Bahaya Tionghoa (China) Era Jokowi

Anggota Po An Tui ketika berlatih bersama tentara KNIL Belanda di Cimahi, Oktober 1947.

Apalagi negara terperangkap hutang yang sangat besar dengan RRC dan warga China yang sering disebut Oligarki itu sudah menguasai semua lembaga negara.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

PADA pertengahan abad ke-19, jumlah imigran Tionghoa yang masuk sudah mencapai seperempat juta orang.

Jumlah itu terus meningkat hingga pada 1930. Orang-orang Tionghoa yang jumlahnya makin banyak itu kemudian tinggal berkelompok di satu wilayah yang berada di bawah kontrol pemerintah Hindia-Belanda. Biasa disebut Pecinan.

Dalam bidang sosial-budaya, mereka digabung dalam organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Sementara, di bidang ekonomi, organisasi Siang Hwee, sebuah kamar dagang Tionghoa (Chineze kamer van koophandel) didirikan. Mereka selanjutnya tinggal untuk selamanya di Nusantara.

Hasrat dan keinginan untuk menguasai Jawa seperti apa yang pernah dilakukan oleh Khubilai Khan tidak pernah surut dan padam. Orang orang China sepanjang sejarah terus berbondong-bondong masuk ke Nusantara.

Pada 1619 Belanda menunjuk Souw Beng Kong menjadi Kepitein der Chinezen di Batavia. Dan, pada 1837 ditunjuk Tan Eng Goan sebagai Mayoor der Chinezen di Batavia.

Ketika itu warga China yang melakukan penyuapan kepada pegawai kompeni sudah dipraktekkan. Dengan minum minuman keras hingga memberikan regognitiegeld (uang dibayar setiap tahun yang dibayarkan sebagai pengakuan atas hak).

Belanda tidak akan mampu menguasai Nusantara selama 350 tahun tanpa bantuan opsir China. Itulah sebenarnya yang melakukan dan melaksanakan order penindasan. Berabad-abad Belanda mewariskan struktur ekonomi didominasi ke pedagang China.

Penghianatan China di Nusantara antara lain:

- Menjadi kaki tangan Belanda dalam menjajah Nusantara.

- Mendzalimi warga pribumi dengan sebutan Inlander dan digolongkan dalam kelas terbawah.

- Dalam pertempuran 10 November 1945 memberi ruang gerak sekutu. Wajar jika tidak peduli dengan warga pribumi yang berlumuran darah. Bahkan mengaktifkan prajurit kuncir yang kejam, dikenal dengan Poh An Tui.

- Sebagai kaki tangan Belanda dalam pertempuran agresi pertama 21 Juli 1947.

- Mendirikan dan mendanai PKI Muso termasuk mensuplai senjata.

- Mendanai dan mendukung PKI DN Audit kemudian meletus G 30 S PKI.

Paska tragedi G-30-S/PKI tersebut munculah Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 berisi antara lain pembatasan dan perayaan China. Disusul Surat Edaran No. 06/Preskab/6/67 tentang penggunaan nama China dan istilah Tionghoa/Tiongkok ditinggalkan.

Gerak-gerik masyarakat China mendapatkan pengawasan ketat dari Badan Koordinasi Masalah China (BKMP) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).

Muncullah Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1966 tentang nama bagi masyarakat China. Beruntun keputusan Presiden Kabinet No. 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian masalah China.

Pada tahun yang sama muncul Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE.06/PresKab/6/1967 tentang kebijakan pokok WNI asing dapam proses asimilasi terutama mencegah kemungkinan terjadinya kehidupan ekslusif rasial. WNI yang masih menggunakan nama China diganti dengan nama Indonesia.

Mereka memegang teguh ajaran dan filsafat Sun Tsu, Seni Perang, dipelajari dengan tekun dan sungguh-sungguh. Politik bisnis, bisnis itu perang. Kalau pasar adalah medan perang maka diperlukan strategi dan taktik. Sun Tsu menulis:

Serang mereka di saat mereka tak menduganya, di saat mereka lengah. Haruslah agar kau tak terlihat. Misteriuslah Agar kau tak teraba. Maka kau akan kuasai nasib lawanmu. Gunakan mata-mata dan pengelabuhan dalam setiap usaha. Segenap hidup ini dilandaskan pada tipuan”.

