Kelangkaan LPG 3 Kg Imbas Pembatasan dan Pengurangan Subsidi

Oleh Faisal S Sallatalohy | Mahasiswa Doktor Hukum Trisakti

BAHLIL. Tak ada hentinya bikin gaduh. Kali ini giliran LPG bersubsidi tabung 3 kg. Diam-diam, 1 Februari lalu, lakukan pembatasan distribusi. Tabung melon tak boleh lagi dijual di pengecer. Hak penjualan sepenuhnya diserahkan ke pangkalan Pertamina.

Bahlil memang kepala batu. Terlalu ngotot. Model pembatasan seperti ini, bukan pola baru. Ini kebijakan lama yang secara historis gagal dan selalu bikin gaduh. Rakyat jadi korban. 

Sejak pertama kali digulirkan pada 2007 lalu, kebijakan konversi minyak tanah ke LPG bersubsidi untuk kebutuhan rumah tangga memang selalu bermasalah. Pola distribusinya selalu tidak efektif tepat sasaran. 

Hal ini disebabkan, sejak awal diberlakukan sampai hari ini, tidak ada satupun regulasi yang memuat format baku mata rantai distribusi LPG bersubsidi agar bisa tepat sasaran. 

Tak belajar dari kesalahan dan kelemahan masa lalu. Bahlil mengulangnya kembali. Apa yang ingin dicapai si Bahlil ini ? 

Tanpa regulasi yang mengatur secara rigid mata rantai distribusi lalu memilih cara praktis lakukan pembatasan dengan menyetop penjualan di pengecer adalah langkah sia-sia yang justru hanya akan berujung kegaduhan. 

Konyolnya lagi, Bahlil terlalu berambisi menyetop penjualan di tingkat eceran sampai lupa memperkuat armada pangkalan Pertamina untuk menyediakan dan menjual LPG bersubsidi sesuai kebutuhan masyarakat. Ujungnya, memicu kelangkaan, naik harga, rakyat berburu, antrean panjang dimana-mana. Bahkan ada yg mengantri berjam-jam hingga kelelahan dan meninggal. 

Siapa yg harus bertanggung jawab ? 

Tanpa menyiapkan regulasi yg matang, tanpa melalui masa transisi cukup, tanpa menguatkan armada pangkalan Pertamina, Bahlil tergesa-gesa lakukan pembatasan. 

Pokoknya penjualan di tingkat pengecer harus dihentikan. Masyarakat hanya bisa membeli dari pangkalan Pertamina dengan harga eceran tertinggi (HET) yg sudah ditetapkan. 

Tak boleh ditunda. Alasannya, sejauh ini penjualan ditingkat pengecer dilakukan secara bebas. 

Bahlil mengutarakan alasan demi alasan. Tidak ada pilihan pembatasan harus dilakukan. pemerintah harus menyetop penjualan di pengecer. Pembelian sepenuhnya melalui pangkalan Pertamina. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari upaya membenahi proses distribusi LPG bersubsidi agar tepat sasaran. 

Alasannya, selama ini, sistem distribusi LPG bersubsi tidak efektif. Dijual secara bebas oleh pengecer di pasar. Bukan hanya rakyat kelas rentan dan miskin saja yg bisa membeli. Kelas menengah atas dan kelompok kaya yg mapan secara ekonomi juga bisa membeli. Subsidi tepat sasaran tidak efektif, salah sasaran. 

Pemerintah menyebut, menurut data TNP2K, dari 50,2 juta rumah tangga yang menerima program subsidi LPG, sebanyak 32% rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terendah yg hanya menikmati 22% dari subsidi LPG, sementara 86% dinikmati oleh kelompok yg lebih mampu.

Selain mengakibatkan masalah penyaluran tidak tepat sasaran juga berdampak pada over kuota hingga memicu pembengkakan tanggungan subsidi yg membebani APBN.

Sebelumnya sudah diungkapkan Sri Mulyani. Bahwa harga jual LPG bersubsidi dari pangkalan Pertamina ke pengecer sebesar Rp 12.750. Sementara menurutnya, harga asli LPG 3 Kg tanpa subsidi capai Rp 42.750 per tabung. 

