Bung Karno, Hamka, dan Teladan Kemanusiaan

Imran Hasibuan, wartawan senior.

Setelah Peristiwa G 30 September 1965, keadaan berbalik. Kekuasaan Bung Karno perlahan tapi pasti digerus. Sedangkan Hamka tampil sebagai salah seorang ulama terkemuka dengan jutaan jamaah.

Oleh: Imran Hasibuan, Wartawan Senior

AHAD pagi, 21 Juni 1970 itu, Buya Hamka sedang berdakwah di sebuah mesjid di kawasan Tomang, Jakarta, ketika Haji Abdulkarim Oei (Oei Tjeng Hin) – salah seorang sahabatnya yang juga sahabat lama Presiden Soekarno –membisikkan bahwa Bung Karno telah wafat.

Innalilahi wainna ilahi rojiun… Tidaklah salah jika saat demikian saya ingat Soekarno yang dahulu, ikhlas dan bersih. Itulah yang akan disemayamkan secara kenegaraan,” tulis Hamka di majalah Pandji Masjarakat, No. 59 tahun 1970.

Seusai berdakwah, Hamka bergegas segera pulang ke rumahnya di kawasan Kebayoran Baru, tak jauh dari Mesjid Agung Al-Azhar. Dari seorang putranya, ia mendapat kabar bahwa pihak Istana Presiden telah menelpon agar Hamka menjadi imam shalat jenazah Bung Karno yang akan digelar malam hari itu juga, di Wisma Yaso. Hal itu didasarkan permintaan Bung Karno sendiri, sebelum ia menghembuskan nafas terakhir.

“Suatu keajaiban Illahi! Keinginan saya hendak turut menyembahyangkan sesuai dengan keinginan presiden, bahkan beliau minta saya jadi imam. Saya puas, saya jadi imam menyembahyangkan sahabatku!” tulis Hamka lagi.

Masih dalam tulisan yang sama, berjudul “Kepada Sahabatku, Ir. Soekarno”, Hamka menuturkan: “Soekarno adalah orang besar. Sejak masa mudanya, usia 18 tahun dia telah ditumbuhkan Tuhan untuk membangkitkan kesadaran bangsanya, melanjutkan apa yang telah dimulai gurunya: HOS Tjokroaminoto. Seluruh kasih-sayangnya dan hari mudanya dan masa tuanya, telah dikorbankannya untuk membina bangsa ini. Dia telah menggembleng semangat kita dan membina kesatuan kita.”

Sejak muda, Hamka telah banyak mendengar sepak-terjang Bung Karno dalam pergerakan kebangsaan. Dalam majalah yang diasuhnya pada 1930-an, Pedoman Masjarakat, yang terbit di Medan, Hamka kerap menampilkan ketokohan Soekarno dan kalangan nasionalis pergerakan.

Bahkan, ia pernah menemui Bung Karno di Bengkulu untuk bertukar pikiran tentang soal kebangsaan. Persahabatan itu berlanjut hingga masa-masa awal kemerdekaan.

Tetapi, seiring waktu, karena perbedaan sikap politik, mereka kian lama kian berjarak. Pada 1950-an, Hamka terjun lagi ke kancah politik. Ia bergabung dengan Masjumi dan menjadi anggota Konstituante. Ia terlibat dalam debat-debat keras di Konstituante, terutama mengenai dasar filosofis negara. Haruskah Pancasila tetap menjadi dasar filosofis negara?

Hamka, sesuai dengan sikap politik Masjumi, berargumen bahwa seharusnya tidak. “Dasar yang asli di tanah air kita… dan pribadi sejati bangsa Indonesia adalah Islam,” katanya, seperti dicatat James Rush dalam kitab “Adicerita Hamka” (2017).

Bertentangan dengan klaim Soekarno bahwa Pancasila sudah ada di antara bangsa Indonesia ribuan tahun lalu (kemudian digali Bung Karno pada masa pergerakan), Hamka berkata bahwa “Pancasila tidak mempunyai dasar sejarah di Indonesia”.

Pada waktu Proklamasi Kemerdekaan RI, kata Hamka lagi, hanya sedikit yang tahu mengenai Pancasila, sementara “sebahagian besar penduduk Indonesia menganut ‘dasar yang asli’, yaitu Islam”. Islam menggerakkan perjuangan melawan Belanda dan mengilhami para pejuang revolusi.

