Ironis Polisi Terlibat Aborsi Mahasiswi

By Prof Dr Suteki SH MHum, UNDIP

Novia Widyasari adalah seorang mahasiswi di PTN Jawa Timur, bunuh diri di samping pusara ayahnya karena ada dugaan "dihamili" pacar bernama Randy Bagus dan disuruh aborsi ketika kandungannya berusia 4 bulan. Belakangan pelaku diketahui, Randy merupakan anggota polisi yang bertugas di Polres Pasuruan dan semula dikira putra dari seorang anggota DPRD, namun belakangan diketahui bahwa ayahnya seorang tengkulak gabah.

Fakta ini menunjukkan adanya sebuah fenomena kekerasan seksual yang makin mengerikan. Di sisi lain ada opini asing terkait solusi ini juga mengerikan, misal: "solusi untuk mencegah kekerasan seksual dalam hubungan pacaran itu bukan dengan melarang pacaran, sebab kalau pakai pola begitu, maka solusi untuk mencegah KDRT adalah dengan melarang pernikahan". Terkait dengan fenomena statemen ini, perlu jelaskan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, saya menyatakan prihatin atas fenomena makin meroketnya "pelanggaran seksual" termasuk di dalamnya kekerasan seksual. Baik kuantitas dan kualitasnya statistiknya tampak makin tinggi.

Kedua, opini tersebut termasuk logical fallacy, kesesatan berpikir. Ada atau tidak adanya pacaran tetap ada kekerasan seksual (sexual non consent) atau kemesraan seksual menyimpang (sexual consent). Alloh tidak menutup hasrat manusia di bidang seksual, tapi memberikan petunjuk agar penyalurannya tepat dan terkendali, yakni melalui AJANG PERNIKAHAN. Jika belum mampu menikah maka "tahan dan kendalikan hasrat itu" dengan MENUTUP PINTU BERGEJOLAKNYA NAFSU dengan MENAHAN PANDANGAN, MENUTUP AURAT dan jika perlu berpuasa. Bukan dengan menutup pintu kemaslahatan berupa PERNIKAHAN.

Ketiga, negara harus hadir untuk menutup pintu kekerasan seksual dan kemesraan seksual yg menyimpang dengan melakukan:

(1) Upaya Preventif: pembelajaran

(2) Upaya Kuratif: penerapan sanksi dan pemulihan

(3) Upaya fasilitasi kemudahan menikah: bantuan (pekerjaan, tempat tinggal., mas kawin dan biaya pernikahan) bagi yg tidak mampu.

Kasus kekerasan seksual yang hingga kini masih hangat diperbincangkan adalah kasus Novia dengan pacarnya Randy di Jawa Timur. Dari segi hukum dapat dijelaskan duduk perkara dan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepada Bripda Randy.

Berdasarkan keterangan pihak kepolisian Polda Jawa Timur, korban NWR berkenalan dengan Bripda Randy Bagus pada Oktober 2019. Korban dan Bripda Randy Bagus bertemu di acara launching sebuah distro baju di Malang. Korban dan Bripda Randy Bagus kemudian bertukar nomor handphone. Setelah beberapa lama menjalin komunikasi, mereka memutuskan untuk berpacaran. Di kemudian hari terungkap bahwa ada fakta hukum sebagai berikut:

(1) Terjadi hubungan suka sama suka, yakni pacaran yang sebenarnya menurut Islam juga dilarang, namun oleh hukum negara tidak ada larangan ketika tidak ada paksaan (sexual consent).

(2) Akibat hubungan "terlarang secara agama" maka diketahui Korban hamil dan ada upaya Bripda Randy untuk melakukan aborsi (dengan paksaan). Hal ini tentu bertentangan dengan UU Kesehatan dan KUHP. Keduanya lalu sepakat menggunggurkan kandungan saat 2 kali hamil tersebut. Pertama saat usia kandungan masih hitungan minggu, dan kedua berusia 4 bulan. Demikian dijelaskan oleh Wakapolda Jawa Timur Brigjen Slamet Hadi Supraptoyo sebagaimana dikutip oleh berbagai media online.

