Bola, Politik, dan Agama

Oleh Muhammad Chirzin - Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 

BOLA, agama, dan politik adalah fenomena universal. Di belahan dunia mana pun orang bermain bola, berpolitik, dan beragama. Masing-masing memiliki ceritanya sendiri-sendiri dari masa ke masa.

Anak-anak suka bermain sepak bola. Ketika bola plastik masih langka, demikian pula bola karet, apalagi bola kulit, anak-anak kampung merangkai pelepah pisang kering untuk dijadikan bola. Bola demikian sudah cukup membuat mereka berpeluh campur debu dan bergembira ria. 

Permainan sepak bola makin seru dan lucu bila dilakukan dengan mengenakan kain sarung, atau bermain dengan bola berapi yang siap ditendang ke sana dan ke mari. Pertandingan sepak bola anak-anak antar kampung maupun sekolah terkadang diwarnai ketegangan, karena ada pihak yang dituduh berlaku curang. Maklum, semua pemain merangkap sebagai wasit.

Dari antara anak-anak yang bermain bola demikian muncul bintang sepak bola, baik tingkat kampung, desa, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi maupun nasional. Pada era tahun 1970-an maupun sesudahnya orang mengenal bintang sepak bola Abdul Kadir dan kawan-kawan. Begitu pula bintang-bintang sepak bola terdahulu, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka.  

Di pentas dunia siapa yang tidak mengenal seniman dan mega bintang sepak bola Pele, Michael Platini, Diego Maradona, Rood Gullit, Zinedine Zidane, David Beckham, Cristiano Ronaldo, Luis Figo, dan Lionel Messi. Tidak terkecuali pemain tim nasional era tahun 1980-an Rully Nere, Joko Malis, Robby Darwis, dan Bambang Nordiansyah, serta bintang-bintang timnas U-22 SeaGames 2023 yang baru saja berhasil memboyong piala ke Indonesia setelah penantian 32 tahun lamanya.

Di balik gegap-gempita selebrasi kemenangan sebuah tim dalam sebuah laga, terdapat tragedi sepak bola yang amat sangat memilukan. Tragedi Estadio Nacional adalah paling kelam dalam sejarah sepak bola dunia. Terjadi pada 24 Mei 1964, dalam pertandingan Peru versus Argentina, memakan korban 328 jiwa dan 500 lainnya luka-luka.

Di Indonesia terjadi tragedi usai pertandingan Arema FC vs Persebaya, Sabtu (1/10/2022). Jumlah korban Tragedi Kanjuruhan menjadi yang terbesar kedua dalam sejarah sepakbola dunia, yakni 131 jiwa. Sebelumnya, tragedi terbesar kedua dalam sepakbola dilaporkan terjadi pada 9 Mei 2001 di Stadion Accra Sports, Kinbu Road, Accra, Ghana, sebanyak 126 orang meninggal dunia. Sekian banyak nyawa manusia melayang karena bola. Seharusnya ada pihak yang mengaku paling bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.  

Seperti halnya di panggung politik, di pentas sepak bola pun ada pihak-pihak yang mencari keuntungan bukan pada tempatnya. Menggunakan kesempatan dalam kesempitan, mengail di air keruh, dan menyalip di tikungan. Menyuap pemain, pelatih, ataupun wasit yang memimpin pertandingan untuk memenangkan dan/atau mengalahkan pihak lawan.   

Politik adalah usaha untuk mencapai masyarakat yang terbaik yang akan hidup bahagia, karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi. 

Kegiatan politik menyangkut cara bagaimana kelompok mencapai keputusan kolektif dan mengikat melalui pendamaian perbedaan-perbedaan di antara anggotanya. Kegiatan politik suatu bangsa bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya yang tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama. 

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pertama, Jimly Asshiddiqie, tak lelah menyuarakan perlunya penataan etika bernegara dan berpolitik. Absennya etika dalam bernegara menimbulkan konflik kepentingan dengan campur aduknya antara kewenangan di jabatan publik dan bisnis, antara jabatan institusional dan urusan pribadi. 

Meminjam teori Dr. Mulyadi, Dosen ilmu politik UI, terdapat oligarki kembar tiga, yakni oligarki politik (badut politik), oligarki ekonomi (bandar politik) dan oligarki sosial (bandit politik).  

Politik dalam bentuk paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang berkeadilan. Persepsi adil dipengaruhi oleh nilai-nilai serta ideologi dan zaman yang bersangkutan. Politik dalam bentuk paling buruk adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan sendiri. 

Menurut Prof. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, urusan radikalisme, terorisme, intoleransi, dan kekerasan banyak dikaitkan dengan agama dan umat beragama. Agama malah disebut produk impor layaknya barang dagangan. Ironisnya, ada sebagian golongan agama membeli isu radikalisme itu tanpa sikap kritis. Dalil dan fatwa keagamaan tentang radikalisme pun serta-merta dikeluarkan. Padahal, ranah lain tak kurang bermasalah dan menjadi sumber masalah kalau kita angkat secara objektif ke ruang publik. 

Agama dan umat beragama seolah jadi terdakwa. Agama dianggap sumber radikalisme dan benih konflik yang membelah warga bangsa. Hingga tumbuh pandangan kuat, janganlah membawa-bawa agama di ruang publik. Sementara ranah politik, etnik, kedaerahan, dan segala atribut lain ketika bermasalah dianggap biasa dan bukan sumber kegaduhan. Padahal, karena soal politik rakyat terbelah, gedung dibakar, konflik mengeras, dan kehidupan gaduh. 

Umat beragama menolak segala bentuk radikalisme atas nama apa pun, di mana pun, dan kapan pun, lebih-lebih yang memproduksi kekerasan dan tindakan merusak di muka bumi. Tak ada ruang sejengkal pun untuk perbuatan merusak di muka bumi, apalagi atas nama agama, kitab suci, nabi, dan Tuhan.

Umat beragama niscaya mawas diri agar tidak terjebak pada keberagamaan yang bermasalah, supaya agama berfungsi, dan pemeluk agama berperan kuat sebagai penyebar nilai-nilai perdamaian, toleransi, inklusivitas, dan segala kebajikan. Jadikan agama sebagai rujukan nilai utama peradaban di negeri tercinta ini, bukan sebaliknya, sebagai pemicu perilaku keras dan konflik atas nama Tuhan. (*)

614

Related Post