Gde Siriana Anggap PPP Kehilangan Roh Partai Islam

Jakarta, FNN - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pengesahan Muhammad Mardiono sebagai Plt Ketua Umum PPP menggantikan Soeharso Monoarfa. 

PPP dinilai tengah melupakan jati diri sebagai partai Islam. Pergantian-pergantian pimpinan partai terjadi secara kasar. Terakhir telah terjadi kudeta lembut terhadap Ketum Suharso.

Gde Siriana Yusuf, Direktur Eksekutif INFUS melihat bahwa PPP telah kehilangan jati diri sebagai partai Islam yang lembut dan beretika.

"Saya melihat bahwa sejak era ketum Rommy hingga Soeharso, PPP telah kehilangan jatidirinya sebagai partai Islam yang memperjuangkan aspirasi umat. Ini menjadi indikasi bertemunya ambisi elit partai dengan kepentingan penguasa," katanya kepada FNN di Jakarta,  Selasa (12/09).

Gde mencontohkan, misalnya saat di era Romi, PPP mendukung pasangan Djarot Saiful-Sihar Sitorus. Padahal semua partai bernuansa Islam lainnya seperti PKS, PAN, PKB dan PBB mendukung pasangan pemenang Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah.

Perlu diingat bahwa saat itu di tubuh PPP terjadi perebutan Ketum antara kubu Romi dan Jan Farid. Di mana akhir Des 2017 MA menetapkan Romi sebagai ketum yang sah.

"Jadi dapat diduga ada dukungan kuat pemerintah saat itu kepada kubu Romi, yang kemudian ditransaksikan dengan dukungan PPP terhadap Pilkada Sumut 2018 (Djarot-Sihar) dan Pilpres 2019 (Jokowi-Maruf) sebelum akhirnya Romi ditangkap KPK," paparnya.

Dalam konteks dicopotnya Soeharso ini kata Gde, sepertinya berjalan mulus di internal partai. Apalagi dalam waktu cukup singkat kurang lebih 10 hari operasi gusur Soeharso ini jalan mulus. Umumnya jika mekanisme mencopot Ketum itu dianggap tidak sesuai dengan AD/ART misalnya untuk mencopot itu harus KLB bukan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas). Atau undangan Musyawarah Kerja itu harus ditandatangani oleh Ketum dan Sekjen.

"Nah ini bagaimana masa Soeharso yang mengundang untuk mencopot dirinya sendiri? Jadi dapat diduga jika tidak ada ribut-ribut dengan mekanisme seperti itu artinya ada operasi senyap untuk mencopot Soeharso. Terlepas bagaimana kekurangan Soeharso atau keluhan kader partai terhadap dirinya. Berbagai alasan bisa dibuat sebagai latar belakangnya," katanya heran.

Dalam konteks Pilpres 2024, manuver PPP bergabung dalam KIB ini kan dapat dicurigai sebagai sekoci nya Ganjar (bersama Airlangga) jika Ganjar tidak direstui Megawati. Apalagi PPP kan sudah di koalisi Indonesia Maju yang komitmen hingga akhir masa kerja Presiden, mengapa ikut lagi dalam KIB, ada apa ini? 

Juga harus dipertanyakan putusan yang dibuat oleh Yasona mengesahkan pengurus Mardiono ini dalam waktu singkat apakah ada kepentingannya sebagai kader PDIP? 

Dan yang perlu diketahui juga lanjut Gde adalah, apakah presiden Jokowi tahu operasi pelengseran Soeharso? Bagaimanapun juga dia adalah pembantunya di kabinet. Atau setidaknya tahu tapi membiarkan?

Semua bisa terjawab jika pergantian ketum PPP ini tetap memposisikan PPP sebagai partai koalisi pemerintah atau sebaliknya menjadi partai oposisi.

"Karena ini, menurut saya, Soeharso dapat memanfaat kan situasi ini untuk mengembalikan jati diri PPP, jika ingin menambah perolehan suara di 2024, dengan pertama mundur dari kabinet dan Bappenas, sebagai bentuk protes atas "diamnya" presiden dan disahkannya kepengurusan Mardiono," paparnya.

Soeharso haru berani mengambil langkah itu untuk menaikkan kembali moral akar rumput PPP. Lalu memposisikan PPP sebagai partai oposisi atau netral, tetapi konsisten dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang hari ini diprotes banyak masyarakat seprti menaikkan harga BBM, proyek IKN dll.

Tetapi jika pertarungannya hanya sebatas pengesahan menkumham tanpa reposisi partai, saya kira Soeharso akan kalah, dan cepat atau lambat posisinya di Bappenas dan kabinet pun akan dicopot juga. (sws)

317

Related Post