Catatan dari Hotel Karantina Hari Kedelapan: Tentang Identitas

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan

Sudah 8 hari aku dikarantina hotel. Kemarin aku ikut menandatangani petisi menolak karantina ala hotel ini di petisi change.org, yang diinisiasi seseorang yang menolak Karantina berbiaya mahal.

Karantina memang tidak pantas mahal, itu tidak perlu diperdebatkan. Ketika Realita TV mewawancarai aku beberapa hari lalu, aku mengatakan bahwa jika aku jadi pemimpin negeri ini, maka aku pastikan tidak ada Karantina berbayar. Bahasa itu bukan berarti aku ingin jadi pemimpin, tapi berbayar itu tidak masuk logika. Namun, setelah melewati setengah masa Karantina, aku lebih rileks. Anehnya seharian kemarin aku kehilangan nafsu menulis. Tulisan ini kumulai kemarin, kelanjutan sekarang.

Hari ini aku pesan nasi melayu, sebelumnya dua hari, makan nasi Arab. Pilihan menu di sini hanya makanan Indonesia, Arab dan Barat. Lima hari pertama aku makan makanan Indonesia, sedang istriku makanan barat. Pindah ke makan Arab membuat rasa (taste) sedikit baikan, sebelum itu aku sudah mual lihat makanan, itu lagi - itu lagi.

Makanan Arab terdiri dari nasi, "Wrap" (terdiri dari sayur mayur, daging dan saos yang dibungkus kulit mirip lumpia), daging ayam ala kare dan pudding. Ketika memakan nasi, aku menggigit rempah-rempah, aku berpikir itu ketumbar, ternyata cengkeh. Bagian restoran juga semakin baik, memberikan ekstra cappucino siang hari dan kemarin buah potong.

Aku baru saja menghubungi manajer untuk aku bisa pulang lusa, Rabu, dinihari. Yang jelas paket hotel tetap berbayar 9 malam 10 hari. Dia akan usahakan, katanya, tapi nunggu arahan staf Kemenkes. Terlihat standar hari itu tidak jelas berapa jam totalnya. Kalau di penjara, aturannya, orang tidak boleh ditahan lebih dari 1 menit.

Aku tidak ingin membahas kasus heboh soal karantina ini. Terkait dua artis. Yang satu Rachel Venja yang lari menghindar dari Karantina dengan menyogok 40 juta. Kedua, Mulan Jameela, karena anggota DPR bebas Karantina di rumah. Ini bukan di negara beradab, yang standar hukum disebutkan warga negara "equal before the Law".

Hari ini aku ingin menulis soal identitas. Anak perempuanku yang kuliah di antropologi memposting agenda kampusnya minggu depan, pekan Antropologi, dengan isu identitas. Dia semakin senang kuliah antropologi. Beberapa bulan lalu dia baru pulang dari pulau Manggur, dan Pulau Key, bakti sosial desa dan mengunjungi Pulau Seram dan Ambon. Ini pengalaman dia yang katanya menarik, melihat keberagaman Indonesia. Sebelumnya dia rencana bakti sosial ke Tanzania, tapi urung karena situasi pandemi. Bila teman-teman sudah pernah membaca berbagai ulasan aku dalam tulisan terdahulu, dalam isu identitas, anggap saja ini pengulangan maupun sebuah variasi.

Tentang identitas adalah tentang potret diri dan kelompok sosial. Identitas manusia terkait dengan afiliasinya pada kelompok sosialnya. Manusia sejatinya adalah makhluk sosial. Semakin seseorang diakui dalam lingkungan sosialnya, maka semakin nyaman orang tersebut.

Ikatan komunitas pembentuk kelompok sosial antara lain adalah agama, suku, ras dan golongan. Pendefinisian golongan ini lebih susah dipahami, tapi kita tahu misalnya di Indonesia seperti antara kaum buruh dan pengusaha, mereka dikatagorikan golongan. Golongan kalau di barat umumnya saat ini terkait dengan kedekatan ideologi dan pilihan orientasi seksual.

Identitas dapat menjadi pembeda yang menguntungkan bagi kelompok sosial yang lebih heterogen, karena ada peluang mendapatkan pengalaman baru di luar kelompok sosialnya sendiri. Namun, seringkali juga jadi masalah. Seperti kompetisi, ekploitasi dan penyeragaman sosial secara paksa.

