In Memoriem Prof. Azyumardi Azra: Fase Kehidupan Seorang Tokoh
Bersamaan dengan itu, banyak orang melihat bahwa Azyumardi tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Sama seperti Din Syamsudin dan beberapa tokoh lain yang mengkritik keras perkembangan reformasi yang kebablasan, Azyumardi pun semakin menunjukkan diri sebagai guru bangsa.
Oleh: Nasmay L. Anas, Wartawan Senior
BERITA ini cukup menyentak perhatian kita. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MPhil, MA, CBE, diberitakan meninggal dunia di Kuala Lumpur, Malaysia, Ahad, 18 September 2022. Kabarnya, Almarhum mendapatkan serangan jantung di atas pesawat dalam penerbangan Jakarta-Kuala Lumpur.
Kemudian mendapatkan perawatan intensif di sebuah rumah sakit di kawasan Selangor. Tapi nyawanya tidak tertolong.
Karuan saja, berita kematian ini menyebar begitu cepat. Tidak hanya di WhatsApp Group (WAG), tapi juga di banyak platform media sosial. Betapa pun, Azyumardi dikenal luas sebagai intelektual yang sudah puluhan tahun malang melintang di tingkat nasional, bahkan internasional.
Mendapatkan berita ini, dalam benak saya, langsung terlintas bayangan beberapa fase dalam kehidupan tokoh intelektual Islam Indonesia yang cukup kondang ini.
Dan hal ini sekaligus dapat menggambarkan beberapa perkembangan sejarah yang terjadi di kalangan internal umat Islam di Indonesia.
Fase pertama, berkenaan dengan saat pertama kali saya mengenal ayah dari 4 anak itu. Kisahnya, seusai meninggalkan Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo pada 1978, saya diajak seorang sahabat untuk melanjutkan kuliah di UIN Jakarta. Waktu itu, masih dinamakan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sahabat ini adalah senior saya di Gontor dan kebetulan kami satu kampung. Dia mengajak saya menginap di sebuah kamar asrama mahasiswa di Ciputat itu. Kebetulan dia sekamar dengan Azyumardi. Mahasiswa yang berasal dari desa Lubuk Alung, di pinggiran kota Padang. Berperawakan sedang. Tidak terlalu banyak bicara, tapi orangnya menyenangkan. Saya sempat menginap satu malam bersama mereka. Tapi sayang, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah di sana.
Fase kedua, ketika saya aktif sebagai reporter majalah Media Dakwah di Jakarta pada awal 1980-an, Azyumardi aktif di majalah Panji Masyarakat. Bersama Alm. Iqbal A. Rauf Saimima, Bakhtiar Effendi, dan lain-lain, dia memberi warna cukup cemerlang di majalah milik keluarga Alm. Buya Hamka itu. Tulisan-tulisan mereka tentang berbagai persoalan ke-Islaman mendapatkan perhatian besar dari berbagai kalangan pembaca muslim.
Di era itu, sebagai wadah komunikasi sudah terbentuk Forum Komunikasi Media Islam. Tergabung di dalamnya majalah Media Dakwah, Panji Masyarakat, Suara Masjid, Serial Khutbah Jum’at, Kiblat, majalah anak-anak Sahabat dan beberapa media Islam lainnya. Pertemuan-pertemuannya sering diselenggarakan di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Pusat di Jl. Kramat Raya 45 Jakarta.
Tapi setiap kali pertemuan, hampir tidak pernah Azyumardi dkk hadir. Redaksi Panji Masyarakat selalu diwakili Alm. Rusydi Hamka. Yang memang sangat menggebu-gebu semangatnya untuk menyambungkan tali silaturrahim antar para pengelola media Islam. Yang sama-sama menghadapi situasi yang tidak mudah kala itu. Ketika pemerintahan Orde Baru Soeharto tidak begitu suka terhadap Islam.
Fase ketiga, ketika IAIN Syarif Hidayatullah di bawah rektor Prof. Harun Nasution mengirimkan banyak mahasiswanya untuk melanjutkan pendidikan S2 dan S3 di Amerika Serikat. Azyumardi bersama beberapa kawan ikut mendapatkan kesempatan itu.
