Demi NKRI Cebong, Kampret, dan Kadrun Segera Rekonsiliasi Mengakhiri Pembelahan

Jakarta, FNN - Pembelahan di masyarakat akibat Pemilu 2019, dikhawatirkan bakal berlanjut pada Pemiu 2024. Padahal dari hasil survei Litbang Kompas, sesungguhnya mereka (dua kubu yang berbeda) menghendaki kenyataan ini segera di akhiri. Hasil survei terbaru menunjukkan 90,2 persen responden sepakat kedua kubu mesti menahan diri untuk tidak berkomentar di media sosial karena dapat menimbulkan kebencian. Sebanyak 87,8 persen responden juga setuju agar buzzer yang memperkeruh suasana ditindak tegas. Kemudian, 85,3 persen responden menyatakan harus ada rekonsiliasi kedua kubu. Lalu 84,6 persen responden setuju bahwa istilah "cebong", "kampret", dan "kadrun" harus diakhiri. 

Sebanyak 36,3 persen publik menilai buzzer, inluencer, atau provokator menjadi hal utama yang membuat polarisasi atau keterbelahan di masyarakat makin meruncing. Sementara itu, sebanyak 21,6 persen mengatakan polarisasi disebabkan informasi hoaks atau tidak lengkap, 13,4 persen menyatakan akibat kurangnya peran dari tokoh bangsa dalam meredakan perselisihan, dan 5,8 persen menyatakan akibat teknologi media sosial.

Seperti apa Litbang Kompas melakukan survei dan apa rekomendasi dari survei terebut, berikut wawancara Peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu dengan wartawan senior FNN, Hersubeno Arif, dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Rabu, 08 Juni 2022. Peikannya:

Apa yang mendorong Litbang Kompas melakukan survei tentang buzzer?

Ini diilhami oleh Pemilu yang tinggal 2 tahun lagi. Tahapan Pemilu yang akan dilakukan mulai 14 Juli 2022 ini, kita melihat masih diliputi oleh suasana polarisasi dan pembelahan politik sebagai residu kontestasi Pemilu 2019 terutama pemilihan Presiden. Nah kita coba mengangkat tema ini, pingin tahu bagaimana respons publik ya melihat isu ini. Hasilnya memang kelihatan sebagian besar publik hampir 70 persen lebih, itu khawatir dengan pembelahan ini.  Itu akan tetap terjadi di Pemilu 2024 esok. Jadi kekhawatiran ini yang sebenarnya kita ingin memberikan early warning  terhadap semua pihak, terutama kontestan Pemilu, pemerintah, dan semua pihak, bahwa ini harus menjadi perhatian serius agar kemudian kita melihat Pemilu 2024 itu menjadi ajang kontestasi gagasan, ajang kontestasi yang sifatnya positif. Tidak lagi menjadi perang kebencian, perang permusuhan yang selama ini menghiasi dunia sosial media kita. Itu yang menjadi latar belakang kenapa survei ini mengambil tema soal pembelahan politik ini.

Bagaimana hasilnya?

Hasilnya kelihatan memang secara umum apakah publik yang selama ini berseberangan merasa sekarang ini semakin buruk atau semakin baik. Jadi pertanyaan itu direspons sebenarnya cukup terbelah, sebagian 45 persen menyatakan semakin baik, artinya tensi persaingan itu sudah berkurang, tetapi sebagian yang lain ya sama,  40,3 persen menyatakan semakin buruk. Dengan kondisi ini kita tanyakan juga apakah khawatir dengan pembelahan ini masih terjadi di Pemilu 2014 nanti, iya 73 persen menyatakan sangat khawatir pembelahan dan permusuhan saling bersitegang, itu akan tetap menghiasi di Pemilu 2024. Hal apa yang membuat keterbelahan dan kemudian muncul kubu-kubuan ini semakin meruncing, pernyataan atau jawaban yang paling banyak dari responden itu karena adanya buzer, influencer atau buzer terutama yang sebenarnya justru semakin memperkeruh persaingan. Ini semakin memelihara kubu-kubuan. Itu kontribusi kehadiran buzzer. Terutama dari semua kubu. Dari kedua kubu sama-sama memproduksi narasi-narasi atau konten-konten yang justru semakin memperkeruh, semakin memelihara ketegangan antara dua kubu itu. Selain kehadiran buzer, juga hoax. Hoax itu sebenarnya menjadi bahan bakar untuk saling manyerang, Ini yang dibaca oleh publik sebagai faktor yang paling memberikan kontribusi terbesar terhadap kekhawatiran terhadap kondisi yang semakin menghiasi Pemilu 2004 nanti.

