Gatot Nurmantyo : “Pemerintah Mengkooptasi Negara”

Jakarta, FNN – Ulang tahun kedua Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), diisi dengan diskusi publik berjudul,"Selamatkah  Indonesia dengan Sistem Bernegara Hari Ini?" di kantor sekretariat KAMI, Jl. Kusumaatmadja No. 76, Menteng, Jakarta Pusat.

Hadir dalam diskusi ini antara lain Anthony Budiawan (Pengamat Ekonomi), Refly Harun (Pakar Hukum Tata Negara), M. Said Didu (Praktisi dan Pengamat BUMN), Dr. Ma'mun Murod Al Barbasy (Rektor UMJ), Dr. TB Massa Djafar (Dosen Pascasarjana FISIP UNAS), Dr. Mulyadi (Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia) dengan moderator Hersubeno Arief, wartawan senior FNN.

Semua pembicara meyakini bahwa negara bakal hancur jika tidak ada perubahan secara mendasar.

Dosen Pasca Sarjana UNAS, Dr. TB Massa Djafar mengatakan bahwa instrumen yang selalu beriiringan untuk membangun kekuasaan dan merespons kekuatan kritis terdiri dari 3 variabel yakni : struktur kekuasaan, struktur ekonomi, dan struktur hukum.

Kesadaran politik negara saat ini sudah tidak sesuai dengan apa yang kita lihat di negara lain. Di republik ini yang berkuasa adalah orang-orang yang memiliki modal.

Mengutip Bung Hatta, politik dan ekonomi saling melengkapi. Kedaulatan ekonomi dan rakyat tidak bisa dipisahkan.

Saat ini kesadaran transformasi belum terkendali. Setuju ada perubahan, namun belum terkonsiderasi.

Anthony Budiawan, selaku Pengamat Ekonomi, berpendapat sistem bernegara sampai hari ini dilihat dari kekuasaan pemerintah sudah tidak ada lagi. Kita belum merdeka, kita belum sejahtera, dan kita belum kuat.

Sistem Tirani membuat hukum demi kepentingan kelompoknya sendiri, misalnya ada undang-undang yg dibuat untuk kepentingan sendiri tanpa memikirkan rakyat.

Kepentingan di Orde Baru masih memikirkan kepentingan rakyat, namun sejak era reformasi, sumber daya manusia (SDA) dikuasai oleh segelintir pengusaha.

"Sejak 2004 - 2015, ekonomi semakin brutal dan transparan. Kebijakan fiskal sudah tidak berpihak pada rakyat."

Saat ini, rakyat miskin tidak ada kekuatan untuk melawan. Selama ekonomi politik kita masih seperti ini, tanpa ada perlawanan dari rakyat dan perubahan total, maka Indonesia tidak akan terselamatkan.

Menurut Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI, Dr. Mulyadi, Indonesia dengan sistem pemerintahan yang seperti sekarang bukan hasil dari reformasi. "Gerakan reformasi saat ini bukan reformasi, tapi diisi dengan deformasi”.

Indonesia sedang tidak baik-baik saja, dilihat dari infrastruktur politik, media massa, dan kelompok berkepentingan tidak menjalankan fungsinya dengan baik.

Saat ini, hukum dibuat untuk melindungi kekuasaan atau pejabat politik. Kewibawaan penguasa negara sudah tidak terlihat lagi di mata rakyat. 

Para penyuara aspirasi dipenjarakan, begitu juga rakyat dipersulit, namun orang asing dipermudah.

Republik ini sedang diurus oleh oligarki kembar 3: oligarki politik, oligarki ekonomi, dan oligarki sosial.

Namun, yang paling bahaya adalah oligarki sosial, karena terdapat sekelompok orang mengendalikan massa untuk mendapatkan jabatan dan kehidupan yang layak.

Ciri negara mau hancur adalah tidak stabil, tidak adaptif, dan tidak integratif. Negara sedang mereproduksi ketakutan dengan melakukan keterbelahan.

Manipulasi politik, agitasi dan propaganda cara rezim ini menjaga legitimasi. Mobilisasi, suap politik, perusakan reputasi, ekstra yudisial killing, membunuh atas nama hukum padahal tidak boleh membunuh.

Kemudian, Praktisi dan Pengamat BUMN, M. Said Didu menyatakan bangsa ini semakin tergerus sandi-sandi kehidupannya. Semua lembaga negara saat ini dikuasai oleh partai politik. 

Pada zaman Pak Soeharto tidak pernah meletakkan partai politik di BPK maupun lembaga hukum lainnya.

