Demokrasi Konsensus vs Demokrasi Mayoritas, Pilih Mana?

Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila

Dalam sistem Presidensial, Presiden yang menang melantik dirinya sendiri dan menjalankan janji-janji kampanyenya. Kalau tidak ditepati janjinya ya harap maklum.

Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila

DEMOKRASI berdasarkan Pancasila adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan atau demokrasi konsensus.

Dengan kata lain, pemilihan Presiden dilakukan dengan permusyawaratan perwakilan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan. Artinya, tidak semua orang bisa bermusyawarah yang dipimpin oleh bil Hikmat.

Jadi, hanya para pemimpin yang punya ilmu yang bisa bermusyawarah. Sebab musyawarah bukan kalah-menang, bukan pertaruhan, tetapi memilih yang terbaik dari yang baik.

Pemilihan didasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan, nilai persatuan Indonesia, Permusyawaratan perwakilan yang bertujuan untuk Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan semua hasil itu semata-mata untuk mencari ridho Allah atas dasar Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Dengan sistem MPR maka pelaksanaan demokrasi asli Indonesia berdasarkan Pancasila tidak menguras Triliunan rupiah, tidak ada pengerahan masa, tidak ada kampanye, tidak ada pengumpulan massa yang tidak perlu. Sebab yang dipertarungkan adalah pemikiran gagasan, tidak membutuhkan korban yang sampai hampir 900 petugas KPPS meninggal yang tidak jelas juntrungannya.

Sistem presidensial basisnya Individualisme. Maka kekuasaan diperebutkan banyak-banyakan suara, kuat-kuatan, pertarungan, kalah-menang. Yang menang mayoritas dan yang kalah minoritas, demokrasi mayoritas jadinya.

Demokrasi dengan cara-cara Liberal, Kapitalis, membutuhkan biaya yang besar, menguras dana rakyat Triliunan rupiah, maka membutuhkan bandar- bandar untuk membiayai calon akan diganti dengan kekayaan ibu Pertiwi yang menjadi oligarki. 

Untuk memilih pemimpin pilkada, pileg, pilpres dengan sistem pemilu yang serba uang bisa kita tebak maka menghasilkan para koruptor , hampir 80% kepala daerah terlibat korupsi. Dan yang lebih miris korupsi seperti hal yang lumrah di negeri ini. Begitu juga dengan petugas KPU-nya, juga bagian dari sistem korup, kecurangan bagian dari strategi pemilu.

Demokrasi bisa dibeli geser-menggeser caleg, memindakan suara itu adalah bagian dari permainan KPU. Ini bukan isapan jempol, bukannya sudah dua anggota Komisioner KPU yang dipecat karena terlibat permaian uang.

Dalam sistem Presidensial, Presiden yang menang melantik dirinya sendiri dan menjalankan janji-janji kampanyenya. Kalau tidak ditepati janjinya ya harap maklum.

Artinya di akhir masa jabatan presiden tidak perlu mempertanggungjawabkan kekuasaannya.

Bayangkan, Ketua RT saja di akhir jabatannya mempertangungjawabkan kepemimpinannya pada warganya. Apa masih berharap dengan pemilu? (*)

497

Related Post