Sampelnya hanya di perkotaan atau ada yang dari pedesaan?

Ini profil responden Kompas yang pernah kami wawancara tatap muka di lapangan. Jadi, meskipun ini survei melalui telepon, ini secara populasi sudah menggambarkan populasi masyarakat Indonesia, baik dari pedesaan maupun perkotaan, karena ini responden kami untuk survei-survei berkala tetap muka di lapangan, secara komposisi antara pedesaan dan perkotaan hampir seimbang. Ini sebagai representasi dari populasi masyarakat Indonesia itu sendiri.

Artinya ini sudah merepresentasikan masyarakat Indonesia ya?

Ini cukup representatif bagi masyrakat Indonesia.

Bisa dibreakdown lebih jauh apa saja isu-isu yang membuat mereka khawatir, dan apa yang mereka harapkan dalam situasi seperti ini?

Harapan publik sebenarnya, situasi seperti kalau bisa diakhiri. Bagaimana cara meredam dan mengurangi potensi-potensi ketegangan antara kedua kubu ini, ya salah satunya adalah bagaimana menyelesaikan dan mengatur keberadaan para buzzer ini. Tentu responden tidak bisa berkata detil, karena kita wawancara by phone. Tapi memang ada harapan kondisi ini ketegangan seperti ini bisa dikurangi. Misalnya pelabelan diksi-diksi yang selama ini menghiasi sosial media kita, antara Kadrun, Cebong, Kampret itu kalau bisa diakhiri. Dengan mengurangi penggunaan diksi itu setidaknya iklim perbincangannya relatif lebih lebih sehat dan positif. Selama diksi-diksi itu diproduksi terus-menerus, oleh kedua kubu, maka situasinya tidak akan membaik, karena itu akan terus-terusan meningkat tensi ketegangan antara kedua kubu. Harapan publik juga antara kedua kubu ini sebenarnya bisa menahan diri. Ini hampir mayoritas dikemukakan oleh publik 90,2 persen berharap kedua kubu bisa menahan diri untuk tidak memproduksi konten-konten atau unggahan-unggahan yang justru semakin memperkeruh suasana. Atau justru mendukung upaya kebencian atau kemarahan dari kubu yang lain. Antara yang pro dan kontra saling menjatuhkan.  lni iklim yang tidak sehat.

Kemudian kami menanyakan apakah iklim seperti ini akan mengancam atau merusak demokrasi, mayoritas mengatakan iya hampir 80% menyatakan situasi seperti itu mengancam demokrasi kita.  Demokrasi kan tidak dibangun dari kebencian, demokrasi itu mestinya dibangun dari kontestasi gagasan. Kita bertarung gagasan. Gagasan mana yang indah dan cukup baik bagi rakyat, itulah yang akan diterima. Ini situasinya tidak bertarung gagasan tapi malah bertarung saling menjatuhkannya. Jadi, ibaratnya tidak negative campaign, tapi kadang black campaign, tidak berdasarkan data dan fakta tapi yang diproduksi adalah berdasarkan kebencian. Semua dilandasi oleh kebencian, oleh permusuhan. Ini yang dibaca oleh responden. Ini justru merusak demokrasi itu sendiri. Demokrasi itu tidak tidak seperti itu. Demokrasi itu saling mengagungkan gagasan, saling menghormati semua orang dikasih ruang untuk berekspresi tanpa menjatuhkan yang lain. Ini justru kebalikan, mereka berekspresi dengan menjatuhkan yang lain. Ini yang menjadi ancaman dan dibaca oleh responden, ini akan merusak iklim demokrasi kita.

Angkanya luar biasa tinggi, artinya mayoritas dari kita ini, rakyat sudah muak dan jengkel ya?