Ketika akhirnya Presiden Soekarno membubarkan Konstituante – karena tak kunjung menemukan titik-temu dalam menentukan dasar negara – Hamka, juga para pemimpin Masjumi, menentang keras keputusan presiden tersebut. Tapi, ketika para pemimpin Masjumi, seperti: Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Burhanudin Harahap – bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Hamka justru tidak mendukung gerakan tersebut.

Meski begitu, Hamka peka terhadap keluhan yang menjadi alasan PRRI. Pada 1957, kepada pembaca di Sumatra Barat, ia menulis mengenai “Jawanisasi” Indonesia dan terlalu ditonjolkannya sejarah, bahasa, dan budaya Jawa dalam buku pelajaran sekolah.

Di dalam satu tulisan Hamka menyatakan dengan resah bahwa sila pertama Pancasila – Ketuhanan Yang Maha Esa – diberi ilustrasi kepala patung Budha dari Candi Borobudur.

Para birokrat Jawa juga menyebar ke seluruh Indonesia dan berperilaku seperti pejabat Belanda zaman dulu yang arogan, mengabaikan adat dan kebiasaan lokal. Hamka menulis, “saya pun takut persatuan bangsa kita ini akan pecah.” Dan jika itu benar terjadi, “sudah dapatlah diketahui apakah salah satu daripada sebabnya”. (Rush 2017: 155)

Hamka juga mengecam Demokrasi Terpimpin sebagai “totaliterisme” dan menyebut Dewan Nasional yang dibentuk Soekarno sebagai “partai negara”. Tapi, perlawanan Hamka dan kawan-kawan sia-sia.

Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit, yang salah satu isinya adalah kembali ke UUD 1945. Dan Agustus 1960, Presiden Soekarno menyatakan pembubaran Masjumi, juga Partai Sosialis Indonesia (PSI). Kedua partai itupun dinyatakan sebagai partai terlarang.

Penentangan terbuka Hamka terhadap Demokrasi Terpimpin Soekarno juga diperlihatkan dengan memuat secara utuh pamflet “Demokrasi Kita” yang ditulis Mohammad Hatta, proklamator kemerdekaan dan Wakil Presiden RI pertama, di majalah Pandji Masjarakat, edisi Mei 1960.

Sebagaimana diketahui, dalam pamflet itu Bung Hatta melancarkan kritik keras terhadap perkembangan politik yang terjadi di masa itu. Hatta menulis bahwa tergelincirnya Indonesia ke dalam kedikatoran menggambarkan “hukum besi sejarah dunia”.

Akibatnya sudah diduga. Pandji Masjarakat, bersama sejumlah koran –Pedoman, Abadi, dan Indonesia Raya – dibredel pemerintah. Puncaknya, Januari 1964, Hamka ditahan dengan tuduhan berupaya melawan pemerintah. Saat itu usianya 56 tahun, dan mengidap sejumlah penyakit, termasuk diabetes dan wasir kronis.

Penahanan atas dirinya, membuat Hamka tak bisa lagi mengikuti masa-masa terakhir pemerintahan Soekarno. Dalam masa penahanan itu, ia manfaatkan untuk menulis sejumlah kitab. Yang paling fenomenal adalah Tafsir Al-Azhar.

Dalam konteks ini, penahanan tersebut merupakan semacam “berkah” bagi Hamka. Belakangan, Hamka mencatat bahwa andaikata dia tidak ditahan selama dua tahun lebih, kiranya dia tak bakal menyelesaikan tafsirnya “sampai saya mati”.

Setelah Peristiwa G 30 September 1965, keadaan berbalik. Kekuasaan Bung Karno perlahan tapi pasti digerus. Sedangkan Hamka tampil sebagai salah seorang ulama terkemuka dengan jutaan jamaah.

Begitu kerasnya sengketa politik yang dialami kedua tokoh tersebut, tapi tak melekangkan rasa kemanusiaan dan persahabatan. Kemanusiaan mengatasi politik. Seperti digambarkan di awal tulisan ini, di akhir hayatnya, Bung Karno berwasiat agar Hamka menjadi imam shalat jenasahnya. Hamka, dengan kebesaran jiwa, menunaikan amanah tersebut.

Keteladanan kedua tokoh ini, Bung Karno dan Hamka, selayaknya dicontoh kaum politisi negeri ini. Sekali lagi, kemanusiaan harus mengatasi politik. Jangan sebaliknya: politik menciderai rasa kemanusiaan. (*)

306

Related Post