Brigadir Joshua: “Belajar” dari Kasus Marsinah dan Munir? (2)
“Tapi soal plat untuk cetak bungkus rokok yang dibuat oleh PT CPS Rungkut Surabaya. Dan, Marsinah tahu itu, karena dia pernah kerja di sana,” ungkap seorang advokat senior kala itu.
Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN)
SURAT Perintah Penyelidikan dan Penyidikan itu ditandatangani Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Haris Sudarno selaku Ketua Bakorstanasda Jatim, 30 September 1993 yang ditujukan kepada Kapolda Jatim Mayjen Polisi Emon Rivai Arganata.
Haris Sudarno mulai menjabat Pangdam V Brawijaya mulai 30 Maret 1993, menggantikan Mayjen TNI R. Hartono (dengan jabatan terakhir KSAD pada 1995-1997 dengan pangkat Jenderal).
(Saya tahu Sprint itu karena saat itu ditunjukkan oleh Asisten Intelijen Kodam V Brawijaya, Kolonel Riswan Ibrahim, ketika diminta datang ke kantornya dan ditanya perihal tulisan dalam FORUM Keadilan yang menulis, usai bertemu ke-13 buruh teman Marsinah pada 5 Mei 1993 yang diundang itu, Kapten Sugeng langsung pulang, tidak keluar lagi hingga esok harinya).
Tim beranggotakan Kapolda Jatim dan Komandan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim sebagai penanggungjawab. Sementara, anggotanya tim dari Polda Jatim dan Den Intel Kodam V Brawijaya sebagai penyidik/penyelidik.
Keikutsertaan Bakorstanasda dalam penanganan kasus Marsinah ini, karena diduga ada keterlibatan anggota TNI, yang isunya mulai dikembangkan oleh Munir yang saat itu masih bergabung dengan LBH Surabaya. Pembunuhan Marsinah ini saat itu menjadi isu Nasional dan, bahkan Internasional.
Singkat cerita, dari proses persidangan mereka diputus bersalah dan divonis penjara oleh PNegeri Surabaya dan PN Sidoarjo, serta PT Tinggi Jawa Timur, kecuali Yudi Susanto yang dibebaskan hakim PT Jatim.
Jaksa Penuntut Umum yang menolak putusan bebas terhadap Yudi Susanto kemudian mengajukan pemohonan kasasi ke Mahkamah Agung, permohonan kasasi juga diajukan delapan terdakwa lainnya.
Pada 3 Mei 1995, MA memvonis sembilan terdakwa Tidak Terbukti melakukan perencanaan dan membunuh Marsinah. Kapten Kusaeri, mantan Danramil Porong pun diputus bebas oleh Mahkamah Militer Surabaya karena memang tidak terkait dengan pembunuhan Marsinah itu.
Selesaikah persoalannya? Ternyata tidak juga. “Persidangan dimaksudkan untuk mengaburkan militer tanggung jawab atas pembunuhan itu,” tulis Amnesty Internasional dalam laporannya: “Kekuasaan dan Impunitas: Hak Asasi Manusia di bawah Orde Baru”.
Pada 2000 Presiden Abdurrahman Wahid meminta mengusut kembali kasus Marsinah. DPRD Jatim ditugasi Gus Dur membongkar ulang penyidikan dan pengadilan kasus Marsinah.
Ketika itu, Ketua Pansusnya adalah Djarot Syaiful Hidayat dari PDIP. “Anda buka file-nya. Anda akan tahu hasilnya apa… dan siapa saya di mata Pansus DPR tingkat I Jatim,” ungkap Kolonel (Purn) CPM Nurhana dalam Nurhana Tirtaamijaya on Februari 22, 2008.
“Tapi kenapa tidak diumumkan (ditulis) di media cetak Jakarta? Kenapa tidak diumumkan bahwa kasus Marsinah itu sudah selesai, tuntas secara hukum, yaitu Nebis in idem?” tegas mantan Dan Pomdam V Brawijaya itu.
“Kalau Anda memang berniat ingin jadi wartawan yang berani to tell the truth, only the truth, saya dukung…tapi kalau takut…ya sekedar untuk rasa ingin tahu Anda saja,” lanjut Nurhana ketika saya diberi kesempatan wawancara dengan Kusaeri di Markas Pomdam V Brawijaya.
Menurutnya, Indonesia tak akan pernah bangkit kalau di era kebebasan pers sekarang ini, “Kejujuran dan kebenaran hakiki tidak ditumbuh-kembangkan oleh para jurnalis kita yang terhormat.”
Rupanya kasus Marsinah dimanfaatkan untuk mendeskriditkan TNI sehingga meski secara yuridis sudah selesai, namun secara politis masih dipersoalkan. Yang “dibidik” kali ini adalah Mayor Sugeng, mantan Pasie Intel Kodim 0826.
Dasarnya adalah Surat Panggilan beberapa buruh PT CPS untuk menghadap ke Kodim 0816. Surat itu ditandatangani Sugeng. Inilah yang selalu dipakai dasar oleh Munir untuk “menyeret” Sugeng.
