Pengganti PPn 12%, Bagian Negara dari Bagi Hasil Batubara dan Nikel Harusnya 60%
Oleh Joharuddin Firdaus | Pemerhati Politik Sosial dan Budaya
Menaikkan pajak itu merupakan pekerjaan paling biadab dalam sebuah peradaban. Banyak kekuasan yang jatuh kerena menaikkan pajak. Revolusi Prancis yang berakibat 30.000 orang lebih mati, dan Raja Louis 16 dipenggal kepalanya karena pajak. Amerika juga melepaskan diri merdeka dari Inggris karena skandal pajak kebun teh Boston tahun 1767 yang dikenal dengan Undang-Undang Townshend.
Kebijakan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 1% dari sebelumnya 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 nanti, hanya menghasilkan tambahan penerimaan negara Rp 80 triliun. Namun dampaknya mungkin bisa bikin resah dan gaduh di mana-mana. Protes dari masyarakat sipil (civil society) diperkirakan bakal merata di seluruh Indonesia. Semoga saja tidak terjadi, amin amin amin.
Kasihan juga Presiden Prabowo. Baru dua bulan lebih menjabat sebagai Presiden, namun terpaksa harus melanggar sendiri janji yang pernah disampaikan ketika kampanye sebagai Calon Presiden dulu. Dulu Prabowo berjanji untuk tidak menaikkan pajak kalau nantinya terpilih sebagai Presiden.
Sangat berat beban perasaan yang dipikul oleh Presiden Prabowo dalam beberapa hari belakangan ini. Apalagi kalau sampai tanggal 1 Januari 2025 besok itu PPn jadi diberlakukan 12%. Situasi ini sangat berat, sulit, ribet dan njelimet. Apalagi ini bukan kebiasaan dan karakter Prabowo kalau antara omongan dengan perbuatan tidak bersamaan. Biasanya Prabowo itu selalu bersamaan antara omongan dengan perbautan, apapun resikonya.
Saat berbicara dalam diskusi Industri Keuangan dan Pasar Modal serta Roadmap Menuju Indonesia Emas di Grand Ballroom Ritz Carlton Pacific Place Senin (29/01/2024), Prabowo berjanji tidak akan menaikkan pajak jika terpilih sebagai Presiden. Pak Prabowo justru ingin penerimaan pajak lebih baik dan efisien.
“Pajak masalahnya adalah bagaimana kita efisien dalam mengumpulkan pajak itu. Bukan naikkan pajak. Jadi, yang ingin kita bicarakan adalah bagaimana penerimaan pajak lebih baik dan efisien. Apalagi tax rasio Indonesia masih jauh di bawah negara-negara tetangga. Pada tahun 2023 tax rasio Indonesia berada di level 10,21%,“ ujar Prabowo Subianto (Kumparan.com selasa 30 Januari 2023).
Negara tentangg seperti Kamboja saja tax rasio 18%. Sedangkan Thailand itu tax rasio sudah mencapai 18%. Begitu juga dengan Vietnam yang tax rasio sudah 18%. Padahal kekayaan alam negara-negara tetengga tersebut tidak sebanyak Indonesia. Namun belum dipungut pajaknya secara maksimal.
Untuk itu, butuh langkah kecil dan mudah yang mungkin bisa dilakukan Pak Prabowo. Tanpa harus gaduh karena bakal diprotes sana-sini. Cukup hanya dengan manaikan jatah bagi hasil untuk pemerintah di bidang pertambangan umum, seperti nikel dan batubara. Sekarang di tambang nikel dan batubara, pemerintah hanya dapat bahagian 25% sampai 30% sebelum cost recovery. Bagian pemerintah tersebut, tentu saja sangat kecil dibandingkan investasi di bidang minyak dan gas bumi (migas).
Menanamkan modal di migas itu pastinya sangat mahal. Investasi yang butuh modal besar. Apalagi eksplorasi dan eksploitasi migas sebagian besar dilakukan di wilayah-wilayah lepas pantai atau jauh dari daratan (offshore). Sementara bagi hasil di migas sebelum cost recovery, pemerintah mendapat bagian 85%. Sisanya 15% untuk investor. Kalau setelah cost recovery, bagian pemerintah hanya 55%. Sisanya 45% bagian investor. Walaupun demikian, bagian pemmerintah tetap saja lebih besar.
Investasi migas yang biayanya besar saja, pemerintah mendapat bagian yang lebih besar. Baik itu sebelum atau sesudah cost recovery. Masa untuk tambang batubara dan nikel, pemerintah hanya dapat bagian 25% sampai 30%? Padahal investasi di nikel dan batubara biayanya tidak sebesar migas. Tidak ada lahan batubara dan nikal yang di wilayah offshore. Semua lahan batubara dan nikel itu di daratan.
Sebagai perbandingan, penerimaan negara dari bagi hasil mineral dan batubara pada tahun 2023 lalu sebesar Rp 129,1 triliun. Sedangkan tahun 2024 turun menjadi Rp 110,7 triliun. Jumlah itu masih bisa bertambah 100% menjadi Rp 200 triliun lebih kalau bagian pemerintah di tambang nikel dan batubara dinaikkan menjadi 60%. Kalau dari menaikkan PPn hanya dapat Rp 80 triliun lebih.
Toh, mereka para pengusaha tambang batubara dan nikel itu sudah kaya raya. Tiga sampai lima turunan sekalipun, kekayaan mereka tidak bakal habis. Padahal investasi yang mereka keluarkan tidak sebesar di migas. Jika dibuat kebijakan bagi hasil 60% untuk negara sekalipun, para pengusaha batubara dan nikel itu masih tetap untung dan kaya raya. Tidak akan berkurang kekayaan mereka.
Konsesi yang diperoleh pengusaha batubara dan nikel, sebagian besar tidak dikelola mereka sendiri. Untuk menggali tambang batubara dan nikel dari perut bumi, mereka kontrakan lagi kepada pihak ketiga. Artinya pemilik konsesi tidak mengeluarkan modal besar untuk memproduksi batubara dan nikel. Sangat wajar kalau porsi bagi hasil itu, bagian negara menjadi 60% atau lebih.
Lebih ringan dan mudah pemerintah dapat tambahan dana Rp 100 triliun lebih untuk kas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, jika naikan jatah bagi hasil bagian pemerintah dari tambang batubara dan nikel 60%. Dampaknya, pemerintah tidak lagi bakal diprotes dari kiri-kanan, atas-bawah dan depan-belakang. Sebaliknya, pemeirintah malah mendapat dukungan dan pujian dari masyarakat banyak. Daripada harus ribut-ribut dengan civil society karena menaikkan PPn dari 11% menjadi 12%.
Ayo Presiden Prabowo yang hebat, yang luar biasa, yang patriot dan yang sangat mencintai rakyatnya. Hanya perlu langkah dan kebijakan kecil dan mudah untuk mengerem kemarahan rakyat. Apapun alassannya, kurang baik dan kurang bijak kalau baru dua lebih menjabat Presiden, namun sudah diprotes rakyat yang terlanjur mempercapai dan memberikan mandat kepada Prabowo. Semoga bermanfaat. Wallaahu alam bishawab. (*)