ALL CATEGORY
Rekam Jejak Bambang Haryo: Ternyata Sudah Berbuat untuk Sidoarjo!
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Kamis (10/09). Akhirnya pilihan PKB dalam Pilbup Sidoarjo 2020 jatuh pada Ahmad Muhdlor Ali-Subandi sebagai pasangan bakal calon Bupati-Wakil Bupati Sidoarjo. Gus Muhdlor-Subandi adalah pasangan yang terakhir mendaftar di KPUD Sidoarjo. Paslon pertama yang mendaftar adalah Bambang Haryo Soekartono-Taufiqulbar. Paslon ini diusung 7 partai politik, yakni Gerindra, PKS, Golkar, PPP, dan Demokrat dengan jumlah 18 kursi di DPRD Sidoarjo. Paslon kedua yang mendaftar adalah Kelana Aprilianto-Dwi Astutik. Mereka diusung oleh PDIP dan PAN dengan jumlah 14 kursi. Selain itu, Kelana-Dwi juga didukung oleh 7 Parpol nonparlemen, yakni Hanura, Berkarya, Perindo, PSI, PBB, Gelora Indonesia, dan PKPI. Melansir Detik.com, Minggu (06 Sep 2020 21:55 WIB), Ketua KPUD Sidoarjo Mukhamad Iskak, mengatakan bahwa sampai di hari terakhir masa pendaftaran, sudah ada tiga paslon yang secara resmi sudah mendaftarkan diri ke KPU. “Sampai saat ini sudah tiga paslon yang secara resmi mendaftarkan ke KPU Sidoarjo. Yang terakhir ini paslon Ahmad Muhdlor Ali-Subandi dari PKB,” kata Iskak kepada wartawan di kantor KPU Jalan Raya Cengkareng Sidoarjo, Minggu (6/9/2020). Ahmad Muhdlor Ali adalah putra KH Ali Masyhuri alias Gus Ali yang lahir di Sidoarjo pada 11 Februari 1991. Akademisi pendidikan Sidoarjo yang akrab dipanggil Gus Muhdlor itu kini menjabat Direktur Pendidikan Yayasan Bumi Shalawat Progresif (2012 – sekarang). Selain itu, ia menjabat sebagai Sekretaris GP Anshor Sidoarjo sejak tahun 2015 – sekarang. Dari jejak digital sulit ditemukan track record aktivitasnya. Bacabup Kelana Aprilianto agak berbeda. Jejak digital mudah ditemukan track record-nya. Kelana dikenal sebagai seorang pengusaha asal Pasuruan. Pria kelahiran April 1971 ini memang dikenal sebagai salah satu pebisnis sukses di Jatim. Melalui Koperasi Bangun Jaya, usahanya terus berkembang. Mengutip TimesIndonesia.co.id, Selasa (28 Januari 2020 - 16:29 | 164.83k), bisnisnya mulai dari transportasi (PO Bus Pandawa 87), bisnis properti, perhotelan, agribisnis, peternakan, perkebunan, dan ekspor-impor di bawah bendera PT Bangun Jaya Group. Ia ingin berkontribusi dalam mendorong roda perekonomian daerah, khususnya di kawasan Pasuruan. Usaha yang dikembangkannya menyerap banyak peluang lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Ada ribuan orang yang bekerja di bawah bendera perusahaannya. Mayoritas mereka berasal kaum pinggiran dan pengangguran. Kelana memang selalu tertarik pada bidang usaha yang berbasis ekonomi kerakyatan. Kini, Kelana berencana membangun sebuah peternakan modern dan memadukannya menjadi Wisata Edukasi. Lahan peternakan mulai disiapkan di Lebakrejo. Berbagai persiapan sudah dilakukannya, termasuk infrastruktur pendukung dan SDM dari masyarakat sekitar. Pengalamannya di Pasuruan itulah yang oleh Kelana bakal dikembangkan di Sidoarjo nanti jika terpilih menjadi Bupati Sidoarjo. Figur Dwi Astutik yang pengurus Muslimat NU Jawa Timur itu akan sangat membantu perolehan suara nanti. Bagaimana dengan paslon Bambang Haryo Soekartono-Taufiqulbar? Sidoarjo harus berubah. Kota Udang ini butuh pemimpin yang berani menjemput perubahan. Menyaksikan perkembangan tetangga daerah, seperti Surabaya, Gresik, Mojokerto, Pasuruan, kondisi Sidoarjo paling ‘melas’. Padahal kekayaan daerah ini tak kalah moncer. “Dalam Pilkada kali ini sangat menentukan masa depan Sidoarjo. Selama ini, pembangunan di Sidoarjo sangat minim. Misal, infrastruktur jalan, masih kacau balau. Padahal ini sangat menentukan roda perekonomian,” ungka HM Nur Hadi ST. Mengutip Duta.co, Sabtu (5/9/2020), pangusaha otomotif yang dikenal sebagai tokoh NU di Kecamatan Taman, Sidoarjo, itu menjelaskan, Sidoarjo juga tidak boleh lepas dari karakter Islam moderat, Islam toleran. Dan itu lazimnya kader nahdliyin. “Karena daerah ini juga sering menjadi barometer nasional, sering menjadi pecontohan. Dan, kader nahdliyin itu bisa dari partai apa pun, karena NU sudah kembali ke khittah 1926,” tegas Ketua Umum Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyin (PPKN) ini. Hebatnya, lanjut Cak Nur, panggilan akrabnya, Pilkada Sidoarjo yang akan berlangsung Rabu Wage, 9 Desember 2020 nanti, juga bertabur Bintang Sembilan. Hampir semua pasangan ada kader NU-nya. Itu yang membuat nahdliyin (khususnya) dan, warga Sidoarjo (umumnya) tidak perlu repot memilih. “Tinggal adu gagasan, adu program, siapa yang mampu mengubah Sidoarjo mejadi lebih baik, dia akan terpilih. Itu kuncinya,” tambahnya. Dan kebijakan Bambang Haryo Soekartono (BHS) menggandeng HM Taufiqulbar atau Cak Taufiq sebagai Bacawabup Sidoarjo, mendapat apresiasi tinggi dari nahdliyin. Setidaknya, itu terlihat saat silatuhrahim ke pengurus PCNU Sidoarjo, Kamis (6/8/2020) lalu. Cak Taufiq yang datang bersama rombongan pengasuh Ponpes Al Khoziny Buduran, H Ali Mudjib (Gus Ali), diterima langsung jajaran pengurus teras PCNU Sidoarjo. Tampak Ketua PCNU Sidoarjo KH Maskun, sekretaris PCNU H Suwarno, H Zainal Abidin Wk ketua PCNU, H Kirom serta beberapa pengurus PCNU yang lain. Dalam pertemuan di Kantor PCNU itu, banyak wejangan yang disampaikan Ketua PCNU. Salah satunya, KH Maskun yang berharap siapapun kader NU yang masuk di dunia politik, haruslah mengedepankan akhlaqul karimah. “Berpolitik santun dengan akhlaqul karimah harus tetap dipegang kader NU yang ikut dalam Pilkada Sidoarjo,” jelas KH Maskun. Bagi nahdliyin, Cak Taufiq bukan orang lain. Restu untuknya juga datang dari sesepuh atau tokoh tertua NU Sidoarjo seperti KH Maskur. “Saya mendukung anak saya Taufiq, untuk maju sebagai calon kepala daerah Sidoarjo dan berharap bisa memajukan dan memakmurkan Sidoarjo,” ujar KH Maskur yang juga pendiri RSI Siti Hajar Sidoarjo. Menurut Cak Taufiq, tujuan utama silatuhrahim ini adalah meminta izin dan doa restu dari NU untuk menghadapi Pilkada Sidoarjo 2020. “Alhamdulillah, para kiai menerima dengan baik. Mendoakan secara khusus agar niat baik untuk memperbaiki Sidoarjo terkabul, mendapat ridho Allah SWT,” ujarnya. Akan halnya Bacabup Bambang Haryo Soekartono yang akrab dipanggil BHS, rekam jejak aktivitasnya sangat banyak bila dibanding Bacabup lainnya. Pria kelahiran Balikpapan, 16 Januari 1963, ini jabatan terakhirnya adalah Anggota Komisi V DPR-RI dan MPR-RI (2014-2019). Sebelumnya (2014-2018), Anggota Komisi VI DPR-RI Fraksi Gerindra. BHS adalah alumni Fakultas Teknik Perkapalan ITS, Surabaya. Setidaknya, sudah tujuh jabatan dalam kariernya yang sudah pernah dipegangnya. Pada 2007-2014, BHS merangkap jabatan sebagai Dirut PT Dharma Lautan Utama dan PT Adiluhung Saranasegara Indonesia. Realisasi Sidoarjo Sebagai anggota DPR-RI (2014-2019), ternyata BHS sudah banyak berperan untuk Sidoarjo. Simak saja 10 aktivitasnya selama itu. Pertama, Penyaluran program bedah rumah ke 460 rumah wilayah Sidoarjo; Kedua, Penyaluran 600 CSR BUMN; Ketiga, Realisasi program pengembangan infrastruktur sosial ekonomi wilayah (PISEW) ke 5 titik daerah Sidoarjo; Keempat, Pengembangan pertanian wilayah Sidoarjo dengan menyalurkan program P3-TGAI ke 19 titik daerah Sidoarjo; Kelima, Inisiasi pembangunan pasar Wonoayu, rehabilitasi pasar Sukodono dan mendorong realisasi renovasi pasar Porong Sidoarjo; Keenam, Penyaluran program BUMDES sebesar Rp 50 juta ke 30 Desa di Sidoarjo dan Dana Desa Wisata sebesar Rp 150 juta kedua; Ketujuh, Pengembangan sektor pertanian dengan penyaluran 40 pompa ukuran 6 dim dan 20 hand traktor dibeberapa wilayah Sidoarjo; Kedelapan, Mendorong bantuan untuk korban bencana puting beliung di Desa Tambakrejo Waru dari BUMN maupun BNPB; Kesembilan, Inisiasi pembangunan Overpass Toll di Keloposepuluh dan Wage Sidoarjo dan di lanjutkan di Sepande Sidoarjo; Kesepuluh, Pendidikan Karakter dengan melalukan Sosialisasi 4 Pilar RI di 25 titik Wilayah Sidoarjo. Itulah rekam jejak aktivitas BHS di Sidoarjo yang sudah dilakukan selama menjabat sebagai anggota DPR-RI. Bagaimana dengan Bacabup lainnya? *** Penulis wartawan senior FNN.co.id
BJ. Habibie & Kesinambungan Industri Dirgantara
by Ricky Rachmadi SH. MH. Jakarta FNN – Kamis (10/09). Tulisan ini dipersiapkan guna mengenang satu tahun wafatnya almarhum Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie yang telah pergi meninggalkan bangsa ini kurang lebih setahun lalu. Tapatnya pada 11 September 2019. Bangsa ini tentu sangat berduka atas kepergian alm akibat jasa-jasanya yang besar dan luar biasa besar. Semasa hidupnya Habibie telah meletakkan kiprah industri dirgantara di tanah air. Utamanya dalam membangun serta meletakkan mimpi bangsa ini untuk memiliki pesawat sendiri. Pesawat yang diciptakan sebagai karya putra-putri bangsa ini dengan perencanaan teknologi mutakhir di bawah cita-cita, kemampuan, dan kepemimpinan alm yang tergolong gigih untuk mewujudkannya. Dalam mengenang almarhum Habibie, menurut UU No. 20 Th 2009 bahwa Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan diberikan dengan tujuan untuk menghargai jasa setiap orang, kesatuan, institusi pemerintah, atau organisasi yang telah mendarmabaktikan diri termasuk berjasa besar dalam berbagai bidang kehidupan berbanga dan bernegara. Tanda Kehormatan dan Tanda Jasa tersebut diberikan untuk menumbuhkan semangat kepahlawanan, kepatriotan, dan kejuangan seseorang. Diberikan sebagai bentuk penghargaan untuk setiap orang untuk mengembangkan kemajuan dan kejayaan bangsa atau negara. Menurut Pasal 1 UU tersebut, bintang adalah tanda kehormatan tertinggi. Sementara dalam Pasal 25, disebutkan syarat umum yang harus dipenuhi bila orang ingin mendapatkannya, maka orang yang bersangkutan haruslah Warga Negara