Fenomena Anies Baswedan & Neo-Dreyfusian di Indonesia
Oleh Darlis Aziz - Ketua KNPI Turki, dan Wakil Presiden Asian Youth Association/AYA)
KOSA kata “Dreyfusiana” pertama sekali digunakan sebagai nama untuk sebuah rubrik dalam koran Pemberita Betawi di masa pergerakan kemerdekaan Indonesia atau tepatnya pada tahun 1901-1903 (Y. Latif, 2003). Rubrik yang diasuh oleh tokoh pers Indonesia Tirto Adhi Surjo ini terinspirasi dari kasus seorang kapten beragama Yahudi dalam dinas ketentaraan Prancis dituduh telah melakukan spionase dan berkhianat terhadap negaranya. Dari tuduhan itu, jabatannya dicopot, dan Alfred Dreyfus pun mendapat hukuman penjara seumur hidup dari hasil keputusan sidang Pengadilan Militer di Prancis, kemudian dia dibuang ke Guyana.
Kasus Dreyfus menyita perhatian publik Prancis. Dalam suasana kebencian, publik Prancis meneriaki bahwa Alfred Dreyfus sebagai pengkhianat. Kasus Dreyfus itu menjadi pemantik munculnya kembali rasialisme terhadap Yahudi laksana api dalam sekam, sejarah Eropa pun, khususnya Eropa Barat memuncaklah pelenyapan atas kaum Yahudi, terlebih-lebih oleh Hitler yang memusnahkan jutaan kaum Yahudi di Jerman dan luar Jerman.
Tak lama kemudian, ternyata, apa yang disebutkan sebagai pengkhianatan itu adalah tidak benar, semuanya palsu belaka, rekayasa dan merupakan hasil penipuan. Akan tetapi, Dreyfus sudah terlanjur diputuskan bersalah sehingga propaganda anti-Yahudi muncul begitu kuat di Prancis. Poster-poster Dreyfus bertebaran dan tertempel di dinding-dinding kota, dituduh pengkhianat Prancis dengan sebutan “Yudas Yahudi”.
Namun, di publik Prancis itu sendiri , ternyata tidak semua orang membenci dan menuduh Dreyfus sebagai pengkhianat. Ada kelompok atau perseorangan yang membongkar bahwa tuduhan yang dialamatkan pada Dreyfus itu palsu. Sebagai protes atas keputusan Mahkamah Pengadilan Militer Prancis yang sewenang-wenang, muncullah seorang novelis terkenal yang membela Dreyfus, dia bernama Emile Zola.
Dalam protesnya, Emila Zola menuliskan sebuah surat terbuka yang berjudul “J’accuse” (aku mendakwa), surat itu tertulis di halaman depat surat kabar bernama L’Aurore yang diterbitkan di Paris. Zola menuduh para anggota dinas militer ketentaraan Prancis telah merekayasa bukti-bukti, memanipulasi dan menutup-nutupi fakta kasus tersebut. Dari protesnya itu, Emile Zola ditahan dan diadili dengan tuduhan memfitnah dan mencemarkan nama baik ketentaraan (militer) Prancis.
Peristiwa Dreyfus itu begitu mengguncang Prancis, sehingga pemerintah yang bertanggungjawab waktu itu jatuh pada pemilihan umum 1899 dan diganti atau dimenangkan oleh pemerintahan yang progresif kemudian membebaskan Alfred Dreyfus dari penjara seumur hidup.
Surat terbuka Emile Zola tadi menghasilkan kenangan dan kemudian dikenal sebagai Manifeste des intellectuels (Manifesto Para Intelektual). Surat itu juga membuat perpecahan di kalangan Pengarang Prancis menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah kubu Dreyfusard/dreyfussian (yang membela Alfred Dreyfus) dan kubu kedua adalah Anti-Dreyfusard (yang anti terhadap Alfred Dreyfus).
Dari polarisasi di atas, muncullah istilah intelektual. Pada awalnya, istilah itu merupakan cemoohan yang mengandung konotasi negatif. Kubu Anti-Dreyfusard, memakai istilah intelektual untuk menunjukkan kepada para penulis dan selebritis yang berorientasi pasar yang memiliki keterkaitan dengan kubu Dreyfusard.
Namun, efek tuduhan-tuduhan yang tidak benar itu dari kubu anti-Dreyfus, kaum Dreyfusard semakin memperteguh kelompoknya. Bahkan, akibat sikap antipati dari kaum anti Dreyfusard, memberikan kesadaran kepada mereka (Dreyfusard) sebuha nama dan kesadaran akan identitas mereka yang baru. Sejak saat itu, kata intelektual bukan hanya isitlah yang populer, melainkan mengandung makna baik, juga suatu model baru bentuk keterlibatan dalam kehidupan publik dan juga peran baru untuk diaktualisasikan (Eyermean, 1994: 24-53).
Melihat peristiwa tersebut dari kacamata fenomena Anies Rasyid Baswedan (ARB) hari ini seakan mendapatkan kesamaan dimana residu dari polarisasi tajam dari pemilu 2019 lalu masih terasa dan seakan menemukan titik kulminasinya; meskipun mau tidak mau satu pihak yang diklaim merupakan representasi ‘kelompok kanan’ belum tentu ‘benar-benar kanan’, demikian juga yang mengklaim juga belum tentu mau diklaim sebagai ‘kelompok kiri’, yang sudah pasti adalah semuanya ingin menjadi kelompok yang dianggap paling tengah (pancasialis).
