Debat Kusir Plus-Minus Amandemen UUD 1945

Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

Perdebatan bermula dari unggahan penulis, “Kelemahan pokok sistem Demokrasi Liberal one man one vote ialah setiap kepala mempunyai satu suara, tanpa mempertimbangkan isi kepalanya.”

Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

DEBAT ialah diskusi, pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.

Berdebat artinya bertukar pikiran, bersoal jawab, bersilat lidah, berbantahan tentang suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat.

Mendebat berarti membantah pendapat orang lain dengan mengajukan alasan-alasannya.

Debat kusir adalah perbantahan yang tidak disertai alasan yang masuk akal.

Konon istilah debat kusir berasal dari pengalaman Haji Agus Salim berdebat dengan Sais Delman. Ketika Haji Agus Salim sedang naik delman tiba-tiba si kuda kentut, “preeet...” Haji Agus Salim pun menyapa Pak Kusir, “Pak, kudanya masuk angin.” Pak Kusir tanpa ekspresi mengendalikan kuda tanpa merespons kata-kata Haji Agus Salim. Terpaksa Haji Agus Salim mengingatkan, “Pak, kuda Bapak masuk angin...”

Dengan kalem Pak Sais menimpali, "Kuda saya tidak masuk angin Pak, tapi keluar angin.”

Haji Agus Salim pun mengangguk-angguk dan berkata dalam hati, “Hmmmm.. debat kusir.”

Berikut perbantahan seputar amandemen UUD 1945, mana yang memakai dan/atau masuk akal dan mana yang tidak, terserah kepada pembaca yang bijaksana.

Perdebatan bermula dari unggahan penulis, “Kelemahan pokok sistem Demokrasi Liberal one man one vote ialah setiap kepala mempunyai satu suara, tanpa mempertimbangkan isi kepalanya.”

(Sir Dr. Mohammad Iqbal, salah seorang penggagas berdirinya Negara Pakistan).

Unggahan itu disusul kutipan pernyataan Pak Try Sutrisno, “Kita Harus Kembali ke UUD 1945.”

https://www.indonesiamandiri.web.id/2022/11/try-sutrisno-kita-harus-kembali-ke-uud.html

Salah seorang anggota grup WA menanggapinya demikian. Tidak kembali ke UUD45 saja sudah dikuras oligarki, apa lagi kembali? Kita harus kembali ke sistem parlementer. Agar check and balance jalan.

UUD 1945 asli itu menganut sistem parlementer... jadi?

UUD 1945 asli itu gado-gado. Cocok untuk masa transisi. Wajarlah, kreasi anak-anak didik Eropa yang besar Amerika Serikat.

Tapi Amandemen 4x itu kebablasan.

Sila keempat Pancasila itu musyawarah dan hikmah, bukan jumlah!

Itu kan ikhtiar sesuai zamannya menurut saya. Orang lelah diperas rezim ORBA dan marah. Sementara intelektual yang dominan kebanyakan didikan US dan terpesona dengan model demokrasi di sana. Mirip dulu waktu akan merdeka. Intelektual kebanyakan didikan Eropa.

US dan beberapa negara sudah amandemen berkali-kali konstitusi mereka tak pernah bilang kebabalasan. Kita ini hobi sekali menyesali sejarah sendiri. Dialektika akhirnya dibunuh.

Sudah saatnya amandemen UUD 1945 ke-5. Istilah “amandemen kebablasan” itu untuk menunjukkan bahwa hasil amandemen 20 tahun yang lalu sekarang tidak baik-baik saja.

Di zaman medsos begini hakim saja terpengaruh opini publik. Jika ingin maju bangsa ini harus mau beradaptasi dan berpikir sesuai zaman. Apa iya anggota parlemen harus dipilih dengan hikmah dan musyawarah? Bagaimana caranya? Jumlah dan konsensus itu adalah kombinasi sesuai konteks.

Karena MPR mandul dan dimandulkan.

