Elektabilitas Jokowi Jatuh Karena Menterinya Dagang Semua

Fahri Hamzah dan Hersubeno Arief.

Jakarta, FNN – Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah mengaku ingin menulis surat terbuka pada Presiden Joko Widodo, Ketua DPR RI Puan Maharani, dan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, berkaitan dengan Pemilu 2024, karena Fahri menyematkan tagar #Selamatkan 2024.

“#Selamatkan2024. Sebenarnya saya ingin menulis surat terbuka kepada para pemimpin negeri ini khususnya kepada para pemimpin lembaga2 tinggi negara; presiden @jokowi dan jajaran eksekutif, ketua @DPR_RI dan jajaran legislatif serta ketua MK @officialMKRI jajaran yudikatif,” cuit Fahri dalam akunnya @Fahrihamzah, Jumat (6/5/2022).

Menurutnya, pesan penting ini harus ia sampaikan kepada para elit sebelum terlambat. Fahri sendiri mengaku bingung karena ada banyak sekali pesan yang ingin ia tuliskan. Ia menggarisbawahi satu tema: #Selamatkan2024.

Dalam wawancara wartawan senior FNN Hersubeno Arief di kanal Hersubeno Point, Selasa (10/5/2022), Fahri mengungkap banyak hal terkait dengan yang ia sampaikan dalam cuitannya yang viral tersebut.

Sebenarnya, kata Fahri, ada banyak sekali figuran-figuran yang dipakai itu sistem approuch yah? “Karena saya dari dulu senang membaca sistemnya itu yang membuat saya punya perbedaan dengan orang,” ujarnya.

Juga, karena Fahri selalu berusaha meneropong (melihat) gambar besar dari setiap persoalan, dan ada banyak hal yang sudah sebenarnya sudah ditulis di bukunya. Kemudian, sekarang memang harus ditulis lagi. “Saya juga berpikir untuk menulis pikiran-pikiran ini,” lanjut Fahri.

Tapi, ini sebenarnya untuk menyelamatkan apa yang sudah kadung rusak?

Kalau dalam militarisme, kita hanya menunggu ada kudeta baru atau kalau dalam meteorarisme lain kita menunggu gerakan massa, yang menyaksikan bagaimana sebuah rezim otoriter dijatuhkan oleh gerakan mahasaiswa.

Dalam dekorasi ini kita bisa juga tunggu gerakan mahasiswa, tapi ada yang terjadual dan sebisa mungkin jadual itu juga bisa kita dukung, karena itu bantuan tradisi dari masyarakat demokrasi, yaitu family.

“Pemilu itulah harapan kita nantinya akan memperbaiki keadaan, sebab kalau sekarang ini sudah kadung rusak, dan susah diganti. Kita mau berharap siapa sekarang kan susah,” ungkap Fahri.

Suara-suara oposisi seperti yang disampaikan media juga tidak di-welcome, bahkan tidak ada pembelaannya. Elit secara sadar atau tidak membiarkan bahwa pembungkaman oposisi dan suara yang berbeda dalam masyarakat dianggap sebagai suatu yang lumrah.

“Kerusakan naratif krisis narasi kita kayaknya sebagai bangsa itu mau pegang apa yang unggul yang agung? Pancasila diragukan, kemudian direintrepertasi dikontradiksikan dengan lembaga yang baru dilahirkan seperti BPIP, untuk ngerecokin pemahaman umum tentang Pancasila,” lanjutnya.

Fahri menyebut, sila Ketuhanan Yang Maha Esa dianggap sebagai awal dari fundamentalisme agama, juga dianggap bisa memberikan angin surga pada kekolotan kadal gurun (kadurn) dan sebagainya.

“Istilah lama yang muncul dulu sebelum kita menjadi negara bangsa seperti sekarang, itu muncul lagi,” tegas Fahri.

Cara kerja legislatif gak tahu fungsinya. Tiap hari bagi bansos bagi sembako, padahal dia kerjanya adalah oposisi terhadap eksekutif. Dia harus lawan itu dominasi eksekutif. Sebab, dia itu tidak bisa ditembus oleh peluru eksekutif.

