Kedaulatan Rakyat versus Oligarki dan KKN
Maka, siapapun calon presiden 2024 nanti, selama Oligarki Ekonomi yang mendisain dan membiayai, maka janji-janji manis Capres itu tidak akan pernah terwujud.
Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)
(Disampaikan Pada Peringatan 25 Tahun Mega-Bintang, Solo, 5 Juni 2022)
MEGA-Bintang lahir sebagai bagian dari sejarah Konsolidasi Elemen Civil Society untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa. Pada 25 tahun lalu, konsolidasi sipil tersebut terbangun karena arah perjalanan bangsa saat itu, dalam era Orde Baru semakin melemahkan Kedaulatan Rakyat dengan sistem pemerintahan yang semakin otoriter dan state heavy.
Perlu dicatat, Deklarator dan Pendiri Mega Bintang ini tidak lain adalah tokoh Solo, Mudrick Setiawan MS.
Karena memang, kedaulatan rakyat ketika itu harus kita tempatkan sebagai inti kedaulatan sebuah negara. Karena rakyat adalah pemilik negara ini. Dan cita-cita hakiki dari lahirnya negara ini adalah untuk mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pun demikian hari ini. Rupanya konsolidasi sipil kembali diperlukan. Karena Kedaulatan Rakyat sejak era Reformasi, khususnya sejak adanya Amandemen Konstitusi pada 1999 hingga 2002 lalu, kedaulatan rakyat bukan semakin menguat. Tetapi menjadi kedaulatan prosedural dan kedaulatan seremonial melalui Pemilu.
Amandemen yang dilakukan dengan dalih (alasan) untuk memperkuat sistem presidensiil dan memperkuat posisi perlemen, khususnya DPR RI, ternyata bukan berbanding lurus dengan penguatan kedaulatan rakyat. Malah justru mengubah konsep kedaulatan yang seharusnya: Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat, menjadi: Dari Rakyat, Oleh Partai Politik, dan Untuk Oligarki.
Saya sebagai pejabat negara yang telah disumpah atas nama Allah SWT dan disaksikan Al-Quran. Bahwa saya harus menjalankan Konstitusi dan juga peraturan perundangan, tentu secara obyektif, sebagai pejabat negara saya harus memenuhi sumpah saya.
Tetapi secara subyektif, Allah SWT memberi saya akal untuk berpikir, dan Qolbu untuk berdzikir. Sehingga saya selalu memadukan Akal, Pikir, dan Zikir. Sehingga saya harus melakukan koreksi atas Konstitusi hasil Amandemen yang sudah menyimpang jauh dari apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini.
Saya juga harus melakukan koreksi terhadap peraturan perundang-undangan yang lahir tidak dalam semangat memberi manfaat kepada rakyat. Tetapi, sebaliknya memberi manfaat kepada segelintir orang atau kelompok. Bahkan yang lebih kejam, justru menyengsarakan rakyat.
Tetapi secara empirik, kewenangan DPD RI dalam fungsi legislasi itu sangatlah terbatas. Demikian juga kewenangan yang diberikan di dalam Konstitusi. Oleh karena itu, yang bisa saya lakukan adalah menyampaikan langsung kepada seluruh stakeholder bangsa ini, bahwa arah perjalanan bangsa ini harus kita koreksi. Harus kita perbaiki, untuk Indonesia yang lebih baik.
Untuk dapat melakukan itu, kita tentu harus Adil sejak dalam pikiran. Harus Jernih sejak dari hati. Dan harus Berani mengatakan bahwa yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. Dan hal itu hanya bisa kita lakukan, jika kita konsisten berpijak dan bertindak sebagai Negarawan. Karena seorang Negarawan tidak berpikir tentang next election, tetapi berpikir tentang next generation.
Sebagai Ketua DPD RI, saya sudah keliling ke 34 Provinsi dan lebih dari 300 Kabupaten/Kota. Saya bertemu langsung dengan stakeholder di daerah. Mulai dari pejabat pemerintahan daerah, akademisi dan kalangan kampus, serta pesantren dan agamawan, hingga kerajaan dan kesultanan nusantara.
Saya mendengar dan melihat langsung apa yang mereka rasakan dan alami di daerah. Dan, hampir semua persoalan yang dihadapi dan dirasakan sama. Yaitu: Ketidakadilan dan Kemiskinan.
Dua hal ini adalah persoalan Fundamental bangsa ini. Mengapa saya sebut Fundamental? Karena penyebabnya juga Fundamental. Sehingga untuk penyelesaiannya juga harus Fundamental. Tidak bisa kita atasi dengan pendekatan yang kuratif dan karitatif. Harus Fundamental. Dari Hulunya. Bukan di Hilir.