Indonesia (WNI) atau seseorang yang berjuang di wilayah NKRI. Orang tersebut memiliki integritas moral dan keteladanan. Berjasa terhadap bangsa dan negara, dan berkelakuan baik. Setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara. Juga tidak pernah dipenjara berdasar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara singkat lima tahun. Berkaitan dengan UU tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan itu, maka Almarhum BJ. Habibie adalah orang yang mendapatkan semua tanda kehormatan bintang (sipil maupun militer) kelas tertinggi. Habibie mendapatkan Bintang Republik Indonesia Adipurna, Bintang Mahaputera Adipurna, Bintang Mahaputra Adipradana, Bintang Jasa Utama, Bintang Budaya Parama Dharma, Bintang Bhayangkara Utama, Bintang Yudha Dharma Utama, Bintang Kartika Eka Paksi Utama, Bintang Jalasena Utama, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama. Bintang-bintang di atas diberikan negara dalam kiprah almarhum di Indonesia. Namun demikian, dunia internasional pun mengakui kontribusi Presiden Indonesia ketiga ini. Dalam kapasitasnya sebagai pakar pesawat, negara-negara maju yang mempunyai perhatian sangat besar pada dunia dirgantara seperti Amerika, Prancis, Inggris, Jerman untuk mendudukkan Habibie. Negara-negara tersebut memberikan anggota Kehormatan kepada BJ Habibie di berbagai komunitas akademik dan profesional Aeuronautika. Bahkan Jepang dan Malaysia mencantumkannya sebagai anggota kehormatan di Persatuan Insinyur Malaysia dan Japanese Academy of Engineering. Penghargaan nasional dan internasional itu hanyalah bagian dari penghargaan formal dan penghargaan yang bisa diungkapkan. Selain itu banyak penghargaan yang tidak bisa diungkap di sini. Habibie adalah figur yang mendapat penghargaan di hampir benak setiap orang tua di Indonesia. Bagi banyak orang tua di Indonesia, nama Habibie selalu berkorelasi erat dengan kecerdasan. Bagi banyak orang tua di Indonesia, penyebutan nama Habibie bukan hanya sekadar penyebutan sebuah nama, tapi juga doa. Mereka selalu berharap bahwa anak-anaknya kelak akan seperti Habibie yang pintar dan sukses. Karena itu tidak heran banyak anak yang bermimpi ingin menjadi hebat dan pintar dengan mengatakan mereka ingin seperti Habibie. Riwayat Habibie pun memang berkaitan erat dengan kepintaran dan kecerdasan. Gelar doktor aeronatika di RWTH Aachen Jerman Barat, diraih dengan predikat Summa Cum Laude. Habibie adalah Menteri Riset dan Teknologi terlama di negara ini. Selama 20 tahun. Tidak terlupakan juga julukannya sebagai Mr Crack, setelah dunia Aeronatika buntu menghadapi problem retakan pesawat yang mengancam keselamatan penerbangan. Maka Habibie datang dengan kemampuan rumusan menghitung rambatan. Rumusan Habibie itu yang sangat detail tentang “Crack”, yaitu penghitungan sampai tingkat atom. Habibie bukan hanya bisa memprediksi pergerakan retakan pesawat, dan menghindarkannya dari kecelakaan penerbangan. Tetapi juga bisa merumuskan langkah-langkah untuk memperpanjang umur pesawat tersebut. Namun dibalik sinonimnya nama besar Habibie dengan kecerdasan, dan telah menginspirasi banyak orang tua di Indonesia, justru disini juga letak permasalahannya. Banyak orang dan pengambil kebijakan pemerintah seolah menganggap segala hal yang diraih Habibie murni berkaitan dengan kecerdasan. Mereka lupa melihat bahwa Habibie muncul dan menjadi ikon pengembangan Iptek di Indonesia itu berkaitan dengan adanya komitmen, dedikasi, dan political will para pengambil kebijakan negara. Bila kita kembali ke masa-masa awal pengembangan dunia dirgantara di Indonesia, maka kita akan melihat Habibie sebagai figur yang tidak diperhatikan. Bila titik tolak dunia dirgantara Indonesia ditandai dengan peristiwa gotong royongnya masyarakat Aceh untuk membeli pesawat. Masyarakat Aceh mengumpulkan emas untuk membeli Dakota RI-001 Seulawah pada 16 Juni 1948. Maka pada tahun yang sama orang yang dikirim Soekarno ke Far Eastern Air Transport Incorporated (FEATI) Filipina untuk mempelajari dunia dirgantara adalah Nurtanio Pringgoadisuryo. Tujuh tahun berikutnya, 1955, ketika Presiden Soekarno membiayai banyak anak bangsa untuk bersekolah ke luar negeri, Habibie adalah rombongan kedua yang khusus di kirim ke Rhein Westfalen Aachen Technische Hochschule untuk belajar di jurusan Teknik Penerbangan dengan spesialisasi konstruksi pesawat terbang. Namun, Habibie belajar ke Jerman atas biaya sendiri. Bukan melalui beasiswa penuh dari pemerintah sebagaimana pelajar Indonesia lainnya. Karenanya Habibie mesti menyandingkan kecerdasan yang dimilikinya dengan kerja keras untuk membiayai studinya. Karena kecerdasan dan kerja keras inilah Habibie sanggup meraih predikat Summa Cum Laude dengan nilai rata-rata 9,5 dari Aachen. Begitu juga ketika memutuskan kembali ke Indonesia. Habibie kembali ke Indonesia atas permintaan mantan Presiden Soeharto pada tahun 1973. Sebelum lima tahun kemudian didudukkan menjadi Menristek. Sementara pada saat bersamaan, Habibie di Jerman sedang menduduki dua jabatan prestisius sekaligus, Director of Applied Technology dan Vice Presiden di perusahaan kedirgantaraa Messerschmitt-Bolkow-Blohm (MBB) Jerman Barat. Posisi ini adalah capaian tertinggi yang pernah diduduki orang asing di perusahaan tersebut. Jadi bila kita review saat penarikan Habibie dari Jerman oleh Presiden Soeharto, kita akan menemukan situasi yang kontras antara Habibie dengan Jerman dan Habibie dengan Indonesianya. Masa penarikan Habibie dari Jerman adalah masa ketika Habibie mempunyai masa depan karier yang cerah di negara maju. Sedangkan saat bersamaan, Indonesia pada tahun 1973 adalah masa-masa awal Orde Baru yang jalannya masih tertatih-tatih. Indonesia masa itu masih berjibaku dengan akhir Orde Lama. Orde yang meninggalkan krisis ekonomi dan kemelut politik akut. Sebaliknya, justru pada masa-masa keemasan di Jerman dan masa-masa Indonesia yang tidak menentu lah Habibie kembali ke Indonesia. Tindakan seperti ini hanya bisa dilakukan oleh orang cerdas yang juga memiliki dedikasi, komitmen, dan kemauan untuk bekerja keras. Akhir-akhir ini kita ingat problem yang dihadapi Lembaga Pengembangan Dana Pendidikan (LPDP). Sebuah lembaga yang dibentuk masa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Tuganya mengumpulkan dan mengelola dana untuk mengirim ribuan siswa terbaik Indonesia belajar di Luar Negeri. LPDP menghadapi problem pelik banyaknya pelajar yang sudah diberi beasiswa belajar di Luar Negeri. Namun pada akhirnya tidak ingin kembali lagi ke Indonesia. Setelah mendapatkan pendidikan terbaik yang dibiayai uang masyarakat (negara), mereka memilih meneruskan kariernya di luar negeri. Karena mereka melihat masa depan yang lebih cerah ketimbang kembali ke Indonesia. Lantaran melihat Habibie sebagai figur yang pintar, kita juga abai melihat bahwa kemunculan figur seperti Habibie berkaitan dengan political will pemerintah dalam memajukan industri dirgantara nasional. Sekaligus memanfaatkan potensi terbaik anak bangsa yang memang unggul. Almarhum Presiden Soeharto tidak hanya memanggil Habibie untuk pulang ke Indonesia. Tetapi diikuti dengan memberikan posisi yang tepat dan signifikan untuk figur sebesar Habibie. Namun saat ini, kita menghadapi problem pelik political will pemerintah dalam memanfaatkan potensi terbaik anak bangsa. Banyak anak bangsa terbaik yang enggan kembali ke Indonesia. Bukan karena tidak ingin mengabdi ke bangsa dan negerinya. Tetapi mereka tidak mendapatkan kejelasan peran dan posisi, apa yang akan mereka lakukan bila harus kembali ke Indonesia? Bagaimanapun, tempat terbaik mereka adalah di luar negeri. Karena disanalah mereka mempunyai lahan untuk mengeksplorasi bakat yang mereka miliki. Pada titik inilah kemudian kita melihat bahwa harapan kemunculan “The New Habibie” bukan pada ada dan tidaknya anak bangsa yang sejenius seperti Habibie. Tetapi karena memang kita tidak memberikan lahan bagi munculnya orang-orang seperti Habibie untuk berkarya. Apa kurang pintarnya Ilham Habibie? Ilham Habibie bukan hanya anak Habibie. Ilham juga pun memiliki kepintaran yang luar biasa dibarengi motivasi terkait dedikasi yang tinggi sebagaimana Bapaknya. Bahkan, Ilham mempunyai ide turunan langsung dari ayahnya tentang pengembangan industri dirgantara nasional . Ilhma pun sudah menjalankan idenya tersebut. Namun ketika ide dan langkah yang sudah dimulainya untuk memajukan dunia dirgantara dengan memunculkan pesawat R-80. Tetapi rupanya mengalami naas karena langkah mewujudkan R-80 telah dikeluarkan oleh pemerintah dari program/proyek strategis nasional. Itu berarti bukan hanya tidak ada political will untuk memajukan industri nasional dirgantara, tetapi juga tidak ada political will untuk memunculkan Habibie baru. Pemerintah seperti kehilangan hasrat untuk memfasilitasi anak-anak terbaik bangsa dalam mengeksplorasi kemampuannya di negeri sendiri. Jadi, pertanyaannya bukan siapakah penerus Habibie? Tetapi maukah kita memunculkan Habibie-Habibie yang baru? Karena jangan-jangan Habibie baru itulah yang sudah ada, tetapi tidak pernah difasilitasi oleh pemerintah untuk maju dan berkembang. Semoga tulisan dalam rangka mengenang satu tahun meninggalnya almarhum BJ. Habibie ini akan terus relevan. Semoga kerap menemukan momentum bagi kebangkitan Indonesia. Kebangkitan untuk membangun potensi anak bangsa yang dapat melanjutkan warisan Habibie. Warisan dalam rangka mengembangkan potensi kedirgantaraan di tanah air. Sekaligus juga untuk melanjutkan cita-cita almarhum BJ. Habibie. Ataupun yang sengaja mempersiapkan negara Indonesia menjadi juara di bidang kedirgantaraan secara internasional. Penulis adalah Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi DPP Partai Golkar.
