Dana Pemilu Dicicil, Pemerintah Tak Punya Duit atau Merencanakan Pembatalan Pemilu

Jakarta, FNN - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengatakan sudah menyusun skala prioritas terkait penggunaan anggaran, lantaran sisa dana penyelenggaraan Pemilu 2024 di tahun anggaran 2022 belum cair seluruhnya alias masih dicicil.

Diketahui anggaran Pemilu Serentak 2024 untuk tahun ini baru cair sebesar Rp2,4 triliun dari kebutuhan keseluruhan Rp8,6 triliun.

Pengamat politik Rocky Gerung menduga pemerintah tidak punya uang atau ada upaya melakukan penggagalan Pemilu. “Nggak ada yang percaya bahwa sistem Pemilu kita akan bersih," kata Rocky dalam perbincangan dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Selasa (02/07/2022) di Jakarta. Berikut kutipan lengkapnya:

Simpatisan partai politik terlalu optimistis bahwa Pemilu akan berjalan dengan baik karena kemaren sudah ada yang mendaftar. Padahal, saya baca ternyata duit yang buat KPU dicicil sampai sekarang kurang 4,3 triliun. Sebelumnya bulan Juni masih kurang 5,6 triliun dan waktu itu teman-teman KPU nadanya sampai putus asa karena katanya mereka sudah menempuh segala macam cara, tapi dana belum turun juga. Bagaimana menurut Anda?

Ya, ini ada dua hal, satu buat organisasi pemilu, satu lagi soal niat berpolitik. Kan itu bedanya. Tentu KPU tidak peduli, mau jalan mau nggak jalan koalisi, yang penting dia sudah dapet dana karena ini soal menggaji orang. KPU kan orang gajian ini. Itu masalahnya. Tetapi, kita tetap lihat aktivitas di bawah itu, kasak kusuk politik masih tetap jalan. Nggak mungkin dong pemerintah nggak kasih uang, berarti pemerintah memang dianggap merencanakan pembatalan pemilu. Tapi pada saat yang sama pemerintah juga menduga keras kalau terjadi kesepakatan politik ya nggak perlu pemilu. Karena itu, dicicil duitnya. Kalau dikasih semuanya kan balik lagi duitnya. Jadi kira-kira tipu-tipuannya begitu. Dan itu memperlihatkan bahwa memang nggak ada yang pasti politik kita menjelang pemilu 2024. Siapapun yang masih punya elektabilitas atau kalau disurvei dia masih di bawah 40 persen itu artinya mereka sama semua. Yang dapet angka 30 sama yang dapet 4 persen itu sama. Nggak bisa ngapa-ngapain. Jadi dikunci di situ sebetulnya. Kan dalam tradisi presidensialisme, seorang presiden itu dia akan melenggang ke pemilu kalau sudah 40 persen. Ini Pak Prabowo, Ganjar, dan segala macem sudah bertahun-tahun tetap masih di bawah 40 persen. Jadi itu sebenernya magic numbers-nya. Artinya akan dipaksa koalisi. Itu koalisi yang dipaksa-paksa akan berantakan di tengah jalan pasti. Dulu kita belajar dari Pak SBY. Pak SBY di periode kedua dia nggak perlu lagi wakil presiden untuk tambal suara. Karena dia bilang ya saya sudah cukup. Ini saya pasti dapat suara lebih dari 50 persen. Itu pentingnya kita harus lewati angka 40 dan itu tidak ada. SBY melenggang kangkung di periode kedua. Karena itu orang anggap wakil presidennya nggak ada orang kenal, yaitu Budiono. Tapi bagi SBY anggap bahwa ya sudah nggak penting lagi wakil presiden karena dia sudah lewati magic numbersnya, tanpa kampanye pun jadi periode kedua. Yang sekarang ini susah. Mereka yang sudah bersiap-siap, Pak Prabowo bahkan, dianggap di depan iya. Tetapi sebelum mencapai 40 persen itu artinya batal demi magic numbers tadi. Demikian juga Erick Thohir yang Cuma 4 persen sama nasibnya dengan yang sudah 40 persen. Kan itu intinya.

Kalau soal dana Pemilu yang dicicil ini sebenernya menunjukkan bahwa pemerintah nggak punya duit atau pemerintah nggak punya duit lalu dimanfaatkan sebagai strategi ya kalau perlu pemilu nggak jadi dengan alasan nggak punya duit?

Itu juga bagian dari mengontrol Pemilu sehingga itu akan ada operasi-operasi di bawah meja. “KPU, Anda harus begini ya. Ini harus didahulukan ya. Kalau nggak kami nggak turunin uang.” Kan KPU dalam posisi yang tinggal menerima perintah. Dia kan panitia. Jadi kalau perhelatannya ditentukan oleh parpol dan parpol menganggap bahwa oke kita bagi-bagi dulu di antara kita, KPU belakangan. Kan tetap soal ini yang kita deteksi dari awal, kok banyak betul anggarannya. KPU juga sengaja membengkakkan anggaran walaupun akhirnya dikorting juga. Tapi orang menganggap bahwa ngapain bikin pemilu sebesar itu anggarannya. Jadi tetap kita lihat upaya untuk memanfaatkan moment Pemilu ini untuk dapat uang juga berlaku, baik KPU maupun partai-partai karena akan ada bagi-bagi rejeki. Kira-kira begitu. Itu yang dicurigai oleh publik.

