Adu Gagasan Tiga Bakal Capres: Pemilih Mengerti bahwa Problem Mereka Tidak Bisa Diselesaikan Dengan Sekadar Menyodorkan Seseorang dengan Elektabilitas Tinggi
Jakarta, FNN – Kamis (13/7/23), tiga bakal calon presiden tampil beradu gagasan di hadapan para wali kota se-Indonesia dalam acara Rapat Kerja Nasional XVI Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia di Makassar, Sulawesi Selatan. Ketiga bakal capres tersebut adalah Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prbowo Subianto. Poin-poin yang ditawarkan ketiga bakal calon presiden adalah pemerintahan yang bersih, memenuhi janji politik, kesetaraan dan kolaborasi antarkota dan desa, serta pengelolaan sumber daya alam.
Ketiga calon presiden tersebut tampil terpisah dan bergantian sejak pagi hingga sore. Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), Bima Arya Sugiarto, dan Wali Kota Makassar M. Ramdhan Pomanto memandu ketiga sesi diskusi tersebut. Setiap capres terlebih dahulu diminta memaparkan arti calon lain bagi mereka dalam satu kata sebelum memaparkan idenya. Ganjar menyebut Prabowo sebagai senior dan Anies sebagai teman. Anies menyebut Prabowo sebagai patriot dan Ganjar adalah teman lama. Adapun Prabowo menjawab bahwa Ganjar adalah gubernur dan Anies profesor.
Dari adu gagasan ketiga orang capres tersebut, masyarakat sudah mulai punya gambaran seperti apa jika mereka menjadi presiden kelak. Dengan demikian, dalam pilpres nanti pemilih tidak seperti membeli kucing dalam karung dalam memilih calon presidennya.
Menanggapi adu gagasan ketiga capres tersebut, Rocky Gerung dalam kanal You Tube Rocky Gerung Official edisi Jumat (14/7/23) mengatakan, “Itu peristiwa bagus, karena toh pada akhirnya yang akan diuji adalah perspektif seseorang, kemampuan dia untuk membaca sejarah, dan kecerdasan dia untuk mengatasi problem yang disodorkan dalam bentuk yang rumit.”
Rocky juga mengatakan bahwa adu gagasan ketiga capres tersebut menjadi penanda bahwa publik menghendaki ada debat yang basisnya intelektual, ada debat yang basisnya adalah politik harapan, walaupun politik memori diperlukan. Tetapi, lebih baik kita bicara tentang apa sebetulnya visi setiap capres ini tentang Indonesia, apa visi mereka tentang cara menyelesaikan masalah di era teknologi yang pasti ke depan akan menghantui batin manusia.
“Jadi, hal-hal yang sublim di masa depan justru itu yang akan kita tagih. Karena pemilih kita itu yang 60% anak-anak baru milenial dan sebagian besar 60% hidup di perkotaan, mengerti bahwa problem mereka tidak bisa diselesaikan dengan sekadar menyodorkan seseorang yang elektabilitasnya tinggi. Diperlukan orang yang perspektif historisnya bagus dan kemampuan dia untuk melihat percekcokan global itu akan berujung pada apa,” ujar Rocky.
Tetapi, lanjut Rocky, soal kita hari ini sebetulnya adalah keinginan dari Presiden Jokowi untuk menghalangi orang bicara tentang masa depan, karena di dalamnya juga ada tergantung masa depan Jokowi, sehingga Jokowi lebih suka membicarakan masa depan dia. Itu yang kemudian merembet pada figur-figur calon presiden yang berupaya untuk memikirkan masa depan dengan memasukkan variabel Jokowi dalam perspektif mereka. Ini tidak mudah karena mereka tetap membutuhkan menyebut nama Jokowi atau mengait-ngaitkan dengan Jokowi, supaya dia tak terhalang oleh sisa-sisa kekuasaan Jokowi hari ini.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, itu juga dibahas mengenai lembaga survei yang selalu mengatakan tingkat kepuasan terhadap kepemimpinan Jokowi 90%. Menanggapi hasil lembaga survei tersebut, Rocky mengatakan, “Ini ajaibnya tuh. Milenial membaca masa depan, lembaga survei membaca masa depan Jokowi. Kan 90% masa depan Jokowi pas eventnya, yang track record-nya tidak ada sama sekali. Jadi kita mau percaya apa dari hasil lembaga survei,” kata Rocky.
Dengan kata lain, lanjut Rocky, ya sudah, teruskan saja kesalahan-kesalahan Jokowi itu atau menganggap bahwa publik berarti tidak punya perspektif. Kalau dikasih BLT lalu ditanya, ya pasti puas. “Jadi, saya kira respondennya adalah penerima BLT, dalam 2 jam lalu disurvei kepuasan pada Jokowi, puas nggak? Ya pasti puas karena mendapat BLT. Jadi, tetap itu akal-akalan lembagai survei yang metodologinya tidak bisa dipertanggungjawabkan,” kata Rocky. (ida)