Demokrat Merapat ke Prabowo, Cawe-cawe Jokowi Berbuah Kendali yang Tidak Bisa Dipegang Lagi

Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo Subianto

Jakarta, FNN -  Setelah hengkang dari koalisi perubahan, sinyal Partai Demokrat untuk mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden 2024 semakin jelas. Partai Demokrat yang dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) itu sepertinya akan segera bergabung ke Koalisi Indonesia Maju (KIM). Hal itu ditandai dengan pertemuan antara AHY dan Ketua Majelis Tinggi  
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Prabowo serta elite partai politik KIM di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Minggu (17/9). Setelah pertemuan tersebut, anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat dan Ketua Dewan Kehormatan DPP Partai Demokrat mengonfirmasi bahwa deklarasi dukungan kepada Prabowo akan segera disampaikan pekan ini.

Mengomentari kondisi tersebut, Rocky Gerung dalam kanal You Tube Rocky Gerung Official edisi Senin (18/9/23) mengatakan, “Iya, saya melihat ini semacam final solution itu. Ini bukan versi final solution to the Jewish Question itu, tetapi satu upaya yang bisa kita pastikan akan ada perubahan banyak paradigma politik. Yang pertama pasti Pak Jokowi mungkin tidak kaget juga dia bahwa SBY akhirnya pergi ke Prabowo. Atau lebih kaget lagi Pak Jokowi kok Prabowo mau menerima SBY yang jelas-jelas ambil posisi berseberangan dengan Jokowi.”

Jadi, lanjut Rocky, poin pertama adalah orang lihat ini taktik, ini siasat, atau betul-betul rasa sakit hati yang kemudian dialihkan menjadi koalisi dengan Prabowo. Tetapi, kita tahu bahwa antara Prabowo dan SBY ada semacam hits collaboration, tetap ada persaingan antara dua jenderal ini yang kita tahu latar belakangnya. Tetapi, juga ada semacam selaput yang membungkus mereka bahwa mereka adalah tentara militer yang berupaya untuk tetap berpengaruh dalam politik Indonesia.

Jadi, dua hal yang samar-samar ini sekarang menjadi jelas. Apalagi SBY menggunakan istilah yang sering dia sebutkan, yaitu turun gunung, satu gimik di dalam kemiliteran.

“Dan saya lihat tubuh Pak SBY betul-betul merasa lebih nyaman dengan Pak Prabowo. Demikian juga Prabowo,” ujar Rocky dalam diskusi bersama Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, itu.

Yang masalah adalah partai-partai yang sebelumnya telah ada di kalangan Prabowo, seperti PAN atau Golkar, kata Rocky. Mungkin Golkar lebih mudah memahami keadaan itu, tapi PAN yang sudah menyiapkan Erick Thohir akan menjadi soal berikutnya. Demikian juga Golkar yang merasa kehadiran SBY dengan profil yang masih sangat kuat masih mampu untuk berpengaruh.

“Jadi, terbuka peluang untuk memikirkan politik di dalam hal yang lebih pragmatis. Tetap saja langkah SBY adalah langkah yang pragmatis, tetapi orang menghitung kalau begitu ada deal dan Pak Prabowo bahwa ide perubahan itu akan dihadirkan di situ, “ ujar Rocky.

Sementara itu, menurut Rocky, mungkin saja Jokowi merasa cemas jangan sampai ide perubahan pada SBY itu betul-betul setara dengan apa yang masih dia perjuangkan ketika masih bersama dengan Anies.

Sedangkan Anies justru akan sedikit kehilangan semacam auranya karena kalau Anies mengatakan perubahan maka  orang akan bilang tapi ada Cak Imin. Sebaliknya, kalau Gerindra mengatakan bahwa mereka akan meneruskan Jokowi maka orang akan mengatakan tapi ada SBY di situ.

”Jadi, itulah yang kita sebut sebagai kimia baru di dalam politik Indonesia. Jadi, new kind of chemistry di dalam politik Indonesia,” ujar Rocky.

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan posisi Prabowo dan dukungannya terhadap Jokowi. Sebaliknya, bagaimana Jokowi menyikapi hubungannya dengan Prabowo karena bagaimanapun juga SBY tetap bicara soal agenda perubahan. Bagaimana juga dengan soal Gibran yang masih menunggu keputusan dari Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan judicial review.

Menjawab pertanyaan tersebut, Rocky mencoba membuat hipotesis. Kalau Gibran akhirnya diloloskan, pertanyaannya adalah Gibran mau ditaruh di mana oleh Jokowi. Kalau ditaruh di tempat Prabowo, itu artinya figur Gibran tetap tenggelam oleh figur SBY. Bahayanya, kalau dia ditaruh di Ganjar, reputasi Ganjar juga akan drop karena akan dianggap nebeng terus pada Jokowi.

“Tapi kita mau lihat sebetulnya kematangan SBY itu memang melampaui Jokowi. Kan orang nggak nyangka bahwa nggak mungkinlah SBY ke Prabowo karena persaingan politik sebelumnya. Tetapi, SBY itu tetap dia politisi, karena dia mantan presiden, dia menyimpan banyak taktik sebetulnya,” ujar Rocky.

“Jokowi saya kira terlambat membaca taktik itu, juga terlambat mengevaluasi dukungan dia pada Prabowo. Prabowo juga akhirnya mulai mendua sebetulnya, kenapa dia nggak diprotek habis-habisan, misalnya. Kenapa  sebagian relawan masih dikirim ke Ganjar. Jadi, tetap Prabowo menghitung bahwa Jokowi kok tidak sepenuhnya,” tambah Rocky.

Hal itu juga yang menjadi semacam alasan tersembunyi yang tidak diucapkan Prabowo kenapa dia menerima SBY. Jadi, intinya Prabowo menghitung kalau pada akhirnya Jokowi mengirim Gibran ke Ganjar,  Prabowo harus melakukan kontra pikiran atau kontra strategi, ujar Rocky. Dengan mengevaluasi itu maka Prabowo menghitung agar sebaiknya dilakukan langkah preventif, yaitu bergabung atau menerima usulan dari Demokrat untuk masuk.

“Tapi, saya kira sudah ada pembicaraan diam-diam di antara para jenderal yang melihat bahwa situasi Indonesia memang agak merepotkan, karena cawe-cawe Jokowi yang terus-menerus enggak ada kepastian,” kata Rocky.

“Jadi, saya mau terangkan dengan satu kalimat bahwa cawe-cawe Jokowi berbuah kendali yang tidak bisa dipegang lagi. Kalau dia masih bisa pegang kendali, tidak mungkin Prabowo mengundang atau menerima Demokrat. Dengan kata lain, Prabowo juga punya siasat yang lain yang sangat bisa berbeda dengan Jokowi. Dan begitulah politik yang sering kita katakan politik bukan sekedar the art of the possible, seni tentang yang mungkin, tapi seni untuk attack in impossible, seni untuk menghilangkan keraguan baahwa yang tidak mungkin pun bisa dilakukan,” ungkap Rocky.(sof)

485

Related Post