Jenderal Gatot Nurmantyo dan Rahman Sabon, Satu-satunya Capres Cawapres dari Rakyat untuk Rakyat
Oleh Letjen. TNI Purn Dr. Umar Abdul Azis - Sultan Siak Sri Indrapura Riau
APA yang bakal berlanjut pasca Surya Paloh mengeluarkan statemen, PKB bergabung dengan KPP?
Sabtu (2/9/2023) pagi telah dilakukan deklarasi KPP mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar berlangsung di Surabaya Sabtu sore.
Dinamika politik di KPP ini terbilang mengejutkan. Meski, hal ini memberi jawaban pasti tentang: mengapa deklarasi Anies-Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tak kujung diwujudkan.
Tetapi di balik dinamika itu, praktis muncul analisis dari berbagai tokoh, dan elemen bangsa lain. Juga, tak terkecuali dari keluarga besar raja sultan dan pemangku adat Nusantara.
Pokok analisis itu, bahwa cawe- cawe Pesiden Joko Widodo telah berhasil memecah koalisi perubahan KPP. Bahkan, juga akan memecah koalisi PDIP sendiri.
Diskursusnya, Jokowi "memenangkan" pertarungan Capres 2024. Musababnya, bukan tidak mungkin konfigurasi koalisi partai pengusung Capres Cawapres bisa bermetamorfosis menjadi :
▪Koalisi Gerindra + Golkar + PAN: 36,1 % suara.
▪Koalisi Demokrat + PKS + PPP: 21,3 % suara.
▪Koalisi Nasdem + PKB: 20,3 % suara.
▪ Koalisi PDI Perjuangan, 22,3 % suara
Prediksi ini bisa saja terjadi, lantaran publik sudah dapat membaca kebiasaan partai politik yang sukanya "pecicilan" dalam menentukan pasangan.
Betapa tidak, ketika kabar akan duet Anies dengan Muhaimin sebagai Cawapres, sontak para petinggi Demokrat kebakaran jenggot.
Tetapi beberapa jam kemudian AHY yang digadang Demokrat dengan mengunci Koalisi Perubahan Untuk Persatuan KPP menjadi Cawapresnya Anies, harus mengklarifikasi dengan mengeluarkan surat himbauan pada seluruh kader Demokrat yang dianggap menyejukkan, lalu puji-pujian pun berdatangan.
AHY memang layak jadi Ketum Demokrat sekalipun usia tergolong muda dan belum banyak makan asam garam memimpin misalnya menjadi Kepala Daerah, dsbnya, jelas ini bagian dari modal AHY menawarkan jadi Cawapres.
Pemilihan langsung presiden sudah berjalan beberapa kali di era reformasi, tetapi di era Joko Widodo nyapres hingga berhasil menang 2 periode tidak dipungkiri menorehkan legacy buruk tentang sebuah partai.
Apalagi secara terang-terangan kedaulatan rakyat telah bergeser menjadi kedaulatan partai politik. Dan para elitis partai justru enjoy menikmati situasi paska Amandemen UU 1945.
Padahal, itu sudah sangat nyata menyimpang dari prinsip konstitusi kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu UUD 1945 dan Pancasila 18 Agustus 1945 sebagaimana termaktub dalam Mukadimah UUD 1945 sebagai landasan hukum konstitusional tertinggi negara kita.
Jalannya demokrasi kekinian dipastikan berubah dari partai untuk partai, sekalipun hiruk pikuk pesta demokrasi pilpres menyita waktu rakyat Indonesia.
Konfigurasi peluang munculnya satu lagi Capres mewakili kerajaan Kesultanan Nusantara masih terbuka untuk mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo (GN), diusung melalui Koalisi Independen Kembali ke UUD 1945 Asli dengan Adendum dengan dukungan dari Partai Daulat Kerajaan Nusantara (PDKN) serta komunitas Raja Sultan Nusantara patut diperhitungkan.
Tidak sulit memasangkan Jend GN dengan Dr Rahman Sabon Nama (RSN) Wareng V pahlawan Adipati Kapitan Lingga Ratu Loli, Panglima Perang Jelajah Nusantara.
RSN adalah Pemegang Colateral Aset Dinasti Nusantara yang dikenal luas sebagai Penggagas The Royal Kingdom Assets Kerajaan Nusantara untuk Kemakmuran dan Kesejahteraan Rakyat Indonesia guna membebaskan Indonesia dari pengaruh jual beli kekuasaan , jabatan dan kebijakan yang merupakan jenis korupsi suap yang merusak tatanan moral bangsa.
Pasangan Capres Cawapres Jenderal TNI Purn.Gatot Nurmantyo (GN) dan Dr Rahman Sabon Nama ( RSN) dipastikan satu-satunya pasangan berasal dari rakyat untuk rakyat.
Bukan tidak mungkin pasangan GN-RSN akan menjadi kuda hitam kontestasi Pilpres 2024 yang tidak bisa disepelekan begitu saja.***