Kolonialisme Baru pada Bangsa Sendiri, Teriak Ganti Pancasila Masuk Penjara

Dalam RKUHP orang bisa dipenjara gara-gara menghina presiden. Padahal dalam kampanye biasa saja orang menghina presiden. Presiden dianggap punya martabat, padahal nggak ada. "Presiden nggak punya martabat. Martabak itu melekat pada manusia, bukan pada jabatan. Kan itu intinya yang selalu kita katakan," kata pengamat politik Rocky Gerung dalam wawancara khusus dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Sabtu, 09 Juli 2022. Berikut petikan lengkapnya:

Ada upaya dari pemerintah untuk sengaja tidak membuka RUU KUHP ke publik dengan cara dibuat dibuat mepet dengan waktu pembahasan, sehingga tidak ada peluang untuk melakukan evaluasi. Begitu dibuka ternyata banyak sekali kegilaan yang muncul di dalam RUU KUHP. Antara lain soal orang menghina Pancasila bisa dihukum. Padahal, kita seringkali memperdebatkan soal Pancasila. 

Iya, tidak boleh mengganti Pancasila, tidak boleh meniadakan. Bagaimana kalau saya mau memperbaiki Pancasila, karena itu saya musti periksa dulu bagian yang tidak masuk akal. Karena itu saya perlu tafsir, lalu saya dipidanakan. Padahal saya mau memperbaiki dari sifat yang buruk pelaksanaan Pancasila. Kan begitu-begituan. Kalau kita bilang kemanusiaan yang adil dan beradab wong nggak ada praktiknya kok, karena itu kita perbaiki. Kemanusiaan yang adil dan beradab dan dipastikan bahwa Presiden tidak akan berbohong dengan janji-janjinya. Kan musti ada interpretasi kan. Justru kita mau memperbaiki itu. Jadi bayangkan misalnya antisipasi dari negara itu intinya adalah menghukum. Jadi sudah dipastikan bahwa nanti akan ada orang yang mau meengganti, ada orang yang mau mempermainkan ideologi, lalu disiapkan hukuman. Padahal, diskursus publik itu memungkinkan Pancasila dipersoalkan. Karena Pancasila itu bukan ideologi tertutup. Dia ideologi terbuka. Harus kompatibel dengan perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Jadi kelihatannya memang undang-undang ini dimaksudkan untuk menakut-nakuti saja. Dan di ujungnya nanti ada semacam ya kan boleh pakai denda kalau nggak mau dihukum pidana. Ya kalau nggak ada uang ya masuk juga kan. Jadi kelihatannya ini undang-undang yang memang dirancang untuk memungkinkan kekuasaan itu diperpanjang. Ini yang musti kita antisipasi. 

Kalau menurut bocoran-bocoran yang kita dapat ini memang benar-benar kita hanya geleng-geleng kepala dan kita cuman bisa sampai pada kesimpulan, bagaimana para founding fathers kita dulu, yang berjuang membebaskan diri dari kolonialisme, kemudian melihat anak cucunya sekarang menghadapi kolonialisme baru, yang itu dilakukan oleh bangsanya sendiri. 

Ya kalau naskah itu dibuat oleh mantan-mantan keluarga beliau, nggak apa-apa. Tapi ini kan disusun oleh ahli-ahli Hukum Tata Negara, bahkan wakil menteri hukumnya itu profesor di bidang hukum pidana atau hak asasi manusia, atau HTN segala macam. Tapi ini orang-orang yang nggak paham apa fungsi dari sebuah hukum pidana dibandingkan dengan memperlebar percakapan publik supaya tidak terjadi kejahatan pidana, terutama yang menyangkut pidana politik. Jadi bayangkan, politik itu masih ada unsur pidananya. Menghina presiden itu kan peristiwa politik. Di dalam kampanye ya biasa saja orang menghina presiden. Apa susahnya itu. Tetapi kemudian dianggap Presiden kan punya martabat. Nggak ada. Presiden nggak punya martabat. Martabat itu melekat pada manusia, bukan pada jabatan. Kan itu intinya yang selalu kita katakan. Nggak ada yang peduli itu karena di kepalanya sudah dianggap presiden akan berbahaya kalau di depan oposisi. Karena itu oposisi musti didiamkan. Cara mendiamkan oposisi adalah KUHP. Kan ngaco. Kalau kita belajar legal filosofi, Presiden itu bukan objek hinaan karena dia lembaga. Yang bisa dihina manusia kongkrit. Kan begitu dasar kita. Nah, sekarang hukum pidana itu memasukkan orang-orang yang harusnya dilindungi adalah yang rentan untuk martabatnya diacak-acak. Siapa yang potensial mengacak-acak martabat rakyat ya presiden. Karena presiden punya semua kekuasaan. Rakyat tidak punya kekuasaan untuk menghina, melecehkan Presiden. Tapi kenapa rakyat yang musti diawasi. Ajaib kan. Jadi perlindungan terhadap presiden itu artinya secara tidak langsung dianggap Presiden itu memang potensial untuk dikritik dan potensial untuk dihina. Padahal, sebetulnya yang dihina dan dikritik sebetulnya adalah kebijakan publik dari Presiden, bukan jati diri dia sebagai manusia. Itu gagal dipahami oleh kedunguan yang ada di parlemen dan pemerintah.