Artinya, pemerintah harus membayar subsidi per tabung sebesar Rp 30.000. Hal ini mengakibatkan APBN 2024 harus menanggung beban subsidi LPG 3 kg yg terbilang tinggi capai Rp 80,2 triliun dengan total penerima manfaat 40,3 juta pelanggan. 

Jadi dapat dimengerti, Motif utama pemerintah batasi LPG bersubsidi didasarkan pada pertimbangan dan penilaian bahwa pola distribusi LPG bersubsidi sejauh ini tidak tepat sasaran sehingga mengakibatkan tanggungan subsidi dalam APBN jadi membengkak. 

Mencermati masalah ini, artinya pemerintah menuduh sumber masalah utama lonjakan subsidi terletak pada penerapan skema subsidi terbuka. Dimana Siapa saja, termasuk orang kaya bisa bisa membeli LPG bersubsidi tanpa batasan. Menjadi tidak tepat sasaran dan turut dinikmati oleh masyarakat kalangan menengah ke atas. 

Lantaran itu, pemerintah membatasi penjualan lewat penerapan subsidi LPG tertutup, hanya bisa dibeli di pangkalan Pertamina agar bisa lebih tepat sasaran. 

Kebijakan reformasi skema tertutup untuk penyaluran subsidi Gas LPG 3 Kg, masih menggunakan cara lama yg cenderung gagal dan menyulitkan. Rakyat diwajibkan nunjukin KTP saat membeli LPG tabung melon di pangkalan Pertamina.

Selanjutnya, KTP pembeli akan disesuai dengan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) yg dinput di website Subsidi Tepat sasaran milik Pertamina. 

Namun, sulit saya membayangkan bagaimana caranya penjual, terutama pedagang kaki lima yg sudah terdaftar sebagai agen resmi Pertamina menjual LPG 3 kg mencocokan KTP setiap pembeli dengan data P3KE di website Pertamina. Koplak !!! 

Masa pedagang harus disuruh main lepotop atau pegang hp sambil online, lalu nge-cek data identitas setiap pembeli di website pertamina. Kan ngaco !!! 

Alasan pemerintah, pembelian LPG 3 Kg dengan menggunakan KTP agar subsidi tepat sasaran. Ga bocor ke orang kaya. Tapi sesungguhnya kebijakan ini adalah wujud pembatasan kuota LPG untuk kendalikan besarnya impor dan tanggungan subsidi LPG 3 Kg dalam APBN. 

Sungguh langkah frustasi yg menegaskan: pemerintah dan DPR Indonesia malas dan tidak kreatif. Enjoy the power. Power and glory. Memalukan. 

SKK Migas menyebut, Produksi LPG nasional pada 2024 sebesar 1,7 juta meter kubik. Sementara kebutuhan Konsumsi 8 juta meter kubik. Minesnya 6,1 juta meter kubik. 

Untuk menutupi kekurangan pasokan tersebut, negara harus impor 6,4 juta meter kubik. 

Pertamina beli impor di spot market dengan harga global. Dijual kembali ke masyarakat dalam negeri dengan harga rugi. Kerugian Pertamina itu selanjutnya dibayar pemerintah lewat tanggungan subsidi dari APBN. 

Rendahnya produksi dan besarnya impor LPG adalah masalah klasik yg sengaja dipelihara kementrian ESDM, komisi VII DPR RI, mafia serta oligarki impor. 

Kenapa saya sebut sengaja dipelihara ? 

Karena ketika kementrian ESDM menyatakan produksi LPG kita lemah, bagi saya, itu kalimat yg sangat tidak pantas. 

Bukankah data kementrian ESDM sendiri yg menyebut, produksi Gas alam mencapai 7,399 juta kaki kubik (MMscfd) per hari dengan total produksi rata-rata sepanjang tahun 2024 di atas 50 juta kaki kubik. 

Lalu kenapa proses konversi ke LPG  untuk memenuhi kebutuhan 8 juta meter kubik sebagaimana kebutuhan rakyat saja tidak mampu ? 

