Demokrasi Gombal
Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih
"Kolaborasi adalah proses kerja sama antara dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama. Gombalan berarti ucapan yang tidak benar atau tidak sesuai kenyataan."
Kata 'kolaborasi' pernah terlontar saat presiden terpilih Prabowo Subianto berpidato di Kongres III NasDem, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2024). Saat itu, ia menekankan jika budaya Indonesia adalah kerjasama, bukan oposisi.
"Kita harus kerjasama. Kita harus kolaborasi, jangan kita mau ikut-ikut budaya lain. Budaya barat atau budaya mana itu mungkin suka oposisi-oposisi, gontok-gontokan, oposisi, nggak mau kerjasama itu mungkin budaya mereka.
Itu bisa menjadi Gombal, ketika fakta yang terjadi adalah Adagium Thucydides, mengatakan bahwa strong will do what they can, and the weak suffer what they must (yang kuat akan berbuat sekehendaknya yang lemah harus menderita).
Asumsi dan persepsi Presiden Prabowo Subianto bahwa oposisi sebagai gangguan, tidak sepenuhnya keliru. Oposisi bisa saja memanfaatkan apa yang disebut Tom Nichols (2017), sebagai factoid. Yaitu, pernyataan palsu dan manipulatif yang disajikan seolah-olah sebagai fakta. Atau hoaks yang diklaim sebagai informasi yang sebenarnya.
Namun demikian, jangan serta merta menilai negatif terhadap tindakan politik oposasisi dan tidak serta merta disimpulkan bahwa keberadaan oposisi itu mengganggu.
Problem factoid itu bisa dilawan dengan narasi, penjelasan, dan penyebaran informasi yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan data faktual.
Asumsi dan persepsi Presiden menjadi gombal kalau fakta membuktikan rezim di Indonesia selama ini selalu terjebak pada kepentingan jangka pendek, idealisme tujuan negara sesuai pada pembukaan UUD 45 telah kalah oleh kekuatan pragmatisme. Rakyat terus menjadi korban kedzaliman penguasa.
Selama ini oposisi terus di lemahkan membuka peluang bagi pemerintah untuk memusatkan kekuasaan tanpa pengawasan, meningkatkan risiko korupsi, nepotisme, dan kebijakan yang mengabaikan rakyat.
Tanpa oposisi, aspirasi masyarakat kehilangan saluran. Hal ini memicu ketidakpuasan dan potensi konflik sosial. Tekanan pada oposisi justru memperdalam polarisasi politik, memperkuat sikap ekstrem, dan memicu ketegangan sosial.
Demokrasi membutuhkan oposisi untuk menyeimbangkan kekuasaan. Tanpa itu kebijakan hanya mencerminkan kepentingan elit, bukan rakyat. Publik bisa kehilangan kepercayaan pada demokrasi jika oposisi tidak diberi ruang. Akibatnya, muncul apatisme politik dan kecenderungan mendukung rezim yang selalu terseret menjadi otoriter.
Ketika penguasa hanya mengejar kekuasaan demi keuntungan material, mereka cenderung meninggalkan prinsip luhur yang sebelumnya mereka pegang teguh. (Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman).
Ketika seseorang menyerahkan kebebasan dan nilai-nilainya demi kekuasaan, ia sebenarnya mengalami kejatuhan eksistensial. (Jean-Paul Sartre, filsuf Prancis). Fenomena ini sebagai momen di mana penguasa justru merubah diri ini menjadi bagian dari sistem (ketidakadilan) yang harus mereka lawan.
Saat ini masyarakat juga memiliki asumsi dan persepsi penguasa di Indonesia bukan Presiden hasil Pilpres tetapi Presidennya adalah James Riady Bandar Pilpres (Taipan Oligarki). Kalau ini benar (semoga tidak benar) maka demokrasi di Indonesia adalah Demokrasi Gombal. (*)