Ilusi Megaproyek Tanpa Urgensi
Intervensi asing adalah diskursus yang tak boleh diabaikan begitu saja. Di tengah ambisi pembangunan IKN, perusahaan asal Tiongkok berkeinginan membangun pabrik semen di Kalimantan Timur. Bisa ditebak, pabrik ini bakal menjadi suplier utama pembangunan IKN.
Oleh: Tamsil Linrung, Anggota DPD RI
POLEMIK pindah Ibukota Negara (IKN) terus bergulir. Proyek ambisius itu ditengarai cacat formil, cacat prosedural, dan miskin aspirasi rakyat. Sejumlah pihak memutuskan menempuh langkah hukum, menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Di ruang sidang Gedung MK, perdebatan yang bakal mengemuka tentu berbasis akademis dan berbasis hukum. Di ruang sidang MK, akan terjadi adu narasi disertai bobot yang sarat edukasi kepada publik.
Situasinya dapat dipastikan kontras dengan silat lidah di kanal-kanal medsos (media sosial). Dimana persoalan cenderung meluber kemana-mana. Ditunggangi sentimen di luar subtansi persoalan. Bias, atau dikaburkan kasus-kasus pelaporan ke polisi. Perkara jin buang anak, misalnya.
Bila ingin menyelami subtansi, setidaknya ada tiga pertanyaan mendasar yang harus dijawab. Pertama, apa urgensi IKN pindah? Kedua, dana untuk konsolidasi pemindahan IKN dari mana? Ketiga, siapa yang diuntungkan atas pindahnya IKN?
Kita mulai dari pertanyaan pertama, apa urgensi IKN pindah? Jawabannya tidak ada. Memang, ada banyak argumentasi yang dapat diajukan guna mendukung IKN pindah. Bobotnya kira-kira setara dengan jumlah narasi yang menolak. Namun, berbicara soal urgensi, ceritanya menjadi lain.
Saat ini negara dalam keadaan sulit. Ekonomi ambruk, APBN 2022 ditetapkan defisit sebesar Rp868 triliun atau 4,85% terhadap Produk Domestik Bruto. Belum lagi pertumbuhan ekonomi yang terus melambat, pandemi Covid-19 yang menunjukkan tren meninggi, bunga hutang luar negeri yang terus menggerogoti saku negara, sejumlah pembangunan infrastruktur yang mubazir, dan lain sebagainya.
Kondisi tersebut tentu menjadi masalah fundamental bagi pemindahan IKN yang membutuhkan pembiayaan lebih dari Rp 466 triliun. Dari sudut pandang ini, tidak ada urgensi pemindahan IKN.
Urgensi didefenisikan sebagai keharusan yang mendesak. Urgensi tidak saja menyangkut penting atau tidak penting, tetapi juga tepat atau tidak tepat dalam konteks momentumnya. Kita tidak melihat alasan keterdesakan dalam konteks IKN. Sebaliknya, negara seharusnya sangat berhati-hati mengeluarkan kebijakan, khususnya kebijakan yang memerlukan konsolidasi dan pembiayaan tinggi.
Rakyat sesungguhnya bisa merasakan situasi itu. Hasil survei Kelompok Kajian dan Diskusi Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), sebanyak 61,9 persen rakyat Indonesia tidak setuju IKN Pindah. Alasan paling dominannya, mereka mengkhawatirkan kocek negara yang bakal digelontorkan untuk pembiayaan IKN. Sudah sumbernya ambigu, alirannya pun berpotensi bermasalah.
Terkait dengan itu, kita menjajaki pertanyaan kedua. Dari mana dana pembiayaan IKN diperoleh? Ini yang membingungkan, sebab dalam situasi ekonomi mencekik, pemerintah sepertinya memaksakan kehendak. Untuk perkara sebesar dan semasif pemindahan IKN, rancangan UU-nya bahkan digodok hanya dalam tempo 42 hari.