"Radikalisme" Upaya Pengalihan Kegagalan Penguasa
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (10/09). Tuduhan radikalisme telah menyasar kepada umat beragama, khususnya umat Islam. Radikal selalu dikonotasikan buruk, destruktif dan main labrak. Radikalisme menjadi stigma baru setelah tetorisme yang "life time"nya sudah usai. Stigma buruk yang disandangkan pada umat Islam, bahkan berpintu pada "good looking" hafidz dan "menguasai" bahasa arab. Inilah stigma yang sangat konyol, ngawur menyakitkan perasaan umat Islam. Stigma ini keluar setelah pemerintah terlihat gagal dan amburadul dalam tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik kepada masyarakat. Pemerintah gagal mengelola persoalan ekonomi, politik, hukum dan sosoal budaya. Yang paling terakhir adalah penaggulangan pendemi Covid-19 gagal dan buruk. Indonesia berhasil naik ranking empat terburuk penaggulangan Covid-19. Akkibatnya, Indonesia sekarang dilockdown oleh 68 negara di dunia. Juga sebagai upaya pengalihan isu Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasilan (RUU HIP), yang sekarang menajdi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Menurut Kamus Besar Bahsa Indonesia (KBBI) radikal mengandung makna 1) secara mendasar (sampai kepada yang prinsip). 2) amat keras menuntut perubahan. 3) maju dalam berfikir atau bertindak. Dari ketiga makna tersebut tidak ada yang mengarah pada tindakan destruktif. Butir dua "amat keras" tersebut pun dapat mengacu pada aspek jiwa atau semangat. Secara etimologi radikal berasal dari kata latin radix atau radici yang artinya "akar". Jadi tidak perlu produksi persoalan baru di tengah banyak masalah bangsa yang sudah menumpuk. Saking banyak masalah, pemerintah sepertinya bingung keluar dari berbagai masalah tersebut. Beragama kalau harus radikal, artinya harus kokoh dan berprinsip. Berakar kuat pada kebenaran yang diyakininya. Menjalankan segala ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Konsisten dan konsekuen. Nabi Ibrahim As dan para Nabi lain mencontohkan sikap berprinsip dalam beragama. Doktrin dan kalamnya dikenal dengan "kalimah thoyyibah". "Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan “kalimah yang baik” (kalimah thoyyibah) seperti “pohon yang baik”. Akarnya kokoh terhujam (ashluhaa tsaabit) dan cabangnya menjulang ke langit (far'uhaa fis samaa-i) "berbuah" setiap musim dengan izin Allah. Perumpamaan tersebut Allah buat bagi manusia, agar mereka ingat" (QS Ibrahim 24-25). Kalimah dzikrullah, taushiyah, amar ma'ruf nahi munkar adalah "kalimah thoyyibah". Begitu pula dengan konsep arau program ekonomi, budaya, dan politik yang sehat dan halal. Meluruskan penyimpangan adalah kalimah baik yang berakar kokoh. Menegur Imam salah, instruksi meluruskan barisan atau meminta keluar yang mengganggu ibadah itu semua kalimah thoyyibah. Jadi ucapan atau sikap yang berbasis nilai kebenaran adalah kalimah yang dapat dikategorikan radikal dalam beragama. Maka tak ada yang salah jika kita harus radikal dalam beragama. Fanatik dan berprinsip, tentu tanpa mesti mengganggu keyakinan orang lain. Jika sikap radikal beragama dinafikan, bahkan menjadi agenda yang harus ditiadakan, maka itu sama saja dengan membiarkan kemaksiatan berkembang apakah judi, zina, hasud, dengki hingga korupsi merajalela. Kezaliman yang ditoleransi. Mereka yang toleran pada kemaksiatan, kesesatan, atau kesewenang-wenangan adalah orang yang tercabut dari akar (radix) keyakinan kebenarannya. Tak berpendirian dan goyah keimanannya. Buzzer dan influencer dari kepemimpinan yang kriminal. Dan perumpamaan dari “kalimah yang buruk” (kalimah khobiitsah) adalah bagaikan "pohon yang buruk” yang tercabut akarnya dari tanah (ijtutsat min fauqil ardli) dan tidak memiliki ketetapan (maa lahaa min qaraar)-- QS Ibrahim 26. Doktrin kalimah buruk (kalimah khobiitsah) dalam konteks agama dan politik adalah bid'ah-bid'ah, mistisisme, sekularisme, liberalisme dan komunisme. Narasi perjuangan yang anti moral dan kebenaran. Menuduh agama candu, agama steril dari politik, atau hafidz sebagai pintu radikalisme adalah kalimah buruk yang menunjukkan sikap mengambang dan jahat. Menteri Agama yang tak memiliki sikap radikal dalam beragama bukanlah Menteri Agama. Dia bisa menjadi Menteri Mistisisme, Menteri Sekularisme, Menteri Liberalisme ataupun Menteri Komunisme. Buang saja agama untuk suatu perjuangan yang selalu anti dan menista agama... Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.
Waspada, Banyak Komunis Berbaju Agama
by Mangarahon Dongoran Jakarta FNN - Rabu (09/09/. Kakek politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Arteria Dahlan bernama Bakaruddin merupakan pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI) di Sumatera Barat (Sumbar). Ini Arteria Dahlan, kakeknya Bakarudin itu pendiri PKI Sumatera Barat dan anggota Konstituante 1955,” kata Hasril Chaniago di acara ILC tvOne, Selasa (8/9/2020). Acara Indonesia Lawyers Club (ILC) asuhan Karni Ilyas yang tayang Selasa (8/9/2020) malam ramai diperbincangkan. Ramai bukan semata-mata karena membahas tentang tuduhan Puan Maharani yang menyebut orang Sumbar tidak Pancasialis. Akan tetapi, semakin membuka mata masyarakat bahwa di PDI Perjuangan itu banyak bersembunyi turunan PKI atau orang yang berpaham komunis. Saya sendiri tidak menonton acara ILC yang selalu ditunggu pemirsa di seluruh tanah air. Tidak menonton, bukan karena tidak suka, tetapi karena kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan. Adalah wartawan senior Hasril Chaniago yang membuka tabir tentang anggota DPR RI dari PDI P, Arteria Dahlan. Kakek politikus PDIP yang sering membuat kontroversi atau kegaduhan itu ternyata turunan Partai Komunis Indonesia (PKI). Artirea Dahlan menurut Hasril Chaniago adalah cucu Bakaruddin, pendiri PKI di Sumbar. “Ini Arteria Dahlan, kakeknya Bakarudin itu pendiri PKI Sumatera Barat dan anggota Konstituante 1955,” kata Hasril Chaniago di acara ILC tvOne, Selasa (8/9/2020). Selain itu, Hasril mengatakan, PRRI bukan memberontak tetapi mengoreksi pemerintah Soekarno yang dekat PKI. Setelah kemerdekaan, ada sembilan kali pergantian kekuasaan, biasa saja dalam demokrasi. “Yang tidak boleh runtuh itu negara. Dalam negara demokrasi setiap minggu itu boleh runtuh (pergsntian kekuasaan). Ini sejarah yang harus diluruskan dari bangku sekolah,” katanya. Pernyataan Hasril Chaniago itu sontak membuat banyak orang menjadi tahu Artirea Dahlan, anggota DPR dari PDIP yang juga sempat membentak-bentak ekonom senior Prof. Emil Salim. Selain itu, semakin membuka tabir, PDIP adalah tempat penampungan keturunan PKI, orang yang berpaham komunis, dan bahkan ateis. Ini bisa dimaklumi karena partai ini menurut petingginya sangat plural, sangat terbuka dan demokratis. Oleh karena itu, di partai ini juga ada penulis buku, "Saya Bangga Jadi Anak PKI, Menyusuri Jalan Perubahan, " Ribka Tjiptaning. Kita salut kepada Ribka Tjiptaning yang secara terang-terangan mengakui anak PKI. Bagaimana dengan yang lainnya yang bercokol di PDIP maupun partai lainnya? Mereka malu-malu kucing mengakui sebagai turunan PKI. Kita berharap semakin banyak yang mengikuti jejak Ribka Tiptaning, sehingga semakin jelas siapa yang komunis anti Pancasila, dan siapa yang Pancasilais sejati. Menjadi tidak wajar jika penganut paham komunis berkumpul di partai yang selalu mendengungkan paling Pancasilais itu, karena sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa." Kok bisa orang PKI atau orang yang berpaham komunis berada di PDIP? Padahal, jelas komunis itu anti Tuhan atau tidak mengakui adanya Tuhan, sedangkan PDIP itu, katanya sangat Pancasilais. Arteria Dahlan telah membantah pernyataan Hasril Chaniago. Menurut Arteria, ia tidak ada hubungan dengan pendiri PKI Sumbar. Bahkan, ia menyebut berasal dari keturunan Masyumi, keluarga taat beragama dan guru ngaji pula. Bantahannya itu sah-sah saja. Siapa pun yang dituduh atau disebut macam-macam, berhak membantahnya. Apalagi PKI dan komunis di Indonesia merupakan isu sensitif. Bisa jadi bantahannya itu benar, bisa salah. Ia hanya berusaha melindungi diri dari cacian dan cercaan banyak orang. Akan tetapi, bantahan itu ibarat pepatah, "Nasi sudah menjadi bubur." Dalam ingatan banyak orang, dan juga tulisan yang berseliweran di media sosial, yang keluar adalah, "Ternyata masih turunan PKI. Pantas kalau bicara tidak punya adab." Masih banyak kalimat lain yang muncul. Nah, jika benar Aetirea Dahlan adalah turunan PKI, tidak salah juga ia menjadi bagian dari PDI Perjuangan. Sebab, setiap orang - apalagi turunan - berhak untuk hidup layak, baik secara ekonomi, politik, sosial, keamanan dan budaya. Kalaupun di PDIP banyak turunan PKI atau penganut paham komunis, itu juga sesuatu yang wajar. Sebab, di FPI (Front Pembel Islam ) juga ada turunan PKI. Bahkan, turunan PKI dan penganut paham komunis itu ada di berbagai lini kehidupan masyarakat. Komunis di berbagai lini Yang membedakan turunan PKI yang ada di FPI dan PDIP adalah dalam hal menyadarkannya. Jika yang di FPI turunan PKI disadarkan agar kembali ke ajaran agama Islam yang benar, di PDIP tidak. Di FPI diajarkan lebih sopan dan santun terhadap yang lebih tua, sebagian turunan PKI di PDIP tidak. Contohnya, Arteria Dahlan yang menggertak-gertak Emil Salim, yang sudah sepuh. Jika turunan PKI atau penganut paham komunis dan bahkan ateis masuk ke lingkup FPI, mereka diminta bertaubat. Sedangkan di PDIP dibiarkan dengan tabiat politik kasar, dan jika perlu menghalalkan segala cara. Penganut paham komunis berkedok agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Budha harus diwaspadai. Mereka menyusup ke tengah umat beragama, khususnya agama Islam dengan cara halus. Kini mereka sedang mengkapanyekan bahwa Ketua CC PKI DN Aidit sewaktu remaja adalah muazin masjid di kampungnya, Pulau Belitung. Bisa jadi itu benar semua. Akan tetapi, nafsu politik dan birahi kekuasaan bisa mengubah jalan hidup seseorang. Saya mengatakan, "DN Aidit itu murtad menjadi kafir komunis." Masih tidak percaya DN Aidit komunis? Baca saja sejarah secara benar. PKI lah yang menghantarkannya menjadi Wakik Ketua MPRS periode 1960-1966. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Pilkada Kota Makassar, Pertarungan “Kubu Kalla VS Kubu Paloh”