Isu Politik Identitas
Residu peristiwa 212 dan Pilpres 2019 telah menciptakan identitas politik baru yang berbeda dari sebelumnya kosa kata “politik identitas” menjadi populer dan sering diulang-ulang dalam wacana politik sehari-hari dalam ruang publik di tanah air. Kata ‘kadrun’ dan ‘kampret’ misalnya menjadi representasi utama untuk pendukung 2 capres yang bertarung pada 2019 lalu.
Politik identitas, Menurut Judy Rebick, seorang aktivis politik feminis terkemuka Kanada, politik identitas adalah politik dari kelompok-kelompok yang termarginalisasikan dalam pencariannya untuk menemukan bahasa agar bisa mengartikulasikan ketidakpuasan sosial mereka. “Politik identitas lahir ketika identitas menjadi basis bagi pemikiran politik, bahkan kadang kala menjadi basis bagi politik itu sendiri” (Rebick, 1996: 31).
Sasaran utama dari politik identitas pada awalnya adalah positif dalam rangka merespons hak dan representasi politik terutama kaum minoritas dan terpinggirkan. Namun semakin ke sini pengejewantahannya justru semakin tidak substantif bahkan cenderung kepada arena pertunjukan simbolik dan gagah-gagahan semata. Bahkan yang lebih parah adalah pihak mayoritas yang seharusnya berada pada posisi yang ‘menang’ justru menjadi bulan-bulanan dan berada di pihak yang ‘dipaksa harus kalah’ atau secara gamblang sebagai mayoritas yang bermental minoritas.
Politisasi atas simbol-simbol Islam tampaknya merupakan residu yang bersifat menular dari apa yang pernah disebut W.F. Wertheim (1980) sebagai sindrom ‘mayoritas dengan mentalitas minoritas’, yang lahir karena posisi ironis Islam di negeri ini: Mayoritas besar orang Indonesia menganut agama Islam. Dari sudut pandang kuantitatif, Indonesia bahkan bisa dianggap sebagai ‘negara Islam’ terbesar di dunia. Namun, sikap-sikap mental dari ummat Islam di negeri tersebut menunjukkan sikap-sikap mental yang khas dari sebuah kelompok minoritas. Hal ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa dalam medan politik, sepanjang sejarah abad-abad yang lalu, para wakil ummat Islam secara konsisten lebih diposisikan sebagai orang luar (Wertheim 1980: 1)
Kalau kita kembali ke kasus Dreyfus di atas, ada satu poin yang sama yang bisa kita tarik sebagai kesamaan antara kasus Dreyfusard (pendukung Dreyfus) dan Anisers (untuk pendukung Anies Baswedan), para penyokong Dreyfus yang yakin Dreyfus tidak bersalah dikarenakan tidak adanya alat bukti yang meyakinkan bahwa Kapten Dreyfus bersalah namun ia tetap dihukum penjara seumur hidup. Namun efek massa yang lahir dari pembelahan antara ‘Dreyfussard’ dan ‘anti-Dreyfussard’ itu telah melahirkan sebuah kosa kata baru yaitu “intelektual” dan “non-intelektual”. Pelabelan dengan kosakata “intelektual” kepada para pendukung dreyfus ini pada awalnya adalah berkonotasi negatif, namun seiring jalan para ‘intelektualis’ pendukung Dreyfus ini semakin meng-gelombang dan menciptakan dentuman Tsunami politik di Prancis di awal abad-19 itu. Prancis dimenangkan oleh oposisi progressif yang didukung oleh para pengikut ‘intektualis’nya Dreyfus dan berhasil menggulingkan kekuasaan yang ‘zalim’ pada waktu itu karena ke semena-menaan melakukan kriminalisasi terhadap sang Dreyfus yang berpangkat Kapten itu.
Fenomena ARB akhir-akhir ini memiliki kesamaan (untuk tidak mengatakan mirip) dengan kondisi itu. Berbagai peristiwa mulai dari 212, Pilpres 2019, dan peristiwa kriminalisasi juga diikuti oleh kesemenaan penegakan hukum di tanah air akhir-akhir ini telah menciptakan satu gelombang frekuensi yang sama di kalangan masyarakat yang menginginkan perubahan pasca Jokowi. Dan frekuensi itu bertemu dalam sosok ARB. ARB telah menjadi representasi baru masyarakat sipil untuk memperjuangkan perubahan. Upaya berbagai pihak untuk menjegal Anies (termasuk KPK) misalnya telah membangunkan raksasa tidur akal sehat ala “dreyfussard” setidaknya bisa kita lihat dari ‘Turun Gunung’-nya SBY, Obrolan rakyat maya (media sosial) dan juga terakhir Deklarasi Nasdem yang mempercepat pengumuman Capres 2024, kemarin. Nah, tinggal kita saksikan apakah fenomena Anies ini berhasil mengulangi kesuksesan Dreyfus atau tidak? (*)