In Memoriam: Indonesia Menangis, Tiada lagi Prof Azyumardi Azra
Masalah yang paling menyedot perhatiannya adalah RUU KUHP yang dapat mengancam kemerdekaan pers. Ia terjun langsung menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR-RI.
Oleh: Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat
INNALILLAHI Wainnailaihi Rojiun. Telah berpulang ke pangkuan Illahi Rabbi: Cendekiawan Muslim, Professor Azyumardi Azra. Almahum mengembuskan nafa terakhir Minggu (18/9) pukul 12.30 waktu setempat di RS Serdang, Selangor, Malaysia. Ia meninggalkan seorang istri, Ibu Ipah Farihah dan empat anak.
Prof Azyumardi Azra sempat dua hari dirawat di RS akibat terpapar Covid-19. Virus itu baru diketahui bersarang di tubuhnya saat ditangani di RS Serdang, Malaysia, Jumat (16/9) petang.
Hal itu diawali di atas pesawat dalam penerbangan ke Malaysia, sore itu Prof Azyumardi mendadak terserang batuk keras, panjang, disertai sesak nafas.
Dari Bandara Azyumardi langsung dilarikan ke RS yang berjarak 35 km dari Kualalumpur.
"Semalam sudah dalam penanganan intensif tim medis RS Serdang,” kata Datuk Zakaria A. Wahab, wartawan senior, mantan Pemred Kantor Berita Bernama Malaysia dan Penasihat/Pendiri ISWAMI (Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia).
Tidak lama setelah pecah kabar Prof Azyumardi terserang sakit di seluruh grup WhatsApp wartawan Indonesia dan Malaysia, kami meminta bantuan rekan wartawan di Malaysia untuk ikut memantau. Zakaria wartawan pertama yang merapat di RS Serdang. Zakaria bertemu Dubes RI untuk Malaysia.
“Saya sendiri ada bertanya doktor di ruang terbuka, mengesahkan Prof AA dijangkiti covid dan tidak boleh diziarahi,” tambah Zack, panggilan akrab Zakaria.
Sejak semalam Prof Azyumardi sudah dalam pemantauan KBRI di sana.
Kunjungan Dinas di Sumbar
Ketua Dewan Pers itu pada awal pekan lalu mengadakan kunjungan kerja di Sumatera Barat. Ia sempat ke Bukittinggi dan mengunjungi keluarganya di Batusangkar sebelum bertolak ke Malaysia melalui Jakarta. Sabtu kemarin ini, sedianya mantan Rektor UIN tersebut jadi salah satu pembicara dalam seminar internasional di Selangor bersama tokoh penting Malaysia, Anwar Ibrahim.
Saksi mata dalam penerbangan adalah Guru Besar Universitas Sumatera, Professor Budi Agustono. Ia dan istri sama-sama berangkat dari Bandara Soekarno Hatta dengan Azyumardi. Mereka sempat ngobrol sejak di bandara hingga di dalam pesawat. Semalam Budi membagi kisah yang dilihatnya dalam pesawat di grup WhatsApp wartawan.
“Dua puluh menit sebelum pesawat mendarat, saat saya, istri dan pak Azra sedang bercakap tiba-tiba pak Azra batuk tanpa henti, tubuhnya berkeringat dingin. Saya minta dia minum air mineral. Saya memijat tubuhnya yang keringat dingin lalu meminta pramugari memasang selang oksigen di hidung dan mulut. Meski selang terpasang sesak nafasnya tak berhenti, malah tubuhnya begerak ke kiri ke kanan di atas kursi pesawat,” kisah Budi.
Ketika pesawat parkir dan pintu pesawat dibuka menurunkan penumpang, lanjut Budi, “saya dan istri mengurus kesehatan pak Azra yang diminta turun belakangan. Saya dan istri gelisah dan cemas melihat kesehatan pak Azra. Tidak lama sesudah itu kami bertiga turun dengan selang oksigen dan dibawa segera ke bed panjang perawatan lalu dilarikan ambulans ke rumah sakit. Saya sempat merogoh tas tenteng Pak Azra mencari telpon, tapi karena bingung dan panik lambat ketemunya. Akhirnya istri saya menelpon temannya staf khusus Menteri Sosial meminta bantuan mengabarkan ke istri atau keluarga pak Azra,” lanjutnya.
“Saya sampaikan ke istri antar dan temani Pak Azra demi keselamatan dan keamanan. Kita bantu sekuat kita ke RS di Kuala Lumpur,” ungkap Budi.
“Istri saya, Reni Sitawari Siregar, mengantarkan hingga ke dalam ambulans untuk dilarikan ke rumah sakit, sedangkan saya urus imigrasi di Bandara,” kisah Prof Budi Agustono.
Tanpa Swab
Indonesia, seperti halnya Malaysia telah menghapus keharusan Swab Antigen/ PCR untuk perjalanan luar negeri. Kondisi itu membuat penumpang pesawat yang terpapar Covid19 dalam kategori orang tanpa gejala (OTG) sulit terdeteksi. Baru seminggu lalu, Pemerintah Malaysia menghapuskan larangan memakai masker di dalam ruangan.