Sebenarnya ekspektasinya cukup tinggi agar segera berakhir. Tetapi situasi saat ini belum ada upaya yang cukup serius untuk mengakhirinya, baik dari kedua kubu ataupun mungkin dari pemerintah.  Yang terjadi lebih pada pengaturan-pengaturan yang sifatnya memang lebih mudah diatur. Misalnya soal konten hoax, pemerintah cukup aktiflah melakukan kontrol terhadap konten-konten yang secara substansi salah, tidak benar, penuh kebohongan, Kemenkominfo cukup aktif memberikan konten edukasi di laman website-nya.

Jadi, edukasi literasi digital yang selama ini menjadi kata kunci yang dimainkan. Tapi belum ada upaya-upaya khusus yang bisa menjembatani antara kedua kubu ini. Ini sebenarnya menjadi PR bareng semua pemangku kepentingan untuk sedikit meredakan ketegangan. Kalau kita lihat diskusi-diskusi pegiat Pemilu itu sebenarnya political enginering itu bisa dilakukan ketika undang-undang Pemilu bisa direvisi. Sekarang kan tidak mungkin,  karena memang sudah disepakati Pemilu 2024 masih pakai undang-undang yang lama, yang sebenarnya kalau kita lihat political engineering yang bisa kita lakukan itu, adalah bagaimana kemudian membangun kontestasi yang sifatnya tidak lagi ada dualisme, dikotomi. Jadi misalnya dari jumlah pasangan calon presiden itu, kalau bisa jangan 2. Itu salah satu political engineering yang cukup banyak bisa mengurangi ketegangan antara kedua kubu. Tapi kalau kita lihat kecenderungan dua Pemilu terakhir, terutama 2019, itu malah mengulangi apa yang terjadi di 2014.  Nah ke depan, kami melihatnya 2024 itu masih ada kesempatan yang cukup luas untuk setidaknya ketika dua atau lebih dari dua  pasangan calon, itu sedikit banyak, mungkin sedikit bisa mencairkan ketegangan ini.

Apakah itu juga dibaca oleh responden Anda bahwa dengan sisi Pemilu sekarang yang kira-kira memaksimal calon paling ketiga atau bahkan dua?

Di survei sebelumnya mengatakan seperti itu. Jadi responden lebih berharap pasangan calon Presiden kalau bisa lebih dari dua. Sebagian besar, salah satu pertimbangannya adalah untuk mengurangi tensi ketegangan, meskipun ada juga di survei yang ini juga terkait isu pembatasan durasi kampanye. Itu salah satu juga untuk mengurangi ketegangan. Jadi, hampir sebagian besar responden itu berharap durasi kampanye diperpendek. Jadi tidak sepanjang 2019 kemarin yang 203 hari,  tapi mereka berharap diperpendek. Nah kita hari ini atau kemarin pemerintah, DPR, dan KPU sudah menyepakati selama 75 hari. Ini sebenarnya sedikit banyak mengurangi potensi ruang untuk ketegangan itu terjadi terus-menerus. Memperpendek masa kampanye itu juga mengurangi potensi ketegangan.

Responden ingin agar pemerintah menindak tegas, tapi kita tahu, ada kesan tindakan itu hanya berlaku kepada para oposisi. Apakah ini muncul di survei Kompas?

Tidak ada pertanyaan khusus soal apakah penanganan atau laporan terkait  konten-konten yang sifatnya negatif itu, berlaku partisan tidak muncul. Tapi yang jelas isu ini sebenarnya bukan isu partisan, isu keinginan agar-agar kondisi ini cepat mereda itu, bukan sesuatu partisan, baik responden pemilih Jokowi maupun responden pemilih Prabowo di Pemilu 2019 kemarin, kalaupun itu dipakai untuk merepresentasikan kedua kubu. Itu sama-sama berharap kondisi ini segera diakhiri. Artinya memang ini bukan isu partisan, seperti halnya ketika responden menilai kinerja pemerintah. Itu masih ada bobot partisannya, pemilih Jokowi ekspresinya lebih banyak yang menanggapi positif dibandingkan pemilih Prabowo yang cenderung kritis terhadap kinerja pemerintahan. Ini berbeda dengan isu penilaian terhadap kinerja pemerintah. Isu terhadap bagaimana mengurangi ketegangan polarisasi ini,  tidak terlihat isu partisan, karena sama-sama kedua kubu berharap ini segera diakhiri.

