Ada 271 Kepala Daerah Menjabat tanpa Pemilu, Demokrasi Sudah Hancur
Jakarta, FNN - Kepala daerah yang masa jabatannya habis sebelum Pilkada Serentak 2024 akan digantikan oleh penjabat gubernur sementara. Aturan mengenai hal ini tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2016 Pasal 201 poin 9. Jika diakumulasikan, terdapat 271 kepala daerah yang akan lengser selama periode 2022-2023, terdiri dari 24 gubernur, 56 wali kota, dan 191 bupati.
Penjabat gubernur sementara nantinya akan diusulkan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Presiden, dengan kriteria Aparatur Sipil Negara (ASN) pejabat tinggi madya atau setara eselon I.
Sedangkan penjabat bupati/wali kota sementara akan diusulkan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri, dengan kriteria ASN pejabat tinggi pratama atau setara eselon II.
Menanggapi kenyataan ini, pengamat politik Rocky Gerung menyatakan bahwa merosotnya demokrasi dalam negeri, seimbang dengan pudarnya profil Indonesia di mata internasional.
“Itu yang menyedihkan kita hari-hari ini. Gubernur-gubernur akan diangkat oleh Presiden melalui Menteri Dalam Negeri tanpa ada legitimasi. Dan itu bisa dua setengah tahun. Itu artinya, Gubernur tidak perlu mempertanggungjawabkan kebijakannya pada publik, pada konstituen. Ini juga satu sinyal bahwa memang demokrasi kita sudah hancur,” katanya kepada wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Kamis, 12 Mei 2022.
Rocky mensinyalir orang-orang sekitar kekuasaan sejak awal sudah kita duga akan menduduki pos-pos itu untuk mengamankan kekuasaan Pak Jokowi. Yakni untuk memastikan bahwa seluruh investasi dari yang disebut oligarki itu, akan diamankan oleh ke gubernur baru yang sebetulnya merupakan proksi istana.
“Ya, itu poin-poinnya sebetulnya. Jadi alih-alih memperlihatkan demokrasi kendati tidak ada prosedur demokrasi, ini justru diperlihatkan tentang kroniisme,” paparnya.
Kenyataan ini akan semakin membuat investor luar negeri takut masuk ke Indonesia.
“Jadi, tidak berubah cara investor asing melihat kita. Kalau begitu, nggak ada gunanya masuk ke Indonesia karena akan terjadi semacam lipat melipat regulasi,” tegasnya.
Bahkan, kenyataan ini, kata Rocky semakin memastikan kita, bahwa membayangkan 2024 itu kayaknya mustahil. Namun demikian, Rocky mengajak agar masyarakat sipil supaya terus tidak putus asa dalam memperjuangkan keadilan.
Keteguhan masyarakat ditunjukkan dengan adanya kalangan mahasiswa, buruh, dan ormas-ormas LSM yang bertemu di Cibubur untuk melakukan konsolidasi. Anehnya, pertemuan itu masih dihalangi untuk melakukan percobaan.
“Padahal ini pertemuan justru untuk membaca situasi agar supaya ada wilayah yang bisa kita amankan kalau terjadi kles di tingkat elite,” papar Rocky.
Rocky menegaskan sepertinya rezim menganggap bahwa konsolidasi masyarakat sipil itu untuk mendorong kekuasaan supaya jatuh.
“Bukan. Itu justru untuk menyiapkan kalau kekuasaan jatuh, maka ada kelompok yang menangkap problem bangsa ini,” paparnya.
Oleh karena itu, lanjut Rocky mulai dilakukan koordinasi antara buruh, mahasiswa, masyarakat sipil untuk menjaga supaya kalau kekuasaan jatuh, ada institusi alternatif yang bisa mengelola bangsa ini.
Perihal penunjukan Kepala Daerah, Rocky menyarankan sebaiknya pejabat sebelumnya diperpanjang saja karena masih punya legitimasi.
“Kalau ada akal sehat mustinya perpanjang saja kan? Anies diperpanjang, gubernur yang lain juga diperpanjang. Itu lebih masuk akal. Kan dia masih punya legitimasi,” tegasnya.
Rocky melihat ada kesengajaan untuk mendesain perkumpulan politik di kalangan penguasa.
“Jadi memang terlihat dari awal, ini didesain untuk regrouping politik sambil menyingkirkan mereka yang potensial untuk secara kritis mempersoalkan kekuasaan,” paparnya.
“Sementara kita lihat contoh-contoh bagaimana pemusatan kekuasaan itu justru diakhiri dengan berhentinya presiden, seperti Perdana Menteri Pakistan Raja Paksa, juga soal Filipina,” lanjutnya.
Menurut Rocky dengan penunjukan 271 kepala daerah, itu menandakan bahwa oligarki dan otokrasi akan menguasai Indonesia menuju 2024. Seolah-olah kita enggak ada ide untuk menghasilkan demokrasi itu.
“Kenapa itu terjadi? Karena koordinasi atau koordinator-koordinator istana itu hanya melihat secara satu sisi bahwa Presiden Jokowi harus diselamatkan,” paparnya.
Semua ini kata Rocky adalah upaya untuk menyelamatkan Presiden Jokowi. Karena itu, dipasanglah orang-orang istana. Padahal kalau dari sekarang dicicil demokrasinya, orang akan berpikir bahwa oke Presiden Jokowi akan meninggalkan jejak, bukan mematikan demokrasi, tapi menghidupkan kembali ide demokrasi.
Oleh karena itu, kata Rocky kepala daerah tidak diangkat berdasarkan like and dislike pada presiden. Sedangkan yang terjadi saat ini adalah langsung terlihat like and dislike makin nyata.
“Orang dari istana ditaruh di DKI yang memang untuk mengatur ekonomi DKI. Demikian juga wilayah-wilayah yang lebih praktis secara ekonomi di mana izin-izin pertambangan dan eksekusi masih dipegang oleh oligarki, ditaruhlah orang-orang yang nanti akan memperpanjang izin-izin itu kan. Jadi ini semua bagian buruk dari kekuasaan,” pungkasnya.
Para kepala daerah kata Rocky memang dipakai untuk mengamankan proyek-proyek strategis dari oligarki, bukan proyek strategis negara.
“Kalau proyek strategis negara pasti bangkrut karena APBN-nya sudah tidak cukup,” pungkas Rocky. (sof, sws)