Emak-emak Ikut Demo Mahasiswa, Rocky: Yang Paling Paham tentang Ketidakadilan ya Emak-emak
Jakarta, FNN - Ribuan buruh dan mahasiswa turun ke jalan menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR RI dan Istana Negara, Jakarta Pusat, tepat di hari Kartini, Kamis (21 April 2022).
Massa berasal dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) serta elemen buruh dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dan masyarakat sipil. BEM UI beraksi di Istana Negara. Sedangkan buruh di Gedung DPR RI.
Mahasiswa dan buruh punya cara berbeda memperingati Hari Kartini, 21 April. Ada paradigma baru sekarang bahwa kesadaran politik itu dimulai dari dapur. Dan dapur secara operasional identik dengan perempuan. Demikisn paparan pengamat politik Rocky Gerung dalam perbincangan dengan wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Officials, Kamis, 21 April 2022.
Rocky menegaskan, sebetulnya istilah perempuan bisa dipakai secara generik untuk menyebut semua kelompok yang mengalami marginalisasi. Dalam strata sosiologi, kaum perempuan adalah kaum yang mengalami ketidakadilan paling berat.
“Jadi seluruh beban ketidakadilan akhirnya harus dihitung di dapur. Karena itu sering dikatakan - bahkan pada teori-teori yang agak kiri - perempuan itu proletarnya proletriat, bagian yang paling menderita dari orang yang menderita,” paparnya.
Zaman telah berubah. “Dulu perempuan disebut the unspeekable, dianggap nggak mampu bicara. Sekarang mereka adalah the unstopable, tidak mampu lagi ditahan oleh kekuasaan. Karena yang paling paham tentang ketidakadilan ya emak-emak,” tegasnya.
Rocky menegaskan bahwa gerakan emak-emak saat ini paralel dengan yang diperjuangkan oleh R.A. Kartini, yang menganggap bahwa diskriminasi terhadap manusia dimulai dari diskriminasi terhadap perempuan, yang kemudian Kartini menulis surat menyurat yang diterbitkan “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
“Jadi, emak-emak sekarang juga menganggap bahwa kita harus mengambil cahaya dari RA Kartini untuk menerangi lorong-lorong dan gorong-gorong kekuasaan yang dikuasai oleh mereka yang memiskinkan rakyat,” paparnya.
Menurut Rocky, keyakinan selalu tiba bahwa dari rahim perempuanlah generasi dihasilkan. Karena itu, perempuan selalu peka terhadap pengkhianatan politik keadilan.
“Bagi perempuan, kalau ketidakadilan itu diperlakukan atau diaktifkan oleh kekuasaan, itu artinya ada bagian dalam rencana hidupnya yang batal. Misalnya emak-emak pagi-pagi sudah membuka dompet dan dia lihat tinggal 2 lembar 20 ribuan, padahal anaknya masih perlu jajan. Jadi, emak-emaklah yang paling peka terhadap ketidakadilan,” katanya.
Rocky sulit menerangkan bagaimana uang 20 ribu dibelanjakan. Bahkan membeli minyak goreng saja sudah tidak bisa, apalagi membeli baju yang lebih mewah.
“Hal semacam ini yang tidak terjadi di dalam politik kita yaitu hubungan antara kebijakan dan rasa keadilan di bawah. Emak-emak selalu turun ke jalan karena menganggap bahwa meminta kekuasaan buat mengubah kebijakannya itu susah. Mending bersama buruh dan mahasiswa melakukan demonstrasi,” paparnya.
Rocky menceritakan seorang aktivis perempuan di Amerika Serikat berkulit hitam yang menulis dengan bagus, kira-kira tahun 70-an tentang hak perempuan, yaitu berdemo dan tidak perlu mengemis-ngemis pada kekuasaan. Perempuan itu mengatakan,”Peralatan raja tidak bisa dipakai membongkar istana raja. Karena itu musti pakai peralatan dari luar yaitu demonstrasi.”
Jadi menurut Rocky, kalau emak-emak berdemonstrasi itu memang karena rasa keadilannya tidak mungkin lagi ditahan oleh bujuk rayu kekuasaan.
“Misalnya menangkap mafia minyak goreng, itu emak-emak bilang hanya untuk menutupi kesalahan dan menyogok kita dengan seolah-olah sudah ada yang ditangkap. Padahal di dalam analisa ekonomi politik seluruh permainan minyak goreng itu pasti ada yang menetes ke partai politik, ke menteri A B, bukan sekadar permainan industri miyak goreng. Pasti di belakangnya ada tukar tambah kekuasaan. Emak-emaklah yang mampu menangkap itu karena dia yang merasakan setiap hari,” tegasnya. (ida, sws)