Ketidakadilan terjadi karena negara ini telah terkungkung oleh Oligarki Ekonomi yang telah menyatu dengan Oligarki Politik dan menyandera kekuasaan. Dan kemiskinan terjadi karena kemiskinan yang struktural, dampak dari ketidakadilan tersebut.
Jadi, saya tegaskan di sini, Konsolidasi elemen Civil Society mutlak diperlukan sebagai bagian dari kesadaran kita sebagai bangsa, bahwa Oligarki Ekonomi yang menyatu dengan Oligarki Politik adalah musuh utama Kedaulatan Rakyat.
Jadi, menurut saya, persoalan bangsa ini bukanlah soal pemerintah hari ini. Atau soal Presiden hari ini. Tetapi persoalan bangsa ini tidak lain yaitu Adanya kelompok yang menyandera kekuasaan untuk berpihak dan memihak kepada kepentingan mereka. Siapa mereka? Oligarki Ekonomi yang rakus menumpuk kekayaan dan menyimpan kekayaan mereka di luar negeri. Dan, mereka juga semakin membesar dan menyatu dengan Oligarki Politik.
Jadi, selama Oligarki Ekonomi ini diberi ruang, apalagi untuk masuk ke dalam kekuasaan, maka sama saja dengan kita memberikan kepada Sosok Sangkala atau Buto yang rakus untuk berkuasa.
Silakan menjadi kaya raya. Tapi jangan karena mengatur dan mengendalikan kebijakan negara untuk berpihak kepada kalian. Silakan menjadi kaya raya, tetapi jangan gunakan kekuasaan untuk memperkaya diri dan kelompok kalian. Silakan untuk kaya raya, tetapi jangan hanya Empat orang di Republik ini, tetapi kekayaannya sama dengan 100 juta rakyat. Ini keterlaluan. Dan keterlaluan itu adalah Ketidakadilan. Dan ketidakadilan yang dibiarkan, membuat Tuhan murka.
DPD RI sendiri secara kelembagaan telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal yang kami gugat adalah Pasal tentang Ambang Batas Pencalonan Presiden atau Presidential Threshold.
Bagi kami di DPD RI, Pasal tersebut merupakan Pasal penyumbang terbesar Ketidakadilan dan Kemiskinan Struktural di Indonesia. Karena melalui Pasal inilah, Oligarki Ekonomi mengatur permainan untuk menentukan Pimpinan Nasional bangsa ini.
Pasal ini telah membatasi munculnya putra-putri terbaik bangsa. Dan pasal ini telah mematikan ruang bagi Partai Politik peserta pemilu untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Karena Pasal ini memaksa Partai Politik untuk berkoalisi dalam mengusung pasangan Capres dan Cawapres. Dan mematikan hak Partai Politik baru untuk mengusung pasangan Capres dan Cawapres, karena adanya kewajiban menggunakan basis suara hasil pemilu 5 tahun sebelumnya. Dan yang lebih esensi adalah Pasal 222 tersebut sama sekali tidak derivatif dari Konstitusi di Pasal 6A Undang-Undang Dasar kita.
Karena Pasal tersebut memaksa Partai Politik berkoalisi untuk memenuhi ambang batas, maka yang terjadi adalah Capres dan Cawapres yang akan diberikan kepada rakyat akan sangat terbatas.
Di situlah pintu masuk Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik mengatur dan mendisain siapa pemimpin nasional yang akan mereka mintakan suara dari rakyat melalui Demokrasi Prosedural yang kita sebut sebagai Pilpres.
Oligarki Ekonomi inilah yang membiayai semua proses itu. Mulai dari biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun koalisi partai, hingga biaya pemenangan dalam proses Pilpres.
Sehingga jangan heran bila janji-janji manis untuk mewujudkan Keadilan Sosial dan Kemakmuran Rakyat yang diucapkan oleh para kandidat Capres-Cawapres tidak akan pernah terwujud. Karena mereka yang membiayai proses munculnya pasangan Capres dan Cawapres itu adalah Oligarki Ekonomi yang memperkaya diri dari kebijakan dan kekuasaan yang harus berpihak kepada mereka.
Maka, siapapun calon presiden 2024 nanti, selama Oligarki Ekonomi yang mendisain dan membiayai, maka janji-janji manis Capres itu tidak akan pernah terwujud.
Bagaimana mungkin seorang Capres akan menghentikan Impor Garam, Impor Gula, Impor Beras, dan komoditas lainnya, sementara Oligarki Ekonomi yang mendisain dan membiayai Capres tersebut adalah bagian dari Penikmat Uang Rente dari Keuntungan Impor?