Harun Nasution yang alumnus McGill University itu dikenal sebagai pentolan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Dan penting untuk dicatat, orang-orang di DDII khususnya sangat anti terhadap perkembangan Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme di kampus IAIN di Ciputat itu. Terutama karena sikap dan pandangan Prof. Harun Nasution yang tidak peduli kepada kritik terhadap ide-ide sekularisme itu.
Hal ini, hemat saya, yang jadi latar belakang kenapa Azyumardi dkk. di Panjimas tidak merasa nyaman untuk berhubungan dengan orang-orang di DDII. Sehingga pertemuan-pertemuan Forum Komunikasi Media Islam di Jl. Kramat Raya 45 itu tidak pernah dihadirinya.
Apalagi kemudian Azyumardi Azra termasuk yang mendapat kesempatan melanjutkan pendidikannya ke Columbia University di Newyork, Amerika Serikat. Mengikuti kebijakan yang telah dibuat oleh Prof. Harun Nasution. Artinya, para calon intelektual muslim itu diarahkan untuk mencari ilmu ke negeri Barat. Tidak ke Timur Tengah yang sebelumnya jadi pilihan.
Fase keempat adalah ketika IAIN Syarif Hidayatullah di Ciputat oleh pihak tertentu dianggap sebagai basis perkembangan sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Sementara itu mereka yang menganggap faham yang merusak tatanan ajaran Islam itu, khususnya di DDII, tidak henti dengan melancarkan serangan-serangan yang keras.
Karenanya Azyumardi dianggap sebagai bagian dari kelompok pendukung sekularisme itu. Bahkan Prof. Dr. Din Syamsudin juga dianggap demikian. Disamakan dengan Harun Nasution, Nurkholis Majid, Dawam Raharjo, Djohan Efendi dan lain-lain.
Fase kelima, ketika Azyumardi terus berkembang menjadi tokoh intelektual yang bahkan sudah mendunia. Pada (1998-2006) ia sempat menjadi Rektor IAIN yang sekarang sudah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Mendapatkan undangan ceramah di dalam dan luar negeri. Bahkan pada 2010, ia memperoleh gelar kehormatan Commander of the Order of British Empire dari Kerajaan Inggris. Dengan demikian, dialah orang Indonesia pertama yang mendapatkan gelar kehormatan itu dan layak mendapatkan sebutan 'Sir'.
Fase keenam, reformasi bergulir begitu dahsyat. Tidak terasa sudah banyak perubahan yang terjadi dalam percaturan politik umat Islam. Meskipun riak-riak perlawanan sementara kalangan terhadap perkembangan ide sekularisme berikut paketannya itu tetap ada, namun sebagian besar fokus umat telah berubah.
Bersamaan dengan itu, banyak orang melihat bahwa Azyumardi tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Sama seperti Din Syamsudin dan beberapa tokoh lain yang mengkritik keras perkembangan reformasi yang kebablasan, Azyumardi pun semakin menunjukkan diri sebagai guru bangsa.
Akhir-akhir ini, tokoh yang didapuk sebagai Ketua Dewan Pers itu tidak bisa lagi dipandang sebagai intelektual yang ikut arus. Tapi Azyumardi Azra sudah memperlihatkan dirinya sebagai tokoh yang militan dan punya integritas. Yang semakin sering bicara dalam kaitan “amar ma’ruf nahiy mungkar”. Azyumardi melancarkan kritik pedas terhadap sejumlah kebijakan pemerintah yang dianggapnya merugikan rakyat banyak.
Sebagai seorang intelektual yang mumpuni, Azyumardi telah melahirkan begitu banyak karya tulis bermutu. Tidak hanya dalam bentuk makalah yang diseminarkan di mana-mana. Tapi juga diterbitkan sejumlah majalah dalam dan luar negeri.
Sejumlah buku yang lahir dari kematangan wawasan intelektualnya juga sudah banyak beredar. Karenanya banyak yang mendoakan: Semoga semua itu diterima Yang Maha Kuasa sebagai amal jariahnya. Yang pahalanya tidak akan terputus sampai ke dalam surga firdaus kelak. (*)