Adapun ancaman hukuman yang dapat dikenakan kepada Bripda Randy adalah sebagai berikut:

(1) DISIPLIN POLRI dan Perkap nomor 14 tahun 2011 tentang kode etik Pasal 7 dan 11.

Ini sudah memenuhi unsur, hukuman terberatnya adalah Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PTDH). Ini hukuman terberat.

(2) RB akhirnya ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana aborsi atau Pasal 348 KUHP juncto Pasal 55 KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara.

(3) Sanksi pidana bagi pelaku aborsi diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang berbunyi;

"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar."

Pasal 194 UU Kesehatan tersebut dapat menjerat pihak dokter dan/atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun pihak perempuan yang dengan sengaja melakukannya.

Kasus Rany dan Novia, bukan kasus baru di negeri Pancasila ini. Pada kebanyakan kasus seringkali orang melakukan hubungan badan saat berpacaran itu atas dasar sexual consent, kemudian ketika ada akibat kehamilan, pihak laki-laki menyuruh aborsi/berlepas diri dan menggantungkan hubungan tanpa ada komitmen apapun, ini yang kebanyakan membuat wanita depresi. Hal ini menunjukkan bahwa MORAL bangsa ini tengah TERPURUK, khususnya rasa tanggung jawab atas perbuatan tidak ada. Istilahnya telah mewabah LAKI-LAKI PENJAHAT SEKSUAL yang tidak bertanggung jawab dan pihak WANITANYA tidak bisa menjaga diri bahkan tidak punya harga diri. Kasus ini sulit dipidana jika suka-sama suka (sexual consent) meskipun ada pihak yang dirugikan. Ini persis kasus antara Martua Raja Sidabutar vs Katharina Siahaan tahun 1978 di Pengadilan Negeri Medan yang kemudian ditangani oleh Hakim Bismar Siregar (di tingkat Pengadilan Tinggi). Di PN Martua Sidabutar dihukum percobaan 3 bulan karena terbukti melakukan pencabulan, di PT oleh Bismar dihukum selama 3 tahun karena terbukti melakukan PENIPUAN (Pasal 378 KUHP) tapi dibatalkan oleh hakim MA Adi Andojo dengan alasan Hakim Bismar terlalu luas menafsirkan Pasal 378 KUHP dengan metode konstruksi hukum berupa ANALOGI.

Kita prihatin atas maraknya pelanggaran seksual di tengah masyarakat kita yang religius ini. Agar tidak terulang kasus tragis Novia ini, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan ke publik, yaitu:

(1) Benteng terawal dan terakhir adalah agama yang lurus. No law without moral, no moral without relegion. Ps 29 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Wanita jangan mudah terbujuk rayu lelaki dan begitu pula sebaliknya. Jangan pernah menjadi PRIBADI MURAHAN. Menjaga marwah, kehormatan wanita harus dimulai dari lingkungan terkecil, yakni keluarga.

(3) Pintu-pintu kekerasan seksual dan kemesraan seksual harus mulai dikurangi dan dibatasi jika perlu dilarang. Sarana media harus ketat dan peraturan hukum mesti tegas dengan sanksi yang menjerakan.

RUU KUHP dan UUPKS segera dituntaskan dengan menampung aspirasi rakyat, wajar jika di negara demokrasi mayoritas mengendalikan, RULER CLASS bukan tertindas.

Pada akhirnya, saya mendorong agar proses hukum yang berlangsung tidak hanya meminta pertanggungjawaban dari tersangka pelaku Bripda Randy, tetapi juga petugas kepolisian jika ada petugas yang tidak menindaklanjuti laporan korban. Jadi, semua pihak yang turut serta membantu pelaku harus dimintai pertanggungjawaban, termasuk petugas kepolisian yang tidak menindaklanjuti laporan korban dan pendampingnya.

Tabik...!!!

Padang, Rabu: 8 Desember 2021

318

Related Post