Kisruh OTT Basarnas, Akhirnya Kelihatan Hierarki-hierarki Etika di KPK Berantakan
Jakarta, FNN – Setelah menjerat Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI (Purn) Henri Alfiandi, dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT) dan menetapkannya sebagai tersangka, kemarin KPK menyampaikan permintaan maaf kepada TNI. Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, di Gedung KPK. Johanis Tanak menyatakan bahwa tim penyelidik KPK mungkin ada kekhilafan dan ada kelupaan. Setelah itu, Brigjen Asep Guntur Rahayu mengundurkan diri sebagai Direktur Penyidikan KPK sekaligus Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK sebagai buntut dari polemik OTT Basarnas yang menyeret TNI aktif.
Tetapi, ternyata kemudian Ketua KPK, Firli Bahuri, menegaskan bahwa seluruh proses penyelidikan, penyidikan, hingga penetapan pelaku dalam dugaan korupsi di Basarnas telah sesuai prosedur hukum. Bahkan, manurutnya, saat dilakukan kegiatan tangkap tangan di Basarnas pun, KPK melibatkan Polisi Militer TNI. Lalu, Alex Marwata yang waktu itu mengumumkan bahwa Ketua Basarnas menjadi tersangka, juga mengatakan bahwa tidak ada yang salah pada penyidiknya, yang salah itu pimpinan dan mungkin yang dimaksud adalah Johanis Tanak. Kondisi ini membuat keadaan menjadi kacau.
Ketika dimintai pendapatnya tentang kekacauan tersebut, Rocky Gerung dalam kanal You Tube Rocky Gerung Official edisi Senin (31/7/23) mengatakan, “Memang, sesuai prosedur, OTT tidak menunggu TNI dong. Bagaiamana? Namanya juga OTT. Jadi, momentum itu benar, harus ditangkap. Jadi, ya tidak mungkin namanya OTT dikoordinasikan, ya keburu kabur. Jadi, momentum itu yang benar.”
Sekarang, lanjut Rocky, yang menjadi masalah adalah mengapa KPK minta maaf. Ini berarti ada kesalahan prosedur. Di mana prosedur yang salah.
“Jadi, ini prosedur yang kalau kita lihat makronya, memang semua kejahatan di wilayah sipil itu, ya itu harusnya wilayah peradilan umum kan, enggak boleh militer ikut-ikut di situ kan. Kan militer hanya boleh kalau itu terlibat dalam isu kemiliteran. Ini kan bukan isu kemiliteran. Jadi, kita klarifikasi dulu itu tuh. Tetapi, yang muncul seolah-olah ada arogansi TNI,” ujar Rocky.
Menurut Rocky, ini bukan arogansi TNI. Mungkin TNI tersinggung, tetapi dia tidak arogan. Kondisi ini sekaligus menerangkan betapa Dewan Pengawas tidak peka. Padahal, kalau diketahui lebih awal oleh Dewan Pngawas, mungkin Dewas bisa mengirim semacam radiogram dulu. Jadi, ini bukan hal yang fundamental.
“Saya kira Panglima TNI melihatnya ini enggak prinsipil amat. Masa TNI mau melindungi anggotanya yang korupsi, bahkan Panglima yang memulai kalimat bahwa kok masih ada ya anggota TNI yang koruptif,” ujar Rocky.
“Jadi itu bedanya. Substansinya pasti dimengerti oleh Panglima, tetapi tata kramanya itu yang saya kira dipersoalkan oleh Panglima. Karena Panglima juga mungkin merasa lebih enak ini kalau ditangkap oleh POM dan diperlihatkan bahwa TNI juga nggak ada yang main seperti politisi,” tambah Rocky.
Rocky juga mengatakan bahwa yang menjadi poin berikutnya adalah kekacauan pertanggungjawaban di KPK. Mustinya ketua KPK Filri Bahuri mengatakan dari awal bahwa ada kesalahan prosedur atau tidak ada kesalahan prosedur, bukan setelah Brigjen Asep mengundurkan diri karena merasa ditekan atau semacam pertanggungjawaban pribadi. Bukan begitu etikanya.
“Jadi, poin-poin ini yang saya kira kacau di dalam (KPK), mau menutupi sesuatu yang sudah berlangsung, sudah terjadi. Lalu mendapat benefit of the dark, bahwa ternyata tidak ada yang salah loh, itu sesuai prosedur. Bukan itu masalahnya. Masalahnya, dari awal Firli tahu ada prosedur yang tidak tepat. Itu intinya tuh. Jadi, jangan kabur dari masalah utama. Ya cuma itu aja intinya tuh. Jadi, bagi Panglima TNI, ya sudahlah, itu sudah terjadi,” ujar Rocky
Ketika ada pernyataan yang berbeda-beda dari pimpinan KPK, publik pasti bertanya-tanya, ada apa sebenarnya di KPK? Bukankah pimpinan seharusnya kolektif kolegial sehingga seharusnya dibicarakan Bersama dan harusnya sikapnya sama. Dari sini kita lihat memang ada yang tidak firm dalam soal hukum pemberantasan korupsi. Apalagi kalau kita melihat bahwa Johanis Tanak adalah orang yang sedang disidangkan oleh Dewan Pengawas untuk komisi etik berkaitan dengan pembocoran dokumen.
“Ya, akhirnya orang menduga-duga, berarti di KPK ada faksi-faksi itu. Ini Ketua Basarnas yang ditangkap itu faksinnya siapa sebetulnya di TNI. Kira-kira begitu. Demikian juga yang menangkap, faksinya siapa di KPK. Jadi, kecurigaan publik akhirnya berlangsung di situ. Kalau begitu, ada yang nelpon dong untuk mengatakan bahwa ini melanggar prosedur,” ujar Rocky.
Jadi, lanjut Rocky, hal-hal yang non-legal akhirnya bekerja di situ. Padahal, fakta dasarnya adalah OTT. Selesai masalah di situ. Orang yang ditangkap OTT tidak usah dipersoalkan. Kan dia subjek yang tertangkap tangan. Belakangan, mungkin baru diketahui ternyata yang ditangkap adalah TNI. Jadi, prinsip pertama adalah OTT. Ditangkap saja dulu, karena itu momentum. Yang kedua, ada MOU. Jika tidak ada MOU Panglima pasti tidak akan bereaksi. Tetapi, Panglima juga mengerti bahwa memang tidak boleh anggota militer melakukan korupsi, apalagi di dalam situasi institusi yang melakukan korupsi itu adalah institusi yang sangat pekat terhadap kemanusiaan, yaitu Basarnas.
“Jadi, kira-kira itu masalahnya. Dan secara umum orang akan melihat bahwa ini sebetulnya udah kecelakaan, tetapi takut untuk minta maaf atau segan untuk minta maaf, maka ada yang dikorbankan. Ada yang sengaja diminta untuk mengundurkan diri atau hati nurani bilang memang saya bersalah. Kenapa terjadi lagi kekacauan interpretasi. Kenapa dia minta berhenti, kenapa bukan Firli yang mengundurkan diri. Kan akhirnya orang lihat hierarki-hierarki etika di KPK itu berantakan,” ungkap Rocky dalam diskusi yang dipandu oleh Hersubeno Arief, wartawan senior FNN. (ida)