Kok dimandulkan? Amandemen itu produk sejarah. Tidak beda dengan UUD 1945 awal. Itu kan hasil konsensus para wakil rakyat saat itu.

Bangsa ini tidak akan pernah maju dan besar jika intelektualnya gemar menyalahkan masa lalu.

Ya, bangsa ini akan makin besar bila mau selalu mengevaluasi dan mengkritisi hasil kerja masa lalu.

Nah, makanya jangan menyalahkan sejarah. Agar tak mengulangi kesalahan yang sama.

Apakah hasil konsensus para wakil rakyat itu imun dari kekurangan?

Anggota grup WA lainnya menimpali.

Kami Forum Pemred pernah mengadakan Kongres Kebangsaan pada tahun 2012. Dalam kongres itu hadir berbagai pemangku kepentingan, seperti Ketua Lembaga Tinggi Negara dan Para Ketua Partai. Kongres dibuka oleh Presiden SBY. Di antara poin penting dari deklarasi itu:

1. Kita perlu merumuskan kembali tatanan berbangsa kita dalam keadaan normal, tidak seperti orla ke orba dan orba ke reformasi. Ada unsur dendam ke tatanan sebelumnya.

2. Apakah MPR dan DPD yang mandul seperti sekarang akan kita biarkan.

3. Apakah kita memerlukan GBHN lagi, sehingga arah pembangunan bangsa kerkesinambungan dan menjadi komitmen bersama yangg disahkan MPR. Dst.

Kepastian sejarah itu tidak bisa diubah, tetapi, kalau bangsa ini benar-benar ingin menjadi lebih baik ya harus mau dikritik dan siap untuk berubah.

Mana ada yang imun dari kekurangan. Tapi kata-kata kebabalasan itu out of context. Ada kelemahan dan kekurangan iya. Apa lagi jika dibaca dalam konteks saat ini. Kita harus menghargai ikhtiar kita sebagai bangsa yang terus bergerak maju.

Iya, sistem bernegara kita harus semakin esensial.

Dalam suatu pertemuan yang melibatkan para senior citizen keluar kata bahwa reformasi sudah kebabablasan. Saya bilang: bagaimana kita ingin berdialog tentang reformasi sebagai bagian dari sejarah bangsa jika sebagian kita sudah mengambil posisi sebagai hakim garis.

Saya ditanya, mengapa berkesimpulan begitu. Saya jelaskan, kata 'bablas' itu menghendaki salah satu pihak sebagai hakim garis. Ujung-ujungnya saya diyakinkan bahwa kita harus kembali ke UUD 1945 yg murni.

Lagi-lagi mereka mengambil posisi sebagai hakim. Ada yang murni ada yang tak murni alias KW.

Akhirnya saya memilih untuk mengalah dan mendengarkan saja. Mungkin itu yang terbaik.

Sekedar menyampaikan pandangan, manusia biasa seperti saya tempatnya khilaf.

Kebablasan = kelewatan, keterusan.

Ini menurut Tesaurus Bahasa Indonesia, boleh setuju dan boleh tidak.

Melampaui batas: garis.

Garisnya mana?

Apakah sila ke-4 Pancasila perlu diamandemen juga?

Ya kita tanya kepada yang bilang bablas. Bablas itu malampaui batas/garis. Makanya disebut kelewatan, keterusan.

Bagi saya amandemen itu konsensus. Kalau terasa di waktu kemudian tak sesuai keinginan dan tak efektif ya diamandemen lagi. Tapi dengan semangat untuk semakain maju dan esensial. Itulah sejarah. Tentunya tidak setiap hari amandemen.

Tentu akan ada konteks politik kekuasan yang ikut mewarnai.

Memang, amandemen UUD 1945 telah kebablasan, jadi kapan mau diamandemen lagi, supaya tidak melampaui batas?

Menurut hemat saya, amandemen UUD NRI 1945 tersebut telah melampaui batas Pancasila.

