CAPER: Catatan Permana (Part) 4, Mengurai Peta Jalan Politik Dinasti Solo

Oleh Dr. Anton Permana | Pengamat Politik 

NASIB demokrasi negeri ini berada pada titik nadir. Negara yang berkedaulatan rakyat dengan instrumen demokrasi sebagai sarana perekrutan kepemimpinan nasional terancam ambruk dan runtuh setelah 79 tahun merdeka.

Negara ini merdeka atas perjuangan nyawa dan darah para syuhada seluruh nusantara, dan atas mandat dari kerajaan-kerajaan di Nusantara untuk menjadi satu bangsa, satu tanah air dan negara dengan sistem Republik. Sehingga diakui seluruh negara di dunia.

Re dan publik, artinya anti tesa dari sistem kekuasaan yang sebelumnya hanya dimiliki secara private dan monarki, berubah menjadi kekuasaan berada di tangan rakyat (public).

Namun, semua berubah setelah rezim ini berkuasa. Semuanya berbalik arah setelah kekuasaan secara penuh berada di tangan segelintir orang saja. Bahkan keluarga.

Bermula dari pemilihan para cawapres berusia tua, agar selanjutnya tidak bisa maju lagi.

Lalu mendemisionerkan ratusan masa jabatan kepala yang dipilih secara demokratis dalam semangat otonomi daerah, berubah menjadi sistem penunjukan langsung dari pemerintah pusat. Di bawah kendali pusat.

Belum lagi sistem perekrutan para penyelenggara Pemilu yang partisan dan politis.

Begitu juga perubahan Undang-Undang KPK agar masuk ke dalam rumpun eksekutif, yang otomatis berada secara tak langsung di bawah kendali Presiden melalui Dewan Pengawas KPK.

Artinya, hampir tak ada lagi Trias Politika yang menjadi ruh sebuah negara demokrasi melakukan kontrol, check and balancing Pemisahan kekuasaan, karena lembaga penegakan hukum dan institusi militer termasuk intelligent semua berada di bawah kendali Istana. 

Dimana otomatis, semua lembaga tersebut akan menjadi pisau dan senjata pusaka penguasa untuk menyandera dan mengintimidasi siapa saja yang bersebrangan dengan kepentingan politiknya.

Setelah putusan MK meloloskan putera Presiden menjadi Cawapres, maka semua baru tersentak dan sadar.

Bahwa, ini semua adalah sebuah design politik yang memang sudah disiapkan, bukan design kaleng-kaleng semata. Semua sudah direncanakan, ditata kelola sedemikian rupa dengan rapi sistematis.

Sampai puncaknya, tanpa rasa malu dan basa-basi lagi, dengan lantang seorang Presiden menyatakan “ Akan cawe-cawe dalam Pilpres 2024 ini “. Toh yang maju anak saya… Begitu lho guys…

Banyak yang marah, banyak yang gusar dan teriak. Tapi apa daya, nasi sudah jadi asam sulfat dicampur belimbing sayur. Mau dimakan racun, tak dimakan, akan kelaparan. Makanya dibawa joget aja.. Oke gas.. Oke gas…Ha.. Ha..

Demikianlah politik tanpa moralitas dan nilai Ke-Tuhanan. Tak ada teman dan lawan yang abadi. Yang abadi hanya kepentingan. Kawan bisa jadi lawan, dan lawan pun bisa jadi kawan.

Sekarang pertanyaannya ada pada seluruh rakyat Indonesia. Apakah akan rela kembali mundur jauh ke belakang dalam bingkai politik dinasti atau bersama, bersatu padu memperjuangkan perubahan?

Silahkan pilih sesuai akal sehat dan hati nurani. Tetap ingin kedaulatan berada di tangan rakyat? Atau menyerahkan leher negara ini kepada satu kelompok keluarga dan elit semata?

Salam Indonesia Jaya…!

Jakarta, 20 Januari 2024.

390

Related Post