by Ambo Upe Makasar FNN – Rabu (09/09). Panggung Pemilihan Walikota (Pilwalkot) Makassar akan menjadi “neraka” pertarungan, antara kubu Jusuf Kalla(JK) duet dengan Aksa Mahmud (AM). Kubu ini akan berhadapan dengan kubu Surya Paloh. Calon Walikota Makasar Munafri Arifuddin atau APPI kembali berhadapan dengan “musuh” lamanya Dani Pomanto pada Pilwalikota 2018. Kalau pada Polwalkot Makasar dulu, pasangan APPI berhadapan dengan Kotak Kosong. Dan hasilnya adalah kotak Kosong yang menang. Maka, sekang yang berdiri di belakang APPI masih tetap AM dan JK. Sedangkan yang di belakang Dani Pomanto adalah Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem. Kasus tertangkapnya Andi Irfan Jaya, Ketua Bappilu Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasdem Sulawesi Selatan oleh Kejaksaan Agung, mau tidak mau membuka peluang calon Nasdem akan menjadi “bulan- bulanan”. Kampanye negatif diperkriakan akan merebak di Makassar khusnya, dan Sulawesi Selatan pada umunya. Pesan tegas adalah, “Jangan Pilih Walikota Dukungan Partai Koruptor”. Sebaga partai yang mengusung tagline restorasi (Gerakan Pembaruan) yang menjanjikan anti terhadap penyakit korupsi, Nasdem sekarang menjadi bahan olok-olokan masyarkat. Akan menjadi amunisi di seluruh daerah yang menyelenggarakan Pilkada untuk memanfaatkan tagline “tolak parpol koruptor”. Inilah peluang yang terbuka bagi kubu AM-JK untuk memenangkan pasangan APPI. Setidaknya ada dua tempat yang menarik banyak perhatian terkait penyelenggaraan Pilkada serentak 2020. Yaitu Kota Tangerang Selatan (Tangsel), di Provinsi Banten dan Makassar di Sulawesi Selatan. Di kedua kota tersebut, dipastikan bertaburan calon -calon mega bintang kerabat tokoh nasional. Di Tangerang Selatan, juga ada Nur Azisah putri Wapres Marif Amin. Ada juga Saraswati, kemenakan Menhan dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Selain itu, dan Pilar Saga Ikhsan dari dinasti Kerajaan Banten, putra Ratu Tatu. Bakal ramai dan seru. Sedangkan di Makassar, ada Munafri Arifuddin APPI, menantu pengusaha Grup Bosowa Aksa Mahmud, yang juga kemenakan dari Jusuf Kalla. Pasangan APPI akan berhadapan melawan Dani Pomanto, mantan Walikota menggandeng Fatma Rusdi Masse, intri mantan Bupati Sidrap Rudi Masse. Pasangan dani Pomanto ini yang tampil dengan tagline “ADAMA”. Pasangan ADAMA ini bakal didukung Surya Paloh, dari dinasti Nasdem. Pada kubu pasangan ADAMA ini, ada juga dukungan dari Irman (None), adik kandung dari mantan Gubernur Sulawesi Selatan dua priode, Syahrul Yasin Limpo yang sekarang menjabat sebagai Menteri Pertanian. Masyarakat Makassar dan Sulawesi Selatan umumnya, maupun keluarga besar Sulawesi Selatan tentu saja bakal memusatkan perhatiannya kepada pertarungan hidup mati pasangan APPI melawan ADAMA tersebut. Pertarungan mempertaruhkan kehormatan dan harga diri antara pasangan menantu Aksa Mahmud (AM), Munafri Arifuddin yang berpasangan dengan Rahman. Pasangan APPI ini diusung oleh Partai Demokrat, PPP, Perindo, dan PSI. Pasangan APPI bakal berhadap dengan pasangan ADAMA, mantan Walikota Makassar periode 2014 – 2018), Dani Pomanto yang menggandeng Fatmawati, isteri Rusdi Masse, yang adalah Ketua Nasdem Sulawesi Selatan. Pasangan ini diusung oleh Partai Nasdem, Gerindra, Gelora dan PBB. Pada Pilkada Walikota 2018, APPI kalah melawan “kotak kosong”, karena Dani Pomanto sebagai calon independen tersandung ketentuan tidak memenuhi persyaratan. Sementara pasangan APPI memborong hampir semua kursi Partai Politik (Parpol) di Kota Makasar untuk mengusung APPI. ”Tragedi” kekalahan politik pasangan APPI melawan kotak kosong ini sangat memalukan. Karena peristiwa ini justru di kampung sendiri. Ketika itu keluarga Grup Bosowa (Aksa Mahmud) dan Grup Bukaka (Jusuf Kalla), dalam pandangan adat dan budaya Bugis-Makassar dianggap sebagai “penghinaan” atau ini sudah soal “siri” (kehormatan) bagi keluarga AM dan JK. Itulah sebabnya mengapa keputusan APPI untuk maju kembali bertarung pada Pilkada Walikota Makassar 2020 saat ini sangat menarik perhatian masyarakat Sulawesi Selatan. Boleh dikata, menarik juga di seluruh Indonesia. Bahkan di seluruh dunia. Keputusan yang diambil APPI untuk maju bertarung mengandung pesan “pembalasan” atas kekalahannya yang memalukan dulu. Keseriusan keluarga Grup Bosowa dan Grup Bukaka itu terlihat dari susunan Tim Sukses (Timses ) APPI yang dipimpin langsung oleh Erwin Aksa, putra sulung Aksa Mahmud. Erwin didampingi oleh Solihin Kalla, putra sulung Jusuf Kalla. Tim ini juga didukung oleh Sadikin Aksa, pembalap nasional yang juga Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia. (bersambung). Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Budaya.
Jaksa Agung ST. Burhanuddin Sebaiknya Mundur (Bagian-2)
by Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Rabu (09/09). Waktu terus berjalan memimpin proses pengungkap skandal dugaan suap Proposal Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Andi Irfan Jaya dan Tjoko Tjandra U$ 100 juta. Tekanannya meningkat perlahan semakin meningkat. Lapisan-lapisan hitam tebal, yang membungkus kasus ini, khususnya membungkus nama Sanitiar (ST) Burhanudin, Jaksa Agung ini, terus terbuka pelan-pelan. Lapisannya terus meleleh, karena dimakan oleh waktu. Nama Jaksa Agung, ST Burhanudin, yang seperti artikel saya terdahulu, kali inipun teta beta desak untuk mundur dari jabatannya. Bukan karena tidak tahu-menahu masalah komunikasi Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel), Jan Samuel Maringka dengan Tjoko Tjandra. Namun Jan Maringka yang sebelum pemeriksaan di Komisi Kejaksaan (Komjak) dicitrakan bertindak sendiri. Ternyata tidak seperti itu. Ternyata Jan Maringka berada dalam koridor kordinasi dengan Jaksa Agung, ST Burhanudin. Ini berarti tindakan Jan Maringka adalah tindak resmi institusi Kejaksaan. Karena diperintah resmi oleh Jaksa Agung. Dan hasilnya juga sudah dilaporkan kepada Jaksa Agung sebagai user dari operasi inteljen Kejaksaan. Maka, masuk akalkah kalau hanya Jan Maringka yang menjadi korban? Dicopot dari jabatan Jamintel Kejasaan Agung? Apa salah dan dosa Jan Maringka Pak Jaksa Agung? Ini Hasil Pemeriksaan Komjak Fakta yang ditemukan Komjak setelah memeriksa Jan Maringka, sangat menarik. Mantan Jamintel yang sekarang telah dimutasi menjadi Staf Ahli Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Agar tak bias, beta kutip secara apa adanya fakta itu dari Republika.co.id, berdasarkan hasil wawancaranya dengan Ketua Komjak pada tanggal 7 Sepetember 2020. Ketua Komjak Barita Simanjuntak, tulis republika menerangkan, pemeriksaan Jan Maringka sudah dilakukan pada Kamis (03/09). Pemeriksaan tersebut kata Barita, terkait dengan adanya laporan dari Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), tentang adanya keterlibatan Jan Maringka dalam skandal tuan Djoko Tjandra. “Saat diperiksa, dan dimintakan klarifikasi, yang bersangkutan (Jan Maringka) mengaku, menghubungi (Djoko Tjandra) dua kali. Menghubunginya lewat telefon,” kata Barita, saat dihubungi Republika dari Jakarta, pada Senin (7/9). Komunikasi antara Jan Maringka, dan Djoko Tjandra terjadi pada 2 dan 4 Juli 2020. Akan tetapi, Barita menjelaskan, hubungan via telefon Jan Maringka, dan Djoko Tjandra terkait kedinasan dan fungsi intelejen. Jan Maringka, kata Barita menjelaskan, komunikasi tersebut meminta Djoko Tjandra mengakhiri status buronan, dengan pulang ke Indonesia untuk menjalankan keputusan Mahkamah Agung (MA) 2009. Keputusan MA 2009 memvonis Djoko Tjandra dua tahun penjara dalam kasus korupsi hak tagih utang Bank Bali 1999. Namun, kejaksaan tak dapat mengeksekusi putusan tersebut karena Djoko Tjandra berhasil kabur ke Papua Nugini sehari sebelum MA membacakan vonis. Pada 30 Juli 2020, Djoko Tjandra, berhasil ditangkap di Kuala Lumpur, Malaysia, dan dibawa kembali ke Indonesia untuk menjalankan eksekusi dua tahun penjara “Itu (komunikasi Jan Maringka dan Djoko Tjandra), atas perintah dan sepengetahuan, juga dilaporkan ke Jaksa Agung (Burhanuddin), sebagai user (pengguna fungsi) intelijen,” terang Barita. Terungkapnya komunikasi antara Jan Maringka dan Djoko Tjandra, serta peran Jaksa Agung Burhanuddin, membuat terang peran pejabat tinggi Kejakgung itu, dalam pusaran skandal hukumnya (lihat