Apakah carut marut RI kini tidak ada sangkut pautnya dengan hasil amandemen 1999-2002?

Nilai-nilai Pancasila: ketuhanan, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Harusnya, UUD 1945 dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila.

Bagaimana fakta dan realitanya pasca amandemen 1999-2002?

1) melampaui batas yang mana?

2) carut marut yang mana?

Kalau cuma presiden dipilih langsung, 49 tahun sejak berdiri negara ini tanpa pemilihan presiden secara langsung. Apakah lebih baik dari hari ini?

Apakah sila ke-4 itu sebuah proses pengambilan keputusan dalam bernegara atau suatu proses pemilihan presiden dan wakil rakyat? Saya tidak tahu. Yang jelas 49 tahun kita hanya memilih partai. Tapi, sekali lagi, apakah lebih baik dari hari ini?

Indonesia tidak sedang baik-baik saja...

Apakah keadilan sosial benar-benar telah diperjuang bagi seluruh rakyat Indonesia?

Negeri ini dimerdekakan oleh rakyat semesta, mengapa kini dikuasai oleh oligarki ekonomi dan politik?

Oh... kalau soal keadilan sosial sejak puluhan tahun memang tetap jadi masalah, ada yang membaik ada yang tidak. Maka harus dijelaskan mana yang membaik dan mana yang tidak membaik.

Apakah keputusan pindah ibu kota negara melalui musyawarah, atau demokrasi one man one vote, ataukah melalui otoritas Presiden RI?

Oligarki ekonomi dan politik terbentuk puluhan tahun. Bukan hanya di era reformasi.

Tetapi, di era reformasi makin menjadi-jadi...

Kalau ini semua presiden yang berencana ingin memindahkan ibukota negara di republik ini tak akan mungkin tanpa melalui DPR. Meski Sukarno, Suharto dan SBY belum berhasil menuntaskan keinginannya. Pertanyaannya, mengapa di DPR para anggota mayoritas bisa bersepakat?

Saya kira era reformasi hanya melanjutkan bibit yang sudah tertanam sejak orba. Jadi, reformasi gagal membuat bibit-bibit oligarki menjadi terkendali. Alih-alih bablas...

Karena DPR tunduk kepada Presiden.

Kalau ini hampir sejak dulu begitu. DPR tidak tunduk ke presiden hanya di era akhir kekuasaan Sukarno, dan selama 5 tahun setelah reformasi dan pada era SBY, posisi relatif setara. Jadi apa masalahnya? DPR diisi oleh anggota yang berasal dari parpol.

Mengapa kontrol kepada eksekutif lemah? Mengapa kader partai yang populer tak bisa dipromosi menjadi capres? Mengapa banyak juga capres dari luar parpol?

Bukankah parpol adalah institusi yang diatur dalam konstitusi? Apa peran konstitusionalnya? Apakah ada masalah dalam konstitusi terkait parpol?

Menunggu jawaban-jawabannya...

Anggota grup WA yang lain menulis,

“Sebenarnya saya sudah bosan dengan kosakata amandemen, konstitusi, undang-undang dasar, kuorum, dan sejenisnya.”

Pernah beberapa tahun mengurusinya hari demi hari. Ujungnya bukan soal debat substansi namun politik praktis yang memutuskannya lewat serangan kilat.

Bersusah-payah mengumpulkan dan merumuskan materinya keliling kampus dan jumpa banyak ahli di tanah air, eh, ditelikung oleh kepala negara cum kepala eksekutif lewat perintah lisan dan ketua majelis permusyawaratan rakyat melalui memo internal; masing-masing ke fraksinya agar menarik dan/atau tidak mendukung. 

Padahal niatnya, amandemen itu tidak tergesa-gesa dan/atau di bawah tekanan ketidakstabilan politik, tekanan demonstrasi, atau sejenisnya.

Jadi, perlu amandemen UUD 1945 lagi atau tidak, kita serahkan kepada Rakyat Indonesia melalui referendum! (*)

406

Related Post