Lembaga Ristek Dalam Bayang-Bayang Indoktrinasi

by Dipo Alam

Jakarta, FNN - Setelah bereksperimen mengeluarkan Dirjen Pendidikan Tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ke Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) pada periode pertamanya dulu, sebuah eksperimen yang terbukti gagal dan kemudian dianulir sendiri setelah lima tahun; di periode keduanya ini Presiden Joko Widodo kembali bereksperimen dengan “membubarkan” Kemenristek dan meleburnya ke Kemendikbud.

Memang butuh waktu untuk menilai apakah keputusan ini akan berhasil atau kembali membentur kegagalan. Namun, kita bisa langsung menilai jika dari kacamata kebijakan publik dan manajemen riset, keputusan untuk “membubarkan” Kemenristek adalah sebuah keputusan yang buruk. Ada tiga alasannya.

Pertama, mengubah nomenklatur kementerian di tengah jalannya pemerintahan dengan jelas menunjukkan jika pemerintah tidak memiliki horison perencanaan jangka panjang. Kecuali perubahan pejabat kementerian, susunan lembaga kementerian seharusnya sudah selesai begitu Presiden mengumumkan susunan kabinet. Tidak heran jika publik, terutama yang berkecimpung di dunia riset dan akademik, sulit mempercayai kalau perubahan ini benar-benar dimaksudkan untuk memperbaiki kelembagaan riset dan inovasi teknologi di tanah air. Walaupun, ketika itu diharapkan universitas kita menuju kiat research university.

Kedua, riset jenjangnya berbeda dan bahkan jauh lebih tinggi daripada universitas serta lembaga pendidikan lainnya. Itu sebabnya, sejak Kementerian Riset pertama kali dibentuk pada masa Kabinet Kerja III (1962), dan bertahan hingga Kabinet Dwikora II (1966), kementerian ini tidak pernah berada satu kompartemen dengan bidang pendidikan dan pengajaran.

Begitu juga ketika pemerintahan Orde Baru memasukkan kembali Kementerian Riset ke dalam nomenklatur kabinet sejak Kabinet Pembangunan II (1973-1978), posisinya tidak pernah disatukan dengan kompartemen pendidikan. Sehingga, menyatukan dapur riset dengan dapur pendidikan dan pengajaran bukanlah sebuah langkah langkah baru yang menjanjikan berhasil-guna.

Ketiga, “pembubaran” Kemenristek terjadi bersamaan dengan munculnya nomenklatur baru bernama Kementerian Investasi di dalam kabinet. Menurut saya, ini sangat tragis. Di satu sisi Pemerintah beralasan pembubaran Kemenristek adalah karena sekarang telah ada BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Tetapi di sisi lain, mereka malah memunculkan kementerian baru dalam bidang investasi, padahal kita sudah memiliki BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal).

Dalam Surat Presiden (Surpres) No. R-14/Pres/03/2021 yang dikirim kepada DPR terkait pembubaran Kemenristek dan pembentukan Kementerian Investasi, disebutkan jika pembentukan kementerian baru itu adalah untuk meningkatkan investasi di Indonesia. Kita pun jadi bertanya-tanya. Jika untuk menaikkan investasi butuh dibentuk kementerian baru di kabinet, kenapa untuk memajukan riset justru dilakukan dengan cara sebaliknya, yaitu menghapus Kemenristek yang sudah ada di kabinet?!

Sebagai catatan, secara kelembagaan BRIN dengan BKPM kurang lebih setara, yaitu termasuk Lembaga Non-Struktural (LNS) dan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK). UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, yang menjadi dasar pendirian BRIN, juga hanya memerintahkan pendirian BRIN saja, dan bukannya memerintahkan pembubaran Kemenristek.

Jika pemerintah benar-benar ingin memajukan riset, seharusnya BRIN tetap dibiarkan menginduk kepada Kemenristek seperti yang sudah berjalan sejauh ini. Mendesain BRIN sebagai organisasi otonom di luar kementerian dapat membuat kabinet yang ada malah kehilangan efektivitasnya.

Bayang-bayang Indoktrinasi Ideologi

Saya khawatir, keputusan Presiden untuk lebih memenangkan BRIN daripada Kemenristek ini lebih banyak didikte oleh kepentingan politik praktis daripada kepentingan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hari Kamis, 8 April 2021 kemarin, dalam tajuknya, Koran Tempo menulis jika PDI-P, yang aktif mengawal pengesahan UU No. 11/2019, menginginkan agar ketua umumnya didapuk menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN.

