Iran dan Timur Tengah Pasca Raisi
Oleh Smith Alhadar | Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)
PADA 19 Mei 2024, kabar mengejutkan menjalar ke seluruh Timur Tengah, bahkan dunia, menyusul kecelakaan helikopter di Iran yang ditumpangi, di antaranya, Presiden Ebrahim Raisi dan Menlu Hossein Amir Abdollahian. Semuanya meninggal dunia. Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei langsung melantik Wakil Presiden Utama Mohammad Mokhber sebagai presiden interim. Posisi Abdollahian digantikan Wakil Menlu Ali Bagher Kani sebagai Penjabat Menlu. Muncul pertanyaan: bagaimana masalah internal Iran dan kebijakan luar negerinya setelah tragedi yang menimbulkan spekluasi-spekulasi konspiratif ini?
Pertanyaan ini layak diajukan mengingat Raisi digadang-gadang sebagai calon pengganti Khamenei yang sudah berusia 85 tahun, sikap keras Raisi terhadap Israel, stabilitas kawasan, hubungan Iran-AS, dan isu program nuklir Iran. Setelah Raisi dan Abdollahian meninggal, perundingan rahasia Iran-AS di Oman – perunding Iran adalah Ali Bagher Kani yang mencakup berbagai isu – di antaranya isu perang Gaza dan program nuklir Iran, terbengkalai.
Masalah Internal
Raisi meninggal ketika ekonomi Iran dalam keadaan terpuruk. Mata uang riyal Iran terdepresiasi sangat dalam, harga bahan pokok melejit, kemiskinan meningkat, dan dan pengangguran meluas. Ini terjadi setelah AS di bawah Presiden Donald Trump, atas desakan Israel dan negara Arab Teluk, mundur secara sepihak dari kesepakatan nuklir Iran (JCPOA). JCPOA ditandatangani Iran dan P5+1 (AS, Rusia, Tiongkok, Inggris, Perancis) plus Jerman pada 2015. Kesepakatan ini mengizinkan Iran mengekspor energinya ke pasar global dengan imbalan Teheran membatasi program nuklirnya.
Mundurnya AS pada 2018 diikuti sanksi ekonomi yang melumpuhkan. Anggota P5+1 lainnya, kecuali Rusia dan Tiongkok, terpaksa juga membatasi kerja sama ekonomi dengan Iran. Cobaan Iran berlipat ganda menyusul pandemi covid-19. Situasi ini menciptakan keresahan sosial. Di pihak lain, Raisi memberlakukan kode berbusana yang lebih ketat yang mengecewakan kaum perempuan. Padahal, Raisi terpilih melalui pilpres 2021 yang diboikot kubu moderat dan reformis. Untuk pertama kalinya sejak Republik Islam Iran berdiri pada 1979, jumlah pemilih terdaftar yang datang ke kotak suara hanya 40 persen lebih. Dus, pemerintahan Raisi memiliki legitimasi yang rendah.
Maka ketika perempuan muda, Mahsa Amini, tewas di tahanan kepolisian pada 2022 karena dituduh tidak mengenakan hijabnya dengan benar, demonstrasi besar-besaran terjadi di semua kota Iran selama berbulan-bulan. Demonstran Perempuan menanggalkan dan membakar hijab mereka. Tak kurang 500 orang meninggal dan 16 “provokator” dieksekusi mati. Pelapor ahli HAM PBB menyatakan Iran telah melakukan kejahatan kemanusiaan.
Gejolak internal dan tekanan eksternal membuat Iran makin mendekatkan diri dengan dua kompetitor utama AS dan NATO, yakni Rusia dan Tiongkok. Kerja sama ekonomi Iran dengan dua negara besar ini yang meningkat drastis membuat Iran bisa sedikit bernapas. Tiongkok menandatangani kesepakatan jaminan pasokan minyak Iran ke Tiongkok selama 25 tahun. Dan baru-baru ini, Organisasi Kerja Sama Ekonomi Shanghai (SCO) – terdiri dari Rusia, Tiongkok, India, dan negara-negara Asia Tengah – menerima lamaran Iran sebagai anggota.
Lebih penting dari semuanya, kepergian Raisi menghadapkan Iran pada masalah suksesi terhadap Khameneni yang mulai sakit-sakitan. Memang suksesi terhadap pemimpin Velayat-e Faqeh yang sangat strategis merupakan urusan Majlis-e Khubregan (Majelis Ahli), terdiri dari 88 anggota ulama senior. Tapi tidak mudah mencari pengganti Khamenei yang seloyal Raisi. Raisi juga merupakan pemersatu kubu konservatif di semua lini pemerintahan dan lembaga strategis. Sesuai konstitusi, Iran segera menyelanggarakan pilpres 50 hari setelah Raisi dinyatakan meninggal dunia.
Maka pilpres mendatang menjadi isu kritis karena diharapkan presiden terpilih akan menjadi calon pengganti Khamenei. Siapa dia? Tidak ada yang tahu. Mokhber adalah juga seorang konservatif dan dekat dengan Khamenei. Tapi dia bukan seorang ulama yang menjadi syarat mutlak bagi posisi Velayat-e Faqeh. Dus, hari-hari ini Khamenei -- dan Majelis Khubregan -- akan disibukkan dengan pencarian calon pengganti dirinya.