Saya mengenal Prof Azyumardi cukup lama. Ia pernah menjadi Wartawan Panji Masyarakat (1979-1985). Kesamaan isu atau topik yang kami bahas dalam tulisan masing-masing semakin mengeratkan hubungan.
Semasa pandemi Covid19 kami intens berkomunikasi. Usia kami sama-rentan terpapar Covid19, sehingga mengatur sebaiknya beraktifitas dari rumah saya. Suatu hari di tahun lalu, anak cucunya tertular Covid19. Ia mengontak saya meminta dicarikan Ivemertin, obat cacing yang terkenal itu. Yang dipercaya sebagian masyarakat bisa melawan virus Covid19.
Masa itu, obat tersebut sangat sulit mencarinya, harganya di pasaran ikut dimainkan karena diburu banyak orang, meski dilarang pemerintah untuk digunakan menyembuhkan Covid19. Kebetulan saya memiliki stock, maka saya kirimlah ke beliau. “Alhamdulillah, anak cucu berangsur baik, sudah keluar keringat. Terima kasih Pak Ilham,” ucapnya.
Komunikasi semakin intens sejak pria kelahiran 67 tahun lalu itu ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pers (DP). Begitu menjabat kasus di dunia pers terus meningkat, membuatnya praktis sejak itu siang malam beraktifitas.
Masalah yang paling menyedot perhatiannya adalah RUU KUHP yang dapat mengancam kemerdekaan pers. Ia terjun langsung menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR-RI.
Kolumnis yang sangat produktif itu sering mengirimi saya link tulisannya membahas pelbagai topik di berbagai media kemudian kita bahas bersama. Demikian sebaliknya.
Rabu ( 14/9) lalu kami masih bertegur sapa. Hari itu beliau sedang berada di Padang, Sumatera Barat. Saya ketahui dari fotonya ketika bersama wartawan Sumbar menghadiri jamuan makan siang Gubernur Sumbar, Buya Mahyeldi Ansharullah.
Foto saya peroleh dari rekan Zulnadi, wartawan senior Pemred Semangat.com di Padang yang hadir dalam jamuan itu. Foto itu kemudian saya forward ke beliau. Seperti biasa dia pun merespons cepat di WA. “Terima kasih pak Ilham. Kolomnya ditunggu,” ucapnya.
Dalam kunjungannya di Sumatera Barat, Azyumardi sempat ke Bukit Tinggi dan mengunjungi keluarganya di Batu Sangkar. Kuat dugaan lantaran kecapean melakukan perjalanan dinas yang membuat kondisinya drop dan dengan mudah diserang virus Covid19 yang secara obyektif sebenarnya penyebarannya sudah menurun di Indonesia dan di berbagai belahan dunia.
Intelektual Segudang Prestasi
Bukan hanya kalangan pers yang kehilangan Prof Azyumardi Azra, tetapi juga seluruh bangsa Indonesia.
Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, M.Phil., M.A., CBE CBE kelahiran 4 Maret 1955 adalah akademisi Muslim asal Indonesia. Ia dikenal luas sebagai cendekiawan muslim.
Azyumardi terpilih sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1998 dan mengakhirinya pada 2006. Pada 2010, dia memperoleh titel Commander of the Order of British Empire, sebuah gelar kehormatan dari Kerajaan Inggris dan menjadi 'Sir' pertama dari Indonesia. Pada 2022, Azyumardi terpilih menjadi Ketua Dewan Pers periode 2022-2025.
Riwayat pendidikan tinggginya sendiri dimulai sebagai mahasiswa sarjana di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta pada 1982, kemudian atas bantuan beasiswa Fullbright, ia mendapakan gelar Master of Art (MA) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia University pada 1988. Ia memenangkan beasiswa Columbia President Fellowship dari kampus yang sama, tetapi kali ini Azyumardi pindah ke Departemen Sejarah, dan memperoleh gelar MA pada 1989.
Saya dikirimi foto sewaktu almarhum mengenakan selang oksigen di dalam pesawat hingga ketika dirawat di RS hari Jumat itu. Dalam tulisan kemarin “Kisah Prof Azyumardi Azra yang Terpapar Virus Covid-19” (Sabtu,17/9) saya memanjatkan doa kesembuhannya segera.
Semoga Allah SWT menjabahnya dengan memberikan kesembuhan kepada cendekiawan penting Indonesia itu, yang berpembaan humble namun sangat kritis. Tetapi Allah SWT berkehendak lain. Dia lebih menyanginya, maka Tuhan pemilik alam semesta beserta seluruh isinya, memanggilnya pulang. Insya’ Allah Tuhan menyediakan tempat lapang, nyaman, dan indah di sisi-Nya. Aamiin, YRA.
Jakarta, 18 September 2022. (*)