Arsitektural Pembangunan Indonesia : Menata Ulang Indonesia
Jakarta, FNN – Sekolah Legislatif Tamsil Linrung mengadakan edisi Dialog Pakar dengan tema “Arsitektural Pembangunan Indonesia : Menata Ulang Indonesia” oleh Prof. Dr. Eko. Prasojo, Mag. rer. publ (Akademisi Universitas Indonesia / Wakil Menteri PANRB 2011-2014), Ahad (26/6/2022) di Sekolah Insan Cendekia Madani, Serpong.
Prof. Eko menyambut dengan baik dan gembira bahwa sekolah legislatif melakukan pendidikan politik kepada kader anak bangsa sebagai calon anggota legislatif dan calon pimpinan eksekutif dalam tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota. Pendidikan politik yang dilaksanakan sekolah legislatif ini sangat diperlukan dalam konteks pengembangan demokrasi dan birokrasi Indonesia.
Ada tiga hal yang dibahas untuk menata ulang arsitektur Indonesia, pertama demokrasi itu sendiri, kedua ketatanegaraannya, ketiga birokrasinya. Sebab ada ketimpangan antara percepatan kita di dalam kehidupan demokrasi dengan kemampuan kita untuk melembagakan demokrasi di dalam layanan publik di masyarakat.
Dalam hal ini, Prof. Eko menekankan ada dua ilmu yang paling penting untuk dipelajari yakni ilmu kebijakan publik dan ilmu manajemen publik. Kedua ilmu ini sangat penting untuk para anggota dewan, kalau ilmu politik tentu sudah banyak dipelajari.
Indeks Demokrasi Indonesia menurut indikator 2020-2021 menurun di bawah enam puluh. Global Governance Index meliputi aktivitas pemerintahan dan bagaimana pemerintahan itu bisa memberi pelayanan kepada masyarakat.
Dalam proses demokrasi Indonesia memiliki tiga problem, pertama penggunaan kekuasaan, kedua lemahnya kelembagaan pemerintahan, ketiga lemahnya persoalan kapabilitas kepemimpinan. Sebagai contoh, di Indonesia ini tidak ada lembaga yang betul-betul mengawasi uang dan kinerja, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu lebih ke financial audit bukan performance audit.
Prof. Eko juga menyampaikan bahwa penyakit negara kita yang paling besar adalah korupsi. Penyakit sentralnya korupsi dan turun dengan berbagai macam penyakit turunan, seperti penyakit di ranah hukum dan di birokrasi. Biasanya korupsi itu melibatkan politik, birokrasi, dan penegak hukum, di belakangnya ada pengusaha yang tidak kelihatan (shadow government) yang biasa kita sebut oligarki.
Kalau persoalan mengenai Pilpres, saat ini orang-orang hanya fokus pada popularitas, padahal seharusnya bukan hanya soal popularitas saja namun dengan capability untuk memimpin Indonesia seperti apa. Syarat menjadi presiden itu ada tiga, pertama memiliki popularitas yang tinggi, kedua memiliki partai politik yang mendukung, ketiga memiliki modal. Lebih lanjut, Prof. Eko mengusulkan untuk pilpres itu harus seimbang antara popularitas dan kapasitas, memang problem pilpres itu lebih ke modal.
“Karateristik birokrasi kita itu patronis atau patronase atasan dan bawahan, kalau atasan bagus, cepat sekali bawahan mengikuti,” tegas Prof. Eko yang merupakan profesor termuda di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) ketika masih berumur 33 tahun. Ia juga ahli di bidang Kebijakan Publik dan merupakan guru besar Fakultas Ilmu Administrasi UI. (Lia)