Dewan Pers: Jangan Hanya Diam Melihat Penyimpangan Pemerintah!

Prof Azyumardi Azra, Ketua Dewan Pers.

Jakarta, FNN – Ketua Dewan Pers yang juga Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Prof Azyumardi Azra meminta pers jangan hanya diam ketika melihat penyimpangan yang dilakukan Pemerintah.

Pernyataan itu menjawab wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal Hersubeno Point, Selasa (31/5/2022). Seperti, pengangkatan pejabat TNI dan Polri aktif sebagai penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat walikota.

Sebelumnya Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga telah melantik lima penjabat gubenur pada 12 Mei 2022. Pada Ahad (22/5/2022), Kementerian Dalam Negeri akan melantik 37 penjabat bupati dan 6 penjabat wali kota. 

“Ini saya kira reperkusi politik dari kebijakan yang bertolak belakang dengan reformasi,” ungkap Azyumardi. Reprekusi adalah dampak atau konsekuensi yang tidak terelakan.

Menurutnya, pengangkatan penjabat untuk menggantikan posisi kepala daerah yang habis masa jabatannya sebelum pemilihan 2024 mengingkari prinsip otonomi daerah.

Sejumlah gubernur, ujarnya, turut menolak usulan keputusan pemerintah pusat karena usulan mereka tidak diakomodasi. “Padahal yang namanya otonomi daerah dengan susah payah dibangun,” imbuhnya.

Ia menjelaskan, kebijakan yang kembali menguatkan resentralisasi bisa menimbulkan perlawanan. Ia mencontohkan, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) muncul karena ketidakpuasan di daerah pada kebijakan pemerintah pusat. Gerakan ini muncul pada 1950-an.

Kemudian ada Daud Beureueh yang memimpin gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh. “Tapi kayaknya kita sudah amnesia tidak mau belajar dari sejarah,” tegasnya. 

Azyumardi juga menyoroti kondisi demokrasi di Indonesia saat ini. Indeks demokrasi Indonesia, ujarnya, disebut menurun, bahkan flawed democracy atau belum sempurna.

“Tadi kalau saya bilang apa yang perlu syukuri, tapi ada juga yang perlu kita ratapi. Saya kira yang kita ratapi itu terkait perkembangan yang mungkin tak terlalu menyenangkanlah dari sudut Pers sendiri maupun sudut publik kita, masyarakat kita secara keseluruhan terutama dalam konteks demokrasi,” ujar Azyumardi.

Mengenai pentingnya Pers itu ada yang menyebutnya sebagai one of pilars of democracy atau salah satu elemen penting yang esensial dalam demokrasi itu ada juga pokoknya perannya sangat pentinglah.

Karena untuk memainkan peranya itu tentu saja pers harus bebas. Freedom of press itu adalah bagian dari demokrasi. “Kalau tidak ada kebebasan ya berarti tidak ada demokrasi, ya kan kira-kira sederhananya seperti itu,” lanjutnya.

Peran Pers itu sangat penting dalam demokrasi. “Pertama saya kira yang tadi itu sebagai medium untuk terwujudnya kebebasan berekspresi melalui media. Jadi itu yang bisa dibaca dan diikuti oleh publik kira-kira begitu,” tegasnya.

Yang kedua, lanjut Azyumardi, pentingnya Pers dalam demokrasi itu sebagai kekuatan chat and balance.

“Saya mengatakan hal ini mungkin agak baru, kadang-kadang agak kaget juga ada orang bilang bahwa tidak ada dokumen-dokumen Dewan Pers. Yang saya lihat, apa yang saya kemukakan ini bahwa Pers yang bebas itu harus menjadi critical partners of goverment atau bahkan juga masyarakat crirical partners of goverment of society katakanlah begitu,” papar Azyumardi.

Menurutnya, pers harus bisa menjadi mitra kritis dari pemerintah, dan bukan hanya pemerintah saja. Sebetulnya ada this cabang pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) yang menjadi kekuatan critical partners.

