Anies – Cak Imin Deklarasi: Sejarah Penyingkiran AHY Juga Bagian dari Cawe-cawe Jokowi

Deklarasi Capres - Cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar

Jakarta, FNN - Meroketnya Cak Imin sebagai pendamping Anies Baswedan menimbulkan sesak dada banyak pihak. Maklum selama ini Ketua Umum PKB itu seakan menjadi cawapres buangan, setelah Prabowo melepehnya.

Tadi malam, setelah rapat majelis tinggi, Demokrat memutuskan mencabut dukungan pencapresan Anies Baswedan. Saat ini Demokrat untuk sementara menjadi ‘jomblo’. Sementara itu, pukul 14.00 WIB tadi dilakukan deklarasi Capres – Cawapres Anies - Muhaimin di Surabaya.

Menanggapi pencabutan dukungan Demokrat terhadap pencapresan Anies, Rocky Gerung dalam kanal You Tube Rocky Gerung Official edisi Sabtu (2/9/23) mengatakan, “Saya menangkap itu sebagai satu protes oleh SBY. Dan kita tahu itu akan terjadi, karena pertaruhan terakhir yaitu AHY harus ada di dalam komposisi politik, tapi ternyata dia tersingkir. Tetapi, banyak orang yang menganggap bahwa mungkin juga ada kalkulasi yang lebih jauh dari SBY bahwa AHY akan diedarkan lagi mungkin ke PDIP atau bahkan ke  Prabowo.”

Tetapi, lanjut Rocky, poin kita adalah di dalam politik ada yang disebut maksimum minimum, apa yang maksimum bisa dicapai dan apa yang minimum harus dipertahankan. Orang menganggap bahwa SBY mengambil yang maksimum, padahal ada yang minimum, yaitu masuk di dalam koalisi tapi kemudian mengambil inisiatif untuk memimpin. Tetapi, itu kalkulasi yang mungkin bagi Surya Paloh berbahaya, karena sebelum SBY masuk dalam koalisi, SBY punya pengaruh yang kuat.

Jadi, menurut Rocky, SBY mungkin berhitung bahwa kalaupun dia sedikit mau menegosiasi, itu juga tetap tidak ada gunanya karena sudah dipastikan bahwa AHY itu dikeluarkan dari radar Anies Baswedan bukan karena keinginan Anies, tapi karena keinginan Surya Paloh. Keinginan Surya Paloh juga bukan keinginan dia sendiri, walaupun kita tahu Surya Paloh tentu merasa akan tersingkir reputasinya atau profilnya kalau ada SBY.

“Tetapi, yang perlu kita tahu bahwa sejarah penyingkiran AHY itu adalah juga bagian dari cawe-cawe Jokowi. Jadi lengkaplah pengetahuan kita bahwa keadaan politik kita memang dikacaukan oleh kepentingan Jokowi untuk tetap mengendalikan partai-partai,” ujar Rocky.

Menghadapi Pilpres, menurut undang-undang, mau tidak mau Demokrat sebagai partai politik harus mendukung salah satu calon. Tetapi, dengan drama-drama yang terjadi saat ini bagaimana?

“Saya pikir karena sudah diputuskan keluar maka tentu di dalam pikiran saya, dalam analisis saya, SBY akan fokus pada legislatif. Jadi, ya sudah, perkuat saja legislatif dengan mengedarkan semacam moral baru bahwa Demokrat memang tidak menginginkan ada tukar tambah yang masih berbau kepentingan Jokowi,” saran Rocky.

Menurut Rocky, SBY bisa ucapkan lebih keras bahwa sebetulnya ini bukan sekadar soal Surya Paloh atau Anies yang berkhianat, tapi memang ini keinginan dari Presiden Jokowi. Lalu publik melihat kalau begitu memang ada frontalisasi secara etis antara Demokrat dengan Jokowi.

“Itu lebih tegas sebetulnya sehingga publik bisa memilih SBY yang betul-betul ingin tegak lurus dengan nilai di dalam demokrasi atau menganggap SBY baperan. Itu yang harus dihindari. Jangan sampai terus-menerus orang anggap bahwa SBY ngambek,” ujar Rocky.

Dalam diskusi yang dipandu oleh Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, itu Rocky juga menyarankan  agar SBY datang dengan pidato yang baru bahwa dia memilih untuk berseberangan dengan Jokowi, karena dengan cara itu dia bisa memperkuat pondasi dari Partai Demokrat sebagai kekuatan oposisi satu-satunya bahkan. Kalau itu diucapkan, pasti publik akan menganggap memang SBY tegak lurus dengan prinsipnya. Tetapi, kalau kemudian misalnya AHY dipasangkan lagi dengan Mega maka berkurang sifat otentik dari pidato SBY.

Kalau pilihan SBY akan mengambil alih semua narasi perubahan dengan siapa Demokrat akan berkoalisi. Ini tentu sesuatu yang dilematis buat SBY.

“Itu dilemanya. Tapi saya menghitung itu akan diselesaikan dengan satu kepastian bahwa Demokrat memang membatalkan seluruh agenda politik eksekutifnya dan memastikan bahwa dia akan bekerja untuk memperkuat partainya. Kalau pergi pada Prabowo, jelas bukan perubahan, kalau pergi pada PDIP juga bukan perubahan, karena Ganjar itu ada bagian dari kepentingan Jokowi,” ujar Rocky.

Jadi, menurut Rocky, sebetulnya SBY masih ada semacam peluang untuk menegur secara etis bahwa politik kita buruk, tapi teguran itu mesti terhadap Jokowi, supaya lebih radikal.

“Nah, kalau teguran itu pada  Jokowi, mungkin publik akan memberi semacam dukungan atau aplus bahwa SBY memang harus memimpin perubahan dan Pak Jokowi mungkin juga akan terganggu kalau SBY menunjukkan langkah-langkah konkrit untuk menentang kebijakan penempatan Cak Imin di PKB,” ujar Rocky.

“Jadi, SBY justru mesti terang-terangan mengatakan bahwa hanya karena kepentingan Jokowi untuk membatalkan Anies maka dipasanglah Cak Imin yang memang potensial untuk dinyatakan kriminal nanti. Jadi SBY mesti mengatakan bahwa Jokowi memasang Cak Imin sebagai kendali terhadap Anies dan kalau Anies makin tinggi itu artinya Cak Imin akan disprindikkan. Jadi, jangan ragu SBY mengatakan bahwa Cak Imin itu adalah faktor liability di dalam ide perubahan dan itu bisa memberatkan Anies dan sangat mungkin juga Anies batal capres kalau sehari sebelum mendaftar Cak Imin dipanggil KPK,” ungkap Rocky.

Tidak ada yang final dalam politik, kata Rocky. Rocky menganggap Demokrat mungkin sedang menunggu waktu sehingga ada realignment lagi. Bisa saja Anies balik lagi pada AHY, misalnya. Deklarasi bukan satu hal yang sudah pasti. Bisa saja seminggu sebelumnya ada perubahan politik.(sof)

446

Related Post