Kasus ACT: Menyasar Kekuatan Ekonomi-Politik Umat Islam?
Dalam konteks wilayah yang lebih luas, sebuah lembaga yang mendedikasikan dirinya untuk tujuan mulia itu tetap diperlukan. Lembaga filantropi adalah praktif kedermawanan dalam tradisi Islam.
Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD – MPR RI
SEJAK diberitakan oleh Majalah TEMPO beberapa saat lalu, sepak terjang ACT dalam kemanusiaan berganti menjadi kisah pilu penyelewengan dana umat. Babak terbaru, Polri menahan 4 petinggi ACT, yakni Ketua Dewan Pembina ACT Ahyudin, Ketua Dewan Pembina Yayasan ACT Novariadi Imam Akbari, Anggota Dewan Pembina Yayasan ACT Heryana Hermai, dan Ketua Yayasan ACT Ibnu Khajar.
Perjalanan kasus ACT begitu cepat. Hanya perlu empat hari sejak Liputan Investigasi Majalah Tempo pada 2 Juli 2022 terbit, Kementerian Sosial (Kemensos) telah mencabut izin penyelenggaraan pengumpulan uang dan barang (PUB) atau crowfunding Yayasan ACT.
Respon gesit pemerintah menimbulkan tanda tanya bagi sebagian pihak. Maklum, urat nadi Yayasan ACT adalah sumbangan donatur. Memutus urat nadi itu sama halnya membunuh seluruh aktivitas yayasan. Padahal, belum ada putusan hukum tetap dan mengikat terhadap kasus ini. Penyelidikannya saja, bahkan, baru dimulai.
Pada hari yang sama, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membekukan 60 rekening ACT di 33 bank yang selama ini bermitra. Padahal, sebagaimana diberitakan, penyelidikan baru saja berlangsung sehari sebelumnya, 5 Juli 2022.
Tiga hari penyelidikan berlangsung, Ahyudin dan Ibnu Khajar diperiksa untuk pertama kalinya. Tiga hari setelahnya, Polri meningkatkan penanganan kasus ini ke tahap penyidikan, hingga menghasilkan 4 tersangka yang kemudian ditahan pada Jumat, 29 Juli 2022,
Kita mengapresiasi langkah cepat Polri. Namun, kita tentu berharap kecepatan penanganan perkara juga terjadi pada kasus-kasus yang ditangani oleh Polri lainnya. Sebutlah perkara polisi tembak polisi yang awalnya tak seorang pun ditetapkan menjadi tersangka, meski pelaku penembakan, Bharada E, telah mengakui perbuatannya. Barulah kemarin, ia ditetapkan sebagai tersangka.
Menyasar Kekuatan Politik Islam?
Aliran uang Yayasan ACT menjadi salah satu fokus penyidikan Polri. Namun temuan-temuan yang dirasa janggal acapkali menjadi bola liar yang akhirnya menelurkan spekulasi baru di kalangan masyarakat. Terlebih di media sosial, yang memungkinkan netizen beropini dengan ganas.
Respon para buzzer lebih beringas lagi. Mereka terkesan menjadikan temuan itu sebagai jalan menyasar kekuatan politik umat Islam melalui kasus ACT. Ini dimungkinkan karena jejaring ACT tersebut kebanyakan berhubungan dengan organisasi, tokoh, atau simpul-simpul massa Islam yang notabene merupakan kekuatan politik umat Islam.
Apakah ada grand desain? Mungkinkah ada yang menggerakkan? Kita tidak tahu. Yang jelas, para buzzer begitu dini, cekatan, dan tanpa beban langsung mengaitkan temuan-temuan baru dalam perkara ACT dengan tokoh-tokoh Islam yang berpotensi menjadi simpul perjuangan, termasuk perjuangan politik.
Tengok saja, misalnya, pasca-bareskrim Polri mengumumkan dugaan aliran dana ACT ke Koperasi 212, pendengung dengan sigap menyolek Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Ustadz Abdullah Gymnastiar atau Aa’ gym. Kita tahu, HRS bukan hanya ulama tetapi juga sosok yang dipandang berpengaruh dalam dinamika politik nasional. Sebelumnya, nama Anies Baswedan telah lebih dulu diseret.
Meski telah dipenjara, namun HRS masih memiliki pengaruh dalam dinamika politik nasional. Peran HRS dalam Pilkada DKI 2017 lalu tentu masih lekat diingatan kita. Tak heran, begitu keluar dari penjara, HRS tetap menjadi magnet. Ia didekati tidak hanya oleh elit partai oposisi, tetapi juga tokoh dari koalisi pemerintah, sebagaimana pengakuan pengacara HRS Aziz Yanuar dalam populis.id.
Bagaimana dengan Aa Gym? Selama ini beliau tidak terlibat politik praktis. Sebagai ustadz, Aa Gym begitu pandai menjaga jarak dengan riuh politik. Namun, pilihan politik Aa Gym tentu punya pengaruh kepada masyarakat luas, terlebih di musim pencoblosan nasional. Begitu pula dengan ulama dan tokoh Islam lainnya.
Lalu, Anies Baswedan? Kalau ini sih tidak perlu dijawab. Sosok ini akan selalu dikaitkan dengan apapun juga yang berpotensi merusak nama baiknya. Maklum, nama Anies sangat diperhitungkan dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2024. Tentu ia menjadi ancaman bagi lawan politiknya.
Memang, sulit menduga bakal kemana lagi temuan-temuan penyidik Polri dalam kasus ACT. Namun jauh lebih sulit menduga siapa-siapa saja tokoh Islam yang akan tersandera opini para buzzer itu. Petuah yang paling bijak, jangan sekadar melihat apa yang dikatakan, tetapi lihat juga siapa yang mengatakan, lalu cernalah motif perkataannya.
Tetap Percaya
Tak hanya tokoh Islam yang menjadi sasaran. Eksistensi lembaga-lembaga filantropi Islam lainnya pun ikut terancam. Padahal, lembaga nirlaba ini menjadi salah satu jalan mengukuhkan kekuatan ekonomi Islam.
Yang bisa dilakukan kini adalah membangun kepercayaan masyarakat, khususnya kepercayaan umat Islam. Kasus yang menimpa ACT jangan sampai menciderai kepercayaan itu, sehingga lembaga filantropi lainnya termakan imbas. Bahkan terhadap Yayasan ACT-pun, kita masih perlu berbaik sangka mengingat belum ada keputusan hukum mengikat sebagai pijakan tuduhan brutal.
Zakat, infaq, dan sedekah adalah salah satu cara Islam dalam membangun kepedulian dan kekuatan ekonominya. Bagi mereka yang mampu, diharapkan aktif membantu tetangga atau kerabat yang sedang kesulitan.
Dalam konteks wilayah yang lebih luas, sebuah lembaga yang mendedikasikan dirinya untuk tujuan mulia itu tetap diperlukan. Lembaga filantropi adalah praktif kedermawanan dalam tradisi Islam.
Zakat, infaq dan sedekah bukan semata-mata distribusi pendapatan, stabilitas ekonomi, dan tujuan duniawi lainnya, tetapi juga berimplikasi pada kehidupan akhirat selanjutnya. Keyakinan inilah yang membedakan motif kebijakan fiskal dalam Islam dengan kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi pasar.
Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Jangan karena kasus ACT, lalu rusak kepercayaan kita kepada lembaga filantropi lainnya. Kekuatan ekonomi islam salah satunya berangkat dari saling percaya dan saling peduli. Begitu pun kekuatan politiknya. (*)