Dari kenyataan itu sebetulnya keinginan untuk sama-sama mengakhiri besar sekali ya?

Bener, kalau kita lihat memang yang selama ini dikategorikan para buzzer  ini follower-nya tinggi-tinggi semua. Jadi, ini yang sebenarnya mungkin sebagian kecil, tapi dampaknya itu kemudian sangat negatif. Tidak hanya di dunia sosial media,  karena sebenarnya wacana-wacana yang diproduksi itu kadangkala juga menjadi rujukan media mainstream. Wacana-wacana ini problem-problem juga bagi media mainstream ketika informasi-informasi yang diproduksi di sosial media itu di jadikan juga konten-konten di media-media mainstream. Nah, ini sebenarnya pekerjaan rumah juga bagi teman-teman media.

Iya, sekarang memang berubah polanya, media sosial justru menjadi rujukan media mainstream. Para buzzer punya follower yang sangat besar, tetapi imbasnya tidak seperti yang dibayangkan, karena ternyata sebagian besar menolak?

Iya, sebenarnya realitas ketegangan setidaknya kalau kita ikuti, ketegangannya terjadi di sosial media. Jarang sekali ketegangan terjadi di tingkat lapangan. Itu yang patut kita bersyukur, ketegangan-ketegangan itu tidak sampai pada ketegangan fisik di lapangan. ya jangan sampai seperti itu tetapi sebenarnya ketika tingkat penggunaan sosial media kita semakin tinggi penetrasi internet juga semakin tinggi, data jadi Kementerian Informasi itu hampir 200 juta dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 260, itu sudah terakses internet. Data Kominfo juga menyebutkan sebagian besar akses internet itu digunakan - kalau enggak salah 75% itu untuk mencari informasi di sosial media.  Nah, ini kan problem ketika orang semakin ketergantungannya ke sosial media, smakin tinggi dan sementara produksi konten itu lebih didominasi oleh bukan oleh media mainstream, tapi para pendengung. Ini problem ketika informasi-informasi yang dijanjikan oleh pendengung itu konten-konten yang tadi, tidak mencerahkan, tapi memproduksi kebencian. Ini problem.

Nah, ini yang patut kita bersyukur, tidak sampai-sampai diikuti ketegangan di lapangan, meskipun mungkin beberapa kasus di daerah-daerah terjadi, tapi saya pikir ini kesempatan bahwa kita masih punya waktu, Pemilu masih dua tahun lagi. Tapi kalau ini tidak dimulai dan tidak diinisiasi oleh terutama pemerintah. Secara regulasi pun ini juga masih lemah soal-soal apa pengaturan kampanye di sosial media. Misalnya misalnya dalam arti ada ketentuan di pemilu 2019 kemarin, kontestan atau ke tim kampanye itu harus mendaftarkan akun resmi misalnya, tapi kan tidak menjamin akun-akun yang tidak resmi itu bisa dipantau.

Ada rencana tindakan tegas dari pemerintah, apa bentuknya?

Di jajak pendapat memang tidak cara tegas tindakan seperti apa yang diharapkan. Yang jelas ketika kami menanyakan itu 87,8 persen responden berharap ada tindakan tegas terhadap buzzer yang memperkeruh suasana. Mungkin bisa kami maknai bagian dari law inforcement tadi. Setiap orang siapapun dia yang sebenarnya memproduksi kebencian, melanggar undang-undang ITE, saya pikir itu layak ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku tanpa melihat siapa dia?  Ini soal trust, ketika tidak diberlakukan sama, maka otomatis akan diikuti dampaknya. Penegakan hukum menjadi lemah.

Dengan data yang dimiliki Kompas, sebetulnya mudah mengakhiri pembelahan ini ya, sesuai harapan kami, FNN? Ini tugas siapa?

Pemerintah dan para kontestan Pemilu nanti. Jadi, pemerintah sebagai  fasilitator Pemilu,  yang kemudian dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu dan juga para kontestan Pemilu. Saya pikir nanti setiap kali masa kampanye mau diadakan, biasanya penyelenggara membuat rule yang mengatur secara detail bagaimana koridor-koridor kampanye terutama kampanye di sosial media. Tantangannya adalah bagaimana kontrol mampu dilakukan oleh penyelenggara Pemilu. Tapi yang paling penting sebenarnya kesadaran dari semua pihak, terutama kontestan Pemilu baik partai politik maupun Capres. Pilkada dimulai bulan November 2024, mereka tidak boleh main-main buzzer. Kalau influencer untuk campaign positif saya pikir hak mereka, karena memang kampanye itu kan mengenalkan program.