Ketika Pribumi sedang terus terkena gempuran, keluarlah Instruksi Presiden No. 27 tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi. Sebuah Keputusan yang menghilangkan akar sejarah terbentuknya NKRI.

Sementara, PBB justru melindungi eksistensi warga Pribumi. Melalui Sidang Umum PBB 13 September 2007, mengakui bahwa setiap belahan bumi itu ada penduduk asli (Indigenous People = Pribumi) yang harus dijaga.

Pada pendiri bangsa ini sudah berfikir untuk melindungi anak cucu dari kejahatan yang akan memusnahkannya. Di situlah lahir Pancasila dan UUD 1945.

Sebagai penghormatan pada kaum pribumi, maka lahirlah Asuransi Bumiputera.

Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, Instruksi Presiden No 14/1967 yang melarang etnis China merayakan pesta agama dan penggunaan huruf huruf China dicabut, sehingga lahirlah Keputusan Presiden No. 6/2000, yang memberikan warga China kebebasan melaksanakan ritual keagamaan, tradisi, dan budaya kepadanya.

Era Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden No. 19 tahun 2002, hari Imlek menjadi hari libur Nasional.

Sejarah terus berlanjut yang tidak pernah dipikirkan oleh para pendiri negeri tercinta ini. Pada Rapat Paripurna MPR RI pada 9 Desember 2001, amandemen ketiga UUD 45.

Perjuangan bangsa dengan susah payah dijalani dan diperjuangkan tiba- tiba berahir. Hak Indigenous People terkenal dengan Trilogi Pribumisme dianggap tidak ada. Tidak lagi diakui Pribumi sebagai pendiri negara, penguasa dan pemilik negara.

Pasal 6 ( 1 ) UUD 45 yang semula berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia Asli”, diganti menjadi:

“Presiden dan Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden”.

Sampai di sini mimpi Khubilai Khan sejak abad 13 terwujud dan berhasil menembus pusat kendali politik. Dipertontonkan kepada dunia warisan perjuangan bangsa dibelokkan, pagar negara dirobohkan.

Peluang emas bagi warga khususnya keturunan China berlompatan, lalu mendirikan Partai Politik yang sudah diduga arahnya akan menguasai Nusantara.

Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lahir Keputusan Presiden No. 12 tahun 2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE - 06/Pred.Kab/6/1967, isinya “kita tidak boleh menyebut China diganti Tionghoa atau komunitas Tionghoa.

Sekilas sejarah ini luar biasa, Indonesia tidak pernah mempermasalahkan negeri leluhurnya disebut sebagai identitas aslinya (India, Arab, dll). Kita mengada-ada yang sebenarnya tidak ada yaitu: RRT (Republik Rakyat Tiongkok).

Dalam sejarah di Nusantara terus sebagai penghianat bangsa dan negara. Tentu tidak menafikan ada beberapa warga keturunan China yang tampil patriotik membela negara bahkan sebagai menteri.

Tibalah sejarah sedang mencatat di era Presiden Joko Widodo, negara sudah terbuka tanpa hambatan dengan dalih investasi masuklah TKA China tidak diwaspadai, bahkan dilindungi dengan berbagai macam dalih sebagai tenaga kerja ahli dan macam dalih lainnya.

Ada keresahan masyarakat bahwa Indonesia sudah dekat, bahkan sudah dikuasi RRC, tidak bisa disalahkan dan tidak bisa diremehkan.

Apalagi negara terperangkap hutang yang sangat besar dengan RRC dan warga China yang sering disebut Oligarki itu sudah menguasai semua lembaga negara.

Mereka sudah menguasai semua sektor ekonomi dan arah politik negara Indonesia. Negara dalam bahaya – bahaya dan bahaya! (*)

400

Related Post