Sebenarnya kritik juga boleh kalau saya baca rumusan pasalnya, tetapi Anda harus menunjukkan di mana keburukannya, di mana kebaikannya, dan kemudian Anda harus juga menunjukkan solusinya. 

Akhirnya kalau saya baca naskah itu, dia sendiri ragu dengan rumusan itu. Karena itu, dia tambah predikat macam-macam. Anda harus kasih ini, kasih ini, dan kasih bukti jam berapa dia berbuat salah, di detik kebeberapa, cuaca lagi mendung atau cuaca lagi bagus, ada akan bunyi cicak apa nggak. Lama-lama begitu, musti membuktikan. Jadi sekali lagi karena ketidakmampuan untuk berpikir abstrak maka dibaypaslah, sudahlah pokoknya yang bukan kritik kita sebut hinaan. Nah, yang kritik apa kalau begitu? Kan itu yang disebut membuat definisi dengan memperluas predikatnya sehingga segala sesuatu bisa dihargai diseret melalui interpretasi yang lebar itu. Karena itu penting untuk mengingat lagi pasal-pasal karet sebetulnya. Jadi tetap ini pasal kolonial dan nggak ada yang mampu menerangkan di mana aspek non kolonial di situ. Di negeri Belanda seluruh pasal itu dibuang. Kita masih justru mengulangi itu dengan beban yang lebih berat lagi. Kalau dia masuk otoriter yang masuk akal. Masa demokrasi ada pasal-pasal dungu itu. 

Saya kira pasti nanti jawabannya jelas karena DPR kelihatannya sudah menyatakan bahwa akan segera mengesahkan dan tidak dibahas. Memang tidak ada yang menyatakan begitu, tapi tidak ada lagi ruang pembahasan di kita. Dikatakan begitu oleh anggota DPR. Nah pasti mereka nanti ketika protes silahkan bawa ke Mahkamah Konstitusi. Dan ketika kita datang ke Mahkamah Konstitusi kita akan dihakatakan bahwa Anda tidak punya legal standing. Sya jadi bingung. Kita ini alat hukum kita sebagai bangsa kelihatannya nggak punya apa-apa di negara ini.

Ya itu yang kita sebut moral hukum kita sudah nggak ada, sehingga apapun yang dibayangkan bisa diselesaikan secara hukum orang anggap ya percuma. Pintunya ditutup. Bahkan digembok dari dalam. Dan yang di dalam itu menggembok dirinya karena takut ketahuan dungunya. Kan itu intinya.  Kalau orang pintar, orang bijak, dia akan undang. Silakan masuk. Kita akan debat. Di Mahkamah Konstitusi ini ditutup dari awal dengan dalil open legal policy dan yang biasa itu, tidak punya legal standing. Dan kita bertanya, lalu kalau rakyat tidak punya legal standing, kenapa kalian takut berdebat. Kan kalau orang bilang dia tidak punya legal standing, rakyat mau katakan bahwa Anda tidak punya moral standing. Karena hanya untuk berdebat pun Anda takut dengan alasan bahwa Anda bukan yang berhak untuk berdebat. Lalu ditanya siapa yang berhak kalau begitu. Jadi dia nggak bisa jawab. Dia kunci sendiri kedunguannya. Demikian juga wakil Menhukam yang akhirnya nggak mampu berdebat dia tulis di koran Kompas  bahwa mereka yang tidak paham tentang hukum pidana itu enggak punya akal. Lalu kemarin saya ketemu tukang bakso, tukang bakso bilang begitu tuh. Saya membaca itu tulisan dari Wakil Menhukam yang saya pastikan dianya yang nggak punya akal. Jadi begitu akhirnya kan. Jadi tukang bakso pun bisa paham bagaimana ketakutan dari kalangan eksekutif dan legislatif sehingga mengunci ruang perdebatan. Lalu secara sepihak nulis di koran. Dan lebih gila lagi Kompas bisa memuat tulisan nggak bermutu itu. (Ida/sws)

301

Related Post