, DPD dan MPR dibayangkan menjadi motor gerak putar itu. Ini terasa imperative. Mungkinkah? Sangat mungkin. Caranya terlalu mudah. Bikin saja UU menurut panduan Pancasila dan UUD secara hakiki. Mungkinkah DPR dan DPD membelakangi dunia global? DPR hanya perlu tahu dunia global tidak pernah keluar dari arus utama politik ekonomi tunggang-menunggang, machiavelis. DPR hanya perlu tahu konsep kerjasama, kemitraan, partnership bilateral maupun multilateral. Tidak pernah keluar arus oligarki global. Tidak. Itu kecerdasan mereka. Mengangkangi pasar sumberdaya alam dan ekonomi negara yang berpartner, adalah tujuan terbesar dibalik semua konsep itu. Di atas semua itu, sistem pemerintahan presidensial menyodorkan presiden sebagai figur utama memegang dan memikul tangung jawab penyelenggaraan pemerintahan. Suka atau tidak, itulah sistem presidensial ini. Terlepas dari siapapun presidennya. Tanggung jawab tunggal itu melekat pada personal presiden. Bukan pada wakil presiden. Ini menjadi sebab kajian tata negara untuk sistem presidensial menempatkan presiden, siapapun orangnya, pada episentrum setiap masalah pemerintahan. Itu pula sebabnya pemerintahan presidensial selalu diidentikan secara simbolis dengan nama presiden. Apakah keluhuran budi dan nurani republik yang terdapat dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, menuntun dan memandu Pak Presiden dalam merespon KAMI? Hanya Presiden dan Allah Subhanahu Wata’ala yang tahu. Menarik ditengah kemunculan KAMI, Ibu Sri Mulyani, menteri keuangan, dengan kalimatnya yang sangat halus menyajikan beberapa masalah dalam pemerintahan ini. Rendahnya serapan anggaran pemulihan corona dan ekonomi nasional, disebabkan antara lain sebagian menteri belum terlatih menyelenggarakan birokrasi. Kenyataan itu jatuh tepat di atas kenyataan lain yang krusial. Kenyataan lain itu adalah adanya kebijakan yang berubah-ubah (Lihat CNNIndonesia, 19/8/2020). Bagi Ibu Menteri, ini tantangan. Apapun itu, sulit untuk tidak menilai kenyataan itu menggambarkan dengan tepat level kapasitas dan kompetensi pemerintahan ini. Jelas ini masalah. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Nadiem Minta Maaf, Lebih Baik Lagi Kalau Mundur

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (04/08). Merasa tertekan akibat Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang menarik diri dari Program Organisasi Penggerak (POP) bernilai Rp. 600 Milyar, maka Menteri Pendidikan Nadiem Makarim merilis permohonan maaf kepada tiga organisasi besar yang bergerak di bidang pendidikan tersebut. Nadiem juga bertandang ke PP Muhammadiyah Jakarta. Di Pusat Da’wah Muhammadiyah, Menteri Pendidikan Nadiem diterima oleh Sekum PP Muhammadiyah DR. Abdul Mu'thi dan pengurus Muhammadiyah lainnya. Kebijakan POP Nadiem yang asal-asalan itu untuk patut dikritisi dengan tajam. Sebab program itu berujung pada hengkangnya Muhammadiyah, NU, dan PGRI. Bagaimana tidak, ketiga organisasi besar di bidang pendidikan tersebut ternyata mau disejajarkan Nadiem dengan organisasi abal-abal sekelas yang hanya mengurusi "bimbel". Ironisnya lagi, ada dana Rp. 20 miliar yang dialokasikan kepada Yayasan pendidikan milik dua konglomerat HM. Sampoerna dan Sukamto Tanoto. Kini Nadiem Menteri "anak kemarin" sore yang seperti tidak faham pelaku pendikan "terdahulu" itu telah meminta maaf. Dari sisi etika tentu kita semua menghargai dan mengapresiasi permintaan maaf nadiem tersebut. Akan tetapi ini bukan saja ajang maaf-memaafkaan seperti lebaran atau baru saja Iedul Adha. Bukan juga soal apakah Muhammadiyah, NU atau PGRI memaafkan atau tidak. Ini persoalan bangsa dan negara. Ini persoalan ketidakmampuan Nadiem, anak kemarin sore tersenut dalam mengemban amanat pengelolaan pendidikan nasional. Inovasi yang nyatanya berbasis kebijakan acak-acakan, ngawur dan kacau-balau. Mundurnya tiga organisasi besar melengkapi kritik sejak awal kepada Menteri yang "bukan bidangnya" tersebut. Kritik itu harus dibaca sebagai ketidakpercayaan publik. Nah berdasarkan Tap MPR No VI tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, maka penyelenggara negara yang sudah kehilangan kepercayaan publik hendaknya harus mengundurkan diri. Demi menjunjung etika pendidikan ke depan. Nadiem baiknya cepat mengundurkan diri untuk integritas dan masa depan dunia pendidikan. Masa depan Nadiem juga yang masih panjang. Anak muda yang berprestasi yang tercemar oleh pergulatan politik oligarkhis dan kapitalistik. Mundur adalah sikap yang terhormat dan bermartabat. Mundur juga sekaligus sebagai sikap pembersihan dan rintisan dari penghargaan terhadap peraturan perilundang-undangan. Apalagi di tengah habitat rezim yang rendah rasa peduli dan bermuka tebal, sangat diperlukan sikap menghargai kesalahan. Kecuali yang dikejar adalah abisi untuk mengelola anggarakan pendidikan 20% dari total APBN setiap tahun Contoilah dan ikutilah dua teman seusia anda yang diangkat Presiden Jokowi menjadi Staf Khusus Presiden. Adamas Belva Syah devara dan Andi Taufan telah lebih dulu mengundurkan diri sebagai sikap yang kesatria dan gentelment. Mereka berdua adalah anak muda yang tau diri. Tau terhadap kesalahan yang mereka perbuat. Nadiem dapat kembali menata usahanya yang juga terdampak akibat pandemi covid 19. Membangun dan menata kembali kreasi baru yang mengahadirkan solutif. Perusahaan start up yang perlu penanganan serius dan menjadi model usaha anak muda Indonesia. Disinilah bidang yang subur untuk keahlian Nadiem. Jabatan Menteri Pendidikan, disamping belum waktunya, juga nampaknya menjadi lebih pantas untuk orang lain. Orang yang benar-benar mengerti, memahami dan menjiwai dunia pendidikan. Orang yang sudah berpengalaman dalam mengelola lembaga pendidikan. Salah satu bumber bahan bakunya dari Muhammadiyah, NU dan PGRI. Saatnya untuk menetapkan pilihan antara terjebak di kubangan lumpur kepentingan permainan politik, atau keluar menata integritas dan kapasitas diri. Sumbangsih bagi negara bukan ngeyel, ngawur dan ngaco dalam ketidakmampuan, tetapi sebaiknya mundur dari jabatan itu. Rakyat menunggu sikapNadiem Makarim, anak muda yang siap untuk menjunjung tinggi etika. Sikap yang kesatria dan gentelent. Bukan sikap pendukung faham "ngeyelisme". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.