Otak menteri ESDM taruh dimana, dari total produksi Gas alam yg lebih dari 50 juta kaki kubik, yg berhasil dikonversi ke LPG hanya 1.7 juta meter kubik ? 

Kalau 50 juta produksi digunakan untuk bayar konversi LPG 1.7 juta, masih menyisahkan 48 juta meter kubik sekian.

Kalaupun digunakan lagi untuk membayar konversi ke LPG sesuai kebutuhan masyarakat 8 juta meter kubik, masih menyisahkan 41 juta meter kubik sekian. 

Artinya Indonesia surplus produksi dan pasokan Gas alam !!! 

Surplusnya berapa ? Di atas 40 juta meter kubik !!! 

Lalu kenapa Indonesia harus bergantung tinggi terhadap pasokan impor LPG ? 

Apa juga alasan pemerintah tidak mampu menyanggupi konversi produksi gas alam ke LPG sesuai kebutuhan yg hanya 8 juta kubik meter ? 

Sudah bisa ditebak jawabannya, pemerintah akan ngeles, lemahnya konversi gas alam jadi LPG karena kita lemah dalam produksi kandungan campuran propane C3 dan butane C4. Ini juga pernah disebut Bahlil. 

Jawaban klasik ini selalu diulang-ulang setiap tahun. Padahal solusinya sederhana. Bangun kilang. Beres masalah. Kalau ga mampu bangun kilang, upgread kapasitas kilang. Terutama kilang LPG Bontang yg potensial. Beres. 

Namun, sejauh ini, upaya tingkatkan produksi LPG berbasis pada bangun kilang dan akselerasi kapasitas kilang tidak menjadi orientasi pemerintah. 

Kenapa ? 

Kalau negara berhasil tingkatkan produksi sesuai kebutuhan rakyat, lalu bagaimana caranya koruptor di Kementrian ESDM, Komisi VII DPR, SKK Migas serta mafia dan oligarki impor bisa mencuri keuntungan lewat perburuan rente impor ? 

Indonesia kaya akan cadangan gas alam. Silahkan buka website kementrian ESDM atau SKK Migas lalu sharcing Proven Gas alam. 

Akan muncul tulisan, per Januari 2023 jumlah cadangan gas terbukti (P1) mencapai 35.299,31 Billion Standard Cubic Feet (BSCF). Ini belum ditambah dengan total cadangan P2 dan P3 yg bisa dikonversi menjadi P1.

Kalau digabungkan dengan unproven atau potensial reserves, total cadangan capai 60,61 juta meter kubik. Sementara total produksi capai 50 juta meter kubik. 

Lalu kenapa konversi ke konversi ke LPG cuma 1.7 juta meter kubik ? 

Memang sengaja dipelihara kelemahan itu. Biar indonesia tetap bergantung pasokan impor. Mafia berbaju pejabat dan wakil rakyat, serta oligarki impor bisa terus mencuri keuntungan. 

SKK Migas dan Kementrian ESDM kompak melaporkan, sampai saat ini, ditengah produksi gas alam yg capai 50 juta meter kubik itu, justru diikuti dengan serapan gas domestik yg rendah. Hanya mencapai 68.66% total produksi. 

Mirisnya, jumlah produksi gas alam yg dikonversi ke LPG prosentasinya hanya 1.51% dari total produski. Sementara mayoritas 31% diekspor negara ke pasar global untuk cari duit. 

Kan koplak. Kejar ekspor tinggi, tapi kebutuhan dalam negeri diabaikan. 

Mirisnya lagi, gas alam Indonesia yg diekspor keluar dengan jumlah mayoritas, diolah di luar jadi LPG, lalu diimpor kembali ke Indonesia dengan harga yg memiskinkan. Sehingga memicu lonjakan tanggungan subsidi untuk menutupi kerugian Pertamina. 

Impor dan tanggungan subsidi yg tinggi, pada akhirnya bikin pemerintah teriak: Hai rakyat APBN tersandera, pertamina rugi.

Lalu muncul wacana kebijakan KOPLAK: maksimalisasi alokasi subsidi tepat sasaran lewat pembelian LPG 3 Kg di pangkalan Pertamina dengan menggunakan KTP. 

Shame On You....

44

Related Post