Republika.co.id 08/09/2020). Mau diapakan fakta ini? Mau dianggap sampah? Kalau ini sampah, pasti bukan sampah biasa. Sampah ini bernilai besar. Selamatkan Institusi Kejaksaan Andaikan ahli sulap kelas dunia sejak zaman Fir’aun sampai sekarang sekalipun, tidak bisa ubah fakta jorok, kotor, busuk di atas itu. Sangat tidak bisa. Fakta itu sangat telanjang sekali. Diperoleh oleh Komjak. Institusi ini punya fungsi memeriksa kelakuan para Jaksa negeri. Fakta itu diperoleh saat memeriksa Jan Maringka. Hasilnya disampaikan sendiri oleh Ketua Komjak. Masa mau bilang bohong? Ketua Komjaknya menyampaikan fakta itu tidak dengan cara bisik-bisik di ruang tersembunyi, atau sebagai informasi off the record. Dia menyampaikan secara resmi, dan terbuka kerpada publik lho. Menyampaikannya kepada jurnalis Republika.co.id. Media yang terbilang sangat kredibel ko. Sebagai jurnalis, beta yakin sahabat jurnalis Republika tersebut pasti menyampaikan identitas kewartawanannya. Termasuk menyebut media tempat dia menjadi jurnalis ketika hendak mewawancarai Ketua Komjak Barita. Apalagi mewawancarai via telpon. Pasti dia menyebut identitasnya dan medianya. Singkatnya fakta ini sangat sangat dan sangat kredibel. Jadi mau apa lagi? Bisa apa tuan-tuan di Kejaksaan Agung, macam Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus, Kapuspen serta penyidik kasus ini atas fakta di atas? Sudahlah tuan-tuan. Ini bukan soal ada pidana atau tidak. Juga bukan soal ada bukti atau tidak untuk kategorikan tindakan Jaksa Agung itu sebagai pidana atau bukan. Sama sekali bukan itu. Jan Maringka diperintah Jaksa Agung ST Burhanuddin. Itu keterangannya sendiri. Sangat valid. Tetapi dia sudah dimutasi, tak lama setelah Tjokro Tjandra ditangkap Polisi. Jan Maringka sekarang cuma jadi Staf Ahli. Lalu jaksa Pinangki tidak hanya dicopot dari jabatan kecilnya, tetapi telah dijadikan tersangka. ST Burhanudin, tuan Jaksa Agung bagaimana? Kan masih tetap jadi Jaksa Agung. Hebat betul ini sandiwara. Jangan begitulah. Tidak bagus untuk penegakan hukum dan citra institusi Kejaksaan. Fairkah semua fakta yang telanjang itu? Orang gila puluhan tahun sekalipun akan segera berubah menjadi waras. Orang gila itu lalu segera menertawakan tuan-tuan bila tuan-tuan bilang “perlakuan kepada Jan Samuel Maringka itu dibilang oke saja, patut dan fair. Kalaulah Jaksa Jan Maringka menganggap mutasinya fair, kenapa dia mau diperiksa oleh Komjak? Kalau Jan Maringka menganggap mutasinya fair, kenapa dia mau menerangkan seterang itu kepada Komjak? Masuk akalkah kalau Jaksa Agung Pak ST Burhanuddin menganggap Maringka tidak tahu lokasi kebaradaan Djoko Tjandra? Dan itu menjadi kesalahan dari Jan Maringka? Sangat tidak logis. Apa saja tindakan selama kurun waktu Maringka melaksanakan perintahnya Pak Jaksa Agung? Apakah Pak Jaksa Agung tidak monitor? Apa selama dalam rentang waktu tersebut, Pak Jaksa Agung sedang berada dalam situasi tidak mampu untuk berpikir? Juga sangat tidak logis dong? Dari mana Jan Maringka memperoleh nomor telpon Djoko Tjandra? Apakah diberikan oleh Pak Jaksa Agung? Apakah diperoleh sendiri oleh Jan Maringka sebagai orang intel? Lalu apa saran Jan Maringka kepada Pak Jaksa Agung setelah menerima perintah dar Pak Jaksa Agung? Apakah Jan Maringka menyarankan kepada Pak Jaksa Agung agar melibatkan Polisi? Sehingga Interpol bisa bekerja sesuai mekanisme mengejar seorang boronan yang status hukumnya sudah berkekuatan hukum tetap? Kalau tidak ada saran dari Jan Maringka, apakah Pak Jaksa Agung juga memerintahkan Jan Maringka ungtuk berkordinasi dengan Polisi? Apakah Jan Maringka diperintahkan Pak Jaksa Agung memperpanjang red notice di Intepol? Sehingga tidak perlu mengorbankan Irjen Pol. Napoleon Bonaperte, Kepala NCB Interpol dan Brgjen Polisi Nugroho Prabowo, Sektretaris NCB Interpol, yang keduanya sudah dicopot dari jabatannya itu? Bahkan jendral Napoleon Bonaparte sudah ditetapkan menjadi tersesangka. Kalau tidak ada perintah itu, apa sebabnya Pak Jaksa Agung? Mau terlihat gagah bisa tangkap sendiri tuan Tjoko Tjandra? Hal gelap itu tentu tak bisa terungkap dalam ekspos perkara. Pak Ali Mukartono, Jampidsus tak bakal bisa mengungkapnya. Tetapi untuk Pak Ali, beta mau tanya. Apakah valid bantahan-bantahan Pak Jaksa Agung atas sejumlah isu itu? Kan Pak Jaksa Agung tidak diperiksa oleh penyidik. Dia juga tidak diperiksa oleh Komjak. Beda dengan Jan Maringka. Bagiamana Pak Ali memberi nilai pada pernyataan Pak Jaksa Agung tersebut? Beta mau tanya satu hal lagi. Begini Pak Ali, apakah penyidik telah punya data record pada HP Jaksa Pinangki? Kalau ini tidak dimiliki oleh penyidik, bagaimana Pak Ali menerima dan meyakini isu tentang video call Jaksa Pinangki dengan Pak Jaksa Agung ST Berhanuddin, hanya sebagai bualan semata? Ini kasus betul-betul sudah jadi bubur. Sudah tak bisa lagi berharap lebih dari yang sekarang. Sudah sangat payah. Mau seribu kali ekspos juga akan tetap seperti begini ini. Semua hal gelap di atas akan tetap gelap segelap-gelapnya. Sudahlah cepat-cepat saja diadili itu orang-orang itu. Mau bebas ke, mau dihukum terserah pada tuan-tuan penyidik saja . Tetapi sebagai pimpinan tertinggi Jaksa di republik ini, ST Burhanudian, Jaksa Agung, yang tak punya prestasi apapun selama sepuluh bulan ini, harus bertanggung jawab. Demi institusi dan bangsa ini, beta tetap mendesak Jaksa harus mundur. Tinggalkanlah sudah jabatan itu. Ayo, selamatkan institusi Kejaksaan. juga selamatkan wajah hukum Indonesia. Kasian Pak Jokowi. (bersambung). Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Makin Belepotan Menteri Fahrul Rozi
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (09/09). Ketika isu reshuffle kabunet mengemuka, Menteri Agama Fahrul Rozi termasuk yang dinilai pantas untuk diganti. Barangkali dalam rangka meningkatkan kepercayaan dari Presiden, maka pak Menteri Fahrul sekarang bermanuver. Isu radikalisme yang menjadi modal dan andalannya di "up date" dengan program deradikalisasi melalui sertifikasi da'i. Sertifikasi da'i sama saja dengan pengawasan atau pengendalian terhadap aktivitas ceramah para da'i. Paradigmanya mencurigai dan memata-matai para da’i. Cara pandang buruk Pemerintah disampaikan melalui Menteri Agama. Bila semakin tak terkendali, Pemerintahan setahap demi setahap akan bergeser menjadi model dari rezim otoriter komunis. Sebelumnya Menteri Agama juga setuju dengan persekusi seorang ustadz yang disinyalir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh kelompok Banser di Pasuruan. Aneh jika atas nama tabayun, maka persekusi, bahkan penistaan terhadap ustadz dibenarkan dan didukung oleh Menteri Agama. Khilafah dan terma Islam lain seperti jihad lalu dimasalahkan. Umat Islam memandang bahwa program deradikalisasi telah berubah menjadi deislamisasi. Menteri Agama memposisikan diri berada di garda terdepan dalam proyek bedar deislamisasi dan deradikalisasi. Deradikalisasi atau deislamisasi seperti ini adalah perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila. Pancasila dirumuskan ketat atas prestasi dan pengorbanan umat Islam. Kini umat seolah menjadi tertuduh atau pesakitan di negeri Pancasila. Ini sangat tragis. Tuduhan anti Pancasila yang selalu ditujukan kepada umat Islam, atau rakyat sesungguhnya adalah bias politik. Sebab fakta yang terjadi justru para penentang Pancasila itu berada di lingkaran Pemerintah sendiri. Mereka merencanakan merubah Pancasila melalui pengajuan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasiial (RUU HIP). RUU HIP yang sekarang telah berubah menadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP gtersebut, menempatkan Pancasila tanggal 1 Juni 1945 dasar negara. Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Bukan Pancasila konsesnsus tangga 18 Agustus 1945. Padahal munculnya RUU HIP atau BPIP nyata-nyata merupakan perbuatan makan kepada negara. Kementrian Agama yang didirikan dengan semangat perjuangan umat Islam, oleh pak Menteri Fahrul Rozi kini digunakan untuk mengacak-acak syari'at agama. Sertifikasi da'i adalah konsep yang sangat menyakitkan umat Islam. Bahkan sangat menyesatkan. Menteri Agama hanya satu fikiran yang ada dalam benaknya bahwa umat Islam itu berbahaya, radikal, dan intoleran. Bagaimana seorang Menteri Agama yang seorang muslim dapat menempatkan umat Islam sedemikian negatifnya? Jangan-jangan ada kelainan? Atau memang dangkal pemahaman terhadap Islam, sehingga harus berhadap-hadapan dengan umat Islam? Pernyataan bahwa radikalis diawali dengan performa "good looking" adalah ungkapan yang sangat, sanagat, dan sangat bodoh. Ungkapan yang mengada-ada, dan hanya mencari-cari dalih. Menteri Agama tidak berfikir positif dari yang dia sebut "good looking". Menteri Agamma sepertinya menempatkan diri sebagai agen dari kepentingan yang berniat untuk mengacak-acak stabilitas umat Islam. Menteri Agama sebagai seorang muslim, selayaknya menjadi pembela terdepan dari agama Islam. Menjadi pelindung utama kepentingan umat Islam. Bukan sebaliknya, yang selalu membuat dan memproduksi keresahan terhadap umat Islam. Bukan pula untuk menggerogoti nilai-nilai agama Islam. Menteri Agama kini menjadi "vampire agama" yang tak berguna. Bahkan sangat berbahaya. Penulis adalah Pemerhati Keagamaan dan Kebangsan.
