Ketua DPD RI: Hakim Mahkamah Konstitusi Sudah Seperti Tuhan
Jakarta, FNN – Kekuasaan tak terbatas hari ini sedang direngkuh oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Tak berlebihan jika Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti menyebut hakim MK sudah seperti Tuhan. Mengapa seperti Tuhan, karena wewenang hakim MK tidak ada yang mengawasi. Demikian pointers yang disampaikan oleh wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal Hersubeno Point, Selasa (15/03/2022).
Hersu menegsakan bahwa sampai sejauh ini MK terus menolak judicial review berkaitan dengan persyaratan president threshold 20 persen. Sudah puluhan kasus yang diajukan semuanya ditolak. Alasan penolakan karena para penggugat tidak punya legal standing, karena mereka bukan partai peserta pemilu atau presiden yang diusung oleh partai politik dan gabungan partai peserta pemilu.
Seperti diketahui bahwa di dalam Dialog Kebangsaan di DPD RI Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan jika lembaganya tak akan membiarkan terjadinya tambahan periode jabatan Presiden Republik Indonesia.
"Saya tegaskan bahwa kami, DPD RI merupakan palang pintu agar jangan sampai ada penambahan tiga periode jabatan Presiden," kata LaNyalla saat memberikan Keynote Speech pada acara Dialog Kebangsaan bertema 'Mencari Solusi Permasalahan Negara dan Bangsa', kerja sama DPD RI dan Gerakan Bela Negara di Ruang Sriwijaya, Gedung B Komplek Parlemen Senayan, Senin (14/3/2022).
Hadir dalam kesempatan itu para Senator Anggota DPD RI, Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifuddin, Togar M Nero dan Brigjen (Pol) Amostian, Sekjen DPD RI Rahman Hadi dan Deputi Administrasi DPD RI Lalu Niqman Zahir.
Hadir pula Ketua Dewan Syuro Partai Ummat Profesor Amien Rais secara virtual, Ketua Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju Profesor Din Syamsuddin, Guru Besar Ilmu Hukum dan Masyarakat Universitas Diponegoro Profesor Suteki, Ketua Umum Gerakan Bela Negara Brigjen TNI (Purnawirawan) Hidayat Purnomo dan para pegiat dan pemerhati konstitusi. Acara dipandu oleh Hersubeno Arief dari FNN.
Hersu mencatat beberapa hal penting di antaranya, soal kenapa Amien Rais dan Din Syamsuddin dihadirkan dalam dialog tersebut. Sebab, partai-partai baru yang bermunculan, tidak akan bisa mengusung capres-cawapres walau suara mencukupi, sebab UU Pemilu mensyaratkan yang bisa mengusungnya adalah peserta pemilu sebelumnya. Sementara partai-partai itu baru ada setelah Pemilu 2019. Ini yang disoroti Ketua DPD. Maka dia menyarankan mereka mengajukan judicial review terhadap UU Pemilu yang membelenggu dan menelikung parpol baru dalam mengusung capres dan cawapres.
Hal penting lainnya, kata Hersu, La Nyalla juga menyoroti presidential threshold 20 persen yang isinya hanya partai peserta Pemilu sebelumnya yang bisa mengusung capres dan cawapres serta memiliki kursi di parlemen sebesar 20 persen. Ini dianggap sebagai biang keladi selama ini sehingga para oligarki bisa mengatur siapa saja yang akan menjadi calon presiden, siapa yang mendampingi, siapa yang menang, dan siapa yang harus kalah. Ingat Pemilu 2019 sudah berlangsung hanya ada 2 calon yang mengakibatkan polarisasi yang sangat kuat. Lalu, calon capres dan cawapres yang kalah, diajak bergabung ke kabinet. Jika begini sebetulnya tidak perlu ada Pemilu yang buang buang duit.
Celakanya, kata Hersu apapun persoalan politik dan demokrasi di Indonesia, jika ada sengketa, yang memutuskan Hakim Konstitusi yang sudah berperan layaknya Tuhan karena tidak ada yang mengawasi. Memang tidak semua hakim, dari 9 hakim, 4 hakim menyatakan dissenting opinion, mereka berpandangan para penggugat punya legal standing.
Hersu mendorong partai oposisi seperti PKS dan Demokrat untuk mengajukan juga Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi kalau mau nyapres. Jika tidak, layak dipertanyakan, serius mau nyapres atau tidak.
Pada Dialog Kebangsaan tersebut, La Nyalla menyampaikan keprihatinannya bahwa yang terjadi sekarang adalah slogan dari rakyat oleh rakyat untuk presiden, partai politik, dan kekuasaan, bukan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Senator asal Jawa Timur itu mengaku tak masalah jika partai politik hendak melakukan amandemen konstitusi. Namun sebagai wakil daerah, LaNyalla menegaskan jika DPD RI merupakan lembaga non-partisan.
"Kami ini amandemen. Kami non-partisan. Kami sebagai seorang independen juga berhak mengajukan diri menjadi Presiden. Saya sampaikan silahkan saja kalau mau amandemen konstitusi," papar LaNyalla.
Menurut dia, saluran Presiden dari jalur independen bukan hal tabu. "Wali kota dan bupati ada jalur independen. Gubernur juga ada calon independen. Kenapa Presiden tidak. Kenapa? Takut?" tanya LaNyalla.
Pada kesempatan itu, LaNyalla mengajak kepada rakyat Indonesia untuk mengawasi kinerja Mahkamah Konstitusi (MK).
"Saya sampaikan kepada kita semua bahwa yang harus kita soroti adalah adalah Mahkamah Konstitusi. Dia bisa memutuskan ke sana ke sini. Seolah-olah dia yang menjadi Tuhan," tegas LaNyalla.
Padahal, di balik kekuasaan yang dimiliki MK, ada kekuasaan yang lebih tinggi dan tak terbatas yakni kekuasaan Tuhan, Allah SWT.
"Untuk itu, kita harus memberi peringatan kepada MK bahwa keputusan yang mereka buat akan dimintai pertanggungjawabannya kelak. Jangan kita ini hidup di dunia untuk main-main," ujarnya.
Dikatakan LaNyalla, keputusan ugal-ugalan Mahkamah Konstitusi karena mereka tak ada yang mengawasi.
"Maka kita wajib mengawasi MK. Selama ini MK mengambil keputusan seenaknya sendiri. Kita menuntut hak kita," tegas LaNyalla.
Dikatakannya, dalam pemilu, bagaimana mungkin basis suara didasarkan pada pemilihan sebelumnya.
"Bagaimana mungkin kita cari Presiden untuk tahun 2024 tapi berbasis Pemilu 2019. Kalau mau dipisahkan. Pemilihan DPR dulu, baru Presiden. Mari kita sampaikan kebenaran kepada MK. Berapa kali pun kita ditolak oleh MK, maka kita harus yakin suatu saat kita akan menang. Saya mengajak kepada seluruh rakyat untuk menuntut hak kita," ajak LaNyalla.
Dikatakan LaNyalla, masih banyak yang harus dibenahi di negeri ini. "Sudah saatnya kita memiliki generasi dan pemimpin pelurus bangsa di tahun 2024," ucapnya. (ida, sws)