Masalah identitas, ketika jadi masalah, adalah masalah manusia dengan nafsunya. Ketika aku berbicara tentang makanan Arab di atas, maka aku sedang mendeskripsikan sebuah keunikan dan keberagaman kehidupan di dunia ini. Aku ingin mendapatkan pengalaman (lagi). Aku tidak memikirkan sebuah pertentangan maupun kompetisi. Namun, dalam konteks sosial, ekonomi dan politik, kalau aku berbicara Arab, spektrum pembicaraan bisa bergeser. Misalnya ketika aku memikirkan susahnya lelaki pribumi mendapatkan gadis Arab di sini, memikirkan dominasi orang Arab dalam menafsirkan agama (Islam) maupun orang Arab yang selalu lebih kaya.

Beberapa tahun lalu, ketika aku membuat tulisan-tulisan yang mendukung Anies Baswedan untuk menjadi Presiden ke depan, seorang model wanita senior, keturunan keraton Solo, mengingatkan aku bahwa Anies bukan pribumi. Memang sekarang dia berubah pikiran. Namun, persoalan identitas akan semakin rumit jika masuk ke ranah kekuasaan.

Di penjara waktu beberapa bulan lalu, pengantar minum kopiku adalah Hendri, seorang waria (guy). Dia di penjara karena pacaran dengan seorang jenderal, lalu istri jenderal itu melaporkan ke polisi. Aku mengatakan pada Hendri, dia boleh bersahabat dengan aku, dan kami saling mengantar makanan, tapi dia tidak boleh lama-lama di kamarku. Aku jelaskan itu padanya ketika aku meminta dia keluar dari kamarku, ketika dia berusaha lama bercanda dengan teman-teman di kamarku. Aku tidak membenci sebuah penyimpangan orientasi seksual secara privat, itu mungkin di luar kuasa seseorang. Tapi dalam identitas sosial, aku belum bisa menerima eksistensi mereka secara terbuka. Apalagi jika mereka meminta hak-hak politik terkait persamaan sosial secara total.

Ketika aku berjalan-jalan di Amsterdam beberapa minggu lalu, aku melihat museum Anna Frank dari luar. Aku ingin masuk museum itu, sesungguhnya. Tapi ternyata antriannya harus beberapa minggu sebelumnya.

Anne Frank adalah gadis kecil remaja keturunan Jahudi yang berhasil selama dua tahun bersembunyi di ruang bawah tanah rumahnya, menghindar dari kejaran Nazi, pada masa perang dunia ke dua. Akhirnya dia dan keluarganya ketahuan dan ditangkap. Seratusan ribu orang-orang Jahudi dari Belanda, masa itu telah dibawa ke kamar gas untuk di bunuh, di kamp Auschwitz, Polandia, mau pun Jerman. Anne meninggal di kamp Nazi, Jerman, dalam usia remaja. Dia mempunyai catatan hidupnya (diary) selama dua tahun ketika bersembunyi. Diary dan tempat persembunyian itu, saat ini, dijadikan simbol kekejaman terhadap masyarakat Jahudi secara internasional.

Manusia pada dasarnya mencari ruang untuk hidup sepanjang masa. Dalam Islam, pada dasarnya manusia dikatakan bersifat hanif atau cenderung berbuat baik. Sebaliknya ada ajaran yang mengatakan manusia pada dasarnya mempunyai dosa lahir, sehingga dasarnya ingin berbuat buruk. Jaquest Rousseau, tokoh filsuf Prancis meyakini sifat dasar manusia adalah baik. Sedangkan Thomas Hobbes, filsuf Inggris, meyakini sifat dasar manusia adalah buruk. Sejarah dunia digerakkan oleh sifat baik dan buruk manusia. Spinoza dan Anne Frank, umpamanya, dahulu adalah imigran Jahudi di Amsterdam. Orang-orang Jahudi awalnya bermigrasi dari Sapanyol dan Portugal, ketika penguasa Katolik di sana mengusir mereka . Protestan yang menguasai Belanda memberikan tempat bagi Jahudi bermigrasi. Namun, ketika Hitler berkuasa, di mana agama Protestan mayoritas, mereka/NAZI melenyapkan kaum Jahudi itu tanpa melihat mereka sebagai manusia. Menariknya lagi adalah berita Washington Post 29/4/2020, yang membongkar keterlibatan pimpinan Katolik dunia, Vatikan, dalam membela pemimpin Nazi. Disebutkan di Post itu, hasil riset tentang mengapa pemimpin Katolik membela Nazi, antara lain, karena mereka mendukung pembantaian Komunis. Seperti diketahui dahulu Jahudi menggerakkan ideologi Komunis di sana.