Ketika Jenderal Purnawirawan Benaran Ikut Demonstrasi
by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Rabu (09/09). Jumhur Hidayat, mantan aktifis ITB yang pernah dipenjarakan rezim militer Orde Baru ke Nusa Kambangan, khusus bertanya kepada saya, "kenapa Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo mau ikut demonstrasi kemarin di depan Gedung Sate, Bandung?" Saya berjanji untuk membuat tulisan ini untuk menjawab alasan psikologis dan sosiologis partisipasi Gatot Nurmantyo (GN) itu dalam kacamata ilmu. Karena memang baru sekali dalam sejarah Bangsa Indonesia, seorang Jenderal (asli) Bintang Empat ikut dalam aksi demo. Bukan Jendral Kehormatan. Biasanya para jenderal-jenderal purnawirawan menikmati "comfort zone" sebagai anggota masyarakat yang terhormat di bumi pertiwi ini. Selain umumnya banyak diantara mereka menjadi komisaris-komisaris di perusahan raksasa, dengan gaji yang besar. Demonstrasi menyelamatkan Indonesia yang digelar kelompok massa rakyat, yang dipimpin Kolonel (purn) Sugeng Waras, Senin, 7/9, kemarin di Bandung. Intinya adalah mengutuk krisis demokrasi yang terjadi saat ini. Aksi itu disebabkan adanya kemunduran demokrasi, di mana Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), dupersulit oleh aparatur negara, dalam hal ini yang tersurat adalah Satgas Covid-19. Satgar Covid-19 yang mencabut rekomendasi perlengkapan ijin acara Deklarasi KAMI Jabar, yang sedianya dilakukan di Hotel Gran Pasundan, Senin, 7 /9/2020. Padahal, seminggu sebelumnya, pihak hotel menjamin acara Deklarasi KAMI Jabar tidak masalah. Karena baru saja hotel tersebut dipakai oleh kelompok bisnis air minum yang berkumpul hampir 1.000 orang. Sedangkan KAMI hanya untuk 500 orang. Di luar urusan tersurat, tentu urusan tersirat, kita melihat rangkaian konvoi-konvoi calon calon kepala daerah, baik Bupati/Walikota, maupun Cagub, bebas berdesak-desakan tanpa protokol Covid-19. Sebaiknya, acara di hotel, karena bisnis profesional, pasti protokol Covid-19 dilakukan serius oleh pihak hotel tersebut. Tersirat artinya pula, pasti bukan urusan Satgas Covid-19 yang ngotot melarang acara KAMI tersebut. Lalu siapa? Itulah yang ingin dikejar aksi demo KAMI Jabar tersebut. Gatot Dalam Perspektif Maslow Ahli-ahli kepribadian telah mengembangkan ilmu "psychodynmic theory, Social Learning Theory, Situation-person interaction theory dan Need Theory" untuk melihat kepribadian seseorang. Berbagai ilmu tersebut di atas sebagian besar bersumber pada Sigmund Freud, sebagai guru mereka. Freud melihat staging atau tahapan perkembangan kepribadian terkait dengan masa awal kehidupan manusia, yakni fase oral, anal dan phallic. Namun, dalam perkembangan dewasa ini, para ahli menawarkan kombinasi interaksi sosial pada fase fisikal yang dilontarkan Freud. Perkembangan Gatot Nurmantyo dalam analisa kepribadian (the ID, Ego and Super Ego) yang mengikutkan analisa interaksi sosial, di mana GN hidup dalam keluarga dan asrama militer. Tentu berpengaruh pada sifat dasar GN, terkait dengan heroisme, tanggung jawab dan disiplin. Keluarga memberi moralitas dasar, serta lingkungan militer (asrama) menambahkan tentang yang salah vs benar. Maslow dalam "Hierarchy of Needs" mendekati analisa dari kebutuhan hidup seseorang untuk mengetahui level manusia tersebut. Menurutnya, manusia terendah berada pada level kebutuhan fisik. Setelah itu kebutuhan keamanan, di atasnya lagi kehidupan sosial. Lalu kebutuhan kenyamanan (penghormatan). Terakhir kebutuhan aktualisasi diri (menyangkut keagungan dan moralitas). Dalam perspektif Maslow ini, Gatot Nurmantyo, sebagai jenderal penuh. Bukan seperti beberapa jenderal yang bintang empat karena kehormatan telah mencapai tahapanlevel ke empat, yakni penghargaan. Baik penghargaan negara maupun berbagai kenyamanan hidup lainnya.Namun apa yang mengganggu Gatot Nurmantyo sehingga tidak berhenti pada kenyamanan level empat hirarki Maslow? Dalam berbagai kesempatan, GN sudah menyampaikan bahwa dia sudah berusaha menghindari politik selama hampir tiga tahun sejak pensiun. Dalam keluarga yang super mapan, ditandai dengan harta, anak-anak yang sukses, dan tidak ada beban hukum di masa lalu, selama ini GN menghabiskan waktunya mengurus cucu dan bertani. Namun, ketika menurutnya ada gejala ingin mengubah Pancasila dari kekuasan yang sedang berlangsung, khususnya sejak RUU HIP diupayakan untuk diundangkan di DPR-RI beberapa waktu lalu, GN terganggu. Menurutnya, sejak dia melakukan Sumpah Prajurit di bawah Al Quran, ketika lulus Akademi Militer, tanggung jawab mempertahankan Pancasila adalah persoalan moralitas dasar yang dia akan pertahankan hidup atau mati. Menurutnya, rencana pengubahan Pancasila yang bisa diperas menjadi Trisila dan Ekasila adalah upaya makar yang nyata. Upayayang akan membubarkan negara. Dan ini menjadi gangguan kejiwaan yang mendorong moral politiknya kembali menunjukkan tanggung jawab. Inilah penjelasan level ke lima teori Maslow. Bahwa GN harus menapaki level hirarki Maslow dengan meninggalkan kenyamanan level keempat dan tentu saja mempunyai resiko besar. Resiko tersebut telah diperhitungkan dengan sangat matang oleh GN. Perspektif Sosiologis Membaca sosok Gatot Nurmantyo dari personality theory dapat menggambarkan gelora hati dan moralitas GN tersebut. Penjelasan sosiologis akan membantu lebih dalam lagi akan hal tersebut. Ahli-ahli sosiologi dalam perspektif Durkhemian, Marxian dan interaksi Sosial menjelaskan bagaimana perjalanan individu dalam konteks sosial. Memakai Durkheim, kita melihat lingkungan militer dalam kehidupan GN seumur hidupnya membuat perspektif GN melihat situasi terikat pada lingkungan itu. Gatot misalnya, secara tegas meyakini bahwa Komunis dan Komunisme adalah ancaman sentral di Indonesia. Hal ini sesuai dengan realitas lingkungan militer yang melihat Komunis sebagai ideologi paling berbahaya. Khususnya ketika pada tahun 1965, banyak jenderal yang dibunuh Komunis kala itu. GN berbeda dengan pemerintah ketika rezim Jokowi melakukan berbagai deislamisasi. Baik secara keras dengan kriminalisasi ulama, maupun propaganda media, Gatot malah berkali-kali membuat langkah berlawanan. Misalnya dengan mengundang Ustad Abdul Somad ke Markas TNI, mengadakan pengajian 1.000 hafiz dan hafizah di Mabes TNI. Melakukan nonton bareng film anti Komunis (G/30S PKI). Gatot bukan saja memperlihatkan kedekatannya pada ulama.Namun GN juga meyakini bahwa Indonesia ini hanya akan aman dan besar kalau NU dan Muhammadiyah bersatu. Lalu bagaimana melihat oligarki alias penguasaan asset-asset negara di tangan cukong-cukong? Menariknya, dalam pidato GN di Tugu Proklamasi, dia mengutuk oligarki ekonomi yang berlindung "dibalik" ketiak konstitusi. Gatot malah menginginkan sila kelima Pancasila tentang keadilan sosial dijalankan dengan sungguh -sungguh. Disini, analisa Durkhemian yang strukturalis harus digeser pada teori interaksi sosial, dimana struktur dan agen sama kuatnya berpengaruh. Sebagai agen (tokoh), GN mempunyai "free will" dalam hidupnya, di mana dia bermaksud mengubah struktur atau lingkungan atau sistem. Disini pertanyaan Jumhur Hidayat terjawab, bahwa meskipun GN hidup sepenuhnya dalam lingkungan militer, namun dia ingin demokrasi tak dipermainkan. GN marah dengan demokrasi yang dipermainkan itu. Dia meninggalkan kenyamanannya sebagai orang sukses. Mau berdemonstrasi, dengan resiko. Penutup Mengapa Gatot Nurmantyo mau ikut demo kemarin di Gedung Sate? Bukankah dia mantan Jenderal bintang empat asli? Bukan seperti banyak bintang empat kehormatan? Mantan Panglima TNI yang hidupnya nyaman? Apakah dia "post power syndrome"? Menurut teori kepribadian dan sosiologi yang saya jelaskan di atas, GN memang telah meninggalkan kenyamannannya sebagai orang terhormat pada level Self Esteem yang disebut Maslow of Hierarchy of Needs. Moralitas GN terganggu dengan adanya rencana mengubah Pancasila, sebagaimana yang sedang diupayakan pada RUU Pancasila beberapa bulan lalu. Sebagai prajurit dan anak prajurit yang besar dalam asrama militer, GN mempunya "super ego" yang sensitif atas isu Pancasila tersebut. Selain isu Pancasila sebagai utama, akhirnya merembet pada isu-isu lainnya yang terkait dengan degradasi negara dan bangsa yang menuju kehancuran. Ini ditandai dengan isu-isu deislamisasi, oligarki dan kesalahan penanganan pandemi Covid-19. Dalam orasi politiknya, sebagai demonstran, GN telah menyatakan siap mati atau ditangkap rezim ini. Sikap itu, jika upaya politik moral yang dia jalankan untuk mengkoreksi kehidupan berbangsa dan bernegara direspon sebagai kejahatan. Namun, essai yang saya tulis ini sesungguhnya kembali untuk menjawab pertanyaan Mohammad Jumhur Hidayat. Mantan tokoh aktifis ITB legendaris yang ditangkap militer di masa Orde Baru, yang bertanya pada saya, “kenapa seorang Jenderal mau ikutan demo”? Mungkin Jumhur cemburu, bahwa ada sosok (eks) militer yang juga mau demonstrasi. Bukan lagi hanya kaum buruh atau mahasiswa atau anak STM. Cemburu karena ada manusia yang mau meninggalkan semua kemewahan menjadi seorang demonstran, demi menyelamatkan negara ini. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.
Abaikan Whisnu, Benarkah Megawati Lupakan Jasa Sutjipto?
