Ganti Presiden Lebih Mendesak Ketimbang Pindah Ibu Kota

UU IKN merupakan upaya melegalisasi kejahatan borjuasi korporasi dan membiarkan kuku-kuku oligarki mencengkeram negeri. Dengan kata lain konstitusi direkayasa untuk melindungi para cukong terus merampok sumber daya alam sembari mengembangbiakan korupsi, membuat kerusakan alam dan konflik horisontal sesama anak bangsa.

Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari

SEMENTARA di lain sisi presiden gagal menunjukkan kualitas kepemimpinannya, kalau tidak bisa disebut dungu dan penipu. Alih-alih berprestasi membawa kemakmuran dan keadilan bagi rakyat Indonesia. Presiden  justru membawa negara menuju kebangkrutan  dan disintegrasi bangsa. Negara diambang kehancuran sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum, pertahanan dan keamanan nasional. Kalau tidak dijajah kembali oleh asing dan aseng, bisa jadi NKRI bubar seperti yang disampaikan Prabowo Subianto dan Amien Rais.

Presiden memimpin negara dengan begitu maraknya KKN, utang negara yang menjulang  sulit untuk dikembalikan, penyelenggaraan pemerintahan mengangkangi Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI. Rakyat Indonesia tak lagi bisa mengambil resiko dan segala kemungkinan terburuk, bahkan tidak bisa menunggu lagi hingga sisa waktu jabatan presiden berakhir. Meski pesimis, masih ada kemungkinan lembaga-lembaga tinggi negara seperti DPR, MPR dan DPD menggunakan pertanggungjawaban moral dunia akherat dan amanat konstitusinya menyelamatkan negara bangsa. Atau memang revolusi rakyat Indonesia menjadi satu-satunya pilihan dan yang tak terhindarkan.

Terpuruknya kehidupan  rakyat Indonesia, telah membawa negara dalam kondisi darurat kenegaraan dan kebangsaan. Pelbagai rekayasa dan pengalihan isu tak mampu menghilangkan distorsi kebijakan seperti omnibus law dan UU IKN. Sebelum lebih jauh menimbulkan banyak masalah yang berujung pada kesengsaraan rakyat. Terlebih pada polemik dan kontroversi ibu kota negara baru yang membutuhkan biaya hampir 500 triliun, sementara pemerintah membutuhkan  biaya tidak sedikit untuk pemulihan negara. Saat rakyat dengan kemiskinan bertahan hidup karena pandemi, kengototan pemindahan ibu kota negara menandakan gejala hiprokat dan sakit jiwa para penyelenggara negara, utamanya seorang presiden.

Jadi, ibarat dipaksa melakukan perjudian dengan nafsu memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Terutama ketika akal sehat, basis akademis,  logika hukum dan konstitusi tak dipakai dalam praktek-praktek penyelenggaraan negara. Ada baiknya seluruh rakyat Indonesia mengganti presiden ketimbang memindahkan ibu kota. Selayaknya menjadi agenda yang mendesak dan menjadi skala prioritas bagi negara ini. Itupun jika bangsa Indonesia masih mau selamat dan memiliki masa depan yang jauh lebih baik.

Selamat memilih presiden baru, bukan membangun ibu kota baru.(*)

512

Related Post