Upaya untuk mendorong ke arah itu bahkan telah dilakukan dengan menunggangi RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang tahun lalu sempat menjadi kontroversi. Sangat ganjil, naskah RUU yang seharusnya fokus pada bagaimana melembagakan nilai-nilai Pancasila itu, jika kita periksa dengan seksama, ternyata banyak sekali memuat soal BRIN.

Ada lima pasal dalam RUU HIP yang secara tegas menyebut BRIN, yaitu Pasal 35, 38, 45, 48 dan 49. Dalam Pasal 35 Ayat (2), misalnya, disebutkan, “Untuk menjamin terlaksananya Haluan Ideologi Pancasila dalam sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk kementerian/badan riset dan inovasi nasional untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.”

Pasal tersebut cukup menjadi pertanyaan, mengingat perintah untuk mendirikan BRIN sebenarnya sudah tercantum dalam UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah diundangkan oleh Pemerintah sendiri sejak 13 Agustus 2019. Apa perlunya mengulangi hal itu, apalagi sampai mengandaikan jika perintah pendirian BRIN tersebut ada kaitannya dengan keinginan semacam “penataran” ideologi Pancasila?

Namun, hal yang sekilas menjadi pertanyaan itu masuk akal kalau kita menghubungkannya dengan Pasal 48 ayat (6) RUU HIP, yang berbunyi, “Ketua dewan pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a menjabat ex officio ketua dewan pengarah di badan yang menyelenggarakan riset dan inovasi nasional.”

Yang dimaksud sebagai “ketua dewan pengarah” dalam RUU HIP adalah ketua dewan pengarah dari badan yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan ideologi. Sekilas, model kelembagaan ristek seperti ini mirip dengan yang dipraktikkan Partai Komunis Cina (PKC) di Republik Rakyat Tiongkok.

Sampai di sini muncul pertanyaan akhir: kenapa sebuah undang-undang yang seharusnya hanya mengatur sebuah badan tentang pembinaan Pancasila, bisa memiliki hasrat yang demikian besar untuk mengatur badan lain yang mengurusi soal riset dan inovasi nasional, sebuah bidang yang bersifat sangat praktikal?! Tepatkah menempatkan lembaga yang berurusan dengan soal riset di bawah kontrol sebuah lembaga indoktrinasi, yang notabene dipimpin oleh seorang ketua umum partai politik?

Berbagai pertanyaan di atas, kian memuncak jika kita membaca Pasal 45 ayat (1) dan (2) RUU HIP, yang memberikan wewenang sangat besar kepada ketua dewan pengarah dalam mengontrol dan mengatur badan riset dan inovasi nasional. Padahal, jika kita membaca Perpres No. 74/2019 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional, yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Oktober 2019, sama sekali tidak disebutkan adanya posisi dewan pengarah.

Selain itu, semua kewenangan atas BRIN yang dimiliki oleh ketua dewan pengarah menurut RUU HIP tadi, sebenarnya bertabrakan dengan tugas dan kewenangan pimpinan BRIN yang telah diatur dalam Perpres. Pimpinan BRIN sendiri terdiri dari Kepala, Sekretaris Utama, dan para Deputi.

Saya kira, berbagai pertanyaan di atas perlu segera dijawab oleh Pemerintah, termasuk DPR yang telah menyetujui “pembubaran” Kemenristek. Jangan sampai kita mempertaruhkan masa depan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan di tanah air untuk kepentingan yang tidak jelas.

Kebijakan ristek yang tidak jelas orientasinya tersebut tentunya sangat memprihatinkan. Apalagi, dalam lima belas tahun terakhir kompetensi sains kita, terutama di level pelajar, bisa dikatakan berada pada level yang buruk. Kalau kita merujuk pada peringkat PISA (Programme for International Student Assessment), misalnya, peringkat kita sangat rendah.

Untuk nilai kompetensi Membaca, misalnya, Indonesia berada di peringkat 72 dari 77 negara. Sementara, untuk nilai Matematika, kita berada di peringkat 72 dari 78 negara. Dan nilai Sains berada di peringkat 70 dari 78 negara. Peringkat kita konsisten buruk sejak penilaian tersebut pertama kali dirilis pada tahun 2000 silam.

Bagaimana kompetensi sains kita akan meningkat, jika kebijakan riset dan pendidikan kita dibiarkan tambal sulam tak punya arah semacam itu?

Penulis adalah Peneliti PAPIPTEK (Pusat Analisa Perkembangan Iptek)

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1990-1993)

662

Related Post