Karena negara dalam keadaan ekonomi yang sulit, maka sumber pembiayaan diumumkan secara gagap, berubah-ubah dan tidak tegas. Dulu, Presiden Jokowi mengatakan pembiayaan IKN tidak akan membebani APBN.
Belakangan, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI 4 Februari 2020 Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan, dari Rp 466 triliun total dana pembangunan IKN, sebanyak Rp 89 triliun menggunakan APBN. Angka itu lalu berubah lagi.
Dalam situs resmi IKN, rincian kebutuhan anggaran pembangunan ibu kota negara secara keseluruhan disebut mencapai Rp 466 triliun. Sumber dananya akan ditopang oleh APBN sebesar 53,5 persen dan 46,5 persen sisanya menggunakan dana lain-lain yang bersumber dari kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU), BUMN, serta swasta. Data ini lalu dibantah lagi oleh Suharso Monoarfa disusul hilangnya data tersebut dalam situs resmi IKN.
Dinamika itu menunjukkan pemerintah tergagap menyediakan sumber dana pembiayaan IKN. Sementara prospek sumber dana non-APBN seperti KPBU, investasi swasta, dan BUMN tidak pernah dirinci secara detail. Kecenderungan ini bahkan menjadi bukti kalau pihak swasta sesungguhnya tidaklah begitu berminat berinvestasi di IKN, kalau iya mestinya porsi APBN berkurang dan porsi KPBU yang lebih meningkat.
Patut dicurigai justru yang ada keinginan melakukan bancakan dari dana APBN. Padahal, dana APBN sebesar itu akan lebih bermanfaat bila dipakai untuk memenuhi kebutuhan dasar warga seperti kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.
Kini, pertanyaan tersisa adalah siapa yang diuntungkan oleh pembangunan IKN? Wacana IKN dipenuhi desas-desus. Ini terjadi karena pemilihan Penajam Paser Utara (PPU) sebagai lokasi IKN Nusantara minim partisipasi publik, sebagaimana juga terjadi dalam pembahasan UU IKN yang super kilat itu. Pemilihan PPU bahkan tidak ditemukan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Padahal, sangat penting membahas hal ini sehingga masyarakat dapat memahami secara jernih.
Akibatnya, spekulasi tak bisa dihindarkan seiring beredarnya sejumlah data terkait IKN di tengah masyarakat. Terhadap 256.000 hektar lahan IKN, misalnya, ternyata dominan dimiliki oleh hanya segelintir elit Jakarta. Meski bentuknya HGU (Hak Guna Usaha) dan merupakan lahan milik negara, tetapi tetap saja perlu kompensasi tertentu bila negara ingin mengambilnya kembali.
Demikian juga dengan luka alam akibat pertambangan. Menurut catatan JATAM Kaltim, terdapat 94 lubang tambang yang berada di kawasan IKN. Setelah mengeruk bumi, tanggung jawab melakukan reklamasi dan pasca tambang seharusnya ada pada korporasi. Tetapi, tanggung jawab itu berpotensi menjadi tanggungan negara dengan hadirnya proyek IKN. Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) memperkirakan sedikitnya 20.000 masyarakat adat akan menjadi korban proyek IKN.
Intervensi asing adalah diskursus yang tidak boleh diabaikan. Di tengah ambisi pembangunan IKN, perusahaan asal Tiongkok berkeinginan membangun pabrik semen di Kalimantan Timur. Bisa ditebak, pabrik tersebut bakal menjadi suplier utama pembangunan IKN.
China juga diduga akan menyuplai listrik IKN Nusantara. Spekulasi yang muncul mengarah pada keterlibatan perusahaan China Power pada PLTA Sungai Kayan. Kepala Staf Presiden Moeldoko pernah menyebut PLTA Sungai Kayan adalah salah satu penyuplai listrik IKN.
Kini, perjuangan rakyat yang menolak IKN berlabuh di Mahkamah Konstitusi. Kita berharap MK selalu jernih. Tidak turut terjebak pada ilusi yang coba diopinikan seolah IKN sarat urgensi. (*)