Amerika Dalang di Balik Kerusuhan dan Kudeta Militer Bangladesh
Oleh Faisal S Sallatalohy | Kandidat Doktor Hukum Trisakti
INTELIGEN Amerika di balik kerusuhan massal Bangladesh. Amerika merancang proses kudeta terhadap Perdana Menteri Sheikh Hasina dengan menebar isu kegagalan demokrasi, kemunduran ekonomi, dan penguatan otoritarianisme rezim.
Nafsu Amerika menjatuhkan Hasina mulai menguat sejak penyelenggaraan dua pemilu terkahir di Bangladesh. Amerika secara terbuka mengumumkan kecaman dengan menuding Hasina dan Partai Liga Awami melakukan penyimpangan signifikan, termasuk kotak suara yang dipalsukan dan ribuan pemilih siluman.
Dengan kecurangan itu, masing-masing, Hasina sukses memenangkan 84% dan 82% suara.
Amerika marah dan jengkel terjadap Hasina yg menjadi forxy Rusia dalam pengembangan reaktor nuklir untuk listrik PLTN di kawasan Asia Selatan, sejak 2017.
Bersama perusahan Rusia, Rosatom State Atomiс Energy Corporation, Hasina membangun reaktor nuklir utk PLTN pertama di Ruppur, distrik Pabna, bagian barat Bangladesh, 90 mil dari Dhaka.
Beton pertama pada tahap konstruksi proyek dimulai sejak 2017. Sementara Batu Fondasi diletakan pada 2023 lalu.
Proyek senilai US$ 12,65 miliar, 90% di antaranya dibiayai melalui pinjaman Rusia yang dapat dilunasi dalam waktu 28 tahun, dengan masa tenggang 10 tahun.
Pembangkit dengan kapasitas 2.400 MW Ini menjadi prpoyek infrastruktur terbesar di negara berpenduduk sekitar 170 juta orang itu.
Kemarahan Amerika terhadap Hasina memuncak sejak 6 Oktober 2023 lalu, bertepatan dengan momen penyerahan uranium Rusia kepada Hasina sebagai bahan dasar reaktor nuklir.
Menlu Rusia, Sergey Lavrov hadir langsung dalam upacara penyerahan di Bangladesh. Sementara Vladimir Putin dan Hasina, saling memberikan sambutan secara virtual.
Lewat proyek Rusia ini, Bangladesh menjadi pengguna bahan bakar nuklir ke-33 di dunia. Bangladesh kini dapat menyediakan energi nuklir untuk PLTN yg sangat dibutuhkan bagi perkembangan kekuatan ekonominya yang sedang berkembang di level regional.
Rusia tidak hanya membangun reaktor nuklir untuk pengembangan PLTN, melainkan juga memberikan bantuan sepanjang siklus proyek nuklir beroperasi di Bangladesh.
Rangkaian bantuan meliputi kewajiban penyediaan bahan bakar reaktor jangka panjang, pemeliharaan pembangkit listrik tenaga nuklir, pengelolaan bahan nuklir bekas, serta melatih personel berkualifikasi tinggi untuk industri nuklir Bangladesh.
Bangladesh yang terletak di antara India dan Myanmar di Teluk Benggala, menjadi sasaran persaingan geopolitik yg ketat. Sebelum diterima, Rusia bersaing ketat dengan Amerika memberi tawaran kerjasama dan inveatasi kepada Sheikh Hasina.
Namun Rusia lewat Rosatom mampu menawarkan pembiayaan hingga 90% untuk proyek nuklir dengan pembayaran yg dicicil selama beberapa dekade dengan suku bunga minimal.
Pembiayaan yg lebih menarik membantu Rosatom Rusia memenangkan kesepakatan tersebut. Sementara Amerika lewat Perusahaan Listrik Westinghouse tidak dapat menandingi persyaratan yg ditawarkan oleh Rosatom Rusia.
Wajar jika Rusia dimenangkan. Bagi Bangladesh, Persyaratan yang menguntungkan dari Rusia “sangat penting bagi negara-negara miskin seperti Bangladesh dengan peringkat kredit rendah. Pembiayaan semacam itu, sulit ditemukan di tempat lain.
Proyek reaktor nuklir PLTN Rooppur Bangladesh telah memberi Moskow pijakan yang tak ternilai untuk mengendalikan Geopolitik di kawasan Asia Selatan.
Amerika dan sekutu Barat cemas serta khawatir, proyek reaktor nulir Rusia di Bangladesh adalah ancaman bagi kelangsungan geopolitik, geokonomi, geostrategis mereka di kawasan.
Mantan sekretaris energi nuklir di Departemen Energi Amerika, Kathryn Huff, mengatakan, proyek Rusia di Bangladesh adalah bentuk awal kesuksesan perluasan wilayahnya ke belahan bumi selatan.
Lewat proyek ini, Rusia sukses mengikat Bangladesh selama beberapa dekade. Memanfaatkan Bangladesh untuk memperluas pengaruh Kremlin di Bumi Selatan seperti yg telah dilakukannya terhadap negara lain yg tidak memiliki kapasitas nuklir sendiri.