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Rabu (09/09). DPP PDI-P secara resmi mengusung Eri Cahyadi sebagai Bakal Calon Walikota, Armudji sebagai Bakal Calon Wakil Walikota Surabaya pada Pilwali Surabaya 2020. Pengumuman Ketua DPP PDI-Puan Maharani itu membuat kecewa pendukung Whisnu Sakti Buana. Pendukung Wakil Walikota Surabaya itu mempertanyakan latar belakang Eri Cahyadi yang mendapatkan rekomendasi sebagai Bacawali. Dan wakilnya, Armudji, yang dianggapnya telah mengundurkan dari penjaringan PDIP. Mereka mengaku kecewa lantaran jagoan mereka, Whisnu yang juga kini menjabat Wawali Surabaya dua periode itu, tidak mendapatkan rekomendasi dari DPP PDIP. “Whisnu adalah kader partai, kenapa bukan calon. Sangat kecewa,” teriak seorang pendukung Whisnu. “Eri itu siapa? Armudji sudah mengundurkan diri kenapa jadi wakil. Bangsat!” teriaknya di depan DPD Jatim, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Rabu (02/09/2020 15:43 WIB). Para pendukung Whisnu ini memprotes keputusan PDIP di luar gedung. Sementara di dalam gedung DPD PDI-P Jatim, tampak Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Puti Guntur Soekarno, Wawali Whisnu Sakti Buana, Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat dan sejumlah fungsionaris DPP PDIP lainnya. Pengumuman paslon Eri-Armudji itu secara resmi dibacakan oleh DPP Bidang Politik PDIP Puan Maharani dalam acara Pengumuman Calon Kepala Daerah Gelombang V, berlangsung secara daring pada Rabu (2/9/2020). “Rekomendasi Kota Surabaya, diberikan kepada Eri Cahyadi, dengan Armudji. Sebagai calon walikota dan calon wakil walikota Surabaya,” kata Puan, disaksikan jajaran DPD PDIP Jatim dan DPC Surabaya melalui daring. Pantauan CNNIndonesia.com di lokasi, usai pengumuman itu dibacakan, suasana DPD Jatim pun langsung hening. Pekikan merdeka dari Puan pun tidak terlihat bersahut. “Merdeka! Ayo semangat,” ucap Puan nyaris tak digubris. Sangatlah wajar jika para pendukung Whisnu itu merasa kecewa. Pasalnya, mereka berharap putra almarhum Ir. Soetjipto Soedjono, mantan Sekjen DPP PDIP itu, direkomendasikan oleh DPP PDIP sebagai Bacawali Surabaya, bukan Eri Cahyadi. Jasa dan sumbangsih Pak Tjip, begitu panggilan akrab Soetjipto Soedjono ini, pada Megawati Soekarnoputri kala berjuang merebut kepemimpinan PDI dari Soerjadi tidak bisa digantikan dan dilupakan begitu saja. Sejarah mencatat, sejak terjadi konflik internal PDI (tidak ada P-nya) antara Soerjadi yang didukung Pemerintah dengan Megawati, Pak Tjip selalu setia berada di barisan pendukung Megawati hingga akhir hanyatnya pada 24 November 2011. Konflik internal terus berlanjut sampai dengan dilaksanakannya Kongres IV PDI di Medan. Kongres IV PDI diselenggarakan pada 21-25 Juli 1993 di Aula Hotel Tiara, Medan, Sumatera Utara, dengan peserta sekitar 800 orang. Dalam Kongres itu muncul beberapa nama calon Ketua Umum yang akan bersaing dengan Soerjadi, yakni Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogoeritno dan Tarto Sudiro. Muncul pula nama Ismunandar, Wakil Ketua DPD DKI Jakarta. Budi Hardjono saat itu disebut-sebut sebagai kandidat kuat yang didukung pemerintah. Tarto Sudiro maju sebagai calon Ketua Umum yang didukung Megawati. Saat itu Megawati belum bisa tampil mengingat situasi dan kondisi politik masih belum memungkinkan. Kongres IV PDI di Medan dibuka oleh Presiden Soeharto dan acara tersebut berjalan lancar. Tapi, beberapa jam kemudian acara Kongres menjadi ricuh karena datang para demonstran yang dipimpin Jacob Nuwa Wea mencoba menerobos masuk ke arena sidang. Acara tetap berlangsung sampai terpilihnya kembali Soerjadi secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI. Namun, belum sampai penyusunan kepengurusan suasana kembali ricuh karena demonstrasi yang dipimpin Jacob Nuwa Wea berhasil menerobos masuk ke arena Kongres. Pemerintah akhirnya mengambil alih melalui Mendagri Yogie S. Memed dan mengusulkan membentuk caretaker. Dalam rapat formatur yang dipimpin Ketua DPD PDI Jatim Latief Pudjosakti pada 25-27 Agustus 1993 akhirnya diputuskan susunan resmi caretaker DPP PDI. Posisi Pak Tjip saat terjadi konflik internal PDI, Pak Tjip sebagai Bendahara DPD PDI Jatim. Ketika terjadi perpecahan, barulah Pak Tjip menjabat Ketua DPD PDI Jatim. Sehingga, PDI Jatim ada dua kepengurusan: PDI Soerjadi dan PDI Megawati. Latief Pudjosakti berada bersama Soerjadi. Sedangkan Pak Tjip di kubu Megawati. Pak Tjip mendukung DPP PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri. Dalam puncak karier politiknya, ini mengantarkannya menjabat Sekjen PDI-P dan Wakil Ketua MPR. Pak Tjip memimpin kader dan simpatisian PDI di Jatim melawan campur tangan pemerintah dalam tubuh PDI. Dia pun mengalihkan markas PDI ke kantor CV. Bumi Raya, perusahaan jasa konstruksi miliknya di Jalan Pandegiling, Kota Surabaya. Karena kantor lama sedang direbut kubu Latief Pudjosakti. Sebuah wujud perlawanan kepada pemerintah yang dinilai otoriter sekaligus sebagai wujud dukungan kepemimpinan Megawati yang didukung oleh arus bawah. Dari kantor yang dulu dikenal dengan sebutan “Markas Pandegiling” inilah Pak Tjip bersama putranya, Whisnu Sakti Buana, melakukan perlawanan. Nama Whisnu mulai dikenal sebagai penggerak perlawanan masyarakat arus bawah. Dalam setiap kali demo, Whisnu selalu memimpin dan berada di depan. Itulah fakta politik yang terjadi selama masa “perjuangan” Pak Tjip dan Whisnu sebelum akhirnya keduanya menjadi bagian dari PDI Perjuangan pimpinan Megawati. Makanya wajar jika di kalangan akar rumput Surabaya memilih mendukung Whisnu sebagai Bacawali Surabaya ketimbang yang lainnya seperti Eri Cahyadi yang baru bergabung dengan PDIP begitu direkomendasikan oleh DPP PDIP. Kabarnya, nama Eri Cahyadi itu disodorkan oleh Walikota Tri Rismaharini. Akankah Eri bisa mengikuti jejak Risma yang sebelum diusung PDIP itu menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (BAPPEKO) Surabaya? Melansir Liputan6.com, Kamis, (03 Sep 2020, 15:00 WIB), sosok Eri Cahyadi ini ternyata putra asli Surabaya. Berasal dari kampung lawas Maspati. Kampung yang saat ini dijadikan sebagai kampung wisata tersebut berada di dekat Tugu Pahlawan. “Saya sempat ngobrol-ngobrol sama Mas Eri. Ternyata, Mas Eri ini aslinya dari Maspati Surabaya. Usianya saat ini 43 tahun. Mas Eri juga alumni dari ITS Surabaya,” ujar Ketua DPP Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Djarot Saiful Hidayat, Kamis (3/9/2020). Sementara itu, saat dikonfirmasi apakah dirinya masuk menjadi kader PDIP, Eri Cahyadi menjawab, saat dirinya dicalonkan sebagai Bacawali Surabaya oleh PDIP, itu artinya sudah menjadi bagian dari PDIP. “Setelah saya dicalonkan sebagai Cawali Surabaya, saya sudah menjadi bagian dari keluarga PDI Perjuangan,” ucap Eri. Nama Eri Cahyadi sebelumnya santer terdengar sejak tahun lalu sebagai calon yang akan menggantikan Risma. Ia menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya pada 2018 saat berusia 41 tahun. Mengutip situs pribadi Eri Cahyadi, sebelum menjadi pegawai negeri sipil (PNS), ia bekerja sebagai konsultan di Jakarta pada 1999-2001. Kemudian dia mendaftar sebagai CPNS, dan diterima sebagai PNS pada 2001 di Dinas Bangunan. Pria Teknik Sipil ITS Surabaya pada 1999 ini telah menjadi Plt Kasubag pada usia 30 tahun. Lalu, dia dipercaya menjadi Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman, Cipta Karya dan Tata Ruang saat usia 34 tahun. Selanjutnya ia dipercaya menjadi Kepala Bappeko dan Plt Kepala Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka (DKRTH) pada 2018. Lawan Tangguh Eri Cahyadi-Armudji yang diusung PDIP dan PSI akan berhadapan dengan pasangan yang didukung koalisi PKB, Gerindra, PKS, Golkar, Demokrat, Nasdem, PAN, dan PPP, yakni Machfud Arifin dan Mujiaman Sukirno. Seperti dilansir Tempo.co, Minggu (6 September 2020 06:23 WIB), pasangan Bacawali Machfud dan Bacawawali Mujiaman mendaftarkan diri ke KPU Kota Surabaya pada Minggu (6/9/2020). Menurut Direktur Media dan Komunikasi Tim Pemenangan Machfud-Mujiaman, Imam Syafi'i, proses pendaftaran pasangan Machfud-Mujiaman dipastikan menerapkan protokol kesehatan yang ketat untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19. “Prosesi pendaftaran dilakukan pada sore hari dan dimulai sekitar pukul 14.30 WIB. Paslon akan tiba lebih dahulu di posko utama Jalan Basuki Rahmad,” ungkap dia, Sabtu (5/9/2020). Setiba di posko, Imam mengatakan paslon terlebih dulu ziarah ke Makam Sunan Bungkul sebelum ke KPU. Alasan dipilihnya makam Sunan Bungkul karena warga Surabaya biasa ziarah ke Sunan Bungkul dulu baru ke sunan lainnya. Seperti halnya Eri Cahyadi, Machfud Arifin, Irjen Polisi Purnawirawan ini lahir di Ketintang, Gayungan, Kota Surabaya, pada 6 September 1960. Machfud sebelumnya menjabat Analis Kebijakan Utama bidang Sabhara Baharkam Polri. Lulusan Akpol 1986 ini berpengalaman dalam bidang reserse. Jabatan terakhir Machfud adalah Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Puan Perjelas Ungkapan Kampong “Maling Teriak Maling"
by Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Selasa (08/09). Aku bukan Urang Minang. Aku Batak. Aku Sitanggang. Tapi aku benar-benar terusik (bisa juga dibilang marah) dengan ucapan Puan Maharani yang mengesankan bahwa orang Sumatera Barat (Sumbar) selama ini tidak mendukung Negara Pancasila. Bukannya aku ingin membela Urang Minang, karena tanpa kubela pun, setiap anak SD yang belajar sejarah pasti tahu kalau Urang Minang itu berjasa besar dalam mendirikan NKRI. Marahku tak lebih karena Puan Maharani adalah seorang Ketua PDIP. Seorang Ketua PDIP “menuduh” orang lain tidak mendukung negara Pancasila? Buat aku itu sebuah keanehan, kalau tidak dibilang sebagai kejahatan. Ada sesuatu atau maksud tertentu yang ingin disembunyikan dibalik “tuduhan” penghinaan tersebut. Partai Puan Maharani sekarang memang sedang menghadapi guncangan keras. Ini berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diusulkan oleh partai berlambang kepala kerbau itu. Masyarakat yang setia pada Pancasila di seluruh tanah air marah, menolak dan menuntut para penyusun naskah akademik dan pengusul RUU HIP supaya diusut secara hukum. Masrarakat mesti marah. Masalahnya RUU HIP tersebut, jelas-jelas ingin menggantikan falsafah Pancasila yang sah, yakni Pancasila 18 Agustus 1945 yang diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dengan Pancasila yang tidak ada dasar hukumnya, yaitu Pancasila 1 Juni 1945 yang merupakan ideologi PDIP. Ini makar yang nyata terhadap falsafah negara, tapi berselubung konstitusi. Apakah Puan ingin menghilangkan jejak partainya, yang tertuduh tidak mendukung Pancasila yang sah? Dengan melontarkan ungkapan “semoga Sumbar menjadi propinsi yang mendukung negara Panacasila”. Entahlah, tetapi di kampung-kampung memang populer istilah “maling teriak maling". Itu efektif untuk menyelamatkan seorang maling dari tuduhan “maling”. Setidaknya untuk sementara waktu. Di tahun 2017, tepatnya 18 Agustus 2017, di hadapan Anggota Komisi A DPRD Sumut, Syamsul Qodri (PKS) dan Brilian Muchtar (PDIP), aku mengatakan, “kalau nanti saya berkuasa, yang pertama saya bubarkan adalah PDIP”. Saat itu aku mengajukan tantangan debat soal Pancasila kepada PDIP, dan itu viral ral ral ral. Tapi tak seorang pun anggota PDIP yang mau menerima tantanganku, sampai hari ini. Waktu itu, aku dan sejumlah aktivis di Sumut melakukan aksi menolak Perppu no 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dijadikan dasar bagi pemerintah untuk mencabut badan hukum Hizbut Thahrir Indonesia (HTI). Organisasi ini, dengan isu khilafahnya, dianggap menyimpang dari Pancasila. Padahal, dalam AD/ART HTI jelas tercantum azasnya adalah Pancasila. Tidak ada khilafah. Aku bukan hendak membela HTI. Bukan itu. Tetapi semata-mata kerena menyangkut masalah yang paling mendasar dalam hidup berbangsa dan bernegara. Masalah Pancasila. Jangan sampai Pancasila diseret kemana-mana, sehingga bisa digunakan sebagai alat kekuasaan untuk menghabisi lawan-lawan politik seperti di masa Orla dan Orba. Negara ini akan mundur lagi dan recok terus, tak berkesudahan. Bicara soal Pancasila, dalam konteks falsafah NKRI, maka yang jadi pegangan kita adalah alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945 sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Inilah Pancasila yang sah, dan selanjutnya dalam tulisan ini digunakan istilah tersebut. Bukan yang lain. Berdasarkan Dekrit Presiden itu, “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945, dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Dalam hal ini sesuai penjelasan tertulis Perdana Mentri Djuanda kepada Ahmad Saichu (NU) dan Anwar Haryono (Masyumi), bahwa jiwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama Pancasila adalah jiwa Piagam Jakarta. Dengan demikian, “Ketuhanan Yang Maha Esa” dimaknai sebagai “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (Deliar Noer : Partai Islam Di Pentas Nasional, Cet II, 2000 dan Lukman Hakirm : Biografi Mohammad Natsir, 2019). Dalam konteks ini HTI, dengan isu khilafahnya, masih punya landasan hukum, masih sesuai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Khilafah masih ada dalam koridor sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Sebaliknya PDIP, jauh lebih layak dibubarkan ketimbang HTI. Sebab, pidato Megawati pada HUT ke-44 PDIP, 10 Januari 2017, PDIP adalah partai ideologis dengan ideologi Pancasila 1 Juni 1945. Malah, berkaitan dengan ditetapkannya 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila, Megawati mengatakan, “maka segala keputusan dan kebijakan politik yang kita produksi pun, sudah seharusnya bersumber pada jiwa dan semangat nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945”. Jelas sakit ini barang. Jiwa dan semangat nilai-nila Pancasila 1 Juni 1945 yang dimaksud adalah “Trisila dan Ekasila”. Pada Trisila, ketuhanan berada dalam kerangkeng kebudayaan. Beragamalah sesuai dengan kebudayaan dan keberadaban. Sementara pada Ekasila ketuhanan tidak dipersoalkan lagi, yang penting “gotong royang”. Tentu ini bukan lagi sekedar, namun jauh bertentangan dengan Pancasila yang sah. Bermaksud hendak mengganti isi Pancasila yang sah. Lebih lanjut Megawati, dalam pidatonya, ingin menggunakan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai alat “pendeteksi sekaligus tameng proteksi” (istilah Megawati) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini akan sangat berbahaya. Sebab, sudah pasti banyak hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini yang akan out of frame. Sifat akomodatif Pancasila yang sah jauh lebih luas dari pada Pancasila 1 Juni 1945. Fenomena ini dapat diibaratkan sebagai upaya memotret permukaan bumi dengan dua kamera yang berbeda. Pancasila yang sah ibarat kamera satelit, mampu memotret 34225 km persegi. Pancasila 1 Juni 1945 adalah kamera pesawat terbang, hanya mampu memotret seluas 25 km persegi. Jadinya, hanya sebahagian kecil saja dari citra satelit yang dapat dipotret oleh kamera pesawat terbang. Artinya, banyak persoalan kehidupan berbangsa yang ada (terakomodir) dalam frame Pancasila yang sah tanggal 18 Agustus 1945. Tetapi tidak masuk dalam frame Pancasila 1 Juni 1945. Itulah sebabnya mengapa Megawati dalam pidatonya, secara sinis, menyebut orang yang percaya kehidupan akhirat sebagai “self fulfilling prophecy” (peramal masa depan, termasuk kehidupan setelah dunia fana). Mereka yang membela kehormatan agamanya, atau memilih pemimpin berdasarkan perintah agamanya sebagai memaksakan kehendak. Anti demokrasi dan anti kebhinekaan. Pernyataan Megawati itu karena memang, semua tidak masuk dalam frame “kamera” Pancasila 1 Juni 1945, yaitu kamera Trisila, dan apalagi Ekasila. Padahal, ada dalam frame Pancasila yang sah. Maka, Pancasila 1 Juni 1945 sebagai pendeteksi sekaligus tameng proteksi kehidupan berbangsa akan menjadi sumber keributan yang tidak berujung. Boleh jadi, HTI adalah korban dari itu. Makanya ketika itu, aku berpendapat PDIP lebih layak untuk dibubarkan. PDIP nampaknya konsisten dengan tekad kuat Megawati sebagaimana yang dipidatokan pada HUT PDIP ke-44 itu. Periksalah AD/ART PDIP 2019-2024 Bab II Pasal lima. Di situ disebutkan, “Partai berasaskan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan jiwa dan semangat kelahirannya pada 1 Juni 1945.” Kemudian di dalam Mukaddimah AD dan ART disebutkan, “PDI Perjuangan memahami Partai sebagai alat perjuangan untuk membentuk dan membangun karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945. Partai juga sebagai alat perjuangan untuk melahirkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ber-Ketuhanan, memiliki semangat sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi (TRI SILA), serta alat perjuangan untuk menentang segala bentuk individualisme dan untuk menghidupkan jiwa dan semangat gotong-royong dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (EKA SILA)”. Jelas kan? Harus diakui, PDIP cukup berhasil. Begitu meraih kemenangan dalam pemilu, dan kemudian berkuasa di 2014, PDIP mampu mendorong presiden untuk menerbitkan Keppres Nomor 24 tahun 2016 tentang hari lahirnya Pancasila. Keppres ini telah pula dimanfaatkan sebagai landasan menyusun Naskah Akademik dan RUU HIP, seolah dengan Keppres ini, Pancasila 1 Juni adalah Pancasila yang sah berlaku. Selanjutnya terbit pula Perpres Nomor 54 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Kemudian berganti nama menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Badan ini berpotensi menjadi alat penguasa penafsir tunggal Pancasila. Salah satu tafsirnya yang menggungcang adalah –melalui Kepalanya Yudian Wahyudi, bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama. Yudian Wahyudi tampaknya sudah menjalankan isi pidato Megawati untuk menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 (entah Trisila atau Ekasila) sebagai “pendeteksi sekaligus tameng proteksi” dalam kehidupan beragama. Kemudian lahir RUU HIP yang secara fundamental ingin menggusur Pancasila yang sah sebagaimana telah dijelaskan di atas, diganti dengan Pancasila 1 Juni 1945. Terakhir, lahir RUU BPIP yang secara sah akan memiliki kekuatan hukum untuk menjadi penafsir tunggal Pancasila sesuai kehendak penguasa. Antara RUU HIP dan RUU BPIP itu satu paket, searah dengan kehendak Megawati yang diutarakannya dalam pidato 44 tahu PDIP. Bahwa “segala keputusan dan kebijakan politik yang kita produksi pun, sudah seharusnya bersumber pada jiwa dan semangat nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945”. Itulah sebabnya mengapa BPIP tidak berkomementar sedikit pun terhadap upaya penggantian Pancasila yang sah melalui RUU HIP. Jika RUU HIP dan RUU BIP berhasil diundangkan, maka selesailah sudah proyek “revolusi mental” membentuk dan membangun karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945. Beragamalah secara berkebudayaan. Bukan dengan panduan wahyu. Bergotong royonglah tanpa memikirkan lagi soal Tuhan. Menteri Agama, Fachrul Razi, pun sudah mulai menerapkan kebijakan itu di lingkup apa saja yang beraroma Islam. Dengan isu menangkal faham radikal, ia sedang gencar menjalankan deislamisasi. Penolakan massif rakyat terhadap langkah-langkah PDIP, bahkan serangan gencar terhadap partai kepala kerbau itu, jelas sangat merisaukan para pemimpinnya. Maka, sekali lagi, apakah Puan ingin menghilangkan jejak partainya? Yang tertuduh tidak mendukung Pancasila yang sah? Dengan melontarkan ungkapan “semoga Sumbar menjadi propinsi yang mendukung negara Panacasila”, Puan sedang mempraktekan ungkapan kurang ielok orang kampong “maling teriak maling”. Itu mungkinsaja. Sebab mustahil Puan tidak tahu bahwa Bung Hatta itu orang Minang. Jadi, diduga kuat ada maksud lain dari “serangan” Puan itu. Yang pasti, “serangan” Puan telah membuat Urang Minang sibuk sekuat tenaga membuktikan bahwa mereka adalah Pancasilais sejati. Nanti, endingnya, dapat diperidiksi, apakah Puan Maharani atau PDIP (minta maaf) mengakui Urang Minang Pancasilais. Pengakuan ini adalah “sertifikat”. Bayangkan, kalau PDIP memberi sertifikat Pancasila kepada anak bangsa. Artinya apa ? Tampaknya Puan sedang memainkan dialektika yang luar biasa. Memang, dulu, ketika aku masih hobi catur, guruku berkata, “menyerang adalah cara bertahan yang baik”. Maka, hati-hatilah, jangan lupa RUU HIP dan RUU BIP. Walahu ‘Alam bisshawab. Penulis adalah Ketua #Masyumi Reborn.