Apresiasi atas apa yang dilakukan yang positif dilakukan oleh pemerintah, eksekutif maupun yudikatif. Kita apresiasi, kita dukung, kita hargai tapi pada saat yang sama kita juga harus tes itu juga, bisa bicara dengan tegas, dengan jelas dan jujur mengenai hal-hal yang dilakukan ketiga cabang pemerintahan.

Yang tidak pada tempatnya tidak patutlah dilakukan atau merusak kehidupan bangsa dan bernegara secara berkeseluruhan. Misalnya, diam dalam soal-soal korupsi, banyaklah.

Menurut Azyumardi, yang terakhir ini tentu saja pers harus berani bicara mengenai proses pengangkatan pejabat-pejabat kepala daerah yang tidak sesuai dengan proses-proses demokrasi, tidak transparan, dan itu harus dikemukakan oleh Pers.

Pers itu jangan melihat keadaan itu kemudian bertindak sebagai corongnya dari tiga cabang pemerintahan itu. Termasuk MK, MA, dan Yudikatif. Ada juga eksekutif presiden dengan kabinet dari pusat.

“Kemudian ada pusat daerah dan ada DPD, DPR. Juga, ada MPR. Ada banyak hal positif yang mereka lakukan, tetapi juga banyak hal yang mencemaskan, terutama dalam kaitannya dengan demokrasi itu tadi yang sudah saya sebut contohnya, pengangkatan penjabat kepala daerah yang kalau saya sebetulnya menolak pilkada yang harus ditumbukkan semua pada 27 November 2024,” ujar Azyumardi.

Pejabat yang pada 12 Mei 2022 pejabatnya dilantik itu bisa berkuasa sampai pertengahan 2025. Memang menjabatnya selama 1 tahun, tapi 1 tahun bisa diperpanjang diperpanjang diperpanjang, mengapa sampai 2024 atau 2025?

Karena kalau terjadi pertikaian hasil-hasil pemilu di KPU atau di Bawaslu tak akan selesai, harus tertundalah pengesahan dan pelantikan penjabat kepala daerah yang dipilih melalui pilkada itu.

Jadi, bukan sekedar 2 tahun. Penjabat itu jika lebih dari 2 tahun atau bahkan sebetulnya menurut Undang-Undang tak boleh penjabat itu lebih dari 2 tahun setengah dari masa jabatan.

“Katakanlah 2 tahun 6 bulan, itu jelas tidak boleh, tapi mungkin pemerintah mengakalinya dengan Kementerian Dalam Negeri mengangkat penjabat itu per 1 tahun ya kan, tapi per 1 tahun itu bisa sampai 3 tahun,” ungkap Azyumardi.

Mungkin juga cara mengakalinya dengan digilir-gilir, yang tadinya di Banten dipindahkan ke DKI menggantikan Anies Baswedan. Bisa juga terjadi begitu. Bahkan juga kemudian menjadi masalah itu pengangkatan TNI aktif menjadi penjabat Bupati Serang.

“Itu salah satunya, ini baru langkah awal saja udah rame. Pejabat pemerintah bilang, ini kan putusan MK itu tidak mewajibkan. Karena hanya rekomendasi. Kemudian dibantah petinggi MK sendiri, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan kemudian Sekretaris dan Sekjennya. Itu yang gak terlalu banyak media-media yang memberitakannya,” tegas Azyumardi.

“Kalau di luar dari konteks demokrasi itulah yang tadi saya lihat semua itu, mungkin harus kita ratapi keadaan seperti itu yah! Sehingga, demokrasi kita bukan jadi semakin kuat tapi makin gak jelas arahnya,” lanjutnya.

Kemudian kaitannya dengan Pers, “Kalau dulu Pers itu kan telah menemukan kebebasannya di jaman Presiden Habibie, Menteri Penerangannya Pak Yunus Yosfiah. Itu yang membuka peran kebebasan pers setelah pada masa Presiden Soeharto itu media-media kritis sering dibredel.” (mth/sws)

361

Related Post