Menurutnya, sangat penting bagi Amerika dan sekutunya untuk memutus perluasan tersebut. Amerika harus membangun kembali rantai pasokan nuklir yg stabil untuk menggeser Rusia dari kepemimpinan di sektor nuklir global di wilayah ini.
Namun dirinya pesimis Amerika mampu menggeser pengaruh Rusia secara profesional dalam waktu singkat meskipun Amerika masih menjadi Sumber investasi ekonomi terbesar dan pasar ekspor utama Bangladesh. Kathryn Huff melihat kenyataan industri Nuklir Amerika dan sekutu yang masih perlu waktu satu dekade untuk mewujudkannya.
Memanfaatkan kekuatan intligennya, Amerika menunggangi oposisi dan militer lewat tangan pesaing Hasina, ketua partai oposisi utama Bangladesh National Party, Khaleda Zia untuk mendorong proses kudeta dari atas.
Dadi bawah, Amerika berupaya menghasut masyarakat, kritikus dan Mahasiswa. Selain menggunakan isu Kegagalan demokrasi, otoritarianisme, pengangguran, kemiskinan dll, Amerika juga menebarkan isu bencana masa depan ekonomi, korupsi, jebakan utang menggunung, jebolnya devisa untuk pengembalian pinjaman proyek, kenaikan harga liatrik yang tinggi dan kemiskinanasa depan.
Menurut perhitungan oposisi berbaju akademis, Mahmud Titumir, ekonom Universitas Dhaka, jika dihitung berdasarkan perkiraan biaya konstruksi pembangkit, harga untuk PLTN Rooppur capai 9,36 sen per kilowatt/jam. Kenaikan harga sangat tinggi hampir 100% dibandingkan dengan 5,34 sen untuk jumlah energi yg sama dari proyek tetangga India.
Menurutnya, Bangladesh akan lebih baik jika menghabiskan uang untuk tenaga surya dan angin yang dihasilkan di dalam negeri yang biayanya telah turun tajam dalam beberapa tahun terakhir. Daripada menciptakan ketergantungan pada Rusia untuk energi nuklir yg mahal dan berpotensi berbahaya. Menurutnya ini adalah bencana.
Rencana dan keterlibatan Amerika dalam proses kudeta Hasina, bukanlah hal baru. Ia bahkan sudah 19 kali menjadi target pembunuhan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini diungkapkan sendiri olehnya dalam sesi wawancara bersama Time dengan judul "Hard Power: Prime Minister Sheikh Hasena and the Fate of Democracy in Bangladesh"
"Saya mengatakan kepada parlemen, bahwa Amerika berusaha menghilangkan demokrasi Bangladesh dengan merekayasa penggulingan saya".
Sebagai tanggapannya, selain mendikresitkan proyek Nuklir Rusia, Hasina juga dituding Washington sebagai pemimpin Bangladesh yang mengarah pada despotisme. Itulah kenapa, Hasina tidak diundang ke dua pertemuan KTT Demokrasi berturut yang diselenggarakan Amerika. Kemudian pada Mei 2023 Amerika mengumumkan pembatasan visa bagi warga Bangladesh pendukung Rezim Hasina.
Kini, Hasinah melarikan diri berlindung di India. Karena India adalah sekutu sekaligus mitra yang disertakan Rusia dan Bangladesh ke dalam proyek Reaktor Nuklir Rooppur. India turut menyediakan perusahaan-perusahaannya yang terlibat dalam mengerjakan pembangunan PLTN sebagai kontraktor. Selain itu, spesialis Bangladesh dilatih di Rusia dan India.
Pada akhirnya, Hasil perubahan pemerintahan Bangladesh dengan jatuhnya Hasina tidak akan menghasilkan perubahan berarti untuk kebaikan masyarakat. Perubahan rezim hanyalah upaya pergeseran dominasi dari pencuri yang lama ke perampok yang baru. Dari rezim Tiran Hasina ke calon rezim Jongos besutan Amerika dan sekutu.
Mirisnya, saat ini, Amerika menggeser opini terkait akar konflik ke arah fundamentalisme Islam. Judulnya "Minoritas Hindu Jadi Korban Kerusuhan". Terminologi yang meyeret Islam sebagai agama mayoritas. Islam pelaku kekerasan.
Pergeseran opini dan tindakan mankpulatif tersebit sejalan dengan pernyataan yang dimuat di portal Time pada 2 November 2023. Bahwa Bangladesh adalah tempat yang sulit karena penduduk Muslim yang lebih banyak daripada negara Timur Tengah mana pun.
Muslim yang mayoritas bercampur dengan minoritas yang signifikan sekitar 10% penganut Hindu, Buddha, Kristen, dan lainnya. Meskipun secara konstitusional, Bangladesh sekuler, seorang diktator militer pada tahun 1988 dan kini dilanjutkan Hasinah, menjadikan Islam sebagai agama negara, menciptakan paradoks yang terbukti menjadi lahan subur bagi fundamentalis radikal. (*)