Selain itu, BUMN saat ini juga dijadikan tempat parkir para politis yang gagal caleg. Mereka kemudian diangkat menjadi komisaris BUMN.

Maka dari dari itu, rezim sekarang adalah rezim kebohongan. 

Said juga menyoroti kasus Brigadir Yoshua, ia berharap dengan terungkapnya kasus Brigadir Yoshua dapat membersihkan sistem negara.

“Siapa tau tetesan darah beliau membersihkan negeri ini,” katanya.

Kalau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di negara ini terus berjalan dan kita diam-diam saja, maka umur negara ini tidak akan sampai 100 tahun.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyatakan ada persoalan serius dalam tata hukum negara kita. Menurutnya, ruang lingkup hukum di Indonesia yang beberapa tahun belakangan mengalami banyak persoalan perlu segera diperbaiki.

RH menyebutkan tahun 2024 nanti konstitusi Indonesia akan berusia 25 tahun, sejak perubahan pertama tanggal 19 Oktober 1999.

Saat ini kesalahan ada di konstitusi, undang-undang, atau implementasi undang-undang.

Konstitusi menyumbang kesalahan itu, misalnya konstitusi tidak memilih rekruitment terbaik.

Kemudian, kesalahan undang-undang, UU tidak menyebutkan pola rekruitmen dan perubahan konstitusi selalu ada kerusuhan.

Maka dari itu, secara dingin kita harus melakukan evaluasi terhadap kekurangan-kekurangan kita, basic fundamental kenegaraan kita yaitu konstitusi. Indonesia sudah menasbihkan diri sebagai negara demokrasi konstitusional.

Menurut Dr. Ma'mun Murod, Rektor UMJ, muhasabah pertama, kita harus sadar bahwa negara sudah dibajak dengan harga yg sangat murah.

"Indonesia merdeka berkah dari politik identitas."

Ma'mun menyoroti dua persoalan penting. Pertama, sejarah politik Indonesia merupakan politik identitas. Politik identitas lebih jahat daripada politik uang. Kedua, perbedaan pada rumusan Pancasila tanggal 18 dan 22 Agustus 45. Rumusan Pancasila tidak lepas dari kelompok agama, berdasarkan isi.

Sistem yang ada saat ini dipastikan tidak akan mampu mempertahankan Indonesia. Negara sudah dibajak dengan harga yang sangat murah. Demikian pendapat Dr. Ma'mun Murod Al Barbasy, Rektor UMJ.

Ma'mun juga menegaskan politik identitas sudah ada sejak dulu. Jadi, masalah saat Ahok gagal jadi gubernur.

Yong Java, Yong Ambon, dll itu politik identitas. Saat mendengar pengantar ada kalimat yang berbunyi, politik identitas lebih berbahaya dari politik yang.

Diskusi ini dihadiri oleh Bachtiar Chamsah (mantan Mensos), Adi Massardi (mantan jubir Presiden Gus Dur), MS Kaban (Mantan Menhut), Prof Laode Kamaluddin, Radar Trsibakoro,  Anton Permana, Alkatiri, Syafril Sofyan, Muslim Arbi, Dony, Hatta Taliwang, Rasyid, dan puluhan deklarator dan jejaring KAMI serta media massa.  

Diskusi publik yang berlangsung hampir 4 jam tersebut diselenggarakan secara hybrid yang dapat diakses di kanal Youtube FNN TV dan hadir langsung ke lokasi dengan peserta terbatas.

Acara juga diramaikan dengan Monolog Bung Karno berjudul "Besok atau Tidak Sama Sekali" oleh Kang Wawan dari Bandung dan diakhiri dengan pemotongan tumpeng memperingati 2 tahun KAMI bersama anak-anak yatim.

Sebagai penutup dengan melihat hasil diskusi yang membahas sistem bernegara hari ini dilihat dari enam perspektif. Gatot Nurmantyo menyimpulkan bahwa hari ini pemerintah telah mengkooptasi negara. Bukan saja tidak lagi bisa dibedakan antara pemerintah dan negara, melainkan juga pemerintah mengkooptasi negara demi memuluskan agenda dan kepentingan sekelompok orang yang menguasai pemerintahan.

Lebih lanjut, Gatot berharap forum-forum diskusi seperti ini terus dilaksanakan hingga daerah-daerah terpencil dengan tujuan untuk memajukan generasi muda. 

Terakhir, Gatot membacakan puisi karya almarhum Radhar Panca Dahana berjudul "Warisan Akhirmu, Sukarno". (sws/lia/oct)

500

Related Post