Perang Gaza
Lebih dari negara manapun, pemerintahan Iran di bawah Raisi sangat vokal dalam meneriakkan kekejian Israel terhadap Palestina. Raisi tak henti-hentinya memprotes keras operasi militer militer Israel (IDF) di Gaza yang, menurut PBB, pelanggaran HAM di Gaza tak ada presedennya Pasca Perang Dunia II. Atas aduan Afrika Selatan, Mahkamah Internasional (ICJ) memerintahkan Israel menghentikan genosidanya.
Pada 20 Mei, Ketua Mahkamah Kriminal Internasional (ICC), Karim Khan, meminta panel jaksa ICC mengeluarkan perintah penangkapan (arrest warrants) terhadap PM Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant. Agar terlihat independen, Khan juga meminta penangkapan terhadap pemimpin Hamas: Ismail Haniya, Yahya Sinwar, dan Mohammad Deif.
Serangan Hezbollah (proksi Iran di Lebanon) ke Israel dan serangan milisi Houthi di Yaman ke kapal-kapal kargo yang melintasi Laut Merah – dengan tujuan membantu Hamas -- cukup merepotkan Israel dari sisi ekonomi dan keamanan. Untuk mengalihkan perhatian dunia dari operasinya di Gaza, Israel menyerang konsulat Iran di Damaskus, menewaskan dua jenderal Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran. Tentu saja serangan ini melanggar Konvensi Geneva yang menetapkan konsulat tak boleh dijadikan sasaran serangan. Apabila itu terjadi, maka negara pemilik konsulat boleh melakukan pembelaan diri.
Israel memang berharap provokasi ini dibalas sehingga terbuka front baru Iran-Israel yang akan menarik dukungan AS dan sekutu Barat terhadap Israel. Serangan Israel jelas menekan pemerintahan Raisi. Demi menjaga marwah Iran sebagai kekuatan regional, terutama di hadapan proksi-proksinya -- di Irak, Suriah, Lebanon, Palestina, dan Yaman -- dan publiknya sendiri, Raisi tak punya pilihan lain kecuali membalas serangan kurang ajar itu. Maka, tak kurang dari 300-an drone, rudal balistik, dan rudal jelajah diluncurkan ke Israel.
Konflik bersenjata terbuka Israel-Iran yang terjadi untuk pertama kalinya sejak Republik Islam Iran berdiri 1979, membawa Timur Tengah ke tebing perang besar di kawasan panas itu. Belum ada tanda-tanda perang Hamas-Israel yang telah mencapai bulan kedelapan di mana Iran memainkan peran besar akan segera berakhir. Dengan demikian, situasi ini akan mempengaruhi pilpres Iran. Untuk sementara, presiden interim tidak akan mengambil kebijakan strategis yang mengubah status quo. Maka, penyelesaian perang Gaza yang harus melibatkan Iran belum akan terjadi sampai terpilih presiden Iran definitif. Politik luar negeri Iran disusun oleh presiden, IRGC, dan Lembaga Keamanan Nasional dengan dukungan Velayat-e Faqeh (Khamenei).
Program Nuklir Iran
Serangan balasan Israel ke Kota Isfahan, pusat program nuklir Iran, membangkitkan alarm. Segera Raisi dan parlemen mulai bicara tentang perlunya Iran membuat bom atom. Iran pun mulai membatasi kerja samanya dengan Badan Atom dan Energi Internasional (IAEA) yang mengawasi program nuklirnya. Ini menimbulkan kekhawatiran AS, Israel, UE, dan negara-negara Arab Teluk. Menurut IAEA, Iran telah berhasil memperkaya uranium hingga 60 persen. Kalau mau, hanya perlu dua minggu bagi Iran untuk membuat dua bom nuklir.
Dalam perundingan Iran-AS di Oman, selain membicarakan deeskalasi perang Hamas-Israel, mengganti pemerintahan Israel, dan status Palestina pasca perang, keduanya juga berunding soal pemulihan JCPOA. Kendati memperkuat posisinya dalam situasi ini, Raisi ingin JCPOA dipulihkan agar membuka akses Iran ke ekonomi global. Rakyat Iran butuh pembangunan dan pertumbuhan ekonomi untuk meringankan beban hidup mereka. Bagi AS, penting untuk mengendalikan program nuklir Iran guna menghentikan potensi perlombaan senjata nuklir di kawasan.
Penutup
Kendati berhasil menormalisasi hubungan dengan Arab Saudi pada Maret tahun lalu, yang diharapkan meredakan ketegangan dua kekuatan yang saling berebut pengaruh di kawasan, perang Hamas-Israel merusak stabilitas Timur Tengah. Aktivitas program nuklir Iran di bawah Raisi juga mengganggu negara tetangga dan politik luar negeri AS yang hendak fokus pada persaingannya dengan Tiongkok di Asia Pasifik. Sebenarnya penyelesaian semua permasalahan ini bergantung pada AS.
Andaikan Washington serius menekan Israel untuk mengakhiri perang secepatnya, lalu mendorong pembentukan negara Palestina merdeka, dan bersedia memberi konsesi yang diperlukan Iran untuk memulihkan JCPOA, maka sebagian besar masalah Timteng dapat diatasi. Iran kehilangan alasan untuk membentuk “poros perlawanan” dengan membentuk proksi-proksi di kawasan untuk melawan AS dan Israel. Ini juga akan membangun kepercaya negara-negara Arab Teluk terhadap Iran, sehingga rekonstruksi Timur Tengah yang stabil, makmur, dan beradab pasca perang dapat dimulai. (*)
*) Tulisan ini sudah dimuat di Media Indonesia pada Jumat, 24 Mei 2024. Atas seizin penulis dimuat juga untuk FNN.
944