Beberapa waktu lalu, sebelum saya liburan ke Belanda, Rocky Gerung mem briefing saya tentang hasil survei kredibel, saat ini lebih dari 70% masyarakat Indonesia mengalami sentimen rasial terkait agama dan ras. Katanya orang-orang Islam yang di survei ingin dominasi Islam diberlakukan. Hal ini ternyata mirip dengan apa yang terjadi di Belanda. Sebuah opini yang ditulis seorang antropolog di media online Al-Jazeera, 29/9/21, berjudul "A court just confirmed: To be Dutch is to be white", dengan sub judul,

"Hague District Court recently ruled that ethnicity can be used to single out passengers for checks at Dutch airports". Opini ini terkait seorang anggota dewan di Eindhoven, Belanda, yang berkulit hitam di periksa secara ketat oleh imigrasi, ketika sampai di airport di sana. Padahal dia adalah orang Belanda dalam pengertian warganegara, apalagi pemimpin suatu kota, di mana pabrik Philips berada. Ketika dia mengajukan keberatan atas pemeriksaan imigrasi berdasarkan warna kulit, pengadilan Belanda membela pihak Imigrasi.

Identitas dan kekerasan kelihatannya lebih sering menghiasi bumi dari pada identitas dan perdamaian. Orang-orang yang melakukan analisa sosial, seperti agama, suku dan ras, umumnya memotret juga perebutan ruang hidup dari sisi ekonomi. Orang-orang Jahudi di Eropa korban pembantaian Hitler, di masa lalu, mencampur adukkan urusan agama ras dan perbedaan ekonomi. Saat itu Jahudi di sana dikenal sebagai kaum pedagang. Di Amsterdam kala itu semua pedagang berlian adalah Jahudi. Kaum Jahudi kesulitan membaur dengan masyarakat di sana. Namun, mereka berusaha mengontrol kota/negara dengan kapitalnya.

Namun, dalam kasus gerakan diskriminasi warna kulit di Amerika dan eropa, orang-orang hitam tidak menguasai ekonomi. Gerakan #BlackLivesMatter berjuang justru untuk mendapatkan pengakuan yang setara dengan kulit putih.

Spektrum pengaruh perebutan ruang publik berbasis kapital pastinya lebih berdampak memusnahkan. Mungkin itu yang jadi perhatian Rocky Gerung atas hasil survei yang disampaikan pada saya.

Isu dan tema identitas di Indonesia akan meruncing menjelang pemilu 2024. Anies Baswedan yang keturunan Arab sudah memproklamirkan diri untuk menjadi Calon Presiden. Jika Anies dipersepsikan sebagai Islam bukan sebagai Arab, peluang Anies akan besar untuk menjadi Presiden. Sebab, banyak Raja-raja Nusantara keturunan Arab dulunya, termasuk Pangeran Dipanegoro. Jokowi sendiri di masa lalu ketika ingin jadi presiden melakukan eksploitasi ke-Jawa-annya, serta terus mempertahankan polarisasi sosial yang ada. Sebagian orang melihat bahwa ekploitasi identitas terkait kekuasaan akan menimbulkan luka. Namun, sebagian lainnya mengatakan bahwa mengontrol ruang publik dan melakukan dominasi sosial-ekonomi harus dilakukan dengan cara apapun.

Bagi saya pertarungan sejati dari isu identitas dan politik identitas adalah keadilan sosial. Kebencian sosial dapat dikendalikan jika keadilan ekonomi dan hukum terjadi. Jika pertumpahan darah dan kekerasan merupakan ongkos cita-cita keadilan sosial, ongkos itu juga harus dibayar. Rakyat tidak boleh mengemis dan menderita di negerinya sendiri. Politik identitas ke depan harus berbasis kepentingan rakyat itu. Masalah identitas yang bersifat interpersonal harus dipelihara bersifat natural. Namun, identitas yang terkait hak ekonomi dan sosial, harus dipertaruhkan. Dan rakyat harus berjuang bersama pemimpin yang membebaskannya.

Demikianlah pandangam saya soal identitas dan politik identitas.

Penulis adalah Presidium KAMI *)

292

Related Post