Anak PKI Boleh Masuk TNI, Selamat Ginting: Mungkin Andika Hanya Baca Tekstual Saja
Jakarta, FNN - Rapat panitia penerimaan pusat prajurit TNI tahun anggaran 2022 menghasilkan keputusan mengejutkan. Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Andika Perkasa meminta agar aturan larangan anak cucu Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi prajurit TNI dihapuskan. Rapat yang berlangsung beberapa sesi tersebut membahas tentang mekanisme penerimaan prajurit TNI mulai dari tes mental ideologi, psikologi, akademik, kesamaptaan jasmani, hingga kesehatan.
Keputusan ini menimbulkan kontroversi. Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting menganggap Panglima TNI Andika Perkasa tidak lengkap membaca Tap MPRS No. 25 tahun 1966 tersebut.
“Makanya banyak yang menyayangkan, jangan-jangan Andika hanya tekstual saja, karena di Tap MPRS No. 25 tahun 1966 telah dijelaskan secara detail dalam pasal-pasalnya,” kata Selamat Ginting kepada wartawan FNN Hersubeno Arief dalam kanal Hersubeno Point, Kamis. 31 Maret 2022.
Ginting lantas merinci beberapa pasal yang menyebut bahwa underbow PKI juga menjadi bagian yang dilarang. Dalam Pasal 1 menjelaskan: menerima baik dan menguatkan kebijaksanaan Presiden, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Pemimpin Besar Revolusi mandataris MPRS.
“Sementara Tap MPRS itu berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia termasuk semua bagian organisasinya. Ini kan underbow-nya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia bagi PKI yang dituangkan sebelumnya melalui keputusan tanggal 12 Maret 1966 No. 01/3/1966 dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut di atas menjadi Ketetapan MPRS,” paparnya.
Ginting menduga dalam pandangan Andika barangkali supaya hal ini lebih berkeadilan yang artinya keturunannya boleh tetapi bukan berarti dia otomatis bisa masuk. “Untuk masuk TNI masih ada syarat yang namanya mental ideologi. Kalau mereka masih terpengaruh ideologi komunis, tentu dicoret dan tidak akan pernah masuk. Jadi kalimat Andika harus ditelusuri tahapan selanjutnya seperti apa, isi, temasuk penjelasan dalam Tap MPRS tersebut,” tegasnya.
Sejarah Tap MPRS tersebut kata Ginting adalah berawal dari keputusan oleh Letjen Soeharto yang membubarkan PKI pada 12 Maret 1966 yang kemudian dikukuhkan lewat Tap MPRS ini.
Ginting lalu mengutip Pasal 2 yang berbunyi, “setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme, marxisme, leninisme dan segala bentuk dan manifestasinya serta penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembanhan paham dan ajaran tersebut dilarang. Jadi, di situ jelas ada manifestasinya.
Kemudian Pasal 3 berbunyi, khusus kegiatan memperlajari seara ilmiah seperti pada perguruan tinggi komunisme, marxisme, leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila dapat dilakukan secara terpimpin dengan ketentuan bahwa pemerintah dan DPRGR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanannya. Pasal 4 berbunyi ketentuan di atas tidak mempengaruhi landasan dan sifat bebas aktif politik luar negeri kita.
“Ini kita tidak bisa menerjemahkan letterlux bahwa Tap MPRS itu hanya berbunyi larangan terhadap PKI saja, tetapi di situ jelas ada dasar hukum yang mengatakan tengang underbow-nya. Makanya Golkar membuat Sekber Golkar, seperti SOKSI punya organisasinya yang memang head to head dengan underbow PKI misalnya dengan SOPSI. Golkar juga membuat Gerwasi (Gerakan Wanita Sosialis Indonesia) untuk menghadapi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) milik PKI, ada juga Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) milik PKI yang dihadapkan dengan Lekri (Lembaga Kebudayaan Republik Indonesia), BTI (Barisan Tani Indonesia) PKI dihadapkan dengan RTI (Rukun Tani Indonesia) milik Angkatan Darat. Ini keyakinan TNI Angkatan Darat untuk menentang ideolog lain selain Pancasila termasuk melawan PKI dan organisasi sayap PKI dalam hak ini underbow-nya,” paparnya.
Ginting mengingatkan bahwa Menteri Pertahanan Ryamizad Ryacudu pernah tercengang ketika melihat data sebanyak 3 persen anggota TNI tidak paham Pancasila. “Tiga persen dari sekitar 400 ribu tentara itu kan cukup banyak. Lalu polisi juga sekiatr 4 persen dan ASN mencapai 20 persen,” tegasnya.
Kondisi seperti ini menurut Ginting sangat membahayakan masa depan bangsa, karena semakin menipis generasi yang paham Panasila.
“Sejak era reformasi tidak ada mata pelajaran atau mata kuliah khusus Pancasila, sehingga bisa dibilang tidak ada kader Pancasila lagi. Sementara ideologi-ideologi lain membangun ideologinya melalui media sosial. Ini yang mengkawatirkan,” tegasnya.
Tak hanya itu, sebentar lagi jenderal-jenderal akan dipimpin oleh generasi TNI yang lahir tahun 1970an. “Kalau persyaratan masuk TNI longgar, jangan-jangan panitia seleksi juga tidak paham sejarah PKI dan bahaya laten komunis. Ini yang membuat umat Islam khawatir PKI bangkit kembali dan menjadi lebih khawatir dengan keputusan Panglima TNI Andika Perkasa tersebut,” katanya.
Menurut Ginting, dari sisi keadilan apa yang disampaikan Andika bisa jadi benar. “Akan tetapi kita wajib mengingatkan bahwa TNI tidak boleh menerima paham di luar Pancasila karena Sapta Marga itu janji prajurit TNI terhadap ideologi negara. Ini keprihatinan kita pasca reformasi, karena tidak ada pelajaran khusus Pancasila,” pungkasnya.
Ginting berharap semoga keputusan Andika bukan keputusan blunder yang bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang ingin menghidupkan paham komunisme, marxisme, dan leninisme, sebab Indonesia pernah kecolongan tahun 1965. (ida, sws)