Jadi, biarkan publik dikasih ruang-ruang pertarungan gagasan, bukan pertarungan kebencian. Kadangkala kita juga stres melihat konten-konten yang sifatnya saling merendahkan, saling membenci. Kalau kita lihat baca hasil survei ini sebenernya masyarakat kita relatif cerdas mana yang baik bagi bangsa ini ya.

Kita punya punya pengalaman Pemilu 2004 dengan lima calon, setelah itu juga enggak masalah walaupun itu sampai dua putaran. Untuk pemilihnya Pak SBY maupun pemilihnya Ibu Mega juga enggak pernah sampai sejauh ini, meskipun harus kita akui, waktu itu sosial media mungkin tidak semasif saat ini. Tapi kita punya pengalaman bahwa dengan dua calon di dua putaran di 2004 bahkan di 2009 tiga paslon, kita tidak pernah sampai terjadi residu yang negatif.

Penelitian Oxford University kemudian dilanjutkan dengan LP3ES menyatakan buzzer itu jadi ladang bisnis?

Iya memang. Kuncinya lebih ke bagaimana lalu lintas perbincangan di sosial media itu lebih sehat. Kalau kita merujuk literasi digital kita yang di skala 1-5, yang paling rendah itu adalah tingkat literasi yang sifatnya keamanan. Jadi, aman dari konten-konten negatif. Jadi, publik kita atau pengguna sosial media kita, itu di tingkat budaya literasi itu sudah relatif tinggi, kalau enggak salah hampir mendekati empat. Tapi tingkat keamanan mereka memilah, mana konten yang terbaik, konten yang benar, ini yang sebenarnya paling rendah kalau kita merujuk indeks literasi digital di Indonesia. Nah ini yang sebenarnya menjadi pekerjaan rumah dan ini yang sebenarnya dimanfaatkan oleh buzzer-buzzer itu. Ketika mereka melihat pengikutnya tambah banyak, yang komen komen justru mendukung. Mereka merasa pasarnya masih ada, maka mereka main terus.

Apa rekomendasi Litbang Kompas dari temuan ini?

Kalau dilihat dari jawaban responden sih, yang pertama tentu berharap ini segera dikuatkan upaya-upaya untuk menghentikan ini semua. Kalau karena waktu mepet tinggal 2 tahun, tentu harus ada upaya-upaya yang sifatnya kalau dari pertanyaan kami sih ada 85,3 persen responden sepakat rekonsiliasi kedua kubu.

Hanya bentuk rekonsiliasi seperti apa, saya pikir ini menjadi PR bagi semua terutama para pegiat sosmed yang konsen dengan isu ini,  salah satunya Mas Hersu sebagai penggiat sosmed, mungkin bersama-sama kita perkuat di sosmed, tentu ini menjadi salah satu langkah yang cukup positif.

Bahwa dengan hasil survei ini, bisa menjadi legitimasi dan argumentasi bahwa sudah enggak ada maknanya pertarungan yang sifatnya dilandasi oleh kebencian. Kita harus menggeser kebencian ini dengan gagasan, saling tarung gagasan, prestasinya apa? Jadi yang penting kontribusi terhadap bangsa dan negara ini lebih ke karya, bukan sekadar rasa. Justru pertarungan karya ini yang sebenarnya buat publik mendidik, juga buat pemilih. Itulah ketika meng-endors seseorang jadi capres, ya lihat karyanya, jangan sekadar rasanya yang diaduk-aduk itu. Sementara buzzer ini mainnya di rasa, tidak main di karya. Justru itu yang sebenarnya pertarungan gagasan yang harus diperkuat, bukan pertarungan yang dilandasi oleh kebencian dan permusuhan. Kita butuh aktor-aktor dan kekuatan civil society yang ada di sosmed untuk sama-sama menggaungkan ini.  Kalau perlu diikuti dengan pertemuan kopi darat lalu digaungkan secara sosial media, saya kira ini menjadi titik awal yang bagus. (sws)

387

Related Post