Demo Mahasiswa Cirebon Berakhir Ricuh, LaNyalla Minta Aparat Tidak Represif

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.

Jakarta, FNN – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menyoroti tindak kekerasan yang terjadi terhadap mahasiswa saat demo menolak pasal kontroversial RKUHP dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), di depan gerbang DPRD Cirebon, Senin (18/7/2022).

Akibat keributan tersebut, sejumlah mahasiswa menderita luka-luka. Ada juga mahasiswi yang ambil bagian dalam demo ini juga dibuat histeris.

“Saya berharap aparat bisa menahan diri. Hindari kekerasan terhadap para mahasiswa. Karena mereka adalah generasi penerus bangsa dan memiliki hak menyampaikan pendapat. Saya berharap tidak terjadi lagi hal-hal seperti ini,” tutur LaNyalla.

Senator asal Jawa Timur itu mengatakan, tindakan represif harusnya tidak dibenarkan dalam menangani demonstrasi masyarakat.

“Selama demo berlangsung kondusif, tetap mengedepankan persuasif. Oleh sebab itu, saya juga mengimbau adik-adik mahasiswa meminimalisir peluang hadirnya provokator dalam setiap aksi. Sehingga bentrokan tidak perlu terjadi dalam setiap aksi jalanan,” katanya.

Di mata LaNyalla, melihat situasi yang terjadi di masyarakat saat ini memang memaksa para mahasiswa untuk turun ke jalan. Ia berharap pemerintah peka dengan kondisi masyarakat.

“Di tengah kenaikan harga-harga, termasuk BBM, masyarakat dihadapi lagi dengan adanya pasal-pasal RKHUP yang kontroversial. Untuk itu, pemerintah seharusnya tidak membuat suasana semakin keruh dengan menghadirkan kebijakan yang membuat massa beraksi,” tegasnya.

Dalam demonya, para mahasiswa Cirebon mengusung dua tuntutan yakni terkait pasal kontroversial RKUHP dan tolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Mahasiswa mempertanyakan 4 pasal dalam RKUHP yang dinilai kontroversial dan seharusnya tidak ada di RKUHP.

Dalam keterangan tertulis, mahasiswa mempersoalkan Pasal 218, 241, 351, dan 256 di RKUHP.

Diketahui, dalam Pasal 218 terkait dengan penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden. Pasal ini, dinilai dapat menyebabkan multitafsir. Juga bisa menimbulkan pandangan otoriter.

Di pasal 241 mengenai ujaran kebencian juga dinilai multitafsir. Sebab, tidak ada garis batas antara ujaran kebencian dan kritik yang dilayangkan kepada pemerintah.

Pada pasal 351 yang dipersoalkan juga dikhawatirkan dapat digunakan untuk membungkam kritik yang dilayangkan kepada pemerintah. Berikutnya pasal 256 terkait pemberitahuan dalam sistematika aksi.

Karena bersifat pemberitahuan dan koordinasi, seharusnya tidak dimaknai sebagai perizinan. (mth/*)

305

Related Post