Bedah Politik di Solo
Dari dialog tokoh Nasional ini akan dibedah politik kebangsaan dan lahirnya semangat untuk menyelamatkan Indonesia dari gangguan para begundal dan penghianat negara.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
HAMBATAN menjelang Pilpres 2024. Presidential Threshold 20 % itu kelokan dan lorong demokrasi yang semakin sempit, bahkan tersumbat.
Pertarungan strategi oleh para politisi partai dan mantan politisi yang pejabat negara (Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo) semua sedang bermain di lorong yang sempit.
Akademisi Rocky Gerung (dalam dialog santai dengan Hersubeno Arief dari FNN) tanpa beban mengurai analisa dengan tajam, cerdik dan lincah. Konon JK sudah beberapa kali bertemu Puan, terendus dugaan JK sedang “turun tangan” mencoba menyatukan Anies Baswedan dengan Puan Maharani.
Para politisi yang juga Ketum Partai sontak terbelalak, berspekulasi ini bisa menenggelamkan kasak kusuk mereka, memporak-porandakan bargaining mereka dan bisa menurunkan posisi tawarnya untuk bermain kocok sana sini. Mereka sadar JK bukan politisi kaleng kaleng. Apalagi kalau arusnya menyentuh SBY, Megawati, dan Jokowi.
Kerja politik JK hanya sebagai gambaran bahwa JK sangat paham apa yang diinginkan Megawati. Sebagai sahabat Megawati, JK harus menolong karibnya bahwa Puan untuk RI satu masih perlu pematangan, disamping ada gangguan dari kadernya sendiri yang nyeruduk tanpa ijin pawangnya.
JK sangat paham politik identitas yang tidak bisa diremehkan menyatunya kelompok Islam dan Nasionalis. Gambaran itu terbaca oleh JK maka wajar mencoba menyatukan Puan (Nasionalis ) dan Anies (Islam).
Formasi pasangan Capres ini masih sangat cair tetapi formasi kekuatan Islam dan Nasionalis akan menjadi penentu kemenangan Capres pada Pilpres 2024.
Mereka semua sedang berjibaku di lorong dan tikungan sempit, apa yang akan terjadi menjadi milik politisi yang sudah kenyang makan garam. Lorong sempit dimaksudkan bagaimana bisa melahirkan Capres yang benar-benar untuk Indonesia, bukan Capres boneka atas remote bandar Oligarki.
Kalkulasi politik tetap akan berjalan dinamis dengan munculnya suatu koalisi Indonesia atau koalisi Nusantara, bebas dengan label yang serem-serem walau itu hanya glamor saja.
Kabut Pilpres 2024 tetap bakal menghadapi ancaman yang sangat berat ketika transaksi politik telah menjadi budaya pemilu/Pilpres, semua bisa tenggelam dalam alam pola pragmatis. Jalan pendek atau by pass bisa saja ditempuh, dugaan kuat seperti yang dialami Jokowi asal jadi Presiden, persoalan beban politik balas jasa dengan Bandar politik dipikir kemudian.
Semua lihat peluang karena dari sisi anggaran hampir tidak akan ada Capres yang kuat secara mandiri secara finansial. Sedang bandar politik jelas tidak akan berspekulasi selingkuh dengan Capres yang menolak jadi bonekanya.
Gambaran selanjutnya, kata Rocky Gerung, akan dibahas di Solo bersama para tokoh Nasional lainnya bertepatan dengan HUT Mega Bintang.
Ormas yang berpusat di Solo ini sudah malang-melintang dalam belantara politik yang bergerak pada tataran politik identitas Nasionalis - Islam dan muatan identitas lainnya. Bukan kekuatan politik tertentu tetapi lurus bela keadilan untuk wong cilik.
Dari dialog tokoh Nasional ini akan dibedah politik kebangsaan dan lahirnya semangat untuk menyelamatkan Indonesia dari gangguan para begundal dan penghianat negara.
Lahirnya pemimpin Capres yang memiliki wawasan negarawan setia kepada tujuan negara sesuai dengan UUD 45 dan utuh dengan jiwa Pancasila yang sebenarnya. Negara terhindar mengulangi kesalahan lahirnya Presiden hanya sebagai boneka Oligarki dari negara asing.
Semoga lewat dialog tokoh Nasional di Solo, bersamaan Presiden juga sedang berada/pulang ke Solo. Arah politik yang sedang dimainkan oleh para politisi busuk dan politisi negarawan dibedah dan bisa terbaca dengan jelas. (*)