Surat ini ditemukan dalam tas kresek hitam yang dibawa Marsinah di dekat gubuk hutan Wilangan itu. Secara logika, apa mungkin seorang pembunuh akan meninggalkan jejak seperti surat ini. Sementara, bukti baju yang dia pakai sudah dibakar oleh pihak RSUD Nganjuk.
Kalau Marsinah bisa ditanya dan bercerita, dia akan tertawa sambil menangis sedih. Tertawa melihat betapa logika bisa diputar-balikkan oleh para penegak hukum, pakar hukum, pengamat politik, para pengacara terlibat.
“Sehingga, sesuatu yang seharusnya sangat mudah menjadi jlimet dan susah dimengerti,” ungkap Nurhana.
Marsinah telah mengancam CPS lewat Mutiari, HRD PT CPS, akan melaporkan PT CPS ke Polisi tentang pemalsuan arloji tangan yang diproduksi, apabila jadi mem-PHK 13 temannya.
Mutiari kemudian lapor kepada Yudi Susanto, pemilik PT CPS. Yudi Susanto memerintahkan kepala Satpam PT CPS agar menangani Marsinah agar tidak lapor ke Polisi.
Kepala Satpam PT CPS kemudian membawa Marsinah ke rumah Yudi Susanto untuk peringatan (bukan untuk dibunuh), tetapi ketika itu Marsinah melawan dengan keras. Selanjutnya mayat Marsinah ditemukan di Wilangan, Nganjuk, tiga hari kemudian.
“Itulah hasil temuan Tim Mabes Polri pada 1995 yang dipimpin Brigjen Polisi Rusdiharjo, didampingi Kapolda Jatim Irjen Polisi Rusman Hadi. Tidak ada keterlibatan Sugeng dan Kusaeri sama sekali,” tegas Nurhana.
Bahkan, Sugeng, Kusaeri, Busaeri Cs (7 orang) anggota Kodim Sidoarjo telah diperiksa dengan lie detctor oleh tim Forensik Mabes Polri, sampai sebanyak 3 kali diulang lagi hasilnya tetap tidak ditemukan kebohongan pada mereka.
Demikian juga Markas Kodim 0816 Sidoarjo yang menurut Munir digunakan membunuh Marsinah, diperiksa oleh tim Forensik Mabes Polri untuk mencari bukti darah Marsinah/DNA-nya, hasilnya pun nihil.
Menurut Nurhana, pemeriksaan oleh Mabes Polri itu betul-betul profesional dan jujur, justru pimpinan TNI AD (yang baru diganti saat itu) menghendaki dan memaksakan Sugeng dijadikan terdakwa.
“Itu akibat konflik internal tingkat tinggi. Tapi, itu saya tolak, karena tidak terbukti sama sekali, semua adalah fitnah, termasuk Munir juga memfitnah Sugeng,” ungkap Nurhana.
“Yang kemudian Sugeng bisa saya loloskan dari fitnah walau akibatnya saya dimutasi dari Dan Pomdam V Brawijaya dan dipindah ke Mabes TNI Jakarta, karena dianggap tidak loyal,” lanjutnya.
Menariknya, pada awal penyidikan, sebenarnya Polda Jatim sudah menyita barang bukti berupa mobil Daihatsu Hijet 1000 milik PT CPS yang ditumpangi Marsinah juga malam itu. Di dalamnya juga terdapat bercak darah.
Tapi, meski mobil itu sempat dibawa ke PN Surabaya, Kapten Kusaeri tidak bisa memastikan apakah benar itu mobil yang dipakai membawa Marsinah. Bukti “Surat Ancaman” Marsinah yang disita polisi, tidak ada.
Konon, isinya bukan ancaman soal pemalsuan arloji di PT CPS, tapi perihal pemalsuan rokok “555” yang dulu dikenal dengan kasus “Triple Five”. Bukan soal rokoknya.
“Tapi soal plat untuk cetak bungkus rokok yang dibuat oleh PT CPS Rungkut Surabaya. Dan, Marsinah tahu itu, karena dia pernah kerja di sana,” ungkap seorang advokat senior kala itu.
Pabrik apa yang memalsu rokok “555” itu, silakan Anda googling sendiri. Yang jelas, pabriknya yang ada di kawasan Pandaan, Kabupaten Pasuruan, ungkap Sugeng, sempat disegel untuk proses penyidikan.
Waktu pengungkapan pun nyaris bersamaan dengan proses penyidikan kasus Marsinah. Seperti dilansir majalah.tempo.co (Sabtu, 27 November 1993), ada 3 tokoh yang dituduh sebagai pemalsunya.
Mereka yaitu Ir. Bambang Soelistyo alias Pek Thiam Ek, 40 tahun, Budiyanto Sukihardjo alias Tjwa Hwat Yong, 43 tahun, dan Tono Setiawan alias Lie Tik An, 53 tahun.
Menurut penyidik di Polda Jatim, Bambang adalah pencetus ide pemalsuan tersebut. (*)