Belum Kantongi Sertifikat HPL dan Belum Ada Amdal, Rempang Eco City Melanggar Prinsip Pertama Hukum Lingkungan
Jakarta, FNN – Ada hal menarik dari perkembangan terbaru mengenai Rempang. Setidaknya ada dua informasi terbaru yang mengejutkan. Yang pertama adalah informasi dari Parid Ridwanuddin, Manager Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, yang mengungkapkan bahwa proyek Rempang Eco City belum melakukan analisis dampak lingkungan atau Amdal. Oleh karena itu, dia menyebut proyek ini seperti mie instan. "Dari proses ini, mengapa kami sebut mie instan, ya karena analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) nggak ada. Kajian lingkungan strategis nggak ada," ujar Parid.
Yang kedua adalah informasi dari Ombudsman yang menyatakan bahwa sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pulau Rempang atas nama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) belum diterbitkan.
Meski Bahlil, Menteri Investasi, menyatakan bahwa mereka lebih tahu tentang apa yang terjadi di pemerintahan, tetapi Luhut Binsar Panjaitan menyatakan bahwa Amdal sedang dalam proses penyusunan. Pernyataan Luhut mengonfirmasi bahwa Amdalnya memang belum ada. Kedua hal tersebut menunjukkan fakta-fakta yang akhirnya terungkap, sekaligus menunjukkan betapa serampangannya pengelolaan negara ini.
“Ya, memang dari awal kan kita curigai kenapa ada semacam deadline. Kalau isunya adalah hak asasi manusia, isunya adalah penghormatan terhadap hak-hak warga kenapa mesti ada deadline. Kan dia bisa memulai percakapan. Jadi, makin lama makin terbuka bahwa ini proyek yang didesain untuk dihasilkan secepat-cepatnya dalam rangka menutupi bolong-bolong hukumnya,” ujar Rocky Gerung menanggapi dua informasi mengejutkan tersebut.
“Yang paling fatal sebetulnya adalah prinsip Amdal itu. Sama seperti IKN, Amdal dibuat setelah Jokowi membuat keputusan politik. Jadi, buat apa lagi ada Amdal. Amdal menjadi pembenaran terhadap keputusan itu. Jadi, nanti pasti akan ada Amdal, tetapi itu isunya adalah pembenaran terhadap keputusan untuk penggusuran walaupun dipakai kata penggeseran,” lanjut Rocky.
Rocky juga mengatakan bahwa pasti para akademisi, kalangan researcher universitas atau lembaga riset akan dikumpulkan untuk menyusun Amdal yang sebetulnya tidak diperlukan lagi karena sudah diputuskan mau digusur. Apa gunanya? Tetapi, untuk melayani kepentingan publik, apalagi publik internasional, seolah-olah Amdal itu kerangkanya sudah ada, tinggal diisi materinya. Padahal, dari awal Amdalnya nggak ada, omong kosong. IKN juga prinsipnya sama.
Tetapi, lanjut Rocky, kalau kita baca omnibuslaw, sebetulnya Amdal sudah dibatalkan di dalam filosofinya. Amdal artinya tanya pada masyarakat adat, tanya pada pohon, tanya pada semut, tanya pada burung yang bertengger di Rempang. Itu pengertian filosofinya. Artinya, tanya pada ekologi, bukan tanya pada ekonom. Kita lihat bahwa hak-hak itulah yang seharusnya menjadi semacam hak dari para pengampu di situ, yaitu masyarakat adat terutama, atau LSM lingkungan. Itu tidak dilakukan atau dihilangkan sehingga Amdal sekadar menjadi hak dari birokrasi.
Dalam diskusi bersama Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, itu Rocky juga mengatakann bahwa Amdal dasarnya adalah minta izin pada pemilik ekologi, pada pemilik habitat, bukan sekadar soal teknis untuk mengukur efisiensi dan kimia-kimia yang masih bisa dianalisis dalam laboratorium. Amdal adalah pengertian dasar dalam hukum lingkungan bahwa hak primer dari pemilik ekologi, itu yang mesti dimintakan izin, bukan pemerintah yang menentukan izinnya dari mana. Itu dari awal omnibuslaw memang membatalkan filosofi dari Amdal.
Tampaknya sekarang proyek-proyek ‘dihajar” saja, soal Amdal menyusul. Itu artinya, Amdal sekadar syarat administrasi. Soal filosofi Amdal tidak masuk dalam kalkulasi pemerintah saat ini.
“Itu yang disebut pokoknya summary execution, pokoknya eksusi saja dulu, soal-soal yang lain nanti disusulkan. Jadi, ini suatu pelanggaran prinsip pertama dalam hukum lingkungan. Yang kedua, kalau kita lihat sebetulnya makin lama makin terbuka bahwa yang ada di belakang pabrik-pabrik ini juga adalah kepentingan modal oligarki dalam negeri. Paling 4 sampai 5 orang saja. Jadi, kalau ditanya apa yang disebut sebagai proyek strategis nasional, yaitu proyek dari 4 orang,” ungkap Rocky.
Mau diputar bagaimanapun, kata Rocky, kita tahu bahwa yang disebut proyek nasional, apalagi disebut proyek strategis Presiden, itu adalah kong kalikong antara DPR, kabinet, dan pemodal. Yang dari luar negeri pasti pakai tameng dalam negeri. Yang dalam negeri mengincar keuntungan di Rempang dengan memberi beberapa saham yang tersembunyi dari investor asing.
“Jadi, ini pola yang sudah kita kenal dari awal bahwa kapital itu tidak mempedulikan soal habitat dan kapital itu pasti menerobos sampai ke ruang rapat partai,” tegas Rocky.(sof)