“Karena itulah maka kita berikan kepada dia hak imun, sebab dia tidak boleh ditembus. Harus ada yang begitu di republik ini. Dia tadinya kita kasih hak imun juga tetapi pake ITE,” kata Fahri.

Sekarang harus ada yang bilang, media gak boleh ditembus. Dia pengawas, jadi parlemen gak boleh ditembus, parlemen tidak boleh dipecat oleh ketua umumnya, parlemen gak bisa diganti sembarangan, dia imun!

“Sekarang ini gak ada yang ngomong seperti itu, sehingga jadi rusaklah cara kerja sistem-sistem negara. Kemudian efeknya panjang. Tentunya karena gak ada pengawasan, korupsi di mana-mana, conflic of interest luar biasa. Menteri-menteri dagang pakai jabatannya pengen jadi presiden dan seterusnya,” sindir Fahri.

Ia menyebut, krisis leadership itu tentunya pada seluruh kader. Di generasi ini terjadi krisis yang luar biasa yang disebut pantes-pantes sebagai pemimpin di segala bidang datang kayak gak pantas.

Kalau ikhtiar manusia dalam masyarakat demokrasi cuma itu. Sebab ada juga ikhtiar lainnya. “Ada juga yang disebut sebagai tangan tuhan. Kadang-kadang sering terjadi juga, pemimpinnya kena musibah atau apa begitu ya, itu bukan dunia kita,” lanjutnya.

“Bahkan, militer disingkirkan kayak yang kita lakukan pada tahun 1098 dulu. Legislatif, anggota DPR dan Anggota DPD yang paling penting itu eksekutif,” tambah Fahri.

Yang repot itu di Presidential ini. “Presidentialisme kita itu Presiden tidak bisa dijatuhkan. Karenanya, kemudian sangat kuat. Artinya, nanti di kartu suara kita itu terpaksa nyoblos suara itu,” tegasnya.

Menurut Fahri, jangka waktu 5 tahun itu yang berbeda, tetapi ada orang tiba-tiba melakukan Judicial Review yang mengatakan bahwa ini harus serempak supaya hemat dari masa lalu, akhirnya disepakati MK.

Padahal di Pasal 6 UUD disebutkan bahwa peserta pemilihan presiden itu adalah peserta pemilu sebelumnya. Sehingga interpretasi terhadap makna sebelumya itu adalah pemilu sebelumnya.

“Kemudian, pemilu sebelumnya itu disebutkan ada presentasi tiketnya itu berarti tiket itu berasal dari pemilu sebelumnya. Ini kan kacau,” kata Fahri.

Rakyat bilang, “Wah itu yang berkuasa Demokrat Republik sekarang saya pilih kamu supaya kamu bisa ngawasin dia, ini ada maknanya dan yang ini gak ada maknanya.” 

“Dia bilang, ini tiket sudah ada di kantong saya, tapi saya belum populer dan dia keliling daerah. Jabatannya itu akhirnya dipakai untuk keliling. Ini yang salah,” ungkap Fahri.

“Kasihan Pak Jokowi elektabilitasnya jatuh karena menterinya pergi dagang semua. Kalau gak cari duit, cari popularitas. Itu yang terjadi sekarang,” tegas mantan Wakil Ketua DPR ini.

Partai politik sekarang menganggap mereka politisi. Kalau di sistem komunis, itu pembagian, karena di dalam satu partai tidak ada partai lain. Partai politik itu bukan alat kita untuk mengontrol alat politisi.

Partai politik itu didirikan oleh orang idealis. Nama-nama partai itu dari dulu adalah nama pemikir kaum komunis saja, itu ada pemikirnya. Marxsisme itu sosialisme di Indonesia partainya dibikin oleh Sutan Syahril. 

“Syahril pemikir besar Partai Nasionalis yang didirikan oleh Bung Karno. Bung Karno pemikir besar Masyumi, yang didirikan oleh Pak Natsir. Pak Natsir ini pemikir besar di dunia Islam, makanya dia bikin Masyumi,” ungkap Fahri.

Ia mengungkap, perubahan itu selalu ada karena tidak ada yang permanen kecuali perubahan itu sendiri. Dan, kita bikin partai Gelora itu, mendirikan partai memang bukan ujug-ujug tapi ini pikiran lama. (mth)

360

Related Post