Kenapa dicicil? Berarti nanti cashback dijanjikan dulu dong baru digelontorkan anggaran. Jadi intinya nggak ada yang percaya bahwa sistem pemilu kita akan bersih. Kalau betul-betul pemerintah mengatakan bahwa oke, kita akan masuk pemilu yang bersih, maka dari awal sudah gelontorkan uang selesai, lalu pemerintah tinggal berpangku tangan, tinggal tunggu KPU bekerja. Tapi Pak Presiden Jokowi tetap dia sorang politisi dengan naluri yang kuat bahwa dia ingin agar supaya KPU itu memihak pada dia. Dia ingin agar supaya orang yang disurvei sebagai jagoan Jokowi diperhatikan oleh KPU. Kan itu logika kekuasaan yang standart aja. Kan standar artinya dalam demokrasi yang dangkal begitu cara berpikirnya. Kalau kita punya etika politi yang kuat, dari awal presiden bilang bahwa sudah, saya sudah selesai, silakan KPU lakukan. Saya tidak ada urusan lagi dengan terima-terima relawan di mana-mana, bahkan ada persiapan untuk deklarasi tiga periode dari Manado segala macam. Jadi, tetap ide tiga periode berjalan, sementara ide konstitusional itu tetap juga di KPU. Tapi dianggap oke, yang lebih penting adalah memastikan tiga periode ini dimungkinkan. Karena itu, persiapan-persiapan di MPR juga harus dicurigai. Karena sekadar memastikan ada garis atau pedoman pembangunan itu juga berbahaya. Di dalam dua tiga sidang itu bisa berubah arah politiknya. 

 Jadi tetap saja publik harus mewaspadai soal-soal yang beginian ya. Karena kalau soal partai-partai politik sebenarnya merek sudah sama-sama tau. Tetapi kan kita tau terakhir posisinya kalau soal tiga periode ini partai-partai besar, bahkan partai pengusung Pak Jokowi, dalam hal ini PDIP, juga menolak. Apakah Anda melihat bahwa pada akhirnya nanti ketika melihat katakanlah Puan Maharani, dalam hal ini elektabilitasnya tidak naik-naik juga, pada akhirnya Ibu Megawati juga akan melakukan kompromi-kompromi politik.

Yang ujungnya pasti begitu. Lain kalau kita anggap bahwa PDIP itu tegak lurus dengan konstitusi. Tetap pertimbangan pragmatisme atau bahkan oportunisme itu lebih penting daripada sesuatu yang sifatnya ideologis murni itu. Bayangkan misalnya Ibu Mega di ujung akhirnya Ibu Puan nggak bisa lalu seluruh persiapan politik itu tiba pada Ganjar, lalu presiden Jokowi langsung kasih kesan bahwa oke tiga periode akan berjalan atau dia lengser tapi Ganjar akan meneruskan program IKN segala macam. Pasti Megawati merasa bahwa oh ini juga rejeki baru. Bahkan, dengan segala macam tutup muka lempar isu, PDIP juga pasti akan ikut itu. Karena tetap PDIP sampai sekarang anggap bahwa Ganjar itu boleh, tapi jangan terlalu jadi tahan rumah, jangan ke mana-mana dulu. Kan ini soal memindahkan Ganjar dari relawan ke PDIP. Kan itu soalnya. Nah, relawan dan Jokowi nggak ingin Ganjar itu diasuh oleh PDIP, sebab kalau dia diasuh oleh PDIP bukan lagi kader politiknya Jokowi. Itu intinya di situ. Jadi satu waktu sangat mungkin akhirnya Ganjar juga menyerah. Oke saya mending PDIP. Itu artinya Jokowi akan menghajar Ganjar karena itu dianggap berkhianat. Kan dengan mudah kita lihat bahwa politik Indonesia ditentukan oleh kubu Jokowi dan kubu Ibu Mega. Dia yang berseberangan di situ. Nah, Ganjar harus memilih. Demikian juga oligarki. Harus satu suara. Jadi tetap ketegangan ini membuat kita gembira karena angat mungkin kekacauan politik akan terjadi dan kekacauan itu justru yang ditunggu-tunggu oleh rakyat. Karena rakyat sudah anggap bahwa kekacauan justru yang akan menyelesaikan masalah. Kalau bersih-bersih saja itu pasti nego-nego dan di ujungnya rezim yang baru di 2024 akan sama dengan watak rezim hari ini. Itu yang tidak diinginkan oleh rakyat. (ida, sof)

326

Related Post