Gde Siriana: Sulit Membawa Kasus Rocky Gerung ke Ranah Pidana, Mau Lewat Mana?
Jakarta, FNN - Pengamat politik dan akademisi Rocky Gerung dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Relawan Indonesia Bersatu atas dugaan penghinaan Presiden Jokowi melalui orasinya dalam acara Konsolidasi Akbar Aliansi Aksi Sejuta Buruh bersama Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di Bekasi pada Sabtu (29/7/2023).
Mula mula Rocky menyinggung mengenai langkah Presiden Jokowi yang menurutnya pergi ke China untuk menawarkan Ibu Kota Nusantara (IKN). Rocky kemudian menyebut juga kata-kata "bajingan" dan kata "tolol" yang dinilai sebagai kata makian dan menghina presiden.
Potongan video tersebut kemudian ramai dibagikan melalui media sosial, salah satunya oleh akun Twitter ini, Sabtu (30/7/2023). Tidak hanya itu, video Rocky Gerung juga ditayangkan kembali oleh Refly Harun dalam saluran YouTube miliknya.
Pelaporan ke polisi tersebut menimbulkan banyak komentar dan pendapat, salah satunya Direktur Eksekutif INFUS (Indonesia Future Studies), Gde Siriana. Berikut petikan wawancaranya dengan FNN, Selasa (1/08/2023).
Apakah pernyataan Rocky Gerung bisa dibidik dengan pasal penghinaan?
Ini adalah opini Rocky Gerung, terkait dengan Jokowi sebagai presiden dalam forum akademis. Orang tidak perduli dengan orang bodoh atau pintar, tetapi orang peduli ketika presidennya bodoh atau pintar. Jadi, konteksnya ini kritik kepada Presiden. Ini dilindungi konstitusi.
Bagaimana jika pakai pasal berita bohong?
Sebelumnya juga ada opini Presiden Jokowi mirip Umar bin Khattab. Akan tetapi itu tidak dipermasalahkan secara hukum meskipun sebagian masyarakat tidak setuju dengan opini tersebut. Mengapa ketika opini yang negatif dijadikan berita bohong? Jadi opini negatif dan positif ini harus diterima publik secara proporsional. Persepsi orang boleh pro dan kontra terhadap opini.
Mungkin bisa pakai pasal ujaran kebencian?
Mau gunakan apa sebagai kebencian itu, suku, agama, atau apa? Sekali lagi ini soal kritik kepada presiden, bukan Jokowi sebagai pribadi. Orang boleh ngomong DPR-nya goblok bisa dikadalin eksekutif misalnya. Dalam konteks hubungan negara dan rakyat, kalimat goblok, bodoh, tolol digunakan untuk menggambarkan ketidakmampuan seorang pejabat negara, misalnya membuat kebijakan yang salah yang merugikan rakyat banyak. Suka atau tidak suka, pejabat negara harus bisa nenerima ini tanpa sakit hati. Sekali lagi ini wujud dari kritik.
Pernah terjadi gubernur yang bilang "gila lu," kepada DPRD, terkait pembahasan Raperda reklamasi Jakarta. Bahkan itu tertulis. Tapi tidak terjadi pidana dalam hal itu.
Cap atau stigma bodoh kepada pejabat publik itu wajar saja?
Jadi kalau pejabat publik dibilang goblok atau dituduh korupsi, ya tidak perlu dibawa ke ranah hukum. Masyarakat tidak mungkin periksa kejiwaan pejabatnya ke psikiater dulu atau proses pengadilan kasus korupsinya, baru ngomong, eh kamu pejabat goblok, eh kamu pejabat koruptor. Apa yang dilakukan oleh publik harus dianggap sebagai kritik. Pejabat yang dianggap goblok terkait kebijakannya salah ya tinggal diperbaiki kebijakannya. Pejabat yang tidak korupsi, ya tinggal buktikan dia tidak korupsi, misalnya minta diaudit agar masyarakat yakin dia bersih. (sws).