Jokowi Menegur Firli, Kekuatan di Belakang Firli Masih Misteri
Jakarta, FNN - Pengembalian secara paksa Direktur Penyelidikan KPK, Brigjen Pol Endar Priantoro, ke Mabes Polri oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Firli Bahuri, bahkan diikuti dengan pemecatan terhadapnya menjadi blunder besar. Akibatnya, Firli tidak hanya harus berhadapan dengan Kapolri, tapi juga dilawan oleh para penyidik Polri di KPK, dikecam oleh berbagai elemen masyarakat sipil, dan akhirnya ditegur secara keras oleh Presiden Jokowi agar jangan bikin gaduh.
Demikian juga dengan pernyataan-pernyataan Dewan Pengawas KPK yang juga tidak berpihak ke Firli. Firli kini tengah menuai badai kecaman akibat ulahnya melawan arus. Bahkan, Presiden sampai harus turun tangan dan menegur Firli.
“Bila presiden hanya mendiamkan berarti Presiden Jokowi memang merestui, bahkan memerintahkan manuver Firli. Jelas ini tidak menguntungkan bagi presiden Jokowi,” ujar Hersubeno Arief kanal Youtube Hersubeno Point edisi Kamis (6/4/23).
Langkah Firli yang terlalu berani tersebut dikaitkan dengan kekuatan besar di belakangnya yang ingin mentersangkakan Anies dalam kasus formula E dan membatalkan pencapresannya. Logika publik tentu mengarah pada kepentingan istana.
Tetapi, faktanya Jokowi malah menegur Firli. Ini menunjukkan bahwa Jokowi secara tidak langsung berpihak kepada Kapolri. Teguran Jokowi terhadap Firli juga menunjukkan kepada publik bahwa dia tidak terlibat dalam skenario culas mempersangkakan Anies. Sebaliknya, sama seperti Kapolri, Jokowi tetap ingin memperkuat KPK dan mendukung penegakan hukum dalam koridor yang benar.
Bila Jokowi saja sudah menegur Firli maka bisa diperkirakan nasib Firli selanjutnya. Apalagi Dewan Pengawas akan memproses laporan Endar Priantoro terhadap Sekjen KPK dan Firli Bahuri. Sepertinya Jokowi tidak mau citranya makin jeblok dan tidak mau dituduh menggunakan instrumen hukum untuk menghabisi lawan-lawan politiknya. Karena itu, dia memilih berpihak pada Kapolri.
Sedangkan untuk KPK, Hersubeno sementara menyimpulkan bahwa KPK saat ini menjadi lembaga yang nuansa politiknya lebih kuat ketimbang soal penegakan hukum junto pemberantasan korupsi. Jika kondisinya terus seperti ini maka mimpi kita untuk melihat negara Indonesia ini bersih dari korupsi semakin jauh dari kenyataan.
“Sayang sekali ya lembaga yang tadinya diharapkan menjadi salah satu senjata untuk menghabisi praktik-praktik korupsi tapi kemudian jatuh terjerembab ke dalam lumpur dan hanya menjadi alat kekuasaan,” ujar Hersu. (sof)