Bagaimana mungkin seorang Capres akan mewujudkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Ayat 1, 2 dan 3 di mana bumi, air dan isinya dikuasai negara untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat dan cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak dikuasai negara, bila Oligarki Ekonomi yang mendisain dan membiayai Capres tersebut adalah bagian dari penikmat Konsesi Lahan atas Sumber Daya Alam Hutan dan Tambang?
Bagaimana mungkin seorang Capres mampu melakukan Re-Negosiasi kontrak-kontrak yang merugikan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak, seperti Listrik dan Energi, sementara Oligarki Ekonomi yang mendisain dan membiayai Capres tersebut adalah bagian dari penikmat dalam kontrak-kontrak tersebut?
Itulah mengapa DPD RI secara kelembagaan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi untuk menghapus Pasal 222 Undang-Undang Pemilu. Karena selain melanggar Konstitusi, juga menghalangi terwujudnya cita-cita lahirnya negara ini seperti tertulis di dalam Naskah Pembukaan Konstitusi kita.
Jadi bila Mahkamah Konstitusi nanti menolak gugatan DPD RI atas Pasal 222, maka saya katakan di sini, bahwa Mahkamah Konstitusi telah dengan sengaja memberi ruang pada Oligarki Ekonomi untuk menyandera dan mengendalikan negara ini untuk berpihak dan memihak kepentingan mereka.
Sehingga sudah sepantasnya Mahkamah Konstitusi dibubarkan. Karena tidak lagi menjaga negara ini dari kerusakan dari akibat produk perundangan yang merugikan rakyat dan menjadi penyebab kemiskinan struktural di negara ini.
Minggu lalu saya bersilaturahmi dengan mantan Wakil Presiden Tri Sutrisno. Beliau mengatakan kepada saya: Bahwa karena beliau tahu bahwa kakek saya, Pak Mattalitti turut berjuang dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, maka beliau memberi amanat sekaligus wasiat kepada saya untuk membenahi Konstitusi Negara ini yang telah menyimpang jauh dari tujuan para pendiri bangsa.
Negara ini telah meninggalkan Pancasila sebagai grondslag bangsa ini. Karena sejak Amandemen Konstitusi pada 1999 hingga 2002 itu kita semakin terang benderang dan tanpa malu-malu lagi menjadi negara yang sekuler, liberal dan kapitalis.
Dan, tanpa kita sadari, pandangan hidup dan cara berpikir serta perilaku kita telah berubah secara mendasar, yang merupakan antistesa dari nilai-nilai Pancasila.
Kita telah meninggalkan mazhab ekonomi pemerataan dengan mengejar pada pertumbuhan PDB yang berbanding lurus dengan tax rasio.
Kita telah meninggalkan perekomian yang disusun atas azas kekeluargaan, dan membiarkan ekonomi tersusun dengan sendirinya oleh mekanisme pasar. Sehingga negara memilih melakukan intercept dengan memberikan program BLT-BLT untuk mengatasi kemiskinan, yang celakanya terbukti tidak tepat sasaran.
Ini juga pekerjaan penting dari Konsolidasi Elemen Civil Society hari ini bahwa Konstitusi kita wajib dikembalikan ke semangat dan spirit suasana kebatinan para pendiri bangsa. Bahwa Undang-Undang Dasar Naskah Asli 1945 harus disempurnakan memang betul.
Tetapi tidak diubah total menjadi Konstitusi yang sama sekali baru dan sudah tidak nyambung lagi dengan nilai-nilai Pancasila yang merupakan nilai dari watak dasar atau D.N.A bangsa ini.
Jadi, sekali lagi, jika kita ingin melakukan perubahan untuk Indonesia yang lebih baik ke depan, maka kita harus melihat dengan jernih bahwa persoalan yang kita hadapi adalah persoalan Fundamental. Maka, jalan keluar yang dilakukan juga harus Fundamental.
Dan salah satu persoalan Fundamental tersebut adalah Oligarki Ekonomi yang semakin membesar dan menyatu dengan Oligarki Politik untuk menyandera kekuasaan. Maka jalan keluar Fundamental yang harus kita lakukan adalah akhiri rezim Oligarki Ekonomi dan pastikan Kedaulatan ada di tangan rakyat. Bukan melalui Demokrasi Prosedural yang menipu.
Kiranya itu yang dapat saya sampaikan sebagai pengantar dialog. Semoga ikhtiar kita demi Indonesia yang lebih baik mendapat ridlo dari Allah SWT. Sehingga pertemuan kita hari ini menjadi amal jariyah bagi kita dan mendapat energi dari langit. (*)