Kaesang Terjun ke Politik, Lengkap Sudah Dinasti Politik Jokowi
Jakarta, FNN - Tadi malam Pak Prabowo bertemu dengan Gibran di Solo, di rumah dinas Walikota Solo. Kemudian Pak Prabowo menyatakan dukungannya terhadap Gibran untuk maju menjadi Gubernur di Jakarta atau Jawa Tengah. Selain Pak Prabowo, dukungan untuk Gibran juga datang dari politisi lain. Yang menarik adalah soal Kaesang yang tiba-tiba ‘katanya’ membuat terkejut Pak Jokowi karena mau masuk ke dunia politik. Keadaan ini membuat banyak orang menyimpulkan sebagai politik dinasti.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai keinginan Kaesang masuk dunia politik, mari kita mengingat kembali pada istilah dinasiti. Dalam Kanal Youtube Rocky Gerung Official edisi Rabu (25/01/23), Rocky Gerung menjelaskan bahwa pengertian dinasti itu mengingatkan kita pada sistem kerajaan di masa lalu untuk orang yang memperoleh kekuasaan karena fatwa dari langit dan karena jenis darah yang sama warnanya, darah biru.
Tetapi, klaim bahwa kekuasaan itu diberikan dari langit kemudian dibatalkan saat revolusi Prancis dan raja Louis ke-16 dipancung kepalanya karena mengklaim bahwa kekuasaan dia hanya akan berpindah dari dia ke anaknya terus-menerus, tidak mungkin balik kepada rakyat. Kemudian, di suatu pagi di tahun 1789, ada warga negara Prancis nenteng-nenteng kepala Louis ke-16. Rakyat kemudian bergembira dan menganggap bahwa ternyata kepala Louis ke-16 itu bukan diberi mahkota dari langit. Buktinya mahkotanya bisa lepas dari kepalanya, bahkan kepalanya lepas dari badannya.
“Jadi ada semacam kesepakatan bahwa mahkota raja itu adalah mahkota rakyat. Dari situ kemudian timbul istilah vox populi vox dei ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’. Jadi bukan suara Tuhan yang adalah suara rakyat, tapi apa yang diputuskan rakyat pasti akan disetujui Tuhan. Dari situ kemudian kita melihat evolusi bahwa kekuasaan akhirnya tumbuh di dalam sistem demokrasi. Bukan lagi karena darahnya sama atau karena sama-sama dapat wahyu dari langit, tapi karena profesionalisme, karena aktivitas untuk membantu politik ketika ayahnya atau ibunya sedang berkuasa,” jelas Rocky.
Jadi, pendidikan politik di dalam keluargalah yang menyebabkan dinasti politik modern. Indonesia bukan sistem dinasti kerajaan, tetapi di Indonesia sudah mulai dibiasakan untuk melihat bahwa mungkin sistem dinasti juga akan tumbuh di Indonesia. “Tetapi yang penting adalah dinasti atau bukan dinasti, kompetisinya fair apa enggak dengan orang yang bukan dinasti. Jadi, previlage dinasti itu tidak ditentukan oleh dari mana dia memperoleh pendidikan politik atau keahlian politik. Gibran dan Kaesang tentu belajar dari ayahnya, tetapi kalau Gibran dan Kaesang misalnya setuju dengan PT 20% karena ayahnya mungkin akan punya partai yang bisa mencalonkan karena 20% maka itu artinya dinasti yang feodal,” ujar Rocky dalam sebuah pembahasan yang dipandu oleh Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, itu.
Persoalan dinasti bukan persoalan anak siapa menjadi apa. Pendidikan politik dari orang tua merupakan konsekuensi logis karena anak-anak tumbuh dan melihat aktivitas orang tuanya. Adalah suatu kewajaran kalau anak politisi menjadi politisi.
“Ketidakwajaran terjadi kalau anak dari si politisi itu nebeng pada kekuasaan ibunya, sementara ibunya juga protektif terhadap dia,” ujar Rocky. Jadi, tambah Rocky, ada Puan di PDIP yang adalah dinasti Ibu Mega. Puan menjadi dinasti yang rasional kalau dia memang berkompetisi internal di dalam kepemimpinan PDIP. Demikian juga di SBY. Kalau AHY yang berkompetisi internal di dalam partai yang didirikan oleh ayahnya. Kalau tidak terjadi kompetisi yang setara di dalam partai hanya karena membawa nama, itu namanya dinasi yang sifatnya kerajaan walaupun sistem demokrasi.
“Jadi, sekali lagi, kedinastian itu sebagai istilah saja, hanya ingin menunjukkan bahwa ada pewarisan tradisi di dalam satu keluarga, tetapi pewarisan itu tidak boleh membatalkan prinsip demokrasi, yaitu suksesi yang berdasarkan meritokrasi, berdasarkan kemampuan argumen